Kompas | Genjot Energi Terbarukan, Pemerintah Bakal Hentikan Proyek PLTU

JAKARTA, KOMPAS.com – Mulai tahun 2025, pemerintah tidak akan lagi mengizinkan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Hal itu tercantum dalam draft Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 seperti dikutip dari Kontan.co.id Senin (14/6/2021). Dalam RUPTL itu disebutkan bahwa PLTU yang statusnya masih rencana setelah 2025 akan diganti menjadi PLT Base Load atau pembangkit yang bisa beroperasi 24 jam.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Genjot Energi Terbarukan, Pemerintah Bakal Hentikan Proyek PLTU”, Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2021/06/14/050600126/genjot-energi-terbarukan-pemerintah-bakal-hentikan-proyek-pltu?page=all.

 

Komitmen Iklim yang Ambisius dan Perumusan Kebijakan secara Seksama Kunci Indonesia Mencapai Netral Karbon #Sebelum2070

Jakarta, 9, April 2021, Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru-baru ini mengumumkan Strategi Jangka Panjang untuk mencapai netral karbon dan ketahanan iklim. Dalam strategi tersebut disebutkan bahwa Indonesia baru akan menjadi netral karbon pada tahun 2070. Dalam dokumen strategi tersebut disebutkan bahwa emisi Indonesia ditargetkan akan mencapai puncak (peak) pada tahun 2030. Dalam perumusan suatu target, perlu kejelasan tentang dukungan kebijakan bagi masing-masing sektor untuk mencapai peak emisi 2030.

Sebagai negara yang ikut menandatangani Persetujuan Paris, target netral karbon 2070 menjadi tidak sesuai dan kurang ambisius. Berkolaborasi dengan Yayasan Madani Berkelanjutan, ICLEI Indonesia, Walhi, dan didukung oleh Thamrin School of Climate Change and Sustainability, IESR menyelenggarakan webinar diskusi publik bertajuk “Indonesia Mampu Mencapai Netral Karbon sebelum 2070”. Webinar yang dihadiri sebanyak kurang lebih 100 orang ini bertujuan menjadi sarana partisipasi publik dalam menanggapi dan memberi masukan pada pemerintah terhadap kebijakan publik yang menyangkut kepentingan hidup semua orang.

Dalam sambutannya, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyampaikan bahwa meningkatnya bencana hidrometeorologi akhir-akhir ini bisa jadi diakibatkan krisis iklim yang semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC yang menyatakan bahwa peningkatan suhu bumi sebesar 1.1 derajat sejak masa pra-industri telah meningkatkan frekuensi dan magnitude cuaca ekstrem.

Menurutnya, desakan berbagai pihak terutama pemerintah untuk meningkatkan ambisinya dalam merespon krisis iklim menjadi penting. 

“Kita ingin mendorong upaya-upaya ambisius yang membutuhkan bukan hanya cara berpikir yang berbeda namun juga komitmen dan leadership dari pemimpin politik kita, presiden, yang seharusnya dapat melihat bahwa krisis iklim ini berdampak pada kehidupan orang banyak,” tandas Fabby mengakhiri sambutannya.

Farhan Helmy, Kepala Sekolah Thamrin School of Climate Change and Sustainability juga sependapat bahwa keputusan Indonesia untuk mencapai netral karbon pada tahun 2070 terlalu lama. Dalam sambutannya, Farhan memaparkan setidaknya ada empat poin yang kerap kali luput dalam perbincangan tentang iklim, yaitu (1) tidak adanya koherensi agenda dan kebijakan iklim, (2) tidak ada upaya serius untuk melibatkan aktor non negara, termasuk kota yang menjadi ujung tombak proses perubahan, (3) skala aksi yang masih pada level pilot project belum sebagai transformasi yang melembaga dan didukung dengan transformasi ekonomi, (4) pergantian pemimpin tanpa ada aturan mendasar tentang iklim membuat arah kebijakan kurang jelas. 

“Indonesia tidak bisa mengerjakan ini sendiri. Peran negara tidak bisa lagi sekedar prosedural mengikuti negosiasi saja,” tutur Farhan. 

Salah satu sektor yang mendapat sorotan dalam upaya menuju netral karbon adalah energi. Penting untuk memahami sistem energi dan meningkatkan ambisi pengurangan emisi di sektor energi karena sektor ini merupakan penghasil emisi terbesar. Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR menjelaskan ada beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk dekarbonisasi sistem energi.

 “Dari analisis IESR, skenario transisi energi yang lebih ambisius bisa tercapai jika, (1) tidak ada pembangunan PLTU baru mulai dari 2025, (2) Inisiatif Kementerian ESDM untuk menggantikan 13.5 GW pembangkit fossil dengan energi terbarukan dilaksanakan, dan (3) melakukan phase-out PLTGU dan PLTD,” tuturnya.

Deon juga menambahkan bahwa secara teknis dan ekonomis, Indonesia mampu melakukan langkah-langkah di atas, dan melakukan dekarbonisasi sistem energi sebelum 2050. Yang diperlukan adalah komitmen politik dan dukungan yang menyeluruh.

Beberapa tahun lalu Bappenas merilis laporan Low Carbon Development Indonesia; yang menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia meningkat walaupun kita menggunakan konsep Low Carbon Development dalam pembangunan. Maka anggapan bahwa melakukan pembangunan dengan konsep rendah karbon itu mahal, dan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tersendat telah dijawab oleh laporan ini sebenarnya. 

Anggalia Putri, Knowledge Management Manager Yayasan Madani Berkelanjutan, menambahkan Indonesia berkepentingan untuk mencapai target 1.5 derajat C daripada 2 derajat untuk menghindari risiko iklim seperti bencana hidrometeorologi yaitu contohnya banjir yang semakin meningkat. Dalam konteks Indonesia, akan banyak ekosistem unik akan musnah jika kita melewati batas 1.5 derajat.

“Terdapat perbedaan dampak iklim yang signifikan antara 1.5 dan 2 derajat, maka kita keukeuh untuk mencapai 1.5 derajat,” tutur Anggalia.

Selanjutnya Anggalia menambahkan bahwa dengan adanya net sink di sektor FOLU di 2030, sebenarnya Indonesia masih dapat mengurangi kuota deforestasinya.  

Ari Mochamad, Country Manager ICLEI Indonesia, menekankan peran kota yang tidak kalah pentingnya dalam pengurangan emisi dan perjalanan menuju netral karbon. “Kota itu mengandung permasalahan dan solusi sekaligus. 70% emisi gas rumah kaca itu berasal dari aktivitas perkotaan, namun di sisi lain kota adalah tempat yang dapat dikelola. Beberapa pemimpin dan aktor non pemerintah sudah menjadikan isu perubahan iklim suatu keniscayaan karena dampaknya sudah ada di depan mata,” pungkasnya.

Beberapa kota di Indonesia tergabung dalam Global Covenant of Mayors (GCoM), sebuah komitmen pemimpin kota di seluruh negara yang menyadari perubahan iklim adalah keniscayaan sehingga mengubah pola pikir dalam pengambilan keputusan.

Target Indonesia untuk mencapai netral karbon menjadi satu persoalan penting menyangkut keadilan lintas generasi antara generasi kita dengan generasi anak dan cucu. 

Ditegaskan oleh Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI, bahwa target Indonesia untuk menjadi netral karbon pada tahun 2070 terlambat.

“Jelas sangat terlambat kalau 2070 baru akan netral karbon, banyak pemimpin negara bahkan Sekjen PBB sudah menyatakan bahwa kondisi sekarang sudah darurat iklim, kita harus ambisius dalam membuat target dan menjalankan aksi. Kita butuh sesuatu (kebijakan) yang cepat baik negara maju maupun negara berkembang.” 

Di lain sisi, terdapat banyak celah untuk mengelak dari kewajiban pengurangan emisi yang ambisius seperti skema offset perdagangan karbon ke negara berkembang. Skema ini akan membuat negara berkembang mesti menanggung beban ganda di kemudian hari yaitu beban offset dari negara maju dan target pengurangan emisi negara masing-masing. 

Terkait dengan keadilan lintas generasi, Yuyun menegaskan kita selayaknya bertanya kita mau mewariskan kondisi bumi seperti apa pada anak cucu kita mendatang. 

“Apakah kita akan menjamin mereka aman dari krisis ekologi dan krisis iklim? Atau kita mewariskan sesuatu yang akan membuat mereka celaka kedepannya? Dalam keadilan iklim, keadilan antar generasi ini juga merupakan konteks penting dalam, maka harus diperhatikan. Kita mau menuntut kebijakan iklim yang lebih ambisius yang merefleksikan keadilan antar generasi dan keadilan iklim,” tegas Yuyun di akhir paparannya.

Menutup webinar #Sebelum2070 ini, Dian Afriyanie, pengurus Thamrin School of Climate Change and Sustainability, mengemukakan dua poin yang menjadi benang merah webinar kali ini. Pertama, pentingnya koherensi antar kebijakan pemerintah dalam menjawab akar persoalan; serta koherensi kebijakan antar sektor, lokasi dan hirarki pemerintah. 

“Hasil riset IESR dan Madani menunjukkan bahwa target pemerintah untuk penurunan emisi di sektor energi dan FOLU masih dapat ditambah dan dipercepat realisasinya, maka pemerintah jangan hanya melakukan negosiasi prosedural saja namun juga melihat dan mengacu pada temuan-temuan riset ini,” tegas Dian.

Kedua, proses deliberatif dalam perumusan kebijakan. Partisipasi dan keterwakilan berbagai kalangan memang menjadi tantangan tersendiri di masa pandemi ini, namun dalam perumusan kebijakan publik proses ini tetap harus diupayakan, supaya produk kebijakannya tidak asing bagi masyarakat.

Buntut Ledakan Kilang Balongan yang Sulit Pulih Hitungan Hari

Direktur Eksekutif Institute For Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan Pertamina lebih mungkin untuk menutup kekurangan produksi melalui impor dibanding dari kilang lain.

“Kalau dilihat 125 ribu barel/hari itu 15-17 persen dari total produksi BBM domestik. Untuk jangka pendek 7-14 hari seharusnya aman karena seharusnya Pertamina punya keamanan stok untuk distribusi BBM 15-21 hari. Tapi kalau masih bermasalah, belum bisa operasi, masih bisa impor karena dua minggu beli minyak di pasar spot masih bisa dilakukan,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin.

Berita lengkapnya.

Potensi Teknis Energi Surya Indonesia Lebih Tinggi, IESR Dorong Pemerintah Perbaharui Data Potensi Energi Terbarukan

18 Maret 2021-Indonesia memiliki potensi teknis tenaga surya yang jauh lebih besar dibandingkan 207 GW yang merupakan data resmi yang dirilis oleh pemerintah Indonesia melalui kementerian ESDM tahun 2017. Hal ini dibuktikan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Global Environmental Institute (GEI) dalam peluncuran kajian “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential” (18/3).

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam sambutannya menjelaskan bahwa berdasarkan potensi teknis dan kesesuaian lahan, tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3000-20.000 GWp.

“Bila potensi teknis yang paling sedikit saja, 3 GW, dimanfaatkan secara efektif, maka dapat memenuhi 7 kali dari konsumsi listrik dari tahun 2018,” ujarnya.

IESR mengukur potensi teknis ini dengan menggunakan data geospasial sehingga lahan yang cocok untuk PLTS dapat diidentifikasi.

Fabby menambahkan bahwa kajian ini merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaharui sumber data energi terbarukan sehingga dapat memberikan sinyal yang lebih baik untuk mengembangkan energi surya ke depan.

“Tentu saja, hal tersebut akan meningkatkan pula kepercayaan diri berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan energi surya bahwa Indonesia dapat mengandalkan tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan energi bersih. Selain itu, kajian ini mendukung upaya PLN untuk mengembangkan tenaga surya, dan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan Rencana Umum Energi Daerah,” tegasnya.

Dalam tataran global, data ini dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk memperkuat komitmennya dalam aksi iklim secara global, seperti yang diungkapkan oleh Mme. Jiaman Jin, Direktur Eksekutif GEI. GEI, secara khusus, mempunyai program untuk membantu negara berkembang dalam mengembangkan energi terbarukan dengan memberikan penguatan kapasitas, bantuan teknis dan finansial.

“Cina dan negara-negara di Asia Tenggara telah berkolaborasi dalam program aksi iklim global, termasuk dengan Indonesia. Bila ditilik dari komitmen Persetujuan Paris, hingga kini ada 29 negara yang sudah menargetkan netral karbon dengan mengandalkan energi terbarukan. Cara lain untuk netral karbon adalah dengan penyimpanan karbon (carbon storage) dan perdagangan karbon (carbon credit). Dua hal ini pula yang Cina sedang kembangkan saat ini,” urainya.

Agar tercapai komitmennya dalam Persetujuan Paris, Indonesia sedang berupaya untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan di 2025. Namun hingga akhir tahun 2020, hanya terealisasi sebesar 11,5%. Sementara dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sendiri, pemerintah mempunyai target untuk pengembangan tenaga surya sebesar 6,5 GW hingga 2025.

“Namun target tersebut sedang dalam peninjauan, dan ternyata, surya (fotovoltaik) ditargetkan untuk mewakili sepertiga (17.6 GW) dari total pembangkit listrik bersih sebesar 48 GW pada tahun 2035 dalam grand strategy energi nasional yang dipersiapkan oleh Kementerian ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN). Sekitar 60 atau 76 persen diharapkan berasal dari tenaga surya skala utilitas termasuk PLTS terapung,” ulas Daniel Kurniawan, Penulis Utama Laporan Kajian “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential”.

Daniel menjelaskan dari 23 jenis tutupan lahan yang ada, tim peneliti IESR memilih jenis lahan yang sesuai untuk pembangunan PLTS. Terseleksi hanya 9 jenis tutupan lahan yang digunakan untuk pemetaan potensi teknis PLTS.

“Hutan tanaman (man-made forest) dan lahan pertanian kering dan kering campur belukar juga termasuk dari jenis lahan yang dihitung, sebabnya ketiga lahan tersebut ditemukan dapat diakuisisi dalam pengembangan proyek PLTS 3 x 7 MWp di Lombok dan proyek PLTS 21 MWp di Likupang, Sulawesi Utara,” jelasnya.

Menggunakan skenario paling optimistis, 9 jenis tutupan lahan seluas 1,9 juta km2, hasil yang diperoleh dari penghitungan potensi teknis PLTS sangat melimpah hingga mencapai 19.8 TWp, yang berarti 95 kali lebih tinggi dari pada estimasi pemerintah.

“Potensi teknis terbesar berada di Kalimantan, Sumatera, Jawa Barat dan Jawa Timur,” jabar Daniel.

Menyinggung tentang Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) (2021-2030) yang sedang disusun oleh PLN, Daniel menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada informasi pasti mengenai alokasi target kapasitas untuk untuk tenaga surya dari total 3,7 GW rencana kapasitas gabungan untuk tenaga surya, bayu, dan sampah dalam RUPTL mendatang.

Data Potensi Teknis Akan Dorong Optimalisasi Pengembangan PLTS 

Data kajian potensi teknis teranyar yang diluncurkan IESR ini juga dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pengembangan energi terbarukan. Daniel mencontohkan Bali dan Sumba sebagai dua pulau di Indonesia yang sudah mempunyai modal yang cukup ditinjau dari konsistensi pemerintah daerah dalam mendorong pemanfaatan PLTS melalui kebijakan yang mereka terbitkan dan juga potensi teknis PLTS-nya.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Chrisnawan Anditya dalam kesempatan yang sama, mengatakan bahwa pihaknya akan memperbaharui data potensi teknis tenaga surya di Indonesia.

“Selain itu, kami juga berusaha untuk mengidentifikasi potensi matahari sesuai dengan jalur transmisi. Semakin baik jalur transmisi maka pengembangan PLTS akan semakin besar. Namun bila lokasi di luar jalur transmisi maka kita akan mengembangkan melalui off-grid,” tutur Chrisnawan.

Senada, Wakil Presiden Eksekutif Divisi Energi Baru dan Terbarukan PLN, Cita Dewi mengungkapkan bahwa PLN mempunyai komitmen untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan. Hanya saja, akibat pandemik COVID-19, PLN masih berhadapan dengan kondisi permintaan energi listrik yang rendah.

“Krisis permintaan ini kemungkinan akan berlangsung 2 hingga 3 tahun ke depan. Namun pendekatan yang kami lakukan untuk mengejar target energi terbarukan diantaranya mempercepat penyelesaian pembangkit listrik surya, air, geothermal, dan mempertimbangkan untuk mengkonversi 5000 pembangkit listrik tenaga diesel dengan surya. Potensinya sebesar 2 GW,” jelas Cita.

Dari sisi pengembang, Andhika Prastawa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), menuturkan bahwa hasil kajian tersebut bermanfaat bagi pengembang untuk menggali lebih banyak peluang untuk berinvestasi PLTS di Indonesia. Hanya saja, menurutnya, hal ini tetap harus selaras dengan keberpihakan pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang ramah bagi para pengembang PLTS.

“Keekonomian PLTS sudah kompetitif, namun hingga kini peraturan net metering masih di 6.5, sebaiknya diubah menjadi 1, sehingga memberikan dampak psikologis yang baik bagi pasar PLTS,” imbuh Andhika.

Sependapat dengan Andhika, Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional mengharapkan bahwa akan ada pembaharuan dalam kebijakan net metering. Ia juga menegaskan bahwa dari segi instalasi, PLTS merupakan energi terbarukan yang paling mudah dikembangkan karena tersedia di hampir semua tempat di Indonesia, sehingga mudah dipanen dalam bentuk  PLTS, serta mempunyai beragam skala, sehingga cepat dibangun.

Wirawan, Plt. Presiden Direktur, PT PJB Investasi mengapresiasi hasil kajian IESR dan menawarkan untuk menghitung pula potensi teknis dari sekitar 192 bendungan dan waduk yang tersebar di Indonesia.

“Daerah tangkapan air di Indonesia kurang lebih sekitar 86 ribu hektar. Ini merupakan potensi yang besar pula untuk pengembangan PLTS apung,”usulnya.

CASE Indonesia Dorong Sinergi Berbagai Pihak untuk Transisi Energi di Indonesia

Proyek CASE (Clean, Affordable, and Secure Energy) berupaya merangkul banyak pihak untuk mendorong transisi energi di Indonesia agar dapat terealisasi dengan baik. Salah satunya dilakukan lewat diskusi selama 3 hari (22-24/3) yang berlangsung secara daring. Para pemangku kepentingan ini berasal dari berbagai lembaga pemerintah, institusi keuangan, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil,yang berbagi tentang aktivitas-aktivitas yang sudah mereka lakukan untuk berkontribusi dalam transisi energi. 

Pertemuan ini sangat krusial untuk memastikan kegiatan CASE nantinya tetap selaras dan saling melengkapi dengan program kerja yang tengah atau telah direncanakan instansi terkait lain perihal transisi energi, sekaligus mencerminkan inklusivitas proyek CASE.

Saat ini transisi energi masih menjadi suatu isu yang terkesan eksklusif atau dibicarakan oleh kalangan tertentu saja. Sebaliknya topik transisi energi muncul karena adanya perhatian ilmiah tentang krisis iklim yang dialami dan akan berdampak oleh semua orang, maka penting untuk mengenalkan proses ini untuk membentuk kesadaran kolektif tentang langkah-langkah menghindari dampak krisis iklim yang lebih ekstrim melalui transisi energi. 

Masukan dan pendapat dari berbagai pihak ini juga penting untuk melihat berbagai kendala dan situasi yang dialami oleh masing-masing pihak dan bagaimana proyek CASE dapat berperan dalam situasi tersebut. 

Dari sektor keuangan misalnya, diskusi masih adanya kesulitan untuk memberikan pendanaan untuk proyek-proyek energi terbarukan karena masih terhalang oleh beberapa hal, salah satunya tentang penilaian risiko dari proyek energi terbarukan.

“Kami perlu memahami risiko investasi di bidang energi terbarukan ini, dan cara mitigasinya, sehingga proyek energi terbarukan ini lebih bankable,” terang seorang eksekutif dari salah satu lembaga perbankan di Indonesia yang terlibat dalam diskusi ini. 

Dilanjutkannya, “Selain itu perlu adanya suatu badan yang dapat menjadi semacam konsultan untuk memberikan penilaian objektif tentang supply dan demand di sektor ini, terutama untuk menjawab pertanyaan, apakah proyek ini selaras dengan rencana pembangunan pemerintah? Terlebih penting, bagaimana dukungan pemerintah untuk proyek tertentu ini?” 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut selama ini belum direspon oleh pemerintah. Beberapa lembaga berinisiatif untuk mencari solusi dari pertanyaan-pertanyaan ini, namun jawaban pasti dari pemerintah dalam bentuk kebijakan atau aturan resmi dianggap tetap penting dan krusial sebagai sinyal positif dukungan pemerintah. 

“Secara kelembagaan kami sudah memiliki target dan rencana kerja untuk tahun 2021 yang dapat dikolaborasikan dengan program CASE. Beberapa diantaranya adalah kampanye untuk menumbuhkan awareness dari lembaga finansial maupun investor tentang potensi proyek energi terbarukan, juga pertemuan antar lembaga yang akan membahas tentang green recovery dan green jobs,” jelas salah satu pejabat kementerian di Indonesia ini.

Semua pihak sepakat bahwa diperlukan sinergi dari semua pihak untuk merespon isu penyediaan energi bersih yang terjangkau dan berkelanjutan. Hanya saja, pemerintah tetap perlu menjadi inisiator yang pertama kali menggerakkan pihak-pihak tersebut.

“Seperti judul proyek ini CASE, Clean and Affordable, kalau bicara affordable pasti berhubungan dengan harga dan model bisnis. Jadi PLN harus mencari bisnis model yang pas untuk menyediakan energi bersih yang terjangkau untuk masyarakat,” tutur salah satu pejabat dari perusahaan BUMN di Indonesia.

“Sebagai akademisi, kami terbuka untuk dilibatkan dalam pembuatan kajian maupun pengembangan pilot project dari aktivitas di bawah program CASE ini. Kami juga memiliki kelompok-kelompok yang fokus pada pengembangan energi bersih, maka kami menanti pembicaraan lanjut tentang kegiatan yang bisa kita kerjakan bersama,” papar salah satu akademisi kampus teknik di Indonesia.

Kegiatan ini ditutup dengan menyepakati komitmen bersama dari semua pihak yang hadir untuk menyukseskan agenda program penyediaan energi bersih, terjangkau, dan berkelanjutan. Pertemuan dan diskusi lanjutan untuk membahas masing-masing agenda kegiatan dengan lebih detail akan segera dilakukan. 

Ditekankan oleh moderator pada plenary session bahwa Kementerian PPN/BAPPENAS sangat mengharapkan adanya sinergi dari masing-masing pihak yang diundang dalam workshop kali ini, sehingga capaian proyeknya semakin baik. Seperti yang tersurat dalam tagline “To Mobilize Stakeholders, to Make the Output Better”.

Proyek CASE merupakan sebuah inisiatif dari pemerintah Jerman, didanai oleh German Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation, and Nuclear Safety (BMU). Secara umum, program ini bertujuan untuk mendorong terjadinya peningkatan pemahaman masyarakat umum tentang isu transisi energi di Asia Tenggara. 

Program CASE ini memiliki cakupan wilayah kerja regional di 4 negara Asia Tenggara yaitu Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Thailand. Di Indonesia, program CASE dijalankan oleh GIZ Indonesia bekerjasama dengan Institute for Essential Services Reform dan Kementerian PPN/BAPPENAS sebagai perwakilan pemerintah untuk bermitra dengan CASE. Secara global program ini juga didukung mitra konsorsium internasional Agora Energiewende dan New Climate Institute.