Sejak awal kemunculannya energi nuklir telah menimbulkan suatu dialog bahkan perdebatan tentang manfaat dan risiko yang dibawanya. Di satu sisi nuklir dapat memenuhi kebutuhan energi, dan dapat digunakan dalam berbagai bidang seperti medis dan militer. Namun nuklir juga membawa risiko kebocoran radiasi. Terdapat peristiwa kecelakaan nuklir yang patut dicatat mulai dari Three Mile Island (1979), Chernobyl (1986), dan Fukushima (2011). Dari sini muncul pertanyaan, apakah nuklir masih layak untuk dikembangkan dalam skala besar? Jika iya, aspek apa saja yang harus diperhatikan dalam pengembangannya? Menghadirkan tiga pembicara dengan latar belakang yang berbeda, FISCO UGM menggelar webinar Potensi dan Kontroversi Nuklir untuk mencoba mengurai pertanyaan tersebut.
Dalam kesempatan tersebut, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan terkait pengembangan energi nuklir di antaranya tiga faktor keselamatan reaktor nuklir yaitu regulasi atau badan regulator, keamanan operasional, dan sistem keamanan.
“Perdebatan tentang PLTN dari awal bukan semata-mata teknologinya. Tapi lebih banyak tentang risiko keamanannya. Bencana yang paling ditakutkan dari nuklir adalah bocornya radiasi ke lingkungan luar, jadi kontroversinya bukan semata-mata teknologi tapi lebih kepada lingkungan di mana PLTN itu berada,” jelas Fabby.
Untuk memastikan aspek keamanan ini, selain badan regulasi dan prosedur keamanan yang ketat, masalah keekonomian atau biaya yang dibutuhkan juga perlu dicermati ulang.
“Tren investasi PLTN dari tahun ke tahun semakin mahal. Jika tujuan pembangunan PLTN adalah untuk memenuhi permintaan listrik yang terus tumbuh, maka ada alternatif energi terbarukan lain yang lebih terjangkau dan tidak berbahaya,” sambung Fabby.
Faktor lingkungan termasuk penerimaan masyarakat ini menjadi hal penting dan membuat isu nuklir ini menjadi dinamis. Derajad S. Widhyharto, Dosen Sosiologi Fisipol UGM, mengungkapkan pula bahwa kekhawatiran masyarakat pada nuklir baik itu sebagai PLTN maupun energi baru ada pada isu pengelolaan.
Aspek pengelolaan yang menjadi kekhawatiran masyarakat ini makin diperburuk dengan dinamika regulasi nuklir yang tidak saling terkait dengan temuan survei atau riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga.
Alexander Agung, dosen Teknik Nuklir UGM, melengkapi diskusi ini dengan perspektif yang lebih bersifat teknis tentang energi nuklir. Nuklir terutama PLTN dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan listrik yang meningkat, serta mendukung industrialisasi. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa memang memenuhi kebutuhan listriknya dari pembangkit nuklir.
“Adanya badan regulasi yang khusus mengatur dan mengawasi pengembangan dan pengerjaan membuat keamanan dari PLTN ini terjamin sejak awal, saat survei pemilihan lokasi hingga pembangunan,” pungkas Alexander.
Namun, dalam perkembangannya, perlu pula memastikan agar badan regulasi ini tetap bekerja secara optimal agar pengembangan energi nuklir tidak membahayakan masyarakat dan lingkungan sekitar.