Pertanyaan tentang gas sebagai bahan bakar transisi: pelajaran dari krisis energi saat ini
Invasi Rusia ke Ukraina telah menimbulkan gejolak sosial-politik global. Langkah Rusia untuk mempolitisasi pasokan gas alam mereka ke Uni Eropa menyebabkan gangguan pada pasar energi global, yang pada gilirannya berdampak pada perdagangan komoditas energi global. Harga komoditas energi telah naik ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Harga minyak mentah Brent telah melonjak pada Maret 2022 mendekati level tertinggi sepanjang masa di $147 per barel setelah invasi Rusia ke Ukraina, mencapai tonggak di atas US$100 per barel untuk pertama kalinya sejak 2014. Komoditas lainnya, seperti batu bara dan cair gas alam juga mengalami kenaikan harga.
Kenaikan harga energi juga telah menciptakan dampak trickle-down terhadap ekonomi global, menjerumuskan masyarakat yang sudah rentan lebih jauh ke dalam kemiskinan dan menghentikan pertumbuhan dan pemulihan pascapandemi. Rumah tangga berpenghasilan rendah sekarang harus membayar lebih dari yang biasanya mereka mampu untuk menjaga listrik dan gas mereka. Apalagi, kondisi ini juga diperparah dengan melonjaknya harga pangan. Untuk mengurangi dampak kenaikan harga energi, banyak pemerintah menempatkan subsidi energi bagi konsumen dan penyedia energi. Kebijakan subsidi energi ini bertujuan agar harga energi tetap terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Menjaga harga energi di bawah rata-rata pasar akan memungkinkan rumah tangga berpenghasilan rendah untuk membeli energi, terutama dalam menghadapi krisis energi saat ini dan untuk memenuhi permintaan energi yang terus meningkat. Namun, keputusan untuk meningkatkan subsidi energi untuk bahan bakar fosil ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana pemerintah mempertahankan komitmen mereka terhadap Perjanjian Paris, sambil mengamankan pasokan energi yang stabil dan terjangkau bagi masyarakat.
Pemerintah Indonesia memasukkan Transisi Energi Berkelanjutan sebagai salah satu pilar tematik di G20 tahun ini. Secara khusus, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai kementerian terkemuka yang membawahi tema transisi energi, telah mempromosikan peran gas bumi dalam skema transisi energi, seperti yang ditunjukkan pada Webinar G20 Side Event Series: Meningkatkan Peran Gas dalam Transisi Energi. Gas bumi dianggap sebagai jawaban atas tantangan keseimbangan tujuan ekonomi dengan target penurunan emisi. Namun, publikasi terbaru oleh Climate Analytics menunjukkan bahwa gas harus dihapus secara bertahap 5-10 tahun setelah batu bara agar tetap berada dalam jalur model 1,5C, daripada dipilih sebagai ‘bahan bakar penghubung’ untuk energi terbarukan.
Berkaca pada krisis energi baru-baru ini yang disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina, Indonesia dan negara-negara lain mungkin perlu mempertimbangkan kembali strategi mereka dalam memilih gas sebagai bahan bakar transisi. Dalam kasus Uni Eropa, ketergantungan pada impor gas fosil telah menciptakan kondisi kerapuhan energi, sementara jalan pintas yang diambil untuk memperbaiki situasi ini dapat membuat negara semakin menjauh dari target pengurangan emisi mereka, seperti dengan memperluas kontrak impor minyak dan gas atau mensubsidi tagihan energi. Di sisi lain, jalan pintas tersebut dapat menjamin pasokan energi dengan harga terjangkau yang diperlukan untuk menjaga perekonomian tetap berjalan tanpa membebani rumah tangga berpenghasilan rendah. Dilema ini memberikan tugas berat kepada Presiden Indonesia G20 untuk melakukan tindakan yang memenuhi elemen ekonomi dan ketahanan energi dalam krisis energi saat ini.
Untuk membongkar dilema gas sebagai pilihan energi sementara dan untuk mengeksplorasi strategi dalam mitigasi krisis, Kelompok Kerja Lingkungan, Keadilan Iklim, dan Transisi Energi C20 bersama dengan program Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) untuk Asia Tenggara (SEA). ingin mengadakan diskusi dengan pakar energi dari negara-negara Uni Eropa (UE) dan dari Indonesia. Dalam diskusi ini kami ingin memfasilitasi berbagi tentang implikasi perang Rusia-Ukraina terhadap kemajuan transisi energi global dan apakah masih masuk akal untuk menganggap gas sebagai bahan bakar transisi.
Tentang CASE dan C20
Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia (SEA) adalah program regional yang berjalan di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Tujuan CASE adalah untuk mengubah arah sektor energi di Asia Tenggara untuk secara substansial beralih ke transisi energi berbasis bukti, yang bertujuan untuk meningkatkan ambisi politik untuk mematuhi Perjanjian Paris. Bersama C20 Indonesia – khususnya Environment, Climate Justice, and Energy Transition Working Group (ECE WG), sebagai salah satu mekanisme pelibatan pemangku kepentingan di G20 yang mewakili suara masyarakat sipil, diharapkan diskusi ini dapat menjadi platform untuk mendapatkan perspektif baru tentang percepatan transisi energi yang adil.
Speakers
-
Mia Moisio - New Climate Institute
-
Dr. Hardiv Situmeang - Chairman of the Indonesian National Committee–World Energy Council
-
Abra P.G Talattov - Head of Center of Food; Energy; and Sustainable Development INDEF
-
Representative from C20 ECE WG
-
Dewan Energi Nasional