Transisi Energi di Kawasan Timur Indonesia Memerlukan Solusi Berbasis Komunitas

Jakarta, 16 September 2025 – Kawasan Timur Indonesia (KTI) memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, dengan potensi energi surya mencapai 165,9 GW dan bayu mencapai 167 GW (RUPTL 2025-2034). Meskipun demikian, untuk memanfaatkan seluruh potensi energi terbarukan yang ada, Kawasan Timur Indonesia mengalami beberapa tantangan, antara lain; infrastruktur ketenagalistrikan, pembiayaan, dan kondisi geografis. 

Tantangan ini menyebabkan banyaknya masyarakat, terutama yang tinggal di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T) belum mendapatkan akses listrik yang memadai. Masyarakat yang hidup di KTI paling banyak memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) untuk mendapatkan akses listrik.  

Sayangnya, kelangkaan bahan bakar  menjadi hambatan tersendiri bagi masyarakat untuk mendapatkan akses listrik selama 24 jam. Energi terbarukan menawarkan sebuah solusi untuk penyediaan akses listrik bagi daerah KTI, ditengah kelangkaan bahan bakar untuk PLTD dan merupakan opsi yang lebih bersih, serta terjangkau bagi daerah 3T yang berada diluar sistem ketenagalistrikan besar.  

Project Clean, Affordable and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia berkolaborasi dengan Project Green Energy Transition Indonesia (GETI) menyelenggarakan Forum Diskusi Ketenagalistrikan (16/09) untuk membahas lebih dalam terkait strategi perencanaan dan pembiayaan untuk mendukung infrastruktur ketenagalistrikan di Kawasan Timur Indonesia.  

Forum diskusi ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk; pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN), sektor swasta, lembaga keuangan dan para ahli bidang energi, untuk mengeksplorasi solusi-solusi yang dapat mendukung transisi energi berkeadilan di Indonesia.  

Forum ini dibuka oleh Yusuf Suryanto, Direktur Transmisi, Ketenagalistrikan, Kedirgantaraan dan Antariksa (TKKA), Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Bappenas yang memberikan penjelasan akan kondisi perkembangan dan perencanaan ketenagalistrikan di Indonesia, khususnya di Kawasan Indonesia Timur. Yusuf menjelaskan bahwa dari sisi penyediaan listrik, masih terjadi ketimpangan antara permintaan dan suplai listrik di berbagai daerah. Sehingga, satu solusi saja tidak cukup. Diperlukan solusi berbasis komunitas untuk mendorong pertumbuhan listrik di Kawasan Timur Indonesia, terutama listrik yang berasal dari energi terbarukan. 

“Selain inovasi teknologi yang dapat mendukung pengembangan sektor listrik, pengembangan kapasitas komunitas lokal, terutama yang tinggal di daerah 3T menjadi penting. Kami berharap, semua pemangku kepentingan dapat berkolaborasi untuk mengembangkan solusi-solusi berbasis lokal,” kata Yusuf.  

Kementerian PPN/Bappenas, melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2024-2045, menempatkan KTI sebagai pusat pertumbuhan EBT untuk mencapai target bauran EBT sebesar 70% pada tahun 2045. Arah kebijakan ini sejalan dengan prinsip Just Energy Transition (JET), yang menekankan bahwa transisi harus adil dan inklusif. Proses ini harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan—Pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat—untuk memastikan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dirasakan secara merata. 

Selain itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 yang mendorong pengembangan pembangkit listrik tenaga energi baru terbarukan (EBT) di seluruh Indonesia. Hingga tahun 2034, terdapat total penambahan kapasitas pembangkit dan storage sebesar 69,5 Gigawatt (GW), sebanyak 76% akan berasal dari EBT seperti tenaga surya, air, bayu, dan panas bumi yang dilengkapi dengan sistem penyimpanan energi seperti baterai dan PLTA pumped storage.  

30% dari penambahan kapasitas  EBT tersebut merupakan sumber energi terbarukan variabel (Variable Renewable Energy/VRE) seperti tenaga surya dan bayu, yang menuntut keandalan sistem jaringan dan fleksibilitas sistem yang lebih tinggi. Kondisi ini menunjukkan perubahan signifikan dibandingkan keadaan saat ini, di mana pada akhir 2024 porsi VRE dalam bauran ketenagalistrikan Indonesia hanya sebesar 0,5%. 

Dari perspektif utilitas, Bekti Wacono, mewakili PLN memaparkan rencana pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan di Indonesia Timur sesuai RUPTL 2025-2034. Rencana tersebut mencakup pembangunan pembangkit sebesar 4,5 GW, jaringan transmisi sepanjang 3,9 ribu kms, serta gardu induk berkapasitas 2,1 ribu MVA, dengan kebutuhan investasi diperkirakan mencapai Rp 145 Triliun.

Namun, hingga tahun 2029, pendanaan yang tersedia baru sebsar Rp 12 Triliun. Untuk itu, PLN menekankan perlunya mengembangkan demand di Kawasan Timur Indonesia sekaligus mencari alternatif pendanaan baru.

“Kelayakan finansial di Indonesia Timur memang menjadi tantangan. Proyek strategis, khususnya di daerah 3T dengan kelayakan finansial terbatas, memerlukan skema pembiayaan konsensional atau subsidi agar dapat terealisasi,” jelas Bekti.  

Share on :

Leave a comment