18 Maret 2021-Indonesia memiliki potensi teknis tenaga surya yang jauh lebih besar dibandingkan 207 GW yang merupakan data resmi yang dirilis oleh pemerintah Indonesia melalui kementerian ESDM tahun 2017. Hal ini dibuktikan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Global Environmental Institute (GEI) dalam peluncuran kajian “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential” (18/3).
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam sambutannya menjelaskan bahwa berdasarkan potensi teknis dan kesesuaian lahan, tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3000-20.000 GWp.
“Bila potensi teknis yang paling sedikit saja, 3 GW, dimanfaatkan secara efektif, maka dapat memenuhi 7 kali dari konsumsi listrik dari tahun 2018,” ujarnya.
IESR mengukur potensi teknis ini dengan menggunakan data geospasial sehingga lahan yang cocok untuk PLTS dapat diidentifikasi.
Fabby menambahkan bahwa kajian ini merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaharui sumber data energi terbarukan sehingga dapat memberikan sinyal yang lebih baik untuk mengembangkan energi surya ke depan.
“Tentu saja, hal tersebut akan meningkatkan pula kepercayaan diri berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan energi surya bahwa Indonesia dapat mengandalkan tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan energi bersih. Selain itu, kajian ini mendukung upaya PLN untuk mengembangkan tenaga surya, dan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan Rencana Umum Energi Daerah,” tegasnya.
Dalam tataran global, data ini dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk memperkuat komitmennya dalam aksi iklim secara global, seperti yang diungkapkan oleh Mme. Jiaman Jin, Direktur Eksekutif GEI. GEI, secara khusus, mempunyai program untuk membantu negara berkembang dalam mengembangkan energi terbarukan dengan memberikan penguatan kapasitas, bantuan teknis dan finansial.
“Cina dan negara-negara di Asia Tenggara telah berkolaborasi dalam program aksi iklim global, termasuk dengan Indonesia. Bila ditilik dari komitmen Persetujuan Paris, hingga kini ada 29 negara yang sudah menargetkan netral karbon dengan mengandalkan energi terbarukan. Cara lain untuk netral karbon adalah dengan penyimpanan karbon (carbon storage) dan perdagangan karbon (carbon credit). Dua hal ini pula yang Cina sedang kembangkan saat ini,” urainya.
Agar tercapai komitmennya dalam Persetujuan Paris, Indonesia sedang berupaya untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan di 2025. Namun hingga akhir tahun 2020, hanya terealisasi sebesar 11,5%. Sementara dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sendiri, pemerintah mempunyai target untuk pengembangan tenaga surya sebesar 6,5 GW hingga 2025.
“Namun target tersebut sedang dalam peninjauan, dan ternyata, surya (fotovoltaik) ditargetkan untuk mewakili sepertiga (17.6 GW) dari total pembangkit listrik bersih sebesar 48 GW pada tahun 2035 dalam grand strategy energi nasional yang dipersiapkan oleh Kementerian ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN). Sekitar 60 atau 76 persen diharapkan berasal dari tenaga surya skala utilitas termasuk PLTS terapung,” ulas Daniel Kurniawan, Penulis Utama Laporan Kajian “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential”.
Daniel menjelaskan dari 23 jenis tutupan lahan yang ada, tim peneliti IESR memilih jenis lahan yang sesuai untuk pembangunan PLTS. Terseleksi hanya 9 jenis tutupan lahan yang digunakan untuk pemetaan potensi teknis PLTS.
“Hutan tanaman (man-made forest) dan lahan pertanian kering dan kering campur belukar juga termasuk dari jenis lahan yang dihitung, sebabnya ketiga lahan tersebut ditemukan dapat diakuisisi dalam pengembangan proyek PLTS 3 x 7 MWp di Lombok dan proyek PLTS 21 MWp di Likupang, Sulawesi Utara,” jelasnya.
Menggunakan skenario paling optimistis, 9 jenis tutupan lahan seluas 1,9 juta km2, hasil yang diperoleh dari penghitungan potensi teknis PLTS sangat melimpah hingga mencapai 19.8 TWp, yang berarti 95 kali lebih tinggi dari pada estimasi pemerintah.
“Potensi teknis terbesar berada di Kalimantan, Sumatera, Jawa Barat dan Jawa Timur,” jabar Daniel.
Menyinggung tentang Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) (2021-2030) yang sedang disusun oleh PLN, Daniel menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada informasi pasti mengenai alokasi target kapasitas untuk untuk tenaga surya dari total 3,7 GW rencana kapasitas gabungan untuk tenaga surya, bayu, dan sampah dalam RUPTL mendatang.
Data Potensi Teknis Akan Dorong Optimalisasi Pengembangan PLTS
Data kajian potensi teknis teranyar yang diluncurkan IESR ini juga dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pengembangan energi terbarukan. Daniel mencontohkan Bali dan Sumba sebagai dua pulau di Indonesia yang sudah mempunyai modal yang cukup ditinjau dari konsistensi pemerintah daerah dalam mendorong pemanfaatan PLTS melalui kebijakan yang mereka terbitkan dan juga potensi teknis PLTS-nya.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Chrisnawan Anditya dalam kesempatan yang sama, mengatakan bahwa pihaknya akan memperbaharui data potensi teknis tenaga surya di Indonesia.
“Selain itu, kami juga berusaha untuk mengidentifikasi potensi matahari sesuai dengan jalur transmisi. Semakin baik jalur transmisi maka pengembangan PLTS akan semakin besar. Namun bila lokasi di luar jalur transmisi maka kita akan mengembangkan melalui off-grid,” tutur Chrisnawan.
Senada, Wakil Presiden Eksekutif Divisi Energi Baru dan Terbarukan PLN, Cita Dewi mengungkapkan bahwa PLN mempunyai komitmen untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan. Hanya saja, akibat pandemik COVID-19, PLN masih berhadapan dengan kondisi permintaan energi listrik yang rendah.
“Krisis permintaan ini kemungkinan akan berlangsung 2 hingga 3 tahun ke depan. Namun pendekatan yang kami lakukan untuk mengejar target energi terbarukan diantaranya mempercepat penyelesaian pembangkit listrik surya, air, geothermal, dan mempertimbangkan untuk mengkonversi 5000 pembangkit listrik tenaga diesel dengan surya. Potensinya sebesar 2 GW,” jelas Cita.
Dari sisi pengembang, Andhika Prastawa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), menuturkan bahwa hasil kajian tersebut bermanfaat bagi pengembang untuk menggali lebih banyak peluang untuk berinvestasi PLTS di Indonesia. Hanya saja, menurutnya, hal ini tetap harus selaras dengan keberpihakan pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang ramah bagi para pengembang PLTS.
“Keekonomian PLTS sudah kompetitif, namun hingga kini peraturan net metering masih di 6.5, sebaiknya diubah menjadi 1, sehingga memberikan dampak psikologis yang baik bagi pasar PLTS,” imbuh Andhika.
Sependapat dengan Andhika, Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional mengharapkan bahwa akan ada pembaharuan dalam kebijakan net metering. Ia juga menegaskan bahwa dari segi instalasi, PLTS merupakan energi terbarukan yang paling mudah dikembangkan karena tersedia di hampir semua tempat di Indonesia, sehingga mudah dipanen dalam bentuk PLTS, serta mempunyai beragam skala, sehingga cepat dibangun.
Wirawan, Plt. Presiden Direktur, PT PJB Investasi mengapresiasi hasil kajian IESR dan menawarkan untuk menghitung pula potensi teknis dari sekitar 192 bendungan dan waduk yang tersebar di Indonesia.
“Daerah tangkapan air di Indonesia kurang lebih sekitar 86 ribu hektar. Ini merupakan potensi yang besar pula untuk pengembangan PLTS apung,”usulnya.