Berkaca dari Pengalaman Inggris dalam Mengintegrasikan Energi Terbarukan ke Jaringan Listrik

Jakarta, 11 Desember 2024 – Pemerintah Indonesia mengakui bahwa pemanfaatan energi terbarukan akan membawa manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat Indonesia. Bahkan di dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, transisi energi ditempatkan sebagai game changer atau pembawa perubahan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, pemerintahan baru telah menetapkan target-target yang ambisius, termasuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, swasembada energi, transisi penuh ke 100 persen energi terbarukan dalam satu dekade ke depan, dan pengakhiran operasional PLTU batubara pada 2040. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) memuji ambisi tersebut dan mendorong reformasi substansial dalam perencanaan, konstruksi, dan pengoperasian sistem tenaga listrik. Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengungkapkan pengakhiran operasional PLTU batubara pada tahun 2040 dan mencapai 100 persen energi terbarukan merupakan hal yang menantang namun mungkin dilakukan. Ia menekankan bahwa, sebagai langkah pertama, pemerintah harus meningkatkan penggunaan energi terbarukan dengan cepat dalam lima tahun ke depan hingga mencapai 60 hingga 80 GW, dengan lebih dari separuhnya berasal dari tenaga surya, sebelum menghentikan PLTU batubara sebesar 5 hingga 8 GW secara nasional pada akhir tahun 2030. PLTS mendominasi kapasitas baru untuk penyebaran energi terbarukan karena sumber dayanya yang melimpah dan biaya modal yang paling rendah. Teknologi ini dapat dikembangkan relatif lebih cepat dibandingkan dengan teknologi energi terbarukan lainnya.

Tenaga surya dan angin merupakan sumber energi terbarukan yang bersifat intermiten yang sering disebut sebagai hambatan utama untuk diintegrasikan ke dalam sistem tenaga listrik. IESR berpendapat bahwa tantangan ini dapat diatasi dengan mengoptimalkan pengelolaan beban, memperkuat dan memodernisasi jaringan listrik, membangun lebih banyak sistem penyimpanan energi, dan meningkatkan fleksibilitas jaringan listrik. Inisiatif ini akan memastikan pasokan energi ramah lingkungan yang stabil, menjaga keandalan sistem, dan meningkatkan ketahanan energi.

IESR mencontohkan bahwa banyak negara di dunia tetap menempatkan energi terbarukan sebagai energi yang andal, termasuk Inggris. Inggris bahkan menetapkan ambisi untuk mendekarbonisasi sektor ketenagalistrikan pada 2035, salah satunya dengan memodernisasi infrastruktur jaringan listrik untuk mengakomodasi energi dari sumber terbarukan.

Erina Mursanti, Manajer Green Energy Transition Indonesia IESR menyebutkan Inggris telah berinovasi dengan menerapkan konsep layanan jaringan listrik melalui penyimpanan baterai, fleksibilitas dalam merespon permintaan listrik, dan pembangunan jaringan interkoneksi untuk mendukung penetrasi energi terbarukan secara masif.

“Pemerintah Indonesia berencana membangun jaringan listrik hijau yang akan menghubungkan sistem kelistrikan di seluruh Indonesia mulai 2029. Rencana ini juga mencakup pengembangan jaringan pintar (smart grid) dan pengoperasian pembangkit listrik yang fleksibel untuk mendukung integrasi energi terbarukan seperti angin dan surya. Indonesia dapat menjalin kerja sama dengan Inggris untuk mendapatkan dukungan finansial dan peningkatan kapasitas,” ujar Erina.

Pemerintah Inggris, melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI) yang bekerja sama dengan IESR, mendorong Indonesia untuk mempercepat transisi energinya. Peningkatan penggunaan energi terbarukan dengan cepat pada tahun 2030 akan membuat listrik terbarukan menjadi lebih kompetitif, mendorong pengembangan hidrogen hijau, membuka potensi permintaan, dan memajukan dekarbonisasi industri, yang akan berkontribusi secara signifikan terhadap target net zero emission (NZE) Indonesia pada tahun 2060.

Proyek GETI berfokus pada dua hasil utama. Pertama, proyek ini bertujuan untuk menerjemahkan Jalur Bersih, Inklusif, dan Sejahtera (Clean, Inclusive, and Prosperous Pathway, CIPP) Indonesia ke dalam aksi nyata dengan memobilisasi dukungan untuk mempercepat reformasi kebijakan yang mendorong penggunaan energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan. Kedua, membentuk Indonesia Green Hydrogen Accelerator, yang meletakkan dasar bagi pasar hidrogen hijau yang selaras dengan Strategi Hidrogen Nasional Indonesia 2023.

Erina juga menekankan bahwa integrasi kebijakan dalam mendorong penetrasi energi terbarukan sangat penting untuk membangun ekosistem hidrogen hijau di Indonesia.

Untuk mendukung tujuan-tujuan tersebut, Kedutaan Besar Inggris di Jakarta dan IESR menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) tentang “Meningkatkan Fleksibilitas Sistem Tenaga Listrik untuk Transisi Energi yang Cepat” di Jakarta (10/12/2024). FGD yang dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian ESDM dan PLN ini menjadi wadah untuk bertukar pengetahuan dan praktik terbaik, mengatasi tantangan, dan mendorong kolaborasi.

Menurut Erina, Kebijakan Energi Nasional (KEN), RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) perlu selaras dengan RPJPN dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) serta memuat target bauran energi terbarukan yang tinggi. Keselarasan kebijakan dan tingginya target energi terbarukan akan memberikan sinyal positif bagi investor untuk berinvestasi pada pengembangan energi terbarukan.

Pembangunan super grid yang menghubungkan Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2023–2060 diperkirakan memerlukan investasi sekitar USD 25 miliar untuk 50.000 kilometer jaringan transmisi.

His Muhammad Bintang, Koordinator Riset Energi dan Sumber Daya Listrik IESR, menekankan pentingnya kepastian perizinan, tata kelola proyek yang transparan, dan skema pembiayaan yang menarik untuk memfasilitasi kerja sama internasional, termasuk kemitraan dengan Inggris. Ia mencatat bahwa meskipun pasar listrik Indonesia yang terintegrasi secara vertikal mulai mengizinkan partisipasi pasar melalui skema IPP pada tahun 1990-an, peraturan yang ada saat ini belum diperbarui untuk memenuhi kebutuhan saat ini. Sebagai contoh, tidak ada mekanisme yang jelas untuk Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) yang melibatkan aset penyimpanan untuk layanan tambahan atau pasar kapasitas, yang sangat penting untuk meningkatkan penetrasi energi terbarukan.

“Setelah kerangka hukum ditetapkan, skema dukungan akan sangat penting untuk meningkatkan kelayakan ekonomi proyek penyimpanan energi, mengingat sifat teknologi yang relatif baru dan mahal. Selain memberikan insentif untuk proyek-proyek percontohan, seperti keringanan pajak dan pembebasan persyaratan konten lokal, Indonesia dapat mengadopsi strategi Inggris dengan lelang pasar kapasitasnya, yang telah memacu pengembangan penyimpanan energi. Baru-baru ini, Inggris juga memperkenalkan skema batas atas dan bawah (cap-and-floor) untuk mendorong proyek-proyek penyimpanan dan interkoneksi jangka panjang,” ujar Bintang.

Share on :

Leave a comment