Jakarta, 24 September 2025 – Dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB (23/9/2025), Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia terhadap pemenuhan Persetujuan Paris, dan mencapai net zero emission (NZE) 2060. Prabowo bahkan menyampaikan optimisme untuk mencapai target NZE jauh lebih cepat. Beberapa strategi yang disampaikan meliputi reforestasi lebih dari 12 juta hektar dan penciptaan pekerjaan hijau. Selain itu, Presiden Prabowo mengatakan mulai tahun depan, kapasitas listrik tambahan sebagian besar dari energi terbarukan serta menjadikan Indonesia sebagai pusat solusi untuk pangan, energi, dan ketahanan air.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai optimisme Presiden Prabowo untuk memenuhi target Persetujuan Paris perlu tercermin pada dokumen komitmen iklim Indonesia, Second Nationally Determined Contribution (Second NDC). Saat ini, Pemerintah Indonesia tengah berada di tahap akhir penyusunan Second Nationally Determined Contribution (Second NDC), dokumen kebijakan iklim nasional untuk periode 2031–2035. Merujuk hasil konsultasi publik SNDC pada Agustus 2024, IESR menilai target SNDC tersebut belum cukup ambisius di mana target penurunan emisi hanya meningkat sedikit. Dibandingkan dengan Enhanced NDC (ENDC), target penurunan emisi tanpa syarat lebih rendah 8 persen, target bersyarat lebih rendah 9-17 persen di luar target sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Uses, FOLU). Artinya, masih ada kebutuhan penurunan emisi yang lebih besar untuk sejalan dengan jalur 1.5°C.
Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer (CEO), IESR menyatakan pemerintah perlu meningkatkan upaya penurunan emisi di sektor energi, alih-alih terlalu bergantung pada sektor kehutanan dan lahan. Untuk bisa selaras dengan target Persetujuan Paris, bauran energi terbarukan harus mencapai 40-45 persen di 2030 dan 55 persen di 2035. Walaupun baru-baru ini Presiden memerintahkan pengembangan 100 GW PLTS dan baterai di masa pemerintahan Presiden Prabowo, rencana implementasinya belum jelas. Selain itu PP No. 40/2025 tentang Kebijakan Energi Nasional yang baru diundangkan ternyata target bauran di sana masih belum selaras dengan peta jalan 1.5°C.
“Selain menambah kapasitas energi terbarukan, pemerintah perlu mulai merencanakan dan menerapkan pensiun PLTU batu bara dan merancang reformasi subsidi bahan bakar agar tercipta lapangan tanding yang setara bagi energi terbarukan. Kehadiran proyek 100 GW PLTS dan baterai juga akan membuka kesempatan bagi masyarakat untuk merasakan langsung listrik terbarukan yang terjangkau, andal, dan ramah lingkungan. Ambisi ini harus tercakup dalam strategi penurunan emisi di SNDC,” tegas Fabby.
IESR menilai SNDC seharusnya menjadi cetak biru dari setiap komitmen iklim Presiden Prabowo di forum internasional. Meski tidak disampaikan dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB, presiden pada berbagai forum internasional menargetkan net zero sebelum 2050 dengan strategi menghentikan PLTU batubara dalam kurun waktu 15 tahun, mencapai 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun, dan mewujudkan swasembada listrik. Perbedaan narasi ini menimbulkan kebingungan mengenai komitmen iklim Indonesia. Karena itu, komitmen ini sebaiknya dituangkan dalam kebijakan nasional dan atau SNDC, untuk memastikan pencapaiannya.
IESR merekomendasikan agar Presiden Prabowo untuk,pertama, Indonesia perlu menetapkan target penurunan emisi paling optimal yaitu menetapkan puncak emisi pada 2030 dan net-zero emission pada 2050 atau lebih cepat di semua sektor ekonomi. Kedua, rencana penurunan emisi dalam SNDC perlu ditinjau ulang agar lebih ambisius dan adil, sesuai jalur 1,5°C. Menurut Climate Action Tracker, target emisi Indonesia yang sejalan dengan jalur ini adalah pada level emisi 860 juta ton CO₂e pada 2030 dan 720 juta ton CO₂e pada 2035, tidak termasuk sektor kehutanan dan lahan (FOLU). Target ini perlu dicapai dengan dukungan finansial dan teknis dari komunitas internasional (conditional).
Ketiga, Indonesia harus menyampaikan NDC ke UNFCCC secara resmi paling lambat akhir September 2025, sehingga bisa menunjukkan komitmen iklimnya sebelum COP-30. Keempat, Indonesia perlu memperkuat diplomasi iklim, khususnya di forum G20 dan BRICS, dengan mendorong kerja sama mitigasi dan adaptasi yang ambisius serta mendukung agenda Presidensi Brazil di COP-30.
Delima Ramadhani, Koordinator Kebijakan Iklim IESR, menegaskan bahwa pemerintah perlu menggunakan hasil Global Stocktake (GST) pertama sebagai framework penyusunan aksi iklim dalam SNDC. Hal ini merupakan komponen penting dalam siklus peningkatan target iklim (ambition cycle) Persetujuan Paris. Pada COP28, GST pertama telah melahirkan target kunci secara kolektif yang dibutuhkan untuk mencapai target Paris.
IESR merekomendasikan beberapa hal untuk meningkatkan ambisi dan kredibilitas target iklim Indonesia. Pertama, mempensiunkan PLTU tua dan tidak efisien sebesar 9 GW hingga 2035, sesuai dengan Perpres 112/2022, Astacita No. 2 tentang ekonomi hijau, dan Permen ESDM 10/2025 tentang peta jalan transisi energi. Rencana ini harus dibarengi dengan pembangunan energi terbarukan hingga 100 GW. Kedua, mereformasi subsidi bahan bakar fosil untuk mendorong efisiensi energi dan mengurangi impor BBM.
Ketiga, mempercepat efisiensi dan konservasi energi melalui standardisasi, sertifikasi, serta kemudahan akses modal, sehingga industri dan bangunan bisa menekan emisi sekaligus menghemat biaya jangka panjang. Keempat, menindaklanjuti komitmen Global Methane Pledge untuk memangkas emisi metana global sebesar 30 persen pada 2030, yang telah disetujui Presiden Joko Widodo pada 2021.
Dalam pidatonya, Prabowo mengajak untuk mewariskan dunia yang lebih baik untuk generasi mendatang. Sejalan dengan itu, IESR mendorong pemerintah untuk tidak melewatkan kesempatan untuk perbaikan arah kebijakan, mengambil langkah strategis agar dapat memperkuat kredibilitas target iklim Indonesia dan menunjukkan kepemimpinannya dalam aksi iklim global, sekaligus memastikan transisi energi nasional berlangsung adil, inklusif, dan berkelanjutan.