Jakarta, 20 Oktober 2025 – Suhu panas dan anomali cuaca tengah melanda berbagai wilayah di Indonesia. Meski termasuk fenomena musiman, kenaikan suhu global akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer telah memperburuk intensitasnya. Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Pemerintah Indonesia untuk memiliki target penurunan emisi yang ambisius dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) 3.0 sebagai wujud komitmen kita berupaya mencegah bencana iklim global.
IESR juga mendesak pemerintah untuk menyampaikan NDC 3.0 kepada Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) sebelum Conference of the Parties (COP) 30 berlangsung pada November 2025. Hal ini sebagai bentuk solidaritas global dan kepemimpinan Indonesia di arena global dalam hal penanganan perubahan iklim, yang sudah dimulai di era Presiden SBY.
IESR menilai terdapat beberapa kemajuan dalam draf NDC 3.0 yang dikomunikasikan National Focal Point tahun lalu, di antaranya, peningkatan target penurunan emisi dibandingkan Enhanced NDC (ENDC), perubahan baseline ke tingkat referensi emisi tahun 2019, serta perluasan cakupan gas rumah kaca hidrofluorokarbon (HFC), serta mencakup sub sektor kelautan dan hulu migas. Selain itu, draf ini juga memasukkan target nir-sampah pada 2040 dan menambahkan prinsip transisi berkeadilan. Namun, target dan aksi iklim dalam draf tersebut belum selaras dengan Persetujuan Paris.
Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa mengungkapkan baik target bersyarat (conditional) dan tidak bersyarat (unconditional) dalam draf NDC 3.0 belum konsisten dengan pembatasan kenaikan temperatur di bawah 2°C sesuai tujuan Persetujuan Paris. Target tidak bersyarat masih memungkinkan peningkatan emisi hingga pertengahan abad ini, sementara target bersyarat baru menunjukkan upaya penurunan signifikan setelah 2035. Penundaan aksi iklim ke periode setelah 2035 akan menimbulkan risiko teknis dan biaya ekonomi yang mahal, tidak efisien, serta menghambat ambisi pemerintahan untuk mencapai target Indonesia Emas 2045 yang memerlukan pertumbuhan ekonomi konsisten di atas 6,5 persen per tahun.
“Meskipun pemerintah telah memperkirakan puncak emisi telah bergeser ke 2035, upaya untuk percepatan penurunan emisi dengan mencapai puncak emisi pada 2030 sebenarnya masih dapat dilakukan dengan melakukan pensiun PLTU batu bara, dan mempercepat pembangunan energi terbarukan, salah satunya mengimplementasikan pembangunan PLTS 100 GW dalam waktu lima tahun, dan penggantian 3,4 GW Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) tersebar yang dioperasikan PT. PLN,” jelas Fabby.
Berdasarkan analisis Climate Action Tracker (CAT), di mana IESR menjadi salah satu anggotanya, Indonesia perlu menetapkan penurunan GRK yang sejalan dengan jalur 1,5°C diperkirakan sebesar 850 juta ton setara karbon dioksida pada tahun 2030 dan turun menjadi 720 juta ton setara karbon dioksida pada tahun 2035, di luar kontribusi penyerapan karbon dari sektor lahan dan kehutanan (FOLU).
Untuk mencapai target penurunan emisi yang lebih ambisius, IESR merekomendasikan beberapa langkah strategis. Pertama, pemerintah perlu segera merealisasikan rencana pensiun dini bagi PLTU yang tua, tidak efisien, dan beremisi tinggi. Terdapat potensi sebesar 9 GW PLTU yang dapat dipensiunkan secara bertahap hingga 2030–2035, dan substitusi PLTD 3,5 GW yang dioperasikan PLN di daerah 3T, disertai pembangunan energi terbarukan hingga 100 GW sebagai penggantinya.
Kedua, melakukan reformasi subsidi bahan bakar fosil untuk mendorong penggunaan energi yang lebih efisien dan mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM.
Ketiga, percepatan efisiensi dan konservasi energi harus menjadi prioritas melalui standardisasi, sertifikasi, serta kemudahan akses pendanaan, agar sektor industri dan bangunan dapat menerapkan berbagai metode penghematan energi yang menekan emisi sekaligus menurunkan biaya jangka panjang.
Keempat, menindaklanjuti komitmen Global Methane Pledge dengan menurunkan emisi gas metana sebesar 30 persen pada 2030, sebagaimana disetujui Presiden Joko Widodo pada 2021.
Di tengah penantian penerbitan NDC 3.0, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional pada 10 Oktober 2025. Perpres ini menyelaraskan kebijakan karbon dengan pondasi aktivitas ekonomi dan pertumbuhan, menyederhanakan proses bisnis untuk perdagangan offset, dan membangun kerangka tata kelola yang tepat guna.
IESR menilai bahwa perlu adanya sistem perlindungan (safeguard) yang mampu memastikan integritas pasar karbon baik dari sisi pembeli (buyer) dan penjual (seller) selaras dengan praktik perlindungan lingkungan, meningkatkan kredibilitas di mata pelaku pasar karbon dan publik. Selain itu perlu pula mekanisme yang transparan untuk menghindari potensi kecurangan karbon (carbon fraud).