Optimalisasi Konektivitas Listrik Energi Terbarukan di ASEAN

Jakarta, 16 April 2025 – Ketahanan energi yang mendukung pengurangan emisi perlu menjadi fokus utama dalam pengembangan proyek konektivitas listrik lintas batas di kawasan ASEAN melalui ASEAN Power Grid (APG). Menyoroti kepemimpinan Malaysia dalam ASEAN tahun ini, yang berkomitmen menyempurnakan nota kesepahaman (MoU) APG, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai APG memiliki potensi besar dalam mendorong pasokan listrik berbasis energi terbarukan antarnegara di kawasan.

Dalam webinar berjudul “Is ASEAN Ready to Advance Its Regional Cross-Border Electricity Initiative?” yang diselenggarakan oleh IESR, Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, menegaskan bahwa krisis iklim merupakan tantangan serius bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kawasan. Ia mengungkapkan bahwa ASEAN berpotensi kehilangan hingga 37 persen PDB akibat dampak perubahan iklim.

Arief menyebut, dengan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, konsumsi energi ASEAN juga diproyeksikan naik signifikan. Berdasarkan ASEAN Energy Outlook ke-8, konsumsi energi final ASEAN diperkirakan mencapai 1.107,9 juta ton ekuivalen minyak (Mtoe) pada tahun 2050, meningkat 2,6 kali lipat dibanding 2022.

“Optimalisasi ASEAN Power Grid (APG) yang mengutamakan pasokan listrik dari energi terbarukan menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan energi di kawasan, sekaligus keluar dari jebakan karbon akibat dominasi bahan bakar fosil seperti batubara. Langkah ini dapat berkontribusi dalam upaya mitigasi perubahan iklim dan mengurangi risiko kerugian ekonomi,” jelas Arief.

Senada dengan Arief, Nadhilah Shani, Manajer Power Generation and Interconnection (PIN) di ASEAN Centre for Energy (ACE), menyebut bahwa penyelarasan regulasi dan komitmen politik melalui MoU baru sangat krusial untuk mendukung pertumbuhan perdagangan listrik lintas batas.

“Peningkatan perdagangan listrik berbasis energi terbarukan melalui APG dibutuhkan untuk memaksimalkan pemanfaatan potensi energi bersih kawasan. Untuk itu, kita perlu mengatasi hambatan dalam pengembangan infrastruktur dan mekanisme pasar, termasuk menyusun aturan teknis dan pasar yang harmonis serta membentuk kerangka kerjasama antarpemerintah,” ujar Nadhilah.

Selain akses terhadap energi bersih, interkoneksi listrik regional juga membawa beragam manfaat. Thang Do, Peneliti di Program Zero-Carbon Energy for Asia-Pacific, Australian National University (ANU), menyampaikan bahwa integrasi jaringan listrik dapat mengurangi kebutuhan penyimpanan energi dan pembangkit baru, karena energi terbarukan bisa disalurkan secara efisien melalui sistem Super Grid.

Ia menambahkan bahwa biaya rata-rata pembangkitan energi (Levelized Cost of Electricity, LCOE) juga menurun dalam jangka panjang. ASEAN, menurutnya, memiliki kapasitas untuk menjadi kawasan dengan 100 persen energi terbarukan, melalui pembangunan PLTS sebesar 6.606 GW (3% lahan), PLTB 420 GW, dan penyimpanan hidro terpompa (pumped hydro storage) hingga 44.707 GWh.

Namun, Thang menyoroti bahwa pengembangan APG masih dihadapkan pada hambatan politik dan sosial, termasuk keinginan negara-negara untuk swasembada energi sebagai bentuk kedaulatan nasional.

“Contohnya, regulasi Indonesia memang membuka peluang impor listrik, namun tetap memprioritaskan pembangkitan dalam negeri. Padahal, perdagangan listrik berbasis energi surya dan angin justru dapat memperkuat ketahanan energi yang terjangkau dan berkelanjutan,” jelasnya.

Tantangan politik, khususnya dinamika geopolitik energi di era kebijakan Trump, turut disoroti oleh Mirza Sadaqat Huda, Lead Researcher bidang Perubahan Iklim di ISEAS–Yusof Ishak Institute. Ia mendorong ASEAN untuk membangun kemitraan yang beragam, serta menekankan pentingnya strategi komunikasi yang dapat mendorong kerja sama, menangkal narasi nasionalisme sumber daya, dan menjangkau masyarakat akar rumput.

Lebih lanjut, untuk menjawab tantangan teknis, ASEAN dapat mengembangkan Proyek Kepentingan Bersama ASEAN (ASEAN Projects of Common Interest) dan menyusun kerangka Sertifikat Energi Terbarukan regional.

Dalam hal kelembagaan dan kapasitas, Mirza menyarankan agar ASEAN menyusun metodologi transparan untuk tarif wheeling secara regional, serta membentuk lembaga regional yang dapat memfasilitasi integrasi pasar, menyusun rencana jangka panjang, dan menangani penyelesaian sengketa antar negara.

Share on :

Leave a comment