Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi terbesar keempat di dunia, terus berusaha untuk mempertahankan pertumbuhan ekonominya di angka 6-7% untuk menjadi negara maju. Untuk mencapai tujuan Indonesia Emas 2045, presiden terpilih kedelapan, Prabowo Subianto, bahkan telah berjanji untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 8% selama lima tahun pemerintahannya (Rachman, 2024). Ini adalah target yang sangat ambisius, yang berarti sektor-sektor kunci yang mendukung perekonomian harus sepenuhnya siap untuk memfasilitasi kegiatan ekonomi yang diantisipasi. Salah satu sektor yang paling penting dalam mendukung kegiatan ekonomi adalah energi.
Di tengah dorongan kuat untuk transisi energi, sektor energi juga harus mengalami reformasi yang signifikan, bergeser dari ketergantungan pada bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan. Kedua tujuan ini-pertumbuhan ekonomi dan transisi energi-harus berjalan beriringan agar Indonesia tidak hanya berhasil menjadi negara yang maju secara ekonomi, tetapi juga mengurangi dampak perubahan iklim dengan membebaskan diri dari bahan bakar fosil. Oleh karena itu, transisi energi juga harus memberikan manfaat ekonomi jangka panjang. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap potensi transisi energi untuk membawa keuntungan ekonomi jangka panjang, seperti menarik investasi asing baru, menciptakan ekosistem untuk inovasi dan teknologi energi baru, mentransformasi pasar kerja menuju “pekerjaan hijau”, terutama di sektor energi, dan membuka peluang bagi industri baru yang mendukung transisi energi.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyatakan bahwa dibutuhkan investasi hingga US$ 36,95 miliar selama lima tahun untuk mencapai target bauran energi melalui sumber energi terbarukan (EBT) (Pribadi, 2019). Namun, pada tahun 2023, realisasi investasi di sektor EBT turun 9,3% menjadi US$ 1,5 miliar dari US$ 1,6 miliar di tahun 2022 (Komalasari, 2024). Berdasarkan target US$ 36,95 miliar, dibutuhkan investasi sebesar US$ 7,39 miliar per tahun. Angka ini masih jauh dari rata-rata realisasi investasi sebesar US$ 1,55 miliar selama tiga tahun terakhir (2021-2023). Untuk mencapai target tersebut, tentunya diperlukan kerja keras dan kerja sama antara pemerintah dan non-pemerintah, khususnya antara Kementerian Investasi/BKPM dan Kementerian Energi.
Masuknya investasi ini sangat erat kaitannya dengan pembentukan ekosistem inovasi dan teknologi di sektor energi yang hingga saat ini masih belum mencapai target. Pada tahun 2021, kapasitas energi terbarukan Indonesia mencapai 11.157 megawatt (MW), jauh dari target tahun ini sebesar 11.357 MW (Energi Terbarukan Indonesia, 2024). Demikian pula, bauran energi terbarukan dalam bauran energi nasional berjalan lambat, diproyeksikan hanya akan mencapai sekitar 13-14% pada tahun 2025 (Adi, 2024).
Menurut laporan tahun 2020 dari Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), sektor energi terbarukan global mempekerjakan 7,28 juta pekerja di tahun 2012, meningkat menjadi 12,02 juta pekerja di tahun 2020 (Mediana, 2023). Ini berarti bahwa dalam kurun waktu delapan tahun, sektor energi terbarukan global menyerap sekitar 590.000 tenaga kerja per tahun, jumlah yang relatif kecil. Di Indonesia, menurut publikasi IESR “Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System: A Pathway to Zero Emissions by 2050,” penciptaan lapangan kerja dari penggunaan 100% energi terbarukan diperkirakan akan mencapai hampir 1,5 juta pekerjaan pada tahun 2030 dan hampir 3,5 juta pada tahun 2050 (IESR, 2021). Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia memiliki peluang besar untuk menciptakan lapangan kerja yang signifikan, yang harus sejalan dengan masuknya investasi.
Meskipun investasi di sektor energi terbarukan belum mencapai target dan jumlah pembangkit energi terbarukan serta penciptaan lapangan kerja di sektor transisi energi masih rendah, masih banyak peluang untuk ditingkatkan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi di masa depan. Transisi energi, yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, juga harus membawa manfaat ekonomi jangka panjang. Manfaat ini seharusnya tidak hanya terbatas pada sektor energi, tetapi juga meluas ke industri lain, dari perusahaan skala besar hingga menengah. Pertumbuhan industri manufaktur baru, seperti sel surya, inverter, baterai, dan manufaktur peralatan panas bumi, akan semakin mendukung transisi ini. Pertumbuhan industri manufaktur energi terbarukan di dalam negeri juga didorong oleh adanya persyaratan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), yang mendorong ekosistem untuk dikembangkan secara lokal. Persyaratan TKDN ini menjadi faktor kunci untuk memastikan bahwa transisi energi memberikan manfaat ekonomi jangka panjang.