Memastikan Efektivitas Pengadaan Proyek Energi Terbarukan

Jakarta, 20 September 2023 – Standardisasi Power Purchase Agreement (PPA) atau perjanjian jual beli listrik menjadi salah satu cara untuk mempercepat negosiasi proyek energi terbarukan serta menghindari potensi terjadinya pelanggaran hukum.  Hal ini menjadi salah satu pembahasan dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023.

Senior Partner of UMBRA,  Kirana Sastrawijaya mengungkapkan hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan standardisasi di antaranya dengan merujuk pada PPA  yang sudah bankable atau memenuhi persyaratan bank dan terbukti sukses.

“Selain merujuk pada PPA yang sudah sukses, hal lainnya yang perlu dipertimbangkan untuk standardisasi PPA adalah memberikan klausul fleksibilitas untuk menghindari penyimpangan yang dianggap sebagai “pelanggaran hukum”, memberikan fleksibilitas untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru, adanya implikasi studi keuangan untuk menjustifikasi alokasi risiko serta adanya perbandingan dengan negara lain,” jelas Kirana.

Raditya Wiranegara, Analis Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan, tantangan yang perlu diperhatikan di dalam standardisasi PPA adalah bagaimana caranya standardisasi ini dapat disesuaikan dengan dinamika pasar; apakah dengan pemutakhiran standar PPA di dalam periode tertentu, misalnya. Dengan begitu, investor siap dan tetap mendapatkan kepastian.

“Selain itu, standardisasi ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Kirana, juga perlu memperhatikan teknologi pembangkit. Artinya, standar PPA untuk pembangkit listrik berbasis fosil dibedakan dari standar PPA untuk pembangkit listrik berbasis energi terbarukan” kata Raditya Wiranegara, Analis Senior Institute for Essential Services Reform (IESR).

Dari kalangan industri, Komite Eksekutif Kadin Net Zero Hub Anthony Utomo menyampaikan dalam pembahasan PPA, ketersediaan proyek energi terbarukan menjadi hal penting.

“Berkaitan dengan PPA yang berhubungan dengan pengembang, pertama, proyek energi terbarukannya harus ada dulu. Kedua, standarisasi PPA akan sangat membantu sehingga negosiasi tidak perlu berlama-lama dan ada transparansi. Ketiga, mengenai hak karbon, terutama untuk PPA yang sudah berjalan, apakah akan menjadi miliknya risk taker (pengampu risiko) PLN atau pengembang,” ungkapnya.

Senior Programme Lead, CEEW Centre for Energy Finance, Arjun Dutt memaparkan pengalaman India dalam pengadaan proyek energi terbarukan melalui proses lelang. Menurutnya, beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menciptakan paket kebijakan yang mendukung pengadaan proyek energi terbarukan adalah dengan adanya kepastian permintaan, memitigasi risiko lahan dan evakuasi, integrasi jaringan, dan memitigasi risiko penjamin (off-taker).

“Hal yang dapat menciptakan kepastian permintaan di antaranya dengan adanya kewajiban pembelian energi terbarukan (Renewable Purchase Obligation, RPO) seperti penentuan standar portofolio energi terbarukan. Selain itu dapat pula membuka akses luas bagi konsumen untuk mempromosikan adopsi energi terbarukan, serta mengembangkkan sumber-sumber baru permintaan energi terbarukan seperti kendaraan listrik dan hidrogen hijau,” jelas Arjun.

Zulfikar Manggau Senior Specialist Project Management and Power Generation, PT PLN mengakui bahwa pihaknya pun menginginkan pengadaan proyek energi terbarukan, PPA yang lebih efisien dan kompetitif.

“PLN sedang mengupayakan agar bisa segera meningkatkan penjualan melalui industri yang terus tumbuh, sehingga sisi permintaan terus bertambah dan bisa menambah pembangkit energi baru terbarukan ke depannya,” ujar Zulfikar. Zulfikar menyebut pihaknya saat ini sedang finalisasi Permen Perjanjian Jual Beli LIstrik (PJBL).

Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyelenggarakan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 pada 18-20 September 2023.

 

Share on :

Leave a comment