Jakarta, 26 Agustus 2021 – Industri batubara di Indonesia memiliki peluang yang cukup tinggi untuk menjadi salah satu aset terdampar di masa yang akan datang, baik di sektor hulu maupun hilirnya. Hal ini diungkapkan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam seminar Exploring Potential Risks of Coal Exit Towards Economics and Finance in Indonesia. Seminar ini diselenggarakan oleh IESR berkolaborasi dengan Climate Transparency – kemitraan internasional dari think tank di beberapa negara G20, dan dengan didukung oleh Kementerian Luar Negeri Jerman telah mengadakan seminar daring selama dua hari bertema “Aligning International Energy Finance toward the Net-Zero Economy” pada 25-26 Agustus 2021.
“Permintaan energi batubara di Indonesia akan mengalami peningkatan dari 130-140 juta ton menjadi 160-170 juta ton namun sesudahnya akan ada penurunan seiring dengan mulai pensiunnya pembangkit listrik,” ungkap Fabby.
Sebagai salah satu negara pengekspor batubara terbesar di dunia, Indonesia menerima peningkatan permintaan batubara ke negara-negara seperti India dan Cina,yang awalnya berkisar pada 550 juta ton menjadi 625 juta ton. Namun di sisi lain negara-negara ini sudah siap sedia untuk mengumumkan transisi energi mereka.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyadari fenomena transisi energi tersebut dan adanya pergerakan peralihan pembiayaan dari energi fosil ke energi terbarukan.
“Kita mengakui adanya beberapa hal yang secara faktual sudah terjadi, misalnya mengenai financing, dimana banyak lembaga-lembaga perbankan dunia dan nasional yang mengurangi support atau portofolionya kepada industri berbasis batubara,” kata Hendra Sinadia, Energy and Mineral Resources Committee, Indonesian Entrepreneurs Association (APINDO).
“Lebih dari 100 lembaga keuangan yang sekarang sudah berkomitmen untuk tidak lagi membiayai batubara namun masih ada dukungan keuangan terhadap sektor batubara dari APBN dalam bentuk subsidi untuk fossil fuel.” kata Tiza Mafira, Associate Director, Climate Policy Initiative. Tiza juga menambahkan bahwa Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) masih didominasi oleh sektor-sektor kotor, padahal PEN selama ini diganyang sebagai green economic recovery.
Pengamat Ekonomi Senior, INDEF, Faisal Basri mengemukakan bahwa para pengambil keputusan harus melakukan upaya yang komprehensif untuk melakukan transformasi ekonomi maupun energi agar dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah perlu segera memitigasi risiko aset terdampar di industri batubara sehingga dapat mencegah kerugian ekonomi yang lebih besar.
“Tantangan terbesar adalah kesadaran kita dalam mentransformasi ekonomi dari low value added ke high value added, dari value extraction (aktivitas yang mengeksplorasi sumber daya yang ada) menjadi value creation. Saya percaya bahwa ada mekanisme hukum pasar dimana produk dan saham yang tidak pro pada pengurangan emisi GRK akan ditinggalkan investor,” tegas Faisal.
Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui kajian Coal as Stranded Assets: Potential Climate-related Transition Risk and Its Financial Impacts to Indonesia Banking Sector mengingatkan
Indonesia untuk segera mempertimbangkan dan menghitung potensi nilai aset terdampar dari industri batubara untuk mencegah kerugian ekonomi yang lebih besar. IESR juga merekomendasikan, terutama bagi investor dan lembaga keuangan untuk memperhatikan risiko tersebut sehingga berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi.
Bergesernya investasi menuju energi terbarukan yang dilakukan oleh negara maju akan mempengaruhi sektor ekonomi dan keuangan di negara berkembang, seperti Indonesia.
“Hal ini juga disampaikan oleh Mengenai potensi risiko tersebut telah disampaikan oleh Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD). bahwa terdapat risiko finansial yang timbul dari proses penyesuaian menuju ekonomi rendah karbon ditinjau dari sisi kebijakan/hukum, teknologi, pasar, maupun reputasi. Salah satu dampak finansial dari transisi energi adalah aset terdampar, di mana aset sektor batubara mengalami devaluasi bahkan menjadi tidak dapat digunakan,”ujar penulis kajian, Hadi Prasojo.kajian Coal as Stranded Assets: Potential Climate-related Transition Risk and Its Financial Impacts to Indonesia Banking Sector, Hadi Prasojo.