Tahun 2019 yang lalu, pemerintah menerbitkan Perpres 55 tahun 2019 tentang Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa target capaian produksi mobil listrik adalah 2200 dan 2,1 juta motor listrik pada tahun 2025. Sebuah target yang ambisius untuk dicapai, mengingat saat ini ekosistem kendaraan listrik di Indonesia masih perlu banyak pengembangan.
Dalam paper “Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari pengalaman Amerika Serikat, Norwegia dan Cina” yang dikeluarkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ekosistem kendaraan listrik meliputi: (1) infrastruktur pengisian daya; (2) model dan pasokan kendaraan listrik; (3) kesadaran dan penerimaan publik; (4) rantai pasokan baterai dan komponen kendaraan listrik; (5) insentif dan kebijakan pendukung dari pemerintah. Studi ini secara khusus melihat strategi dan kebijakan yang dipakai tiga negara, Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina dalam membangun ekosistem kendaraan listriknya.
Dalam publikasi tersebut, dijelaskan bahwa kunci keberhasilan ketiga negara dalam meningkatkan penetrasi kendaraan listrik adalah dengan menyediakan ekosistem pendukung yang memadai. Mengingat target pemerintah untuk capaian kendaraan listrik yang cukup ambisius, perlu untuk segera membangun ekosistem yang memadai untuk kendaraan listrik.
Saat ini pengembangan kendaraan listrik di Indonesia menemui berbagai rintangan salah satu yang cukup besar adalah belum ada target dan peta jalan yang terintegrasi antar lembaga yang menaungi pengembangan kendaraan listrik Indonesia. Saat ini setidaknya ada 2 target berbeda yang dikeluarkan pemerintah tentang kendaraan listrik. Pertama, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) disebutkan bahwa target kendaraan listrik adalah sebanyak 2.200 mobil dan 2,1 juta motor pada tahun 2025. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) di sisi lain memiliki target yang lebih ambisius lagi untuk kendaraan listrik ini yaitu, 20% dari total produksi kendaraan (400.000 mobil dan 1.760.000 motor) di tahun 2025 hingga 30% (1.200.000 mobil dan 3.225.000 motor) pada tahun 2035.
Alief Wikarta, dosen dan peneliti di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, menyatakan bahwa pembangunan ekosistem kendaraan listrik tidak bisa dilakukan dengan skema business as usual. Perlu peran investor swasta untuk ikut serta menyediakan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.
Salah satu kendala kendaraan listrik saat ini terkait harganya yang masih lebih mahal daripada kendaraan konvensional. Komponen yang membuat mahal kendaraan listrik adalah baterai. “40-50% harga EV dialokasikan untuk harga baterai. Jika ada skema bisnis yang bisa mengeluarkan biaya baterai dari harga yang harus ditanggung konsumen, harga kendaraan listrik akan turun drastis,” jelas Alief.
Berbagai skema untuk menekan harga kendaraan listrik diperkenalkan salah satunya yang diperkenalkan oleh kementerian ESDM yaitu skema battery swap. Dalam skema ini biaya baterai dapat ditekan, dengan syarat ada investor yang mau berinvestasi untuk membuka swap station.
Skema apapun nanti yang diambil sebagai solusi, pemerintah perlu mencari investor yang siap untuk lari marathon dalam membangun ekosistem battery swap ini yaitu menanggung biaya baterai dan membuat swap stationnya. Komitmen jangka panjang dari investor ini penting karena yang akan dibangun adalah ekosistem pendukung supaya industri kendaraan listrik dalam negeri dapat bersaing di kancah global.
“Tentu kita berharap industri kita tidak hanya dipasarkan untuk segmen pasar dalam negeri, namun juga dapat diterima pasar global. Maka kita harus memastikan kualitas kendaraan listrik yang kita buat itu baik dan memiliki ekosistem pendukung yang memadai,”
Integrasi Bisnis Energi Bersih
Komitmen jangka panjang dari investor ini termasuk juga kemampuan penelitian dan pengembangan (research & development) dari investor tersebut. Kemampuan penelitian dan pengembangan ini penting karena yang ingin diwujudkan adalah lahirnya ekosistem secara keseluruhan bukan sekedar capaian produksi yang meningkat.
“Saya coba berpikir searah dengan agenda pemerintah saat ini yang sedang memberikan perhatian pada baterai. Kita perlu lebih menyuarakan lagi tentang second-life battery. Baterai-baterai yang kapasitasnya sudah di kisaran 80% mungkin sudah tidak optimal lagi untuk digunakan di mobil/motor listrik, namun baterai tersebut masih dapat digunakan untuk bidang lain misalnya PLTS atap atau turbin angin.”
Artinya apa? Kita dapat mengintegrasikan kendaraan listrik dan energi terbarukan menjadi satu ekosistem yang utuh, yang lebih bersih dan secara ekonomi menguntungkan. Kesempatan untuk menggunakan kembali (reuse) ini tidak dapat dilakukan pada kendaraan konvensional.
“Di kendaraan konvensional kan hasil pembakaran BBM berupa polusi. Kita sudah nggak bisa apa-apakan lagi. Berbeda dengan kendaraan listrik yang baterainya dapat digunakan lagi untuk keperluan lain,” jelas Alief.
Sampai saat ini kebijakan yang ada dan cara pemerintah melihat kendaraan listrik ini sebagai komponen yang terpisah-pisah, juga aspek circular ekonomi belum banyak dipertimbangkan.
“Sampai saat ini hanya dikatakan bahwa jika kita banyak memakai kendaraan listrik, maka impor BBM kita akan berkurang. Ya itu memang benar, tapi ada hal yang jauh lebih besar lagi yang bisa kita capai jika kita mengembangkan ekosistem kendaraan listrik ini dengan serius,” pungkas Alief.
Dengarkan Perbincangan Alief Wikarta dan IESR di IESR Bicara Energi: