Transisi energi telah menjadi kebutuhan global sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Pembakaran energi fosil terbukti berkontribusi besar pada kenaikan emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan naiknya rata-rata suhu global. Bagi negara-negara yang sistem energinya banyak ditopang oleh energi fosil, hal ini memerlukan perhatian khusus, sebab mereka juga harus mengambil langkah yang tepat di tengah pilihan-pilihan yang tersedia untuk melakukan dekarbonisasi sistem energi yang berarti berujung pada pengakhiran masa operasional PLTU batubara.
Raditya Wiranegara, peneliti senior Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam webinar bertajuk “Financing Indonesia’s Coal Phase-Out: A Just and Accelerated Retirement Pathway to Net-Zero” Sabtu, 19 November 2022, menjelaskan dua skenario yang dapat diambil untuk PLTU batubara. Kedua skenario ini bertujuan untuk memberikan ruang yang lebih lega pada energi terbarukan supaya dapat masuk pada jaringan PLN.
Pilihan yang pertama adalah dengan mempensiunkan PLTU-PLTU yang sudah tua dan tidak lagi efektif dan efisien secara operasional. Untuk mengkaji pilihan ini, IESR bekerjasama dengan Center of Global Sustainability, University of Maryland, Amerika Serikat.
“Hasil penelitian kami menunjukkan, terdapat 9,2 GW PLTU batubara yang dapat segera dipensiunkan mulai dari 2022-2030,” kata Raditya.
Dengan melakukan pensiun pada seluruh pembangkit batubara, dan membangun pembangkit berbasis energi terbarukan, Indonesia dapat mencapai status net zero emission pada tahun 2050 sesuai dengan Persetujuan Paris.
Selain itu terdapat berbagai dampak sosial-ekonomi serta lingkungan yang dapat dihindari. Hingga tahun 2050 diperkirakan akan ada 168.000 kematian yang dapat dihindari dengan skenario pensiun seluruh PLTU.
Pilihan kedua yaitu dengan mengoperasikan PLTU secara fleksibel. Operasi PLTU fleksibel adalah pengubahan pola operasi PLTU dari yang awalnya beroperasi 24 jam dalam sehari untuk menopang beban dasar sistem ketenagalistrikan (baseload), menjadi hanya menopang beban puncak pada jam-jam tertentu saja (peak load).
“Pola operasi fleksibel ini memungkinkan penambahan pasokan energi terbarukan, terutama sumber energi yang bergantung pada kondisi tertentu seperti surya dan angin,” jelas Raditya.
Ditambahkan oleh Raditya, pola operasi fleksibel ini cocok untuk PLTU yang masih berusia muda seperti yang banyak terdapat di Indonesia. Dalam laporan studi “Flexible Thermal Power Plant: An Analysis of Operating Coal-fired Power Plant Flexibly to Enable the High-Level Variable Renewables in Indonesia’s Power System” dijelaskan bahwa secara teknis PLTU-PLTU yang berada di sistem Sumatra, Jawa-Bali, dan Sulawesi dapat dioperasikan secara fleksibel. Akan terdapat perbedaan level efisiensi, besaran emisi, serta biaya investasi yang dibutuhkan dari satu unit PLTU ke PLTU yang lain tergantung pada usia PLTU. PLTU yang berusia muda relatif membutuhkan biaya retrofit yang lebih rendah karena infrastrukturnya masih relatif kuat untuk mendukung pola operasional PLTU fleksibel.
Untuk itu, diperlukan perencanaan matang untuk mengoperasikan PLTU secara fleksibel maupun melakukan pensiun PLTU dan menambah kapasitas energi terbarukan dalam jaringan. Pemerintah melalui PLN juga dapat memasukkan pola operasi PLTU fleksibel dalam dokumen perencanaan penyediaan tenaga listrik untuk memberikan kepastian regulasi pada investor.
Paparan tentang operasi PLTU fleksibel dapat disaksikan melalui kanal berikut ini.