BERBICARA tentang listrik di Tanah Air, maka dihadapkan pada fakta layanan listrik yang masih biarpet (hidup-mati akibat pemadaman bergilir) kepada masyarakat.
Timbul penilaian dari sejumlah kalangan, kondisi tersebut terjadi karena kesalahan perencanaan dan kurangnya antisipasi para pengambil kebijakan terkait kelistrikan.
Laju ekonomi dan jumlah penduduk yang terus meningkat, membuat kebutuhan energi listrik meningkat pula, bahkan sangat pesat. Bila masalah ini tidak diantisipasi dengan tepat, maka terjadilah kekurangan pasokan.
Karena itu, upaya yang mendesak dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah jangan sampai kekurangan pasokan, di tengah-tengah pemerintah terus mengurangi subsidi ke masyarakat.
Subsidi yang ditanggung negara di bidang kelistrikan terus membengkak, maka perlu pengaturan agar subsidi jangan makin membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurut versi PTPerusahaan Listrik Negara (PLN) Persero, selisih antara harga produksi dan harga jual energi listrik adalah penyebab utama.
Terlebih, sebagian besar energi listrik dibangkitkan dengan bahan bakar minyak (BBM) yang mahal serta tidak efisiennya sistem pembangkit, transmisi, dan distribusi. Hal itu ditambah dengan fakta problem kondisi geografis yang terdiri atas banyak pulau.
Koreksi Internal
Dalam upaya untuk mengatasi masalah listrik, pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) berencana membangun pembangkit listrik baru di Indonesia dengan kapasitas 35.000 megawatt (MW) dalam lima tahun ke depan.
Namun rencana tersebut diwarnai koreksi justru dari pihak internal pemerintahan. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, pada 7 September 2015 lalu mengatakan bahwa target program pembangkit listrik 35.000 MW akan turun menjadi 16.000 MW untuk lima tahun ke depan.
Rizal mengaku dirinya mendapatkan hitung-hitungan tentang proyek pembangunan pembangkit listrik, usai rapat dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ferry Mursyidan Baldan dan Direktur Utama PT PLN (Persero), Sofyan Basyir.
Menurut Rizal, jika dibangun semuanya pun, dalam lima tahun dan tercapai sampai 35.000 MW, PLN memang akan mengalami kapasitas lebih. Namun kapasitas lebih itu nantinya, menurut dia, justru akan membebani PLN karena sesuai perjanjian dengan pihak swasta, maka PLN harus membayar kelebihan beban tersebut.
Di sisi lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said pada 9 September 2015 bersama Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno menggelar pertemuan dengan para pengusaha energi untuk meyakinkan bahwa pemerintah akan meneruskan proyek 35.000 MW tersebut.
Dari rencana besar untuk penyelamatan listrik nasional tersebut, PLN akan memasok sekitar 10.000 MW untuk proyek tersebut, dan sisanya, 25.000 MW akan dikerjakan oleh penyedia listrik independen atau pihak swasta. Dari adanya dua pendapat di internal pemerintahan tersebut memunculkan tanda tanya publik.
Sebenarnya, berapakah kebutuhan listrik nasional? Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, krisis listrik di sejumlah wilayah seperti Kalimantan dan Sulawesi, karena pembangunan pembangkit baru tertinggal jauh dibandingkan dengan kebutuhan listrik di sana. Selain itu karena terbatasnya cadangan daya, mengakibatkan listrik langsung padam jika ada pembangkit yang mengalami gangguan.
Dengan membangun pembangkit listrik dengan kapasitas sekitar 16 ribu MW dalam lima tahun sebagaimana disarankan Rizal Ramli, maka berarti ada tambahan pasokan sekitar 3.200 MW per tahun.
Angka tersebut jauh dibandingkan dengan data Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2015- 2024 PLN, yang dalam setiap tahun kebutuhan listrik tumbuh 6.000-7.000 MW per tahun. Maka Fabby menilai rencana proyek listrik 35 ribu MW sudah tepat.
Penambahan Gardu Induk
Sementara itu, di Jawa Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), PT PLN (Persero) Distribusi Jateng dan DIY menyatakan butuh penambahan gardu induk untuk memperbaiki distribusi listrik di Jateng yang memiliki beban puncak mencapai 3.200 MW.
Selain itu, permintaan industri terhadap listrik terus bertambah. Deputi Manajer Komunikasi dan Bina Lingkungan PLN Distribusi Jateng dan DIY, Supriyono menyatakan, selain sistem transmisi gardu induk, PLN butuh pasokan listrik dari pembangkit baru.
”Untuk itu, realisasi pembangunan PLTU Batang berkapasitas 2×1.000 MW akan sangat menopang kebutuhan listrik di Jateng,” paparnya. PLTU Batang, lanjut dia, diharapkan segera terealisasi untuk mengurangi risiko pemadaman bergilir akibat krisis pasokan listrik.
Sebab selama ini Jateng tergantung pada pasokan listrik dari jaringan interkoneksi Jawa-Bali yang disuplai dari pembangkit listrik raksasa di Jawa Barat (Jabar) dan Jawa Timur (Jatim).
Pembangunan PLTU itu akan memakan waktu sekitar 3-4 tahun dan baru akan selesai 2018-2019. Padahal sesuai prediksi kebutuhan listrik di Jateng akan terjadi lonjakan pada 2017. Bukan tidak mungkin, krisis listrik mengancam pada 2017 mendatang.
Manager Transmisi Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban (P3B) PT PLN Distribusi Jawa Bali, Sumaryadi menambahkan, pembangunan pembangkit tenaga listrik mendesak dilakukan seiring semakin meningkatnya beban puncak akibat masuknya beberapa industri menuju Jateng dan DIY.
Beban puncak Jateng- DIY per tahun terus meningkat. Tercatat, beban puncak pada 2014 mencapai 3.503 MW terus meningkat pada 2015 (3.764 MW) dan saat ini mencapai 3.884 MW. Beban puncak semakin meningkat sampai sekitar 3,84% per tahun.
Sementara itu, pasokan subsistem di Jateng-DIY total 5.249 MW, berasal dari Tanjungjati I sebesar 1.047 MW, Ungaran 1718 MW, Pedan 930 MW, dan Tegal 158 MW. Untuk memenuhi kebutuhan listrik, disiapkan penambahan transmisi utama di Jateng.
Seperti rencana pembangunan PLTGU Blok 3 di Tambaklorok dengan kapasitas 800 MW, ditargetkan pada 2020 bisa dioperasikan. Kemudian pembangunan PLTU Batang dengan kapasitas 2×1.000 MW. Selanjutnya, pembangunan PLTU Tanjungjati berkapasitas 2×600 MW.
GM PT PLN (Persero) Distribusi Jateng-DIY, Yugo Riyatmo mengungkapkan, membangun transmisi listrik membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Pembangunan transmisi terkendala pembebasan lahan dan ganti rugi atau ruang milik jalan terbaru yang sedikit lambat. (Hartono Harimurti, Fista Novianti, Trisno Suhito-69).
Sumber: suaramerdeka.com.