Jakarta, 12 Januari 2023 – Transisi energi, secara definisi, adalah upaya perubahan suplai energi dari yang sebelumnya bergantung pada batubara ke energi yang lebih bersih. Upaya inilah yang terus didorong pemerintah Indonesia untuk menuju negara yang mandiri dan tahan energi. Namun, sebelum meraih hal tersebut, masih banyak tugas yang harus dipenuhi pemerintah Indonesia.
Handriyanti Diah Puspitarini, Manajer Riset Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara Ruang Publik KBR: Transisi Energi di Indonesia, Sampai di Mana? yang diselenggarakan oleh Berita KBR (10/01) menjelaskan bahwa kajian IESR mengenai transisi energi memantau kesiapan publik lewat survei, dan kesiapan pemerintah lewat riset.
“Kesiapan publik (bottom up) sudah mendukung pengadaan energi yang lebih bersih, namun berdasarkan kerangka kesiapan transisi yang dikaji dalam Indonesia Energy Transition Outlook 2023, pemerintah (top down) masih punya banyak hal yang harus ditingkatkan, terutama dari segi komitmen dan regulasi,” ungkap Handriyanti.
Sementara dalam kesempatan yang sama, Raden Raditya Yudha Wiranegara, Peneliti Senior IESR menyatakan bahwa dari sisi bahan bakar fosil, pemerintah masih belum memperhatikan emisi karbon yang dihasilkan oleh industri pertambangan, minyak, dan gas.
“Pemerintah masih memantau emisi karbon dioksida (CO2) saja, dibandingkan metana yang memerangkap panas 29-30x lebih besar. Padahal, apabila terjadi pengurangan akan gas metana sebesar 30% saja, akan membantu mengurangi kenaikan suhu sebesar 0,5°C,” tegas Raditya.
Handriyanti dan Raditya kemudian membahas mengenai tren adopsi kendaraan listrik yang meningkat. Harganya yang masih tinggi kemudian memunculkan usulan pemerintah untuk subsidi kendaraan ini, yang diharapkan akan mendorong permintaan publik dan menurunkan harga kendaraan listrik pada akhirnya.
Namun menurut mereka, terdapat beberapa titik resistensi masyarakat mengenai transisi energi dan penggunaan kendaraan listrik ini. Pertama adalah paradigma bahwa bahan bakar fosil lebih hemat dibandingkan energi terbarukan. Padahal, harga tersebut merupakan hasil dari intervensi pemerintah berupa price capping, subsidi, dan kompensasi. Dampaknya, ketika harga minyak dunia tinggi, tentu ini akan membebani APBN. Kedua, adanya range anxiety yang artinya ketakutan akan kurangnya daya kendaraan listrik dalam melakukan perjalanan jauh.
“Pemerintah kemudian harus menyiasati ini dengan memperbanyak stasiun pengisian daya di titik-titik perjalanan jauh seperti di pemberhentian tol,” ungkap Raditya.
Handriyanti dan Raditya membagi pembahasan kemajuan dan tugas pemerintah dalam soal transisi energi dari sisi tekno ekonomi, regulasi, dan pendanaan. Mereka menyampaikan bahwa harga teknologi energi terbarukan semakin terjangkau tiap tahunnya, misalnya seperti harga modul surya 70% lebih murah dibandingkan 7-10 tahun lalu dan diprediksi dapat lebih menurun lagi. Regulasi yang baik seperti Perpres 112/2021 yang menetapkan menteri untuk membuat peta jalan pemensiunan PLTU perlu didukung. Namun, regulasi ini masih harus dipantau pelaksanaannya dan diperbaiki, terutama mengingat pendanaan batubara dan fosil 10 kali lebih besar dibandingkan pendanaan energi terbarukan.
“Keberadaan forum-forum internasional seperti G20 telah mendorong Indonesia untuk membuat komitmen menuju transisi energi dan menarik pembiayaan untuk upaya terkait. Diharapkan, pembiayaan ini bisa membantu Indonesia mencapai target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025,” pungkas keduanya.