Ekonomi Neraca | RUU E(B)T dan Kepastian Hukum Energi Terbarukan

Opini dan Gagasan ini diterbitkan pada harian Ekonomi Neraca. 25 September 2020

Di awal Masa Sidang Kelima Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Komisi VII mulai melakukan pembahasan terhadap draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang sebenarnya sudah diinisiasi sejak Januari 2017 lalu, dengan melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan beberapa institusi di tanah air. Sampai dengan hari ini (24/09), setidaknya sudah terdapat dua sesi RDPU yang dimulai dari perspektif asosiasi dan perempuan (pada 17/09) serta perspektif investasi dan pembiyaan proyek (pada 21/09)

Neraca Ekonomi - OpiniJG - 250920 2

Tanggapan IESR mengenai langkah strategis transisi energi Indonesia

Kontributor: Jannata Giwangkara, Erina Mursanti

Merespon tiga langkah strategi transisi energi di Indonesia versi Menteri ESDM dalam Energy Action Forum “Accelerating the Energy Transition on the Road to 2020 and Beyond” yang dihelat di New York, Minggu (22/9)  (sumber: EBTKE ESDM)

Ketiga langkah yang disampaikan oleh Menteri Jonan dalam pertemuan tersebut adalah:

  1. Kemudahan akses energi dan keterjangkauan masyarakat dalam mendapatkan energi
  2. Mempercepat pengembangan energi terbarukan dan meningkatkan porsinya dalam bauran energi nasional
  3. Pemanfaatan kemajuan teknologi untuk memperluas akses energi, namun tetap mempertahankan keterjangkauan dan mengakomodasi energi terbarukan ke dalam sistem

Penulis berpendapat bahwa:

  1. Penyediaan akses energi yang terjangkau dapat dilakukan melalui pembangkit listrik berbasis energi terbarukan (misal surya, mikrohidro, biomassa atau bayu skala kecil) yang mana tidak hanya dapat memberikan akses energi yang lebih terjangkau dari pembangkit berbasis diesel, tetapi juga dapat menciptakan nilai-nilai ekonomi baru bagi masyarakat setempat. Alhasil tidak hanya bisa menyasar target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDG) #7, tetapi juga menjadi aksi untuk target TPB #13. Lebih lanjut, disamping biaya pembangkitan listrik dari energi terbarukan (capital cost yang tinggi tapi marginal cost yang hampir nol) yang lebih kompetitif dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa dengan membangun PLTD (capital cost yang rendah tapi marginal cost yang tinggi), membangun energi terbarukan juga akan menghindari/meminimalisir adanya polusi udara yang ditimbulkan akibat pembangunan sumber energi berbasis fosil.

Sejak 2016, CAFOD, IEED dan IESR mengembangkan model penyediaan energi berbasis perencanaan dari bawah (bottom up energy planning) yang dikenal sebagai Energy Deliver Model. Percontohan metode EDM di Desa Boafeo di Kabupaten Ende dilakukan bersama-sama dengan AMAN. Simak laporan percontohan pertama EDM di Indonesia di Desa Boafeo, Ende, NTT berikut:

2. Akselerasi pembangunan energi terbarukan nasional tidak hanya membutuhkan regulasi yang responsif dan mendukung instrumen pasar yang diperlukan dalam meningkatkan investasi energi terbarukan, tetapi juga peraturan yang konsisten dan stabil. Peranan swasta dalam membantu pemerintah mencapai target energi bauran energi terbarukan sangat krusial dan menjadi tumpuan pemerintah mengingat kapasitas fiskal pemerintah dan BUMN/BUMD dalam membangun infrastruktur energi terbarukan terbatas. Untuk itu, ekosistem pendukung dalam pengembangan energi terbarukan perlu didesain multipihak dan terintegrasi.

Ekosistem pendukung yang dibuat oleh Jerman, Tiongkok, dan India dalam menyukseskan transisi energi dinegaranya mencakup lima hal berikut: (1) Komitmen dan kepemimpinan yang kuat ditingkat nasional dan daerah; (2) Kebijakan dan regulasi yang saling mendukung dan menguatkan, serta adaptif dan fleksibel sesuai dengan tren dan kondisi pasar; (3) Sistem dan manajemen ketenagalistrikan yang dikelola secara terintegrasi; (4) Instrumen pendanaan yang mendukung bagi investor; dan (5) Konsisten dan fokus dalam meriset dan mengembangkan teknologi energi terbarukan dalam negeri. Laporan Igniting A Rapid Deployment of Renewable Energy in Indonesia: Lessons Learned from Three Countries dapat dijadikan referensi dalam mempercepat pembangunan energi terbarukan di Indonesia. Simak laporannya di:

3. Teknologi yang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan tentu harus terdesentralisasi dan memanfaatkan potensi energi terbarukan setempat. Dengan kombinasi energi terbarukan dari air, panas bumi, surya, dan biomassa, yang ada potensinya di setiap desa, kabupaten, dan provinsi di Indonesia, penulis yakin bahwa kebutuhan energi daerah dapat terpenuhi dan juga dapat lebih terjangkau dalam jangka panjang. Jadi pembangkit fosil yang besar dan tersentralisasi di pusat-pusat beban sudah tidak lagi terjangkau dan relevan untuk dibangun dalam peta jalan transisi energi Indonesia kedepan dengan harga teknologi energi terbarukan dan sistem penyimpanan yang akan semakin terjangkau.

Kedepan, konsep konsumen energi dari sektor rumah tangga (yang selalu disasar oleh PLN sebagai salah satu target pendapatan listrik utamanya), tidak akan lagi relevan karena berkat adanya kemajuan teknologi energi terbarukan yang demokratis. Panel surya misalkan, sekarang konsumen listrik bisa menjadi produsen listrik pada saat yang bersamaan, dimana listrik yang dibangkitkan bisa disalurkan ke jaringan transmisi PLN setempat. Efisiensi energi di sisi pengguna juga menjadi low hanging fruit yang selama ini kurang didorong oleh pemerintah, dan dilirik oleh pengguna rakus energi sebagai first fuel dalam memenuhi kebutuhan energinya. Hal tersebut sejalan dengan tren penyediaan energi/listrik di masa depan yang terdesentralisasi, bidirectional, dan tidak mengenal base load/mengedepankan demand side management.

Infografis potensi dan kapasitas terpasang energi terbarukan Indonesia tahun 2018 bisa menjadi bahan evaluasi kita dalam mengevaluasi pembangunan energi terbarukan di Indonesia. Lihat infografisnya melalui:

https://iesr.or.id/galeri/potensi-dan-kapasitas-terpasang-energi-terbarukan-indonesia-tahun-2018/

Secara umum, melakukan #EnergyTransformation dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dapat mempercepat pengembangan energi terbarukan dan memperluas akses energi. Dengan demikian, masyarakat di daerah pedalaman dan terpencil mendapatkan keterjangkauan akses energi yang berkualitas #SustainableEnergyAccess.

Seperangkat regulasi dan peraturan yang kondusif vital dibutuhkan dalam menarik minat investor energi terbarukan untuk menempatkan sejumlah dananya dalam bentuk proyek pengembangan energi terbarukan di seluruh pelosok Indonesia. Dukungan pemerintah, baik pemerintah pusat dan daerah pun sangat berperan dalam percepatan #EnergyTransformation demi menjamin #SustainableEnergyAccess.

Pemerintah daerah dapat memberikan jaminan kepastian (contohnya kepastian skema pendanaan atau kepastian lahan) untuk investor yang akan melakukan investasi di daerahnya. Kepastian ini dapat dituangkan pemerintah dalam RUED. Seperangkat regulasi dan peraturan (baik teknis dan non teknis) serta dukungan pemerintah dapat mewujudkan #GreenEconomy di Indonesia sehingga Indonesia unggul tanpa melupakan lingkungan.

The Original Wisdom of Energy Use

Energy Transition Blog Series #1

Energy in human civilization

Paolo Malanima, an economic historian from Italy, classifies the history of the world energy into two periods based on the utilization of energy source. The first period ranges from 7 million to 500 years ago, marked with five prime energy sources, namely food, firewood, animal feed, hydropower, and wind power. For about 5 to 7 million years ago, food is known as the only energy source by a human with other two forms of energy (i.e., kinetic and thermal). They only relied on their body and animals to perform some works with limited usage of hydro and wind power. For this reason, he then called this period as the organic vegetable economy.

The second world energy period spans from the present to last 500 years ago. In this era, the prime energy sources for human and animals have been replacing by fossil fuel-based, along with the development of machine tools and mechanization. The fossil energy sources which have been utilized are from coal, crude oil, primary electricity, natural gas, and nuclear, respectively. So, for this second period, Paolo Malanima called the era as the organic economies.

Figure 1. Paolo Malanima’s history of the world energy era classification.

From these two periods, the common principle to extract the energy remains the same: by burning the carbon. While the first period used direct timber and other traditional biomass as the carbon source, the modern period uses the “fossil” carbon from ancient plants and organisms which subject to intense heat and pressure over millions of years. The changes in the use of fuel between these periods encourage the emergence of the energy transition.

What is energy transition?

The energy transition can be interpreted simply as “changes in the system of energy production and consumption in a certain period of time.” Nowadays, the terms globally referred as the transformation process in the energy supply in which from fossil fuel-based energy system (i.e. coal, oil, and gas) towards a more efficient, low carbon, and sustainable energy system with renewables (e.g. solar, wind, bioenergy, hydro). The current transition is driven to achieve global climate mitigation goals in limiting global warming to 2oC – or even limiting to 1.5oC.

Energy transition phenomenon is actually already started a long time ago. It began in the mid 19th century by the utilization of coal as the main source of energy, followed by the introduction of oil in the 20th century, and nuclear in the 1950s. From the 1950s to date, the energy supply from renewables has been taking over the dominance of the non-renewables. It’s fairly to say that the global energy transition has undergone under four major waves (see Figure 2).

 

Figure 2. The phenomenon of the global energy transition.

The first global energy transition arguably marked when Thomas Newcomen and James Watt invented the steam engine in the late-18th century. In this era, there have been changes in the number and pattern of energy use as well as the energy-carrying substitutes – which were originally dominated by biomass (firewood) to coal and oil later in the mid-20th century. Further, the geographical distribution of energy production, the commercialization of energy resources, and the impact of energy use on the environment began to be visible in this industrial revolution era.

The era of industrialization – along with the discovery of electricity and the increasing population of the world, pushed for greater demand for energy. Coal and oil have more energy density than biomass. Hence, these two sources of energy had been used massively in the era to supply the needs. As a consequence, biomass utilization was dramatically decreased and the new type of energy, i.e. electricity, was started to increase.

High utilization of coal and oil – plus economic development, not only increased fossil fuel usage but also encouraged the development of technology towards more efficient and more environmentally friendly. That’s why the introduction of nuclear energy to generate electricity in the 1950s marked as the third wave of the global energy transition. The world’s first nuclear powerplant started operations in Obninsk, in the Soviet Union, on June 27, 1954.

The fourth wave of the global energy transition marked by the reduction in the use of fossil fuels, especially in developed countries. With the threat of climate change and its impact, countries in the world then agreed to require the transition of the current energy system towards a cleaner system by using renewables. Solar and wind energy are among the most renewable sources which have a rapid deployment around the globe.

“Back to the future past”

Maybe not many people are aware that we finally return to the original wisdom of energy use in the past. If we referring back to the Paolo Malanima’s classification, our ancestors had been evidently used the renewable energy to empower their work in the first place. With technological advancement, we can back to use past wisdom in tapping the energy from renewable energy sources, in more effective ways.

Current renewable energy technologies, combined with the storage system, can substitute the dirty fossil power plants without having the reliability. The rise of micro-power and decentralized generation globally indicates that we no longer need the big, centralized power plant. Moreover, the digital revolution in the energy sector (e.g. digitalization, internet of things) also accelerate the energy transition towards a more efficient, low carbon, and sustainable energy system with renewables.

So let’s turn, not burn!


Jannata Giwangkara,
Program Manager – Energy Transformation