JAKARTA– Extractive Industry Transparancy Initiative (EITI) mendorong Pemerintah Indonesia dan negaranegara kaya sumber daya alam (SDA) di kawasan Asia Tenggara untuk menerapkan standar pelaporan pengelolaan SDA yang lebih transparan.
Pengelolaan SDA membutuhkan standar internasional terkait pelaporan bagi perusahaan atas pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah dan bagi hasil pemerintah atas penerimaan pendapatan. Sejauh ini belum ada transparansi pelaporan pengelolaan SDA oleh industri ekstraktif (minyak, gas alam,dan mineral) di sembilan negara ASEAN.
”Model, format pelaporan pengelolaan SDA melibatkan multipihak. Pemerintah dan industri ekstraktif bersama tim pelaksana. Ada sekitar 20 standar yang dipergunakan,” ungkap tim formatur EITI Chandra Kirana di sela-sela lokakarya regional bertajuk ”Security Asean Energy Supply: Learn From Best Practices Policy Framework and Global Standard to Improve Investment Climate” di Jakarta kemarin.
Transparansi mutlak dibutuhkan dalam pengelolaan SDA. Alasannya,di masa depan tantangan sembilan negara kaya SDA di ASEAN,termasuk Indonesia, sama besarnya.Kebutuhan dan permintaan energi dunia yang semakin besar, diperkirakan akan mendorong pengalian secara besar-besaran tanpa memperhitungkan dampak lain.
Negara-negara penghasil SDA akan berlombalomba menggali serta mengekspor SDA dalam jumlah besar dan dikhawatirkan tidak terpantau transparansinya. Padahal, kata dia, hasil pengolahan SDA bisa dimanfaatkan maksimal untuk mendukung pembangunan di sektor lain.
EITI juga mendorong mulai dilakukannya investigasi terkait pengolahan hasil SDA. ”Investigasi terkait kerugian negara dalam pertambangan karena masih ada gap antara laporan ekspor dan impor hasil SDA misalnya dari Indonesia ke China dan sebaliknya karena supplier legal maupun ilegal,”jelasnya.
Selain itu,selama ini masyarakat di daerah penghasil SDA tidak mengetahui secara jelas seberapa besar penghasilan dari industri ekstraktif atau pengolah SDA yang diserahkan ke negara dan dana bagi hasil (DBH) yang diberikan pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Dengan transparansi ini, pemerintah berkewajiban memberikan informasi sejelasjelasnya mengenai pelaporan pengolahan SDA. Pengamat kelistrikan yang juga tim formatur EITI Fabby Tumiwa menambahkan, kesepakatan awal mengenai upaya transparansi pelaporan pengolahan SDA diharapkan akan menghasilkan satu rekomendasi bersama untuk bisa diimplementasikan.
Menurutnya, hal ini menjadi penting untuk diterapkan. ”Selama ini bicara industri ekstraktif tidak menyentuh aspek nonteknis seperti pelaporan, padahal dengan penerapan transparansi sesuai dengan good governance secara tidak langsung akan menarik minat investasi,”kata Fabby.
EITI menemukan, di ASEAN banyak perusahaan ekstraktif yang beroperasi tanpa pengawasan pemerintah sehingga investor yang beroperasi tidak kredibel. Investor lebih banyak tertarik ke Australia, Amerika Serikat, atau Kanada lantaran negaranegara tersebut memiliki aturan ketat.
Aturan yang mampu meyakinkan investor bahwa risiko investasi pertambangan semakin kecil dengan transparansi dan pengelolaan yang akuntabel. Deputi Menko Perekonomian bidang Energi dan Mineral Wimpy S Tjetjep mengapresiasi komitmen negara-negara di ASEAN untuk menerapkan standar internasional yang transparan untuk pengolahan SDA.
Dia mengklaim,pemerintah berkomitmen menerapkan transparansi laporan, masalah akuntabilitas perusahaan, pendapatan negara, dan hal lain terkait pengolahan SDA. ”Akan meningkatkan iklim investasi tidak mungkin tidak. Tidak ada satu pun company yang tidak suka dengan transparansi,” tegas Wimpy. wisnoe moerti
sumber: seputar-indonesia.com.