Jakarta, 30 Juli 2025 – Energi surya akan menjadi tulang punggung sistem energi Indonesia di masa depan. RUPTL PLN 2025 – 2034 menargetkan penambahan kapasitas energi surya sebesar 17 GW.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai untuk mendukung agenda penggunaan energi surya dalam skala besar, Indonesia harus membangun ekosistem pendukung energi surya yang kuat. Ekosistem ini meliputi kerangka kebijakan, infrastruktur industri komponen PLTS, hingga sistem insentif yang harus dirancang dengan cermat agar mendorong penggunaan dan pertumbuhan industri manufaktur energi surya.
Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer (CEO) IESR dalam sambutan pembukaan pada acara Diseminasi Kajian: Pengembangan Peta Jalan Rantai Pasok Industri PLTS di Indonesia yang diselenggarakan oleh IESR (30/7), menyatakan bahwa dalam rantai pasok manufaktur energi surya global, faktor geopolitik cukup berpengaruh.
“Indonesia perlu membangun industri PLTS atau photovoltaic (PV) untuk meningkatkan kemandirian dan ketahanan energi nasional. Rantai pasok yang terintegrasi bisa mengurangi risiko gangguan global dan ketergantungan impor,” kata Fabby.
Fabby menekankan pentingnya membuat permintaan (demand creation) domestik yang besar dan stabil untuk menumbuhkan industri manufaktur surya dalam negeri.
Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk membangun industri rantai pasok energi surya baik di sisi hulu seperti polisilikon dan wafer maupun sisi hilir seperti sel dan modul surya.
“Industri PLTS Indonesia berpotensi tinggi, namun kesiapan industri dalam negeri masih kurang. Rantai pasok masih kurang efisien dan belum terintegrasi sehingga masih belum mencapai skala keekonomian yang optimal dan adanya keterbatasan dukungan penelitian dan pengembangan (R&D) yang memadai,” jelas Alvin.
Alvin melanjutkan, untuk mengatasi tantangan tersebut, aspek penciptaan pasar dan dukungan R&D sangat penting dilakukan. Selain itu, diperlukan a peta jalan yang disepakati secara nasional oleh multi sektor pemangku kepentingan untuk memastikan pengembangan industri yang terintegrasi.
Solehan, Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian, Kementerian Perindustrian menyambut baik adanya kajian dan usulan peta jalan ini. Pihaknya menjelaskan bahwa saat ini pemerintah mendukung pengembangan rantai pasok industri energi surya melalui beberapa cara antara lain dengan membuat regulasi pendukung, memberikan pelatihan teknis, membangun kemitraan dan kolaborasi, dan memberikan subsidi dan insentif.
“Kami juga mencatat (dari kajian) bahwa kita juga harus menggarap sektor hulu manufaktur fotovoltaik ini,” katanya.
I Made Sandika, Ketua Umum, Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia, menyoroti isu pentingnya kepastian regulasi dan komitmen pemerintah untuk pembangunan proyek energi surya.
“Dulu ada anggapan, produksi dahulu maka permintaan akan datang nanti. Saat ini kapasitas produksi sudah pada skala 10 GW untuk modul surya namun penyerapannya tetap rendah,” kata Made.
Masuknya produk modul surya asal China yang memiliki harga lebih murah juga membuat persaingan pasar modul surya semakin kompetitif dan berat untuk pabrikan lokal.
Andi Herlambang, Country Sales Manager Indonesia, LONGi Solar menambahkan bahwa salah satu penyebab utama harga (produk) lokal belum bisa turun drastis dan kompetitif dengan produk impor adalah keterbatasan rantai pasok di Indonesia, seperti kaca, aluminium frame, dan backsheet.
“Karena itu, diperlukan dukungan penuh dari regulasi dan kebijakan pemerintah, agar semua proyek energi surya di Indonesia menggunakan produk dalam negeri. Sehingga memperkuat industri dan menciptakan ekosistem manufaktur yang berkelanjutan,” katanya.
Arya Rezavidi, Peneliti Utama, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti pentingnya penguasaan teknologi. China memulai dominasinya pada rantai pasok manufaktur energi surya dari penguasaan teknologi, baru kemudian penciptaan pasar domestik dan ekspansi global.
“Industri masa depan harus dibangun dari riset dan penguasaan teknologi bukan semata-mata karena adanya pasar. R&D harus jadi komponen utama dalam pengembangan industri energi terbarukan,” kata Arya.
Menutup rangkaian acara diseminasi kajian, Marlistya Citraningrum, Program Manajer Akses Energi Berkelanjutan, IESR kembali menegaskan bahwa Indonesia berpeluang untuk membangun industri fotovoltaik nasional. Namun, untuk itu dibutuhkan keberanian politik dan intervensi kebijakan yang kuat.
“Ini bukan semata soal teknologi, tapi menyangkut kedaulatan energi, pembangunan ekonomi hijau, pembukaan lapangan kerja, dan arah industrialisasi nasional ke depan,” pungkas Citra.