Jakarta, 5 Oktober 2024 – Hasil Pertemuan Menteri Energi ASEAN (ASEAN Ministers on Energy Meeting, AMEM) ke-42 di Laos pada Kamis (26/9/2024) mencerminkan sikap setengah hati AMEM melakukan transisi energi di Asia Tenggara, yang mendorong pengembangan energi terbarukan namun tetap mempertahankan peran batubara dan gas dalam transisi energi melalui penggunaan teknologi penyimpanan dan penangkapan emisi (CCS/CCUS).
Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan demi memitigasi naiknya suhu bumi akibat emisi dari pembakaran energi fosil, ASEAN seharusnya fokus pada upaya mempercepat transisi energi ke energi terbarukan di kawasan. Langkah pengembangan energi terbarukan akan berpengaruh signifikan terhadap pencapaian target iklim global, dibandingkan mengandalkan teknologi batubara bersih (Clean Coal Technology, CCT).
AMEM, dalam laporannya, juga mendukung perdagangan listrik lintas batas melalui ASEAN Power Grid (APG) untuk memperkuat keamanan energi dan ketahanan kawasan. IESR menyambut positif hal tersebut dengan catatan sumber listrik yang digunakan harus berasal dari energi terbarukan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan upaya memperkuat konektivitas energi di kawasan perlu diimbangi dengan komitmen yang jelas dan penetapan target bauran energi terbarukan yang signifikan untuk dekarbonisasi sektor kelistrikan. Hingga 2022, kontribusi energi terbarukan terhadap total pasokan energi primer (total primary energy supply, TPES) ASEAN baru 15,6 persen. Peningkatannya hanya 0,2 persen dari 2021. Data ini menunjukkan bahwa negara anggota ASEAN harus bekerja lebih keras untuk mempercepat pertumbuhan energi terbarukan.
“ASEAN seharusnya lebih ambisius mengembangkan dan mengintegrasikan teknologi energi terbarukan seperti energi surya, angin, panas bumi, dan biomassa ke dalam sistem energinya. Kerja sama lintas negara dalam APG yang perlu memasukan akselarasi pengembangan pasokan listrik dari energi terbarukan, selain juga peningkatan integrasi pembangkit energi terbarukan dalam jaringan kelistrikan regional dan di setiap AMS,” ujar Fabby.
Selain itu, pertemuan ini juga membahas peran batubara yang masih mendominasi bauran energi ASEAN. ASEAN memperlihatkan keengganan untuk segera beralih dari energi fosil dengan sikapnya yang mengapresiasi adopsi teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon, seperti Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS). Namun, IESR menilai bahwa fokus ASEAN seharusnya lebih diarahkan pada akselerasi pengembangan infrastruktur energi terbarukan yang sudah terbukti lebih efektif dan ekonomis.
Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, menyoroti teknologi CCS dan CCUS yang secara keekonomiannya masih mahal dengan biaya investasi yang tinggi. Biaya pengoperasiaan CCS akan semakin mahal jika gas yang diproses memiliki konsentrasi CO2 yang rendah. Selain itu, teknologi CCS/CCUS belum teruji kehandalannya dalam menurunkan emisi, khususnya di Indonesia.
“Negara di kawasan ASEAN sebaiknya memusatkan upayanya untuk mendorong investasi yang tujuannya menurunkan emisi secara signifikan dan memberikan manfaat ekonomi dalam jangka panjang, seperti dengan pemanfaatan energi terbarukan. Tren penurunan biaya pembangkitan energi terbarukan menunjukkan teknologi energi terbarukan semakin kompetitif. Sementara investasi pada CCT justru akan memperpanjang ketergantungan pada energi fosil dan memperbesar risiko aset mangkrak (stranded assets),” ungkap Arief.
Studi IESR mencatat bahwa penggunaan CCS memerlukan investasi yang sangat besar, yaitu sekitar USD 3 miliar untuk mengurangi 25-33 juta ton CO2 dalam kurun waktu 10-15 tahun. Jika dibandingkan dengan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara Indonesia yang mencapai 44,6 GigaWatt pada 2022, penggunaan CCS akan menghabiskan biaya lebih banyak dengan nilai manfaat (return value) yang minim dalam upaya mengurangi emisi karbon dan mencapai target iklim. Selain itu, biaya CCS enam kali lebih mahal dibandingkan pembangkitan listrik dengan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang didukung oleh teknologi penyimpanan energi.
Di sisi lain, Agung Marsallindo, Koordinator Proyek Transisi Energi Asia Tenggara IESR, menyoroti terbatasnya keterlibatan masyarakat dalam proses AMEM. Hal ini menyebabkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik regional yang diambil. IESR mendorong proses AMEM yang lebih terbuka agar keterlibatan publik dapat memantau dan memberikan masukan.
“Pelibatan masyarakat sipil harus menjadi bagian dari transisi energi yang adil dan inklusif. Dimana keputusan-keputusan terkait kebijakan energi di tingkat ASEAN juga harus mengikutsertakan lembaga-lembaga masyarakat sipil independen dan tidak berpihak pada kepentingan geopolitik negara manapun, karena keputusan politik ini akan berdampak pada masyarakat regional, sehingga partisipasi publik dalam proses ini sangat penting untuk mengedepankan aspek inklusifitas dan berkeadilan dalam transisi energi,” ungkap Agung.
IESR mendorong negara-negara ASEAN untuk lebih proaktif mengembangkan kebijakan dan regulasi yang mendukung energi terbarukan dan infrastruktur yang berkelanjutan. Selain itu, IESR menekankan pentingnya akses yang luas bagi publik untuk berpartisipasi pada pengambilan keputusan terkait energi di ASEAN.