Surabaya Menjadi Kota Percontohan Bangunan Minim Emisi

Surabaya, 19 September 2025– Proyek Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI) bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) menetapkan Surabaya sebagai kota percontohan (pilot) untuk mempercepat penurunan emisi di sektor bangunan. Untuk  memulai rangkaian aktivitas peningkatan kemampuan pemangku kepentingan, SETI menyelenggarakan Seminar Efisiensi Energi dan Energi Terbarukan pada Bangunan (16/9/2025) di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. 

Wali Kota Surabaya yang diwakili oleh Irfan Wahyudraja, Kepala Bappedalitbang Kota Surabaya, menegaskan bahwa isu bangunan hijau bukan sekadar wacana, melainkan kebutuhan nyata di tengah urbanisasi dan meningkatnya konsumsi energi. Ia menyebut Surabaya sebagai salah satu kota paling inovatif di Indonesia, termasuk di isu keberlanjutan. Buktinya, Kota Surabaya meraih peringkat pertama dari 79 kota dalam penilaian Integrated Sustainability Indonesia Movement (I-SIM) for Cities 2024, dengan skor SDGs 76,38. Pemerintah kota juga telah mengembangkan ruang terbuka hijau, hutan kota (healing forest), kebun raya, kawasan mangrove, serta menerapkan lampu lalu lintas dan Penerangan Jalan Umum (PJU) LED, dan memasang PLTS di sekolah serta gedung pemerintah. 

“Surabaya sudah mulai menggunakan mobil listrik, meski masih menghadapi keterbatasan infrastruktur (SPKLU) terutama pada pengisian daya cepat (fast charging),” imbuh Irfan. 

Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer (CEO) Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan, IESR sebagai salah satu anggota konsorsium SETI sedang mengkaji nilai dasar konsumsi energi di bangunan gedung di Surabaya. Total ada 295 bangunan yang menjadi sampel. Studi ini diharapkan bisa memberikan data yang akurat bagi pengambil kebijakan untuk mendukung upaya konservasi energi, pemanfaatan energi terbarukan, dan memetakkan kebutuhan energi di masa depan serta melakukan perkiraan biaya yang akan dihabiskan di masa depan untuk operasional bangunan. 

“Sekitar 30 sampai 40 persen emisi rumah kaca global itu berasal dari bangunan baik dari  material konstruksi seperti semen, besi baja, keramik, maupun operasional bangunan terkait pemanasan, pendinginan, dan penggunaan listrik lainnya. Oleh karena itu, efisiensi energi melalui desain bangunan, teknologi hemat energi, pemanfaatan energi terbarukan, serta perilaku hemat energi sangat penting untuk memangkas emisi,” jelas Fabby. 

Fabby menambahkan, SETI juga menyiapkan pelatihan sertifikasi dan non-sertifikasi bagi tenaga terpilih untuk menjadi manajer energi dan asesor bangunan hijau. 

Sementara itu, Agus Muhammad Hatta, Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Kealumnian ITS, menekankan bahwa pola hidup manusia modern yang lebih banyak beraktivitas di dalam ruangan membuat pengelolaan bangunan ramah lingkungan menjadi semakin relevan dengan isu keberlanjutan. 

Hendra Iswahyudi, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM, mengutip data Global Energy Review yang menunjukkan konsumsi listrik di sektor bangunan melonjak hampir empat kali lipat dari 2003 ke 2024, dari kurang dari 200 TWh menjadi lebih dari 600 TWh. Peningkatan terbesar berasal dari kebutuhan pendinginan, termasuk untuk pusat data (data center) akibat perkembangan AI, serta kendaraan listrik. 

Ia menegaskan strategi efisiensi energi dan teknologi rendah karbon menjadi langkah utama menuju target net zero emission 2060 atau lebih cepat.  

“Untuk sektor bangunan, fokus utamanya adalah penerapan manajemen energi dan Minimum Energy Performance Standard (MEPS) bagi peralatan rumah tangga. Sudah ada delapan jenis peralatan dengan standar tersebut. Namun, diperlukan dukungan pemerintah kota untuk mengedukasi masyarakat agar memilih peralatan berlabel efisiensi energi bintang lima. Meski harganya lebih tinggi, dalam jangka panjang pengguna akan merasakan penghematan biaya listrik yang signifikan,” jelas Hendra. 

Hendra menambahkan, efisiensi energi merupakan kombinasi dari kebiasaan, perilaku, dan teknologi. Berdasarkan Permen ESDM 8/2025, setiap sektor industri, bangunan, dan transportasi wajib menunjuk manajer energi serta menetapkan auditor energi untuk melakukan audit dan pelaporan, yang hasilnya harus ditindaklanjuti dengan rekomendasi nyata. 

Untuk mendukung pembiayaan, pemerintah juga mendorong perbankan menyalurkan investasi pada program efisiensi energi melalui skema Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI). 

Seminar Efisiensi Energi dan Energi Terbarukan pada Bangunan diselenggarakan oleh Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI), sebuah proyek kerja sama antara Pemerintah Federal Jerman dan Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Proyek ini dilaksanakan oleh konsorsium yang terdiri dari GIZ, Institute for Essential Services Reform (IESR), World Resources Institute (WRI), dan Yayasan Indonesia Cerah. 

Share on :

Leave a comment