Wilayah Perkotaan di Pulau Jawa Menjadi Kontributor Tertinggi Emisi Karbon Individu

Jakarta, 23 Juli 2025 – Aktivitas manusia menjadi kontributor utama peningkatan emisi karbon di atmosfer. Emisi ini mendorong terjadinya krisis iklim yang menyebabkan meningkatnya bencana hidrometeorologi. Tahun 2024, merupakan tahun dengan rekor suhu rata-rata terpanas mencapai 1,47 derajat Celsius di atas suhu rata-rata pra industri. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengkaji total emisi gas rumah kaca (GRK) individu atau jejak karbon di wilayah perkotaan, semi perkotaan, dan perdesaan di Pulau Jawa untuk mengidentifikasi pola dan faktor yang memengaruhinya. Kajian ini menemukan wilayah perkotaan menghasilkan emisi total per individu yang lebih tinggi dibandingkan wilayah semi perkotaan dan perdesaan. Rata-rata total emisi individu di perkotaan mencapai 3,4 ton setara karbon dioksida per tahun. Untuk menyerap jumlah karbon tersebut membutuhkan sekitar 25 pohon yang dipelihara selama 20 tahun.

Deon Arinaldo, Manajer Transformasi Sistem Energi IESR,  mengungkapkan bahwa untuk menghitung jejak karbon individu, IESR telah mengembangkan platform Jejakkarbonku.id yang hingga 2025 telah digunakan oleh 76 ribu pengunjung. Deon menekankan bahwa kesadaran kolektif terhadap jejak karbon individu dapat mendorong upaya penurunan emisi, sekaligus menciptakan tekanan permintaan terhadap produk dan layanan rendah emisi. 

“Tingginya emisi individu wilayah perkotaan berasal dari sektor transportasi, makanan dan rumah tangga. Informasi ini penting untuk membantu pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya merancang strategi yang tepat, seperti penerapan kebijakan terpadu di sektor transportasi,” tegas Deon pada peluncuran kajian “Pola Jejak Karbon Individu Berdasarkan Profil Demografis di Kawasan Perkotaan, Semi Perkotaan, dan Perdesaan di Pulau Jawa”.

Kajian IESR dilakukan di sembilan wilayah yang mewakili karakteristik perkotaan, semi perkotaan, dan perdesaan, yaitu Kota Jakarta Selatan, Bandung, dan Yogyakarta (perkotaan), Kota Bogor, Cirebon, dan Serang (semi perkotaan), serta Kabupaten Purworejo, Banjarnegara, dan Cianjur (perdesaan). Total jumlah penduduk di sembilan wilayah ini adalah 11,7 juta jiwa, sementara jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 483 orang. Hasil kajian menunjukkan bahwa emisi individu di wilayah perkotaan mencapai 3,39 ton setara karbon dioksida per kapita per tahun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan wilayah semi perkotaan sebesar 2,81 ton, dan perdesaan 2,33 ton setara karbon dioksida per kapita per tahun.

Irwan Sarifudin, Koordinator Clean Energy Hub, IESR memaparkan secara umum, tiga sektor utama yang sangat berkontribusi terhadap emisi total per individu di Pulau Jawa adalah transportasi (43,34%), makanan (34,91%), dan rumah tangga (21,08%).  Tingginya emisi dari sektor transportasi mencerminkan dominasi penggunaan kendaraan pribadi, keterbatasan transportasi publik yang efisien, serta meningkatnya mobilitas di wilayah perkotaan. Sementara itu, konsumsi makanan olahan dan produk hewani menyumbang emisi tinggi karena proses produksi dan distribusinya. Di sisi lain, emisi dari sektor rumah tangga berasal dari penggunaan listrik dan bahan bakar seperti gas alam cair (Liquefied Petroleum Gas/LPG) untuk kebutuhan domestik.

“Secara umum, kelompok dengan tingkat pendapatan dan konsumsi lebih tinggi berkontribusi lebih besar terhadap emisi GRK akibat pola konsumsi yang intensif, penggunaan kendaraan pribadi, dan konsumsi energi yang tinggi. Namun, dampak dari emisi tersebut justru lebih dirasakan oleh masyarakat dengan akses terbatas terhadap layanan kesehatan dan perlindungan sosial, dan lebih rentan terhadap risiko perubahan iklim,” jelas Irwan.

IESR merekomendasikan dua strategi untuk menurunkan emisi karbon di wilayah perkotaan, semi perkotaan dan perdesaan. Pertama, fokus pada mengikis emisi di sektor transportasi. Di wilayah perkotaan, pemerintah dapat mengembangkan infrastruktur transportasi ramah lingkungan melalui integrasi moda transportasi, perluasan jalur sepeda, dan penambahan stasiun pengisian kendaraan listrik umum. Sementara, untuk wilayah semi perkotaan, pemerintah perlu memperluas akses transportasi publik yang menghubungkan pusat kota dengan kawasan penyangga, serta membangun fasilitas parkir terintegrasi. Tidak hanya itu, di perdesaan, pemerintah perlu memberikan insentif untuk motor listrik. Upaya ini harus disertai dengan pembangunan fasilitas pengisian daya serta peningkatan akses transportasi umum untuk mendukung mobilitas berkelanjutan.

Kedua, pemerintah dapat memberikan insentif atau subsidi bagi rumah tangga yang beralih ke perangkat elektronik efisien seperti lampu LED dan inverter. Dukungan lainnya,  dapat berupa pemasangan panel surya melalui skema pembiayaan yang fleksibel. Di sektor makanan, kampanye edukasi dan kolaborasi dengan produsen perlu dilakukan untuk mendorong konsumsi makanan rendah emisi dan memastikan ketersediaan serta keterjangkauannya.

Share on :

Leave a comment