Jakarta, 5 Desember 2025 – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai dunia tengah bergerak menuju sistem ekonomi rendah emisi. Di 2025, investasi global pada energi terbarukan, jaringan listrik, dan baterai mencapai USD 2,2 triliun, dua kali lipat dibandingkan dengan investasi energi fosil. Selain itu, mulai Januari 2026, Uni Eropa akan memberlakukan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang mewajibkan seluruh industri yang mengekspor barang ke kawasan tersebut untuk melaporkan emisinya. IESR memperkirakan kebijakan serupa akan semakin banyak diterapkan karena negara-negara telah memiliki target pengurangan emisi menuju Net Zero Emission (NZE).
Untuk itu, Indonesia perlu segera mengurangi ketergantungan pada ekonomi berbasis batu bara. Dengan demikian, perekonomian nasional tidak terjebak pada sistem energi fosil, yang menyebabkan biaya transisi semakin mahal dan daya saing menurun akibat tingginya jejak karbon produk dan jasa. Kondisi ini juga akan menyulitkan Indonesia memenuhi tuntutan perusahaan-perusahaan multinasional yang kini mensyaratkan akses energi terbarukan untuk mendukung operasional mereka dan berinvestasi lebih besar di Indonesia.
Analisis IESR menunjukkan bahwa PLTU batu bara dalam jaringan PLN dengan kapasitas 85 GW menyebabkan kenaikan emisi sektor ketenagalistrikan rata-rata 8 persen per tahun selama lima tahun terakhir, dengan total emisi mencapai 352 juta ton setara karbon dioksida pada 2024. Sementara itu, PLTU captive untuk industri, berkapasitas 31,1 GW, menghasilkan 131 juta juta ton setara karbon dioksida pada 2024 dan menghasilkan 37 persen dari total emisi sektor listrik. Data ini disampaikan pada acara Brown to Green Conference: Unlocking Enabling Environments for Indonesia to Transition Beyond Coal (3/12) diselenggarakan IESR dan didukung British Embassy Jakarta (BEJ) melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI).
Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, menegaskan bahwa percepatan transisi energi melalui adopsi masif energi terbarukan harus dibarengi dengan pensiun dini PLTU batu bara. Kebijakan yang ada, seperti Perpres 112/2022, perlu diperkuat dengan larangan tegas terhadap pembangunan PLTU baru. Selain itu, seluruh PLTU wajib menurunkan emisi setelah beroperasi selama 10 tahun, dan seluruhnya harus berhenti beroperasi pada 2050.
“Kebijakan ini penting untuk menunjukkan komitmen pemerintah serta memberikan sinyal yang jelas bagi pelaku industri, baik batu bara maupun energi terbarukan, agar mereka dapat menyiapkan strategi transisi. Industri, pekerja, dan pemerintah daerah membutuhkan kepastian untuk mulai menyusun dan menjalankan rencana transisi,” ujar Deon.
Ia menambahkan, pelajaran dari Inggris menunjukkan bahwa transisi keluar dari ekonomi batubara membutuhkan perencanaan dini dan waktu untuk melakukan diversifikasi ekonomi selama puluhan tahun. Karena itu, Indonesia perlu bergerak sekarang agar siap ketika dunia sudah meninggalkan penggunaan batubara.
Sebagai langkah awal transisi, IESR menekankan perlunya mengoperasikan PLTU secara fleksibel, sembari menunggu pembangkit tersebut dipensiunkan lebih cepat. Pendekatan ini krusial untuk membuka ruang integrasi pembangkit energi terbarukan yang lebih besar dalam sistem kelistrikan nasional.
IESR juga merekomendasikan dalam jangka pendek Kementerian ESDM menyusun peta jalan fleksibilitas sistem tenaga listrik, baik di tingkat nasional maupun per pulau, disertai revisi kontrak Purchase Power Agreement (PPA) untuk PLTU sehingga memungkinkan fleksibilitas operasi. Tidak hanya itu, pengembangan proyek percontohan penyimpanan energi berbasis baterai (BESS) dan pumped hydro (PHES) juga perlu segera dimulai.
Pada jangka menengah, pemerintah perlu meningkatkan kemampuan sistem listrik mengelola variabilitas energi terbarukan dengan penerapan program demand response beserta insentif pendukungnya, percepatan pembangunan fasilitas penyimpanan energi, serta penguatan interkoneksi dan smart grid. Sementara itu, agar sistem ketenagalistrikan tetap andal maka dalam jangka panjang, perlu mengembangkan pasar ancillary services, membangun interkoneksi lintas pulau hingga lintas negara, serta evaluasi berkala terhadap roadmap fleksibilitas.
Sejalan dengan upaya meningkatkan fleksibilitas sistem, IESR juga mendorong langkah konkret untuk mengatasi dominasi PLTU captive di sektor industri, di antaranya pembukaan akses listrik hijau melalui mekanisme Penggunaan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT), penghapusan biaya yang menghambat pemasangan PLTS dan BESS, penyederhanaan perizinan, pemberian insentif, serta penyediaan pembiayaan terjangkau dan penjaminan risiko untuk proyek-proyek energi terbarukan.
Lebih lanjut, ntuk mempersiapkan peralihan menuju energi terbarukan sepenuhnya, dibutuhkan data kredibel tentang industri batu bara. Untuk itu, IESR meluncurkan Coalradar.id, sebuah platform data interaktif yang menyajikan informasi lengkap mengenai produksi batu bara, PLTU, aliran fiskal seperti PNBP, serta berbagai indikator regional hingga tingkat kabupaten/kota. Dilengkapi peta interaktif dan data yang diperbarui secara berkala, platform ini mendukung perencanaan dan dialog pembangunan daerah berbasis bukti.
Coalradar.id juga menyediakan pengukuran kerentanan provinsi terhadap penurunan industri batu bara berdasarkan tren 2010–2022. Fitur ini membantu mengidentifikasi daerah yang paling terdampak, membandingkan kekuatan dan kerentanan tiap wilayah, serta memberikan baseline untuk perencanaan transisi di masa depan.