Jakarta, 2 Juni 2025 – KTT ASEAN ke-46 yang berlangsung hingga 26 Mei 2025 telah menghasilkan dokumen visi jangka panjang bertajuk ASEAN 2045: Our Shared Future. Dalam pernyataan kepemimpinannya, Malaysia menekankan pentingnya penguatan ASEAN Power Grid (APG) dan skema pendanaannya, dan pengembangan keahlian untuk pekerjaan ramah lingkungan (green jobs).
Sementara itu, dalam dokumen ASEAN 2045: Our Shared Vision, isu iklim dan keberlanjutan diangkat secara khusus dalam Tujuan Strategis 2 tentang Komunitas Berkelanjutan. Tujuan Strategi ini memuat 10 objektif utama, mulai dari transisi energi berkeadilan, pengelolaan sumber daya alam, pembiayaan hijau, hingga transformasi sektor mobilitas dan pariwisata.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat bahwa ASEAN telah mengidentifikasi kebutuhan untuk mempercepat transisi energi dan menyiapkan tenaga kerja terampil yang dapat mendukung proses tersebut. ASEAN juga menyadari adanya dinamika geopolitik yang memengaruhi kawasan. Namun demikian, hasil KTT ASEAN ke-46 belum memperlihatkan adanya terobosan signifikan untuk memastikan bahwa transisi energi berjalan secara inklusif dan adil bagi seluruh anggota negara ASEAN.
Tidak hanya itu, ASEAN juga belum secara tegas memanfaatkan momentum ini untuk mendorong transformasi energi yang mampu menempatkan kawasan sebagai pusat manufaktur dan perdagangan teknologi energi terbarukan.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyebut ASEAN mempunyai peluang untuk membentuk ASEAN Just Energy Transition Partnership (ASEAN-JETP) untuk membuka pendanaan hingga USD 130 miliar per tahun hingga 2030. ASEAN Just Energy Transition Partnership (ASEAN-JETP) ini terinspirasi dari skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang telah ada di Indonesia (komitmen USD 20 miliar pada 2022), Vietnam (USD 15,5 miliar pada 2022), dan Afrika Selatan.
“ASEAN-JETP regional dapat berfungsi sebagai mekanisme pembiayaan bersama untuk menggalang pinjaman lunak, hibah, dan modal swasta guna mendukung percepatan pensiun dini PLTU batu bara dan pengembangan energi bersih,” jelas Fabby.
Dengan masukan dari mitra kolaborasi IESR di Asia Tenggara yaitu Southeast Asia Energy Transition Think Tank Collaborative Network, IESR merekomendasikan inisiatif Transformasi Energi ASEAN (ASEAN Energy Transformation Initiative/AETI). Inisiatif ini secara khusus menyasar peta jalan regional yang ambisius untuk mempercepat transisi menuju sistem berbasis energi bersih dan lebih berkelanjutan. Beberapa prioritas utamanya menjadikan ASEAN sebagai pusat manufaktur dan perdagangan teknologi bersih. Usulan lainnya mencakup percepatan integrasi kelistrikan lintas batas melalui ASEAN Power Grid, serta penguatan industri manufaktur dan perdagangan energi bersih melalui strategi zonasi industri dan tata kelola mineral kritis.
Inisiatif ini juga mendorong penguatan pembiayaan hijau melalui Platform Investasi Hijau ASEAN dan pengembangan taksonomi hijau. Selain itu, AETI menekankan pentingnya harmonisasi kebijakan energi antar negara anggota, pengembangan tenaga kerja berkeahlian hijau, serta pembentukan pusat riset dan inovasi untuk menjadikan ASEAN sebagai blok ekonomi rendah karbon yang tangguh dan kompetitif secara global.
Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi di Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa KTT ASEAN ke-46 belum cukup menyelesaikan tantangan kelembagaan ASEAN dalam merencanakan dan melaksanakan aksi mitigasi isu iklim dan energi secara komprehensif di tingkat regional.
“Salah satu tantangan aksi mitigasi iklim dan akselerasi transisi energi di ASEAN terdapat pada kesenjangan (gap) kelembagaan. Isu iklim dikelola dalam Pilar Sosial Budaya ASEAN, sedangkan isu energi dikelola oleh Pilar Ekonomi ASEAN. Hal tersebut menyebabkan proses perencanaan dan pelaksanaan mitigasi iklim di sektor energi tidak optimal. Oleh karena itu, kedepannya ASEAN perlu menguatkan koordinasi antar pilar kerjasama ASEAN,” jelas Arief.