Jakarta, 16 September 2025 – Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia, dengan kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 60% serta penyerapan tenaga kerja hingga 97%. Dengan kontribusi perekonomian yang tinggi, sektor UMKM juga berkontribusi pada emisi GRK yang tinggi sekitar 216 juta ton CO2 pada tahun 2022 hampir sebanyak dua pertiga emisi industri nasional.
Transformasi menuju bisnis hijau, adalah sebuah keniscayaan. Hal ini disampaikan oleh Wakil Menteri Badan Pembangunan Nasional (Bappenas), Febrian A. Ruddyard, dalam Peluncuran Buku Putih “Mewujudkan Masa Depan Bisnis Berkelanjutan Melalui Pemberdayaan UMKM Hijau” yang diselenggarakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian UMKM, bekerja sama dengan Bank Pembangunan Asia (ADB), dengan dukungan Pemerintah Australia melalui Program Bantuan Infrastruktur Berkelanjutan Tahap 2 (SIAP2), dan Institute for Essential Services Reform (IESR).
“Jika UMKM berhasil bertransformasi ke bisnis hijau proyeksi kami ekonomi akan tumbuh lebih dari 600 triliun pada 2030, dan 4 juta lapangan kerja hijau akan tumbuh. Dengan begitu, NZE Indonesia dapat dicapai lebih cepat,” kata Febrian.
Faricha Hidayati, Koordinator Kebijakan dan Teknologi Dekarbonisasi Industri, IESR, menjelaskan bahwa Buku Putih ini memuat analisis situasi terkini, peta jalan transformasi, rekomendasi kebijakan, dan langkah-langkah implementatif untuk mempercepat adopsi praktik hijau oleh UMKM di seluruh Indonesia.
“Peluncuran Buku Putih ini menjadi momentum strategis untuk menyampaikan pesan kebijakan, mengajak kolaborasi, dan menguatkan komitmen lintas pemangku kepentingan agar UMKM Indonesia siap bersaing di pasar global yang semakin menuntut keberlanjutan,” katanya.
Lishia Erza, tim penulis Buku Putih, menyatakan bahwa potensi nilai ekonomi yang dihasilkan jika sebagian saja UMKM bertransformasi menuju bisnis hijau dapat mencapai ratusan triliun rupiah.
Lishia menambahkan bahwa sektor informal, yang merupakan bagian dari ekosistem UMKM Indonesia, berkontribusi sebesar 36% PDB atau sekitar USD 500 miliar. Menurutnya, transformasi 10% dari sektor informal ini diperkirakan dapat menciptakan nilai ekonomi hijau sebesar 798 triliun rupiah.
“Jika kita berhasil mengubah 20%, nilai ekonomi (hijau)nya sebesar 1.596 triliun rupiah. Pada skenario paling optimis yakni kita mentransformasi 30% UMKM menjadi bisnis hijau, kita mendapatkan nilai ekonomi hijau sebesar 2.390 triliun, dan ini setara dengan PDB negara-negara ASEAN seperti Vietnam atau Filipina,” kata Lishia.
Di sisi lain, permintaan pasar akan produk rendah emisi semakin besar, seperti disampaikan Ratih Purbasari Kania, Direktur Perencanaan SDA dan Industri Manufaktur Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM.
“Untuk memfasilitasi dunia usaha dalam mentransformasikan bisnisnya, kami telah menyusun Panduan Investasi Lestari yang memuat 25 indikator dan mencakup 4 aspek. Panduan ini dapat digunakan oleh pelaku usaha, investor, juga pemerintah yang akan mendorong transformasi bisnis hijau,” jelas Ratih.
Novita Tan, CEO Rebricks memberikan pandangan dari pelaku usaha, bahwa meski aturan terkait bisnis hijau terus bermunculan, namun beberapa hal seperti standarisasi masih cukup kompleks terlebih jika proyeksi pasar yang dituju adalah pasar ekspor.
“Salah satu pengalaman kami adalah meski standarisasi di Indonesia sudah cukup banyak, namun belum ada yang setara dengan standar negara tujuan ekspor kami,” kata Novita.