Kebijakan energi sektor transportasi harus menjadi rencana jangka panjang.
Pemerintah akan membatasi konsumsi BBM bersubsidi mulai 1 April mendatang, tetapi tiga bulan menjelang pelaksanaan, belum ada kepastian.
Dalam rapat dengan DPR Senin (30/1) pemerintah disebutkan belum siap untuk menerapkan kebijakan tersebut. Sejumlah anggota DPR mengatakan rencana pemerintah untuk membatasi BBM bersubsidi dan meningkatkan pemakaian BBM non subsidi akan menguntungkan SPBU asing yang ada di Indonesia. Sementara kenaikan BBM pun tidak diatur dalam APBN 2012. Pemerintah mengatakan, anggaran subsidi BBM yang membengkak merupakan alasan untuk membatasi konsumsi BBM Subsidi.
Pada tahun 2011, anggaran subsidi BBM meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya menjadi Rp. 160 triliun, dibandingkan dengan APBN 2010 senilai Rp. 90 triliun.
Padahal asumsi APBN Perubahan 2011, anggaran subsidi mencapai Rp. 129,7 trilliun. Pemerintah juga menyebutkan subsidi BBM tidak tepat sasaran, karena data Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan 77% BBM bersubsidi justru dinikmati kalangan menegah ke atas.
Sebenarnya, pembatasan BBM bersubsidi ini telah direncanakan sejak tahun lalu menyusul kenaikan harga minyak karena pergolakan di Timur Tengah. Tetapi, ketika itu pemerintah tidak mendapatkan persetujuan DPR, jadi ditunda hingga tahun ini.
Opsi lain selain pembatasan BBM, pemerintah juga membuka kemungkinan untuk menaikan harga BBM menjadi Rp. 6.000 dari harga semula yaitu Rp. 4.500, yang juga ditolak oleh Komisi VII DPR. Padahal pada 2008, harga BBM bersubsidi juga pernah mencapai Rp. 6.000 ketika harga minyak menembus US$100 per barel.
Konversi BBM
Selain berencana membatasi konsumsi BBM, pemerintah pada awal Januari lalu juga akan melakukan konversi BBM ke Bahan Bakar Gas BBG. Pemerintah mengatakan pasokan BBG dapat dipenuhi dari dalam negeri. Rencana ini sebelumnya akan dilakukan pada 1 April mendatang, tetapi pemerintah menyatakan sulit untuk menyediakan converter kit yaitu alat untuk menampung BBG pada kendaraan, dalam waktu singkat.
Penggunaan BBG sebenarnya pernah dilakukan sejak tahun 1986 lalu, ketika itu ribuan armada taksi menggunakan BBG. Tetapi jumlahnya menyusut dari tahun ke tahun. Pada tahun 1995, Pemerintah kembali menyampaikan rencana untuk mengalihkan bahan bakar minyak ke gas. Kemudian, pada 2005 lalu, Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan peraturan daerah tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pun mengeluarkan peraturan tentang Standar dan mutu (Spesifikasi) serta Pengawasan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas dan Bahan Bakar lain, LPG, LNG dan hasil olahan yang dipasarkan di dalam negeri.
Pemda DKI kemudian mengeluarkan Peraturan Gubernur No 14/2007 tentang Penggunaan BBG untuk Angkutan umum dan kendaraan operasional pemerintah daerah.
Di Jakarta sejumlah angkutan umum seperti Bus Transjakarta, Taksi dan Bajaj sudah ada yang menggunakan BBG. Meski sudah diperkenalkan sejak puluhan tahun lalu, pengguna BBG di Indonesia cenderung menurun, sampai sekarang tercatat hanya sekitar 2.000 kendaraan. Jauh lebih sedikit dibandingkan dengan negara lain seperti India dan Pakistan yang jumlahnya mencapai jutaan kendaraan. Selain BBG, pemerintah juga pernah memiliki tim untuk mengembangkan bahan bakar nabati.
Ketika itu pemerintah menargetkan pengembangan lahan jutaan hektar untuk bahan bakar nabati, antara lain tanaman jarak dan ethanol. Tetapi hingga tim dibubarkan pada tahun 2008, belum ada perkembangan yang maju dari upaya penggunaan bahan bakar nabati. Bahkan penggunaan ethanol sebagai campuran BBM yang dijual di SPBU terus menurun dari angka sebelumnya 10 %.
Sumber: BBC.