Kendari, 7 Februari 2022 – Dunia sedang menghadapi perubahan besar merespon kenaikan suhu rata-rata bumi yang meningkat 1,1 derajat Celcius sejak masa pra-industri. Berbagai komitmen global disepakati untuk membatasi kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat celcius pada pertengahan abad ini. Kenaikan suhu rata-rata bumi ini disebabkan oleh emisi karbon yang banyak dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil salah satunya pada sektor energi.
Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisinya sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan asing, serta mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Dr. Kuntoro Mangkusubroto, pengamat energi senior, dalam Seminar Pertambangan, perayaan Hari Pers Nasional menyebutkan bahwa sektor energi memegang peran krusial untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
“Namun perlu diingat, bukan berarti urusan net-zero emission ini lantas menjadi beban PLN saja karena terkait dengan energi. Perlu kolaborasi berbagai pihak untuk memastikan target 2060 tercapai,” pungkasnya mengakhiri sambutan kunci.
PLN mempunyai peran besar dalam menciptakan pasar untuk energi terbarukan. Untuk mengejar target pemenuhan energi terbarukan perlu keterlibatan pihak swasta. Maka dari itu, kebijakan dan iklim investasi yang kondusif perlu untuk diupayakan.
Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM menyampaikan bahwa Indonesia masih selaras untuk memenuhi pencapaian komitmen perjanjian internasional, namun ada pilihan-pilihan untuk melakukan berbagai percepatan.
“Kita sudah menyusun peta jalan nasional untuk mencapai net-zero emission 2060, dan kita terus mengkaji pilihan-pilihan yang mungkin untuk diambil untuk mempercepat target-target yang ada,” tegasnya.
Khusus dari sektor ketenagalistrikan Evy Haryadi, Direktur Perencanaan Corporate PLN menyatakan bahwa pihaknya saat ini sedang berada dalam dilema. Di satu sisi, pembangkit listrik yang tersedia dengan harga terjangkau saat ini adalah pembangkit fosil (PLTU) yang menghasilkan emisi tinggi, untuk menggantinya dengan pembangkit energi terbarukan diperlukan investasi yang besar.
“Kami melihat tren penurunan harga listrik dari energi terbarukan seperti surya dan angin saat ini berkisar antara 18-21 sen per kWh, dibanding dengan batubara (6-8 sen/kWh) untuk saat ini listrik dari energi terbarukan masih lebih mahal.”
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengingatkan bahwa PLN perlu cermat dalam melihat tren investasi di sektor kelistrikan. Sektor komersial dan industri menjadikan energi bersih sebagai kebutuhan utama dan prasyarat untuk berinvestasi di suatu negara.
“PLTU batubara bukanlah pembangkit listrik termurah saat ini. Subsidi pemerintah melalui skema DMO (Domestic Market Obligation) yang membuat harga batubara tetap sebesar USD 70/ton, menjadikan harga listrik dari PLTU terlihat murah. Padahal harga batubara di pasar saat ini mencapai USD 150/ton,” jelasnya.
Fabby melanjutkan, jika harga batubara USD 150/ton diteruskan ke PLTU biaya pembangkitan listrik akan naik sebesar 32% – 61%.
Disrupsi sistem energi sedang terjadi di seluruh dunia. Untuk menjamin kehandalan, keterjangkauan dan keberlanjutan sistem energi Indonesia, PLN harus melakukan transformasi. Transformasi ini juga akan mengurangi risiko aset terdampar bagi PLN dan IPP (Independent Power Producer). Seiring berkembangnya teknologi, diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan biaya pembangunan PLTS beserta sistem penyimpanan energinya akan lebih murah daripada biaya operasional PLTU batubara.
Untuk menuju tujuan bersama mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat, meningkatkan kapasitas energi terbarukan harus dilakukan. PLTU yang saat ini sedang beroperasi perlu dikelola dengan bijak dan secara bertahap dikurangi. Rencana pemerintah Indonesia untuk melakukan phase-down 9,2 GW PLTU batubara melalui skema Energy Transition Mechanism merupakan langkah tepat, namun pemerintah berkesempatan untuk membuat langkah yang lebih agresif.