Dimulainya Perjalanan Transisi Ketenagalistrikan Menuju Net-Zero Emission

Jakarta, 23 April 2025 –  Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia telah menerbitkan Permen ESDM No. 10/2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan pada Selasa (15/4). Peraturan  ini merupakan amanat dari Peraturan Presiden No. 112/2022 pasal 3. Permen ESDM ini mengatur peta jalan pengakhiran operasi PLTU untuk mencapai target net-zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Salah satu strateginya  adalah percepatan pensiun PLTU batu bara berdasarkan sejumlah kriteria, serta pelarangan pembangunan PLTU baru kecuali yang memenuhi ketentuan dalam Perpres No. 112/2022. Tidak lama setelah penerbitan Permen ESDM No. 10/2025, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia juga menandatangani keputusan pensiun dini untuk PLTU Cirebon I berkapasitas 650 MW.

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi langkah pemerintah, khususnya Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri BUMN Erick Thohir atas penerbitan peta jalan transisi energi. Langkah ini mencerminkan komitmen transisi energi Indonesia yang sudah dinyatakan sejak 2021 dan yang dipertegas oleh pernyataan Presiden Prabowo dalam forum G20 pada November tahun lalu, bahwa Indonesia akan mengakhiri penggunaan energi fosil pada 2040.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, bahwa Permen ini menjadi dasar hukum penting yang mulai sekarang akan memandu pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Ia juga menekankan bahwa regulasi ini membuka peluang percepatan pensiun PLTU dengan tetap mempertimbangkan keandalan sistem ketenagalistrikan, biaya listrik, serta prinsip transisi energi yang berkeadilan. 

“Keputusan Menteri ESDM menyetujui rencana pensiun dini PLTU Cirebon I dengan fasilitas Energy Transition Mechanism (ETM) juga menjadi bukti bahwa pengakhiran operasi PLTU lebih awal dari masa kontraknya layak secara teknis, ekonomis dan legal. Proses menuju keputusan ini telah ditempuh sejak 2021 tetapi belum sepenuhnya mencapai akhir. Dalam sepuluh tahun mendatang, PLN dan PT Cirebon Electric Power (CEP), di bawah supervisi pemerintah, masih harus merencanakan pembangunan pembangkit energi terbarukan sebagai pengganti kapasitas PLTU yang akan dihentikan. Selain itu, diperlukan penguatan jaringan listrik untuk mengintegrasikan masuknya pembangkit energi terbarukan, terutama yang bersifat variabel (variable renewable energy, VRE). Tanpa langkah-langkah ini, rencana pensiun dini PLTU berisiko batal karena potensi kekurangan pasokan listrik pada 2035,” kata Fabby Tumiwa.  

Fabby berharap pengalaman selama tiga tahun mempersiapkan pensiun dini PLTU Cirebon I dapat menjadi bahan pelajaran berharga dan meningkatkan keyakinan PLN, pemerintah dan listrik swasta untuk mengkaji kemungkinan pengakhiran operasi PLTU lainnya di masa mendatang. 

Berdasarkan kajian IESR, untuk mendukung upaya mitigasi krisis iklim agar suhu bumi tidak melebihi 1,5°C, sebanyak 72 PLTU batu bara dengan total kapasitas 43,4 GW perlu dipensiunkan pada periode 2022–2045. Pada periode 2025–2030, IESR merekomendasikan penghentian operasional terhadap 18 PLTU berkapasitas total 9,2 GW, terdiri dari 8 PLTU milik PLN (5 GW) dan 10 PLTU milik pembangkit swasta (4,2 GW).

Kajian IESR ini juga telah mempertimbangkan faktor yang sesuai dengan yang tercantum dalam Permen No. 10/2025 dalam mempercepat pengakhiran operasional batu bara, seperti usia dan kapasitas pembangkit, keekonomian proyek, serta dampak lingkungan, terutama keluaran emisi gas rumah kaca.

Dalam Permen tersebut, pemerintah juga sangat mempertimbangkan ketersediaan dukungan pendanaan dalam negeri dan luar negeri dalam mempercepat pengakhiran operasional PLTU batu bara. IESR memperkirakan biaya pensiun dini PLTU mencapai USD 4,6 miliar hingga tahun 2030 dan USD 27,5 miliar hingga 2050. Sekitar  dua pertiga atau USD 18,3 miliar berasal dari PLTU milik swasta, dan sepertiga atau USD 9,2 miliar berasal dari PLTU milik PLN. Meski biaya awal pensiun PLTU tergolong besar, manfaat jangka panjangnya dari penurunan biaya kesehatan, dan subsidi PLTU mencapai USD 96 miliar pada 2050.

“Dukungan pendanaan untuk pensiun dini PLTU yang tidak efisien, mahal dan menyebabkan polusi udara akut milik PLN bisa berasal dari APBN. Namun dananya yang ditambah dengan penyertaan modal negara harus dipakai untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan dan penguatan jaringan listrik. Ini serupa dengan memindahkan dana dari kantong kiri ke kanan,” jelas Fabby.

Fabby juga menjelaskan sembari menunggu masa pensiun PLTU, pengoperasian PLTU secara fleksibel dapat dilakukan untuk mendukung integrasi energi terbarukan, khususnya surya dan angin. Pendekatan ini akan mengubah sistem operasi tenaga listrik, di mana PLTU akan beroperasi mengikuti pola pembangkit intermiten, dalam batas teknis yang aman bagi sistem. Dengan cara ini, penetrasi energi terbarukan dalam sistem kelistrikan dapat meningkat secara signifikan.

Share on :

Leave a comment