Temuan Laporan Terbaru: Kebijakan di Negara Ekonomi Terbesar di Dunia Menghambat Peningkatan Kapasitas Listrik Energi Terbarukan hingga 3 Kali Lipat

press release

London, 4 Desember 2023 –  Lembaga nirlaba internasional, Climate Group baru saja meluncurkan laporan terbaru berjudul Financing the Energy Transition: How Governments Can Maximise Corporate Investment. Laporan ini menggarisbawahi adanya hambatan kebijakan dalam mengakselerasi penggunaan energi terbarukan di beberapa negara ekonomi terbesar di dunia. 

Inisiatif RE100 dari Climate Group bekerja sama dengan lebih dari 400 perusahaan, yang jika permintaan listrik perusahaan tersebut digabungkan maka akan lebih  besar daripada permintaan listrik Perancis. Perusahaan-perusahaan tersebut berkomitmen untuk menggunakan 100% listrik energi terbarukan di seluruh kegiatan operasionalnya. Mereka menginvestasikan miliaran dolar untuk mencapai hal tersebut, tetapi hambatan kebijakan dan peraturan menghalangi perusahaan untuk berinvestasi dalam listrik energi terbarukan di banyak tempat. Climate Group menyebut hal ini berdampak luas  pada upaya penghentian bertahap penggunaan bahan bakar fosil.

Laporan terbaru ini menyoroti kesenjangan kebijakan umum yang menghambat delapan negara G20, dan menjadikannya sebagai contoh dari tantangan yang akan dihadapi oleh banyak negara di seluruh dunia. Laporan ini berfokus pada Argentina, China, Jepang, Indonesia, India, Meksiko, Korea Selatan, dan Afrika Selatan, untuk memberikan rekomendasi yang dapat meminimalisir hambatan yang dihadapi, sehingga negara tersebut dapat memanfaatkan peluang ekonomi dari transisi energi dan mempercepat upaya menuju nir emisi karbon.

Misalnya saja di Korea Selatan,  129 dari 226 pemerintah daerah di negara tersebut (sekitar 57%) memiliki peraturan yang mengharuskan fasilitas tenaga surya untuk ditempatkan pada jarak minimum antara 100 hingga 1.000 meter dari daerah pemukiman dan jalan raya – yang menandai wilayah yang luas di negara tersebut tidak memungkinkan untuk pengembangan tenaga surya. 

“Energi terbarukan adalah emas yang seharusnya diperebutkan di abad ke-21, tetapi banyak bisnis, negara bagian, wilayah, dan negara yang masih ketinggalan. Era bahan bakar fosil yang murah telah berakhir, dan inilah saatnya bagi pemerintah untuk mengambil langkah sederhana untuk membuka pasar mereka bagi investasi perusahaan dalam bentuk listrik bersumber energi terbarukan yang murah dan bersih. Adalah hal yang sangat bagus jika negara-negara secara aktif mendiskusikan peningkatan kapasitas listrik terbarukan hingga tiga kali lipat, tetapi mereka juga harus mendobrak hambatan di negara mereka sendiri untuk mewujudkan janji tersebut,” ujar Sam Kimmins, Direktur Energi Climate Group.

Hambatan-hambatan yang diidentifikasi dalam laporan tersebut terbagi dalam tiga tema umum. Pertama, ketersediaan listrik terbarukan di suatu negara atau wilayah. Kedua, aksesibilitas listrik ini untuk penggunaan perusahaan. Terakhir, keterjangkauan listrik terbarukan di beberapa pasar, yang sering kali tidak sejalan dengan biaya listrik terbarukan yang jauh lebih rendah di tempat lain di dunia. Selain itu, laporan ini menelusuri pula tantangan yang ditimbulkan oleh  peraturan yang membatasi dan hambatan pasar . 

Menjelang COP28, seruan untuk melakukan lebih banyak tindakan dalam pengakhiran bertahap bahan bakar fosil dan kepemimpinan yang lebih kuat dari para pemimpin ekonomi terbesar di dunia, semakin meningkat. Langkah positif muncul pada awal tahun 2023 ketika negara-negara G20 berkomitmen untuk mengejar peningkatan kapasitas energi terbarukan sebesar tiga kali lipat secara global pada tahun 2030 melalui target dan kebijakan yang ada. Untuk melakukan hal ini, pemerintah perlu menghilangkan hambatan kebijakan yang paling umum, seperti penggunaan bahan bakar fosil dan hambatan lainnya yang memperlambat transisi energi global mencapai target  nir emisi  karbon.

“Dengan pasar energi terbarukan yang diperkirakan akan mencapai USD 2,15 triliun pada tahun 2025 dan investasi berkelanjutan yang melebihi USD 35 triliun pada tahun 2020, peluang pasar terbuka bagi negara-negara yang bekerja sama dengan dunia usaha untuk memprioritaskan keberlanjutan dan mendorong menuju nol karbon.Terus mempromosikan bahan bakar fosil, dengan tidak mendukung energi terbarukan secara memadai melalui kebijakan dan struktur pasar, artinya memilih jalan buntu,” lanjut Kimmins. 

Serangkaian rekomendasi kebijakan yang tercantum dalam laporan tersebut yang dapat digunakan oleh negara-negara untuk membuka potensi ekonomi yang sangat besar dari energi terbarukan yakni:

  • Membangun ekosistem peraturan yang mendukung untuk pengadaan dan aksesibilitas energi terbarukan oleh perusahaan
  • Meningkatkan transparansi dan tambahan sertifikat energi terbarukan (REC).
  • Mempermudah proses Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) yang rumit, termasuk mengatasi kurangnya transparansi dan insentif.
  • Memahami dan memperbaiki kesenjangan geografis dan regional dalam ketersediaan PJBL serta menyelaraskan aturan PJBL dan proses kontrak. 
  • Menciptakan tingkat persaingan yang setara untuk memastikan keterjangkauan energi terbarukan.
  • Menciptakan lapangan tandingyang setara di mana listrik terbarukan bersaing secara adil dengan bahan bakar fosil dan mencerminkan daya saing biaya produksi listrik terbarukan.
  • Menghapus subsidi bahan bakar fosil untuk menghentikan persaingan tidak sehat dengan energi terbarukan dan mengurangi beban subsidi pada pembayar pajak. 
  • Memberi insentif dan meningkatkan pasokan untuk memastikan ketersediaan energi terbarukan yang memadai. 
  • Bekerja sama dengan utilitas atau pemasok listrik untuk menyediakan dan meningkatkan opsi sumber listrik energi terbarukan bagi perusahaan
  • Mengatasi masalah perizinan dan lokasi yang terlalu membatasi peluang untuk pemasangan infrastruktur listrik terbarukan. 
  • Mendorong investasi langsung dalam proyek listrik terbarukan di lokasi dan di luar lokasi.

Selain Korea Selatan, laporan ini juga menyertakan contoh-contoh lain di mana kebijakan berdampak langsung pada investasi swasta dalam infrastruktur energi suatu negara. Pada tahun 2018, saat Presiden Andrés Manuel López Obrador berkuasa, Meksiko menarik investasi asing langsung sebesar USD 5 miliar di sektor energinya. Pada tahun 2021, angka ini hanya tinggal USD 600 juta – penurunan yang disebabkan oleh para investor yang dihalangi oleh retorika pro-bahan bakar fosil. 

Di sisi lain, Program Produsen Listrik Independen Terbarukan (Renewable Independent Power Producer Programme – REIPPP) Afrika Selatan telah mendorong lebih banyak investasi dalam pengembangan energi terbarukan, dengan 256 miliar Rand Afrika Selatan (USD 17,32 miliar) telah dikucurkan melalui program ini. Namun, jaringan listrik Afrika Selatan harus mengintegrasikannya, yang menunjukkan perlunya investasi dalam infrastruktur juga. 

Dengan mengadopsi rekomendasi dalam laporan tersebut, negara-negara dapat membuka investasi miliaran dolar, dengan tujuan keseluruhan untuk memerangi perubahan iklim dan membantu negara-negara mencapai target nir karbon. 

RE100 di Indonesia

Sementara itu, transisi energi di Indonesia membutuhkan percepatan mengingat komitmen untuk mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 (berdasarkan rencana investasi dan kebijakan komprehensif JETP Indonesia) dan untuk mencapai emisi nir emisi pada tahun 2060 atau lebih cepat. Institute for Essential Services Reform (IESR) percaya bahwa kontribusi sektor swasta merupakan salah satu faktor kunci, melalui praktik bisnis yang berkelanjutan – termasuk kemajuan penggunaan energi terbarukan untuk kegiatan operasional.

Mulai akhir tahun 2023, IESR dan RE100 bekerja sama untuk mendorong upaya dekarbonisasi perusahaan-perusahaan yang berkantor pusat di Indonesia dan perusahaan-perusahaan global yang beroperasi di Indonesia menuju pengadaan energi listrik terbarukan, sambil secara bersamaan mendorong kerangka kerja kebijakan yang lebih baik dan mendukung penggunaan energi terbarukan oleh perusahaan serta membina kerjasama dengan para pemangku kepentingan strategis di Indonesia.

“Laporan ini menekankan pentingnya permintaan korporasi terhadap energi terbarukan sebagai strategi untuk mempercepat aksi mitigasi iklim. Hal ini sejalan dengan seruan global untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada tahun 2030. Permintaan ini dapat memacu lebih banyak investasi energi terbarukan oleh sektor swasta tanpa membebani perusahaan listrik atau keuangan pemerintah. Pemerintah harus memfasilitasi investasi ini dengan menghilangkan hambatan-hambatan dalam pengadaan energi terbarukan dan meningkatkan lingkungan yang mendukung,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Sementara itu, Rachmat Kaimuddin, Deputi Menteri Bidang Infrastruktur dan Transportasi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, menyatakan, “Laporan ini memberikan contoh dari beberapa negara yang memiliki hambatan yang sangat relevan, sambil mendorong semua pemerintah untuk mempertimbangkan seluruh rekomendasi untuk memastikan bahwa rekomendasi-rekomendasi tersebut dapat mengatasi masalah-masalah utama yang menjadi perhatian utama dari perusahaan-perusahaan di semua tema. Untuk Indonesia, laporan ini menyoroti masalah aksesibilitas untuk energi terbarukan karena tingginya porsi bahan bakar fosil di jaringan listrik dan kurangnya kerangka kerja pengadaan yang jelas untuk power wheeling dan Power Purchase Agreement (PPA). Laporan ini mendesak Indonesia untuk memprioritaskan pembukaan pasar untuk investasi swasta dan secara bersamaan mengembangkan infrastruktur jaringan listrik dan fleksibilitas untuk mengimbangi pengembangan proyek untuk membuka potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan dan investasi terkait.”

Laporan tersebut dapat diunduh di sini.

Kontak Media Indonesia:

Kurniawati Hasjanah, kurniawati@iesr.or.id 

***********

Catatan untuk Editor:

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:

Nick Ringrow

Senior Manajer Komunikasi, Energi, Climate Group

nringrow@climategroup.org

 

Metodologi: 

Laporan ini berfokus pada negara-negara yang memiliki hambatan dan tantangan utama yang paling akut. Penelitian ini didasarkan pada data yang dikumpulkan dari lebih dari 400 perusahaan anggota RE100 bersama dengan konsultasi dari para anggota, mitra lokal utama di banyak pasar yang dinilai, dan pemangku kepentingan pemerintah. Hal ini didukung dengan sumber data internasional dan lokal yang tersedia untuk umum.

Tentang Climate Group 

Climate Group mendorong aksi iklim. Cepat. Tujuan kami adalah dunia tanpa emisi karbon pada tahun 2050, dengan kemakmuran yang lebih besar untuk semua. Kami fokus pada sistem dengan emisi tertinggi dan di mana jaringan kami memiliki peluang terbesar untuk mendorong perubahan. Kami melakukan ini dengan membangun jaringan yang besar dan berpengaruh serta meminta pertanggungjawaban organisasi, mengubah komitmen mereka menjadi tindakan. Kami berbagi apa yang kami capai bersama untuk menunjukkan kepada lebih banyak organisasi apa yang dapat mereka lakukan. Kami adalah organisasi nirlaba internasional yang didirikan pada tahun 2004, dengan kantor di London, Amsterdam, Beijing, New Delhi, dan New York. Kami bangga menjadi bagian dari koalisi We Mean Business. Ikuti kami di Twitter @ClimateGroup. 

Tentang RE100

RE100 adalah inisiatif global yang menyatukan bisnis-bisnis paling berpengaruh di dunia yang berkomitmen untuk 100% listrik terbarukan. Dipimpin oleh Climate Group, misi kami adalah mendorong perubahan menuju 100% jaringan listrik terbarukan, baik melalui investasi langsung dari para anggota kami, maupun dengan bekerja sama dengan para pembuat kebijakan untuk mempercepat transisi menuju ekonomi yang bersih. Inisiatif ini memiliki lebih dari 400 anggota, mulai dari merek rumah tangga hingga infrastruktur penting dan pemasok industri berat. Dengan total pendapatan lebih dari US$6,6 triliun, para anggota kami mewakili 1,5% konsumsi listrik global, permintaan listrik tahunan yang lebih tinggi daripada permintaan listrik di Inggris. RE100 didirikan melalui kemitraan dengan CDP.

 

Mongabay | Cerita Warga Samirono-Bantar Beralih ke Biogas dan Gas Rawa

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, saat ini untuk memasak di Indonesia identik dengan LPG. Padahal, katanya, ada sumber energi lain seperti biogas dan gas rawa yang tersedia di daerah masing-masing.

Baca selengkapnya di Mongabay