Wujudkan Visi ASEAN 2045: Peran Komunitas Diplomatik Dorong Agenda Iklim dan Energi Hijau

Jakarta, 20 Agustus 2025 – Asia Tenggara kini menghadapi tantangan ganda yakni menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi sekaligus merespons dampak perubahan iklim yang semakin nyata. Kebutuhan energi di kawasan ini meningkat rata-rata 3–4 persen per tahun berdasarkan data International Energy Agency (IEA), sementara jutaan penduduk masih berada di garis kemiskinan. Situasi ini menempatkan ASEAN pada titik krusial untuk memastikan pembangunan tetap berkelanjutan tanpa mengorbankan lingkungan. Dengan adanya ASEAN Community Vision 2045 yang memasukan elemen ketahanan energi, perubahan iklim, dan ekonomi, negara-negara anggota berkomitmen untuk menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang tangguh, kompetitif, dan berkelanjutan. Hal ini diungkapkan Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) saat Lokakarya bertajuk “Visi ASEAN 2045 dan Peran Komunitas Diplomatik,” yang diselenggarakan pada Rabu (20/8/2025). 

“Peluncuran dokumen ASEAN 2045: Our Shared Future pada KTT ASEAN 2025 memberi ruang bagi untuk mengakselerasi aksi mitigasi iklim di tingkat regional. Visi tersebut memperkuat pesan politik jika isu transisi energi dan ekonomi hijau menjadi perhatian utama. Estafet kepemimpinan ASEAN menunjukkan konsistensi di mana Indonesia pada tahun 2023 menekankan energi sebagai “epicentrum of growth,” kemudian Laos pada tahun 2024 mengusung tema “connectivity and resilience,” sementara Malaysia pada tahun 2025 menekankan “inclusivity and sustainability.” Meski demikian, kesenjangan antara visi dan implementasi masih terlihat jelas,” tegas Arief. 

Arief menyoroti tantangan utama  yakni menerjemahkan visi jangka panjang ASEAN 2045 menjadi agenda nyata. Rotasi kepemimpinan ASEAN setiap tahun berisiko mengurangi  keberlanjutan isu tertentu. Karena itu, menurutnya, peran komunitas diplomatik menjadi penting, terutama melalui forum tahunan seperti ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) dan ASEAN Summit, yang dapat menjadi ruang strategis untuk menjaga konsistensi isu dekarbonisasi dan transisi energi. 

“Sayangnya, tren saat ini menunjukkan bahwa peran komunitas diplomatik terkait isu iklim cenderung pasif atau kurang terlihat. Padahal, diplomasi bisa menjadi jembatan untuk menyatukan kepentingan negara anggota dan memperkuat agenda bersama. Pertemuan ini diharapkan dapat mengeksplorasi peran ideal komunitas diplomatik dalam mendorong implementasi Visi ASEAN 2045 agar tidak berhenti pada level wacana,” kata Arief. 

Berkaca dari kondisi tersebut, IESR mengusulkan dua peran yang dapat diambil oleh komunitas diplomatik, khususnya bagi Kementerian Luar Negeri. Pertama, komunitas diplomatik sebagai penjaga gerbang (gatekeeper), mengingat Kementerian Luar Negeri (Ministry of Foreign Affairs, MOFA) ASEAN memiliki posisi strategis dalam mempengaruhi agenda regional. Mereka berperan sebagai penjaga gerbang yang memastikan agenda perubahan iklim dan transisi energi tetap menjadi elemen kunci dalam kepemimpinan ASEAN setiap tahun, serta mengusulkannya kepada kepemimpinan ASEAN berikutnya. Kedua, komunitas diplomatik sebagai jembatan (bridger), mengingat ASEAN memiliki produk kebijakan dan infrastruktur yang kompleks dan melimpah. Komunitas diplomatik dapat berperan sebagai jembatan untuk mensinkronkan, menyelaraskan, dan akselerasi pelaksanaan elemen sektoral agar lebih dapat diimplementasikan dalam perencanaan yang komprehensif.

Sementara itu, Arisman, Direktur Eksekutif Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Indonesia menyatakan terdapat empat tantangan utama dalam mengupayakan transisi energi di ASEAN yakni kebutuhan mineral kritis, kebutuhan infrastruktur yang masif, pendekatan yang belum sepenuhnya berpusat pada masyarakat dan kebutuhan kemitraan lintas sektor  (triple helix: pemerintah, industri, akademisi). Selain itu, setiap transisi pasti menimbulkan biaya dan perubahan struktur pekerjaan. Akan ada sektor yang hilang, namun juga lahir peluang baru seperti green jobs

“ASEAN sendiri masih menghadapi tantangan keberagaman kapasitas antar negara. Singapura berbeda jauh dengan Laos atau Myanmar dalam kemampuan energi. Namun, ada kemajuan mekanisme koordinasi di ASEAN yang kini lebih responsif. Di sinilah diplomasi antarnegara memegang peranan penting. Isu transisi energi tidak bisa dibiarkan hanya pada level nasional, tetapi harus dijaga konsistensinya dalam agenda regional ASEAN,” ujar Arisman. 

Share on :

Leave a comment