Ketenagalistrikan Menjadi Sektor Prioritas Untuk Akselerasi Transisi Energi di Indonesia

Krisis COVID-19 memicu kontraksi yang besar dalam perekonomian dunia, termasuk dalam sektor ketenagalistrikan. Menurut pengamatan Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) yang diluncurkan pada Selasa, 26 Januari 2021, konsumsi listrik selama pandemi yang rendah dan pelemahan rupiah telah membuat PLN merugi. Pendapatan PLN mengalami sedikit peningkatan sekitar 1,4% YoY, namun keuntungan berubah menjadi negatif Rp 12,2 triliun (USD 872,8 juta) pada September 2020. Hal ini sangat kontras dengan laba Rp 10,8 triliun pada kuartal ketiga 2019.

Penyebab lain kerugian PLN adalah kewajiban PLN untuk membeli listrik dari pembangkit listrik yang dimiliki swasta (IPP) dimana sebagian besar merupakan listrik yang dibangkitkan dari PLTU batubara. Kewajiban yang tertuang di Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) PLN dengan IPP ini merupakan salah satu faktor yang membuat investasi PLTU batubara masih terjadi di Indonesia. Namun, pada kondisi permintaan listrik yang rendah karena pandemi ini, PLN masih harus membeli listrik dari PLTU atau jika tidak maka wajib membayar biaya penalti ke IPP. Menurut Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), kewajiban pembelian listrik ini dapat mencapai angka USD 7,8 miliar di tahun 2020. Di sisi lain, pendapatan PLN juga mengalami penurunan dengan turunnya penjualan listrik dan adanya program pembebasan dan diskon listrik yang dicanangkan pemerintah sebagai bagian dari strategi pemulihan ekonomi.

Tentu saja penurunan konsumsi listrik juga berpengaruh pada permintaan batubara sebagai sumber pembangkit listrik utama di Indonesia. Tidak hanya secara domestik, namun juga secara global telah terjadi penurunan permintaan terhadap batubara. Disisi lain, produksi batubara praktis tidak mengalami banyak perubahan. Akibatnya, volume batubara melimpah di pasar ekspor dan impor sehingga menekan harga batubara menjadi anjlok ke level 49,4 USD / ton pada bulan September, level terendah sejak 2015. Di pasar internasional, Indonesia pun terdampak karena 72% batubara Indonesia ditargetkan untuk pasar ekspor pada tahun 2020. Akibatnya pendapatan negara dari sektor batubara mengalami penurunan. Hal ini juga mengindikasikan, bahwa perekonomian Indonesia jika bergantung pada komoditas seperti batubara akan sangat berisiko kedepannya.

Rentannya sektor ketenagalistrikan berbasis batubara terhadap krisis, membuat banyak negara di dunia mulai mengintegrasikan upaya pemulihan ekonominya dengan membangun sistem ketenagalistrikan yang lebih berkelanjutan. Transisi energi menuju energi terbarukan menjadi pilihan karena dapat menghasilkan listrik yang ekonomis, lebih tahan terhadap potensi krisis serta mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memenuhi Persetujuan Paris untuk menekan kenaikan suhu bumi melebihi 2o C.

Fabby Tumiwa, Eksekutif Direktur IESR, dalam kesempatan yang sama memaparkan analisis International Energy Agency (IEA) dalam laporan World Energy Outlook  yang memberikan skenario mencapai net-zero emission di tahun 2050 sebagai upaya memenuhi target dalam Paris Agreement. Salah satunya ialah mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) jenis subkritikal, yang saat ini memproduksi sekitar 5000 TWh listrik per tahun di global, di tahun 2030. Sedangkan jenis PLTU yang lebih efisien (clean coal technology), seperti superkritikal dan ultra superkritikal pun, harus berhenti beroperasi sebelum 2040.

“Hanya saja, pola pikir lama yang terlalu mengandalkan batubara, membuat banyak orang akan coba membantah skenario ini di Indonesia dengan berbagai alasan seperti pertama, lebih dari 3/4 kapasitas PLTU di Indonesia masih memiliki usia ekonomis, biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik yang akan naik menimbang biaya pembangkitan listrik energi terbarukan yang masih dianggap lebih mahal ketimbang fosil serta sifat intermintensinya,” ulasnya.

Buktinya, menurut menurut Fabby, ada negara yang bisa menyediakan listrik yang handal dengan keekonomian yang baik dengan bauran energi terbarukan yang lebih besar, bahkan tanpa PLTU. 

“Pertumbuhan ekonomi juga akan menjadi lebih baik karena bisa meningkatkan tenaga kerja dan menumbuhkan lapangan kerja baru. Masalahnya pemerintah belum membuat desain dan strategi kebijakannya. Pemerintah, misalnya, dapat mengalihkan subsidi listrik yang saat ini mencapai lebih dari 50 triliun ke pemasangan PLTS atap. Pemerintah dapat memasang PLTS atap di konsumen PLN yang berdaya listrik 450-900 VA yang masih disubsidi. Bila dipraktekkan di satu juta rumah maka subsidi itu dapat berubah menjadi 1 GW energi terbarukan,”jelasnya.

Perkuat Komitmen Politik Pemerintah dan Regulasi Pendukung Energi Terbarukan

Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI ini sepakat bahwa peningkatan bauran energi terbarukan harus menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintah, termasuk dalam wacana untuk meninjau kembali Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

“Revisi RUEN seharusnya bukan merevisi target 23% energi terbarukan, namun yang harus diperbaiki adalah porsi minyak, gas, dan batu bara. Langkah yang dapat diambil adalah renegosiasi dan penjadwalan ulang (rescheduling) proyek-proyek PLTU, terutama yang 35 GW, yang saat ini dalam proses perencanaan.”

Sugeng sepakat, bahwa sebagai negara yang taat konstitusi, Indonesia harus taat pada Persetujuan Paris yang sudah diratifikasi dalam UU No 16/2016.

Di lain pihak, Satya Widya Yudha, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Perwakilan Industri melihat transisi energi tergantung pada komitmen politik DPR dan pemerintah, terutama dalam menentukan arah skenario.

“Harus ada skenario yang pasti dalam transisi energi, antara moderat atau radikal. Tentu saja kebijakannya harus memperhatikan realitas,” sarannya.

Satya juga mengulas bahwa di Indonesia, pengelolaan sumber daya alam tidak didanai oleh APBN melainkan pada investasi, sehingga pemerintah perlu membuat kebijakan yang ramah investasi dari swasta.

Mengutip laporan IRENA, Sugeng mengungkapkan bahwa investasi besar saat ini terpusat pada energi bersih sekitar USD 13.3 triliun. Oleh karena itu, kebijakan yang mendukung pembangunan energi terbarukan di dalam negeri dapat menjadi peluang menarik investasi tersebut sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi di masa depan.

“Intinya dari berbagai riset di dunia, energi terbarukan menjadi pintu masuk pasca COVID-19 dan bangkit secara ekonomi,” imbuh Sugeng.

IESR dalam laporan IETO 2021, memberikan arahan yang jelas bagi pembuat kebijakan dalam mengukur kesiapan bertransisi energi dengan memperkenalkan Kerangka Kesiapan Transisi (Transition Readiness Framework), khususnya untuk sistem ketenagalistrikan. Pada kerangka kesiapan transisi tersebut, IESR telah mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam empat dimensi utama, yaitu dimensi politik dan regulasi, investasi dan pendanaan, tekno-ekonomik, dan sosial.

“Dua hal yang paling prioritas untuk diperkuat adalah komitmen politik pemerintah khususnya Presiden Jokowi dan kementerian terkait untuk transisi energi dan mengesahkan kerangka regulasi yang diikuti dengan implementasi yang tepat di sektor kelistrikan,” jelas Deon Arinaldo, penulis utama Laporan IETO 2021.

Laporan IETO 2021 – yang merupakan transformasi dari flagship report IESR selama 3 tahun terakhir yaitu Indonesia Clean Energy Outlook –  diluncurkan untuk melacak dan mengukur perkembangan transisi energi di Indonesia dan memberikan kerangka ekosistem pendukung yang memampukan transisi energi di Indonesia terjadi secara cepat. Dilakukan secara daring, peluncuran laporan IETO 2021 melibatkan Satya Widya Yudha, Anggota DEN Perwakilan Industri, Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI, Moekti P Soejachmoen, Chief Economist PT Danareksa (Persero) dan Tanah Sullivan, Head of Sustainability PT. Gojek Indonesia, sebagai panelis.

 

Pemerintah Tinjau Ulang RUEN, IESR Ingatkan untuk Tidak Turunkan Target Bauran Energi Terbarukan

Jakarta, 21 Januari 2021 – Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang keputusan pemerintah untuk mengevaluasi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) merupakan langkah yang tepat dengan catatan bahwa evaluasi tersebut jangan sampai menurunkan target bauran
energi terbarukan yakni sebesar 23% pada 2025.

IESR menilai evaluasi RUEN diperlukan karena berbagai asumsi dasar yang digunakan untukmemproyeksikan permintaan dan pasokan energi lima tahun lalu tidak relevan dengan situasi sebenarnya, antara lain asumsi pertumbuhan ekonomi, populasi, tingkat energi per kapita, demikian juga keekonomian dan biaya investasi pembangkit energi terbarukan. Dalam RUEN 2017, kebutuhan kapasitas pembangkit di 2025 mencapai 135 GW yang terdiri dari 90 GW pembangkit fossil dan 45 GW pembangkit energi terbarukan.

Evaluasi ini bisa memberikan informasi profil permintaan dan pasokan energi yang terkini dan riil, dan semakin meningkatkan akurasi dalam membuat proyeksi kebutuhan pasokan energi jangka panjang, serta kebutuhan investasi dan dukungan kebijakan antar sektor yang lebih realistis,
terarah dan terukur. Meskipun demikian, IESR mengingatkan agar dalam evaluasi RUEN, target bauran energi terbarukan tidak diperkecil, malah perlu diperbesar, serta menurunkan penggunaan batubara untuk pembangkitan listrik.

“Pemerintah Indonesia harus memanfaatkan dampak pandemi dan evaluasi RUEN untuk menetapkan target bauran energi terbarukan yang lebih tinggi dalam rangka dekarbonisasi sektor energi. Sesuai dengan PP No. 79/2014 maka bauran energi terbarukan ditargetkan paling sedikit 23 persen di 2025. Jadi sebenarnya energi terbarukan dapat dinaikan lebih tinggi daripada target saat ini, apalagi keekonomiannya semakin baik” ujar Fabby Tumiwa, Eksekutif Direktur IESR.

Dalam RUEN 2017, batubara memainkan peranan penting untuk pembangkitan tenaga listrik dan masih cukup dominan hingga 2050. Penggunaan energi fosil, khususnya batubara, dalam jangka panjang perlu dikaji ulang, seiring dengan upaya dekarbonisasi. Merujuk pada analisis World
Energy Outlook 2020 oleh IEA, permintaan batubara global akan sedikit meningkat di 2021 tapi kemudian akan turun secara signifikan. IEA memperkirakan untuk mencegah kenaikan  temperatur global 1,5 ℃ dan mencapai net-zero emission pada 2050 sesuai Paris Agreement maka penggunaan batubara secara global akan turun 66% dari 2019-2030, seiring dengan berkurangnya PLTU subkritikal. Tren ini tentunya juga akan berdampak pada ekspor dan pendapatan dari batubara di masa depan. Sebaliknya, permintaan energi terbarukan terus tumbuh, dengan pertumbuhan 0,9%.

Evaluasi RUEN 2017 perlu mengintegrasikan paradigma dekarbonisasi dan transisi energi. Dalam kajian IESR berjudul National Energy General Plan (RUEN): Existing Plan, Current Policies Implication and Energy Transition Scenario, menemukan bahwa RUEN 2017 belum mengadopsi visi transisi energi dan kurang ambisius dalam mengembangkan energi terbarukan. Sementara, Dewan Energi Nasional (DEN) masih terjebak dengan pandangan bahwa Indonesia masih memiliki sumber daya energi fosil yang besar. Padahal dalam kondisi dunia hari ini, utilisasi
sumberdaya energi fosil harus diturunkan, dan mendorong penggunaan teknologi bersih untuk produksi energi.

Mencermati kondisi menurunnya laju permintaan listrik dan ancaman terjadinya over supply, serta untuk memperbesar porsi energi terbarukan, maka kapasitas energi fosil harus diturunkan. Karena itu, dalam kajian IESR tentang RUEN, IESR merekomendasikan pemerintah untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik PLTU batubara baru mulai tahun 2025, menutup PLTU batubara yang telah berusia lebih dari 30 tahun, dan mengakselerasi pembangunan pembangkit-pembangkit energi terbarukan sebagai penggantinya, salah satunya dengan
mempercepat PLTS dan teknologi penyimpan (storage).

Menteri ESDM, Arifin Tasrif pada Rapat Kerja dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (19/1/2021) menuturkan bahwa pihaknya merencanakan untuk merelokasi eksisting pembangkit yang sudah tua yang berusia di atas 20- 25 tahun, yang kemungkinan bisa direlokasi ke tempat-tempat yang membutuhkan dan memang memiliki potensi industri smelter.

Menanggapi hal tersebut, Agus Praditya Tampubolon peneliti di IESR yang juga menuliskan kajian tentang RUEN, menyatakan bahwa relokasi pembangkit tua menjadi tidak efektif. “Umur optimal pembangkit fosil antara 20-30 tahun. Jadi akan sangat tidak efektif melakukan upaya relokasi pembangkit tersebut, karena dalam waktu singkat setelah relokasi, pembangkit tersebut harus segera ditutup sebab sudah melampaui umur ekonomisnya. Selanjutnya, bila ingin mendorong transisi energi, maka seharusnya pemerintah mengganti pembangkit-pembangkit fosil dengan pembangkit energi terbarukan, apalagi bila pembangkit fosil tersebut sudah berusia di atas 20 tahun,” tutupnya.

Program Kendaraan Listrik Berhasil Akselerasi, IESR Dorong Pemberian Insentif oleh Pemerintah

 

Jakarta, 21 Desember – IESR. Institute for Essential Services Reform (IESR) beranggapan program kendaraan listrik dapat membantu Indonesia melakukan dekarbonisasi dan meningkatkan ketahanan energi Indonesia melalui penurunan laju permintaan bahan bakar minyak.  Penggunaan kendaraan listrik jika dikombinasikan dengan peningkatan bauran energi terbarukan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca. Pemerintah perlu mempercepat adopsi kendaraan listrik di Indonesia dalam lima tahun mendatang dengan membangun ekosistem pendukung kendaraan listrik dan menstimulasi pasar dengan insentif finansial dan fiskal. 

Di tahun 2019, sektor transportasi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia terbesar kedua (157 juta ton CO2 atau 27 %) setelah sektor industri (215 juta ton CO2 atau 37%). Pemodelan IESR menunjukkan bahwa penetrasi kendaraan listrik pada pasar mobil penumpang dan sepeda motor memiliki potensi menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi sebesar dalam skenario ambisius, dengan penerapan instrumen insentif yang agresif pada sisi permintaan, dapat menekan emisi sebesar 8,4 juta ton CO2 pada 2030 dan 49,5 juta ton CO2 pada 2050. Pemerintah menetapkan target 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta kendaraan listrik roda-2 pada 2030. 

“Target ini cukup ambisius tapi dengan perencanaan yang terintegrasi, insentif untuk mendorong pasar, dan pengembangan ekosistem pendukung, target tersebut dapat dicapai,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.   

“Kuncinya adalah akselerasi adopsi kendaraan listrik dalam 5 tahun mendatang. Untuk itu peluang terbaik ada pada segmen kendaraan listrik roda 2 yang lebih terjangkau bagi sebagian besar pengguna kendaraan bermotor di Indonesia. Jika ada insentif tambahan dalam bentuk kredit yang lebih mudah dan suku bunga rendah, serta stasiun penukaran battery (battery swapping) yang lebih banyak, ditambah dengan peningkatan kesadaran konsumen, maka dalam periode 5 tahun mendatang, motor listrik dapat mencapai 20% dari total penjualan kendaraan bermotor roda-2. Setelah 2025, kendaraan penumpang roda-4, bisa mencapai penetrasi 5-10% sampai 2030, seiring dengan peningkatan model dan harga mobil yang lebih terjangkau,” imbuh Fabby.   

IESR menilai salah satu faktor utama dari adopsi kendaraan listrik jenis mobil penumpang  adalah ketersediaan stasiun pengisian daya umum dan pengisian daya di rumah pengguna kendaraan listrik. Ketersediaan infrastruktur pengisian daya yang tersebar merata dapat menghilangkan “range anxiety” atau kecemasan jarak tempuh yang dimiliki oleh pengguna kendaraan pada umumnya. Untuk itu IESR merekomendasikan agar di tahap awal, rasio kendaraan listrik dan infrastruktur pengisian daya yang disarankan adalah 16:1. 

Selain pemerintah perlu mendorong pihak produsen kendaraan listrik untuk menyediakan kendaraan listrik yang terjangkau, dan mendorong PLN dan pelaku swasta untuk membangun infrastruktur pengisian yang lebih banyak, selain pemasangan home charging oleh pemilik kendaraan listrik. 

“Kebutuhan investasi untuk penyediaan infrastruktur pengisian daya ini sangat besar, berkisar 345 juta USD hingga tahun 2030 dan diperkirakan akan mencapai lebih dari 1 miliar USD hingga tahun 2050 dalam skenario penetrasi yang ambisius. Meski demikian, kebutuhan nvestasi untuk infrastruktur ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan besaran subsidi BBM yang diberikan pemerintah setiap tahun. Sebagai contoh, pada tahun 2020 saja, jumlah subsidi mencapai $1,2 miliar. Investasi ini perlu melibatkan partisipasi swasta sehingga dibutuhkan regulasi dan model bisnis yang dapat menarik minat mereka,” ungkap Julius Christian, peneliti bahan bakar bersih di IESR.  

Menurut Idoan Marciano, peneliti IESR yang juga penulis kajian tentang kendaraan listrik, menyatakan saat ini sudah semakin banyak pihak swasta yang berinisiatif mengadopsi kendaraan listrik dan membangun infrastrukturnya, seperti perusahaan taksi, produsen motor listrik, perusahaan ride hailing, dan pengembang Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU). Kolaborasi pemerintah dengan pihak swasta untuk mengadakan program demonstrasi dan pilot akan meningkatkan kesadaran publik bahwa tren mobil listrik sedang berjalan.

Pemerintah sudah membuat skema kerjasama untuk pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan SPBKLU dengan swasta. Namun untuk semakin menarik minat pengembang swasta, pemerintah perlu memberikan insentif untuk pembangunan infrastruktur tersebut seperti yang dilakukan beberapa negara yang progresif dalam mengadopsi kendaraan listrik. 

“Selain harga, ketersediaan stasiun pengisian daya juga sangat menentukan keputusan untuk membeli kendaraan listrik,” kata Idoan.  

Untuk membuat harga kendaraan listrik terjangkau, pemerintah perlu memberikan Insentif dalam bentuk pembebasan pajak dan bea impor untuk mobil listrik, serta pembebasan pajak tahunan selama beberapa tahun pertama. Insentif ini dapat membuat Total Ownership Cost (TOC) kendaraan listrik lebih baik daripada kendaraan mesin bakar.

Inisiatif pemerintah dengan membentuk konsorsium beberapa BUMN dan investor swasta untuk memproduksi baterai dengan mengandalkan potensi nikel yang cukup besar sebagai bahan baku baterai patut diapresasi.

IESR merekomendasikan untuk mempercepat pengembangan industri baterai dengan dukungan R&D dan menciptakan pasar domestik. Di tahap awal produksi battery difokuskan untuk mendukung produksi kendaraan listrik roda dua lokal. Selain itu pemerintah harus memastikan bahwa aktivitas tambang untuk produksi baterai mengikuti kaidah penambangan yang berkelanjutan, menghindari konflik sosial dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Produksi baterai juga menggunakan energi yang besar sehingga upaya efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan merupakan keharusan untuk meminimalisir emisi GRK. 

Komitmen pemerintah untuk menggunakan energi terbarukan untuk pengembangan KBLBB melalui pernyataan menteri ESDM Arifin Tasrif juga merupakan hal yang tepat. Analisis IESR menemukan bahwa bila pengisian daya mobil listrik dilakukan menggunakan faktor emisi jaringan yang ada sekarang, maka akan meningkatkan emisi GRK dibandingkan dengan mobil konvensional bila memperhitungkan juga emisi dari produksi mobil dan baterainya. Untuk mendapatkan manfaat penurunan gas rumah kaca, maka penetrasi energi terbarukan harus ditingkatkan diatas 23% sehingga dapat menurunkan faktor emisi jaringan (grid emission factor) dibawah 600 grCO2/kWh. 

Penetrasi kendaraan listrik dapat meningkatkan permintaan listrik sebesar 15 TWh pada 2030 dan 68 TWh pada 2050. Sebagai pembanding, konsumsi listrik total pada tahun 2018 adalah sebesar 232 TWh. Untuk menghindari beban listrik yang memuncak perlu kebijakan yang tepat pula. IESR merekomendasikan penerapan tarif listrik Time Of-Use (pembedaan tarif pada beban puncak dan luar beban puncak) sehingga waktu pengisian baterai kendaraan listrik akan teralihkan. Penerapan kebijakan tarif listrik Time-of-Use dapat membantu merekayasa perilaku konsumen dalam mengisi daya baterai kendaraan listrik dan menghindari peningkatan beban puncak akibat pertumbuhan kendaraan listrik.

Gambar 1. memperlihatkan pengaruh dari insentif pajak dan ketersediaan infrastruktur pengisian daya umum terhadap penetrasi motor listrik. Dari simulasi tersebut, terlihat bahwa penyediaan infrastruktur mampu mempercepat penetrasi motor listrik pada tahun-tahun awal hingga 2030. Di sisi lain, kebijakan insentif pembebasan pajak juga berpengaruh signifikan dan membuat penetrasi motor listrik meningkat lebih tajam hingga tahun 2050. Bila dikombinasikan, kedua instrumen tersebut mampu memberikan laju penetrasi motor listrik yang menyerupai skenario ambisius.

Potensi Besar Pasar Surya Atap untuk Capai Target Bauran 23 Persen Energi Terbarukan di 2025

Jakarta, 15 Desember 2020“Berapa biaya investasi dan luasan atap yang saya butuhkan untuk pasang PLTS atap? Apakah benar penggunaannya bisa menghemat biaya listrik? Bagaimana integrasinya dengan jaringan PLN? Peraturan pemasangannya seperti apa?”  

Pertanyaan ini kerap muncul dari masyarakat  sebelum mereka memutuskan untuk menggunakan PLTS atap. Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), ini merupakan hal yang wajar sebab umumnya masyarakat sebagai konsumen energi ingin mengetahui dengan jelas sistem PLTS atap yang akan mereka gunakan. Pengetahuan akan produk menjadi bagian penting dari penentuan keputusan tersebut.

“Kebutuhan informasi terkait PLTS atap semakin meningkat dibandingkan 3 tahun lalu saat kita mencetuskan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA). Pasar PLTS atap saat ini juga lebih terbuka, bahkan sudah tersedia secara daring,” jelasnya dalam diskusi Mengejar Orde Gigawatt Energi Surya di Indonesia, yang dilaksanakan oleh IESR.

Meski demikian, ketertarikan ini belum menjadi realisasi yang signifikan. Bila dibandingkan dengan Vietnam, dalam periode yang sama, 2-3 tahun terakhir, Vietnam mampu menggenjot instalasi PLTS atap mereka hingga 1,5 GWp. Sementara, Indonesia baru mencatatkan pemasangan PLTS atap kurang dari 20 MW. 

Secara umum, target energi terbarukan Indonesia dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) belum berjalan sesuai rencana. Hingga akhir tahun 2019, capaian energi terbarukan baru 9,15% saja. Sementara, hanya tinggal 5 tahun tersisa untuk mewujudkan 23% energi terbarukan.

“Untuk mengejar target itu, salah satunya dapat dilakukan dengan mendorong implementasi PLTS atap. Sebenarnya GNSSA hadir untuk mendorong terbentuknya orde gigawatt di Indonesia. Jika orde ini terealisasi, maka penetrasi PLTS untuk mencapai target 6,5 GW energi terbarukan dalam RUEN menjadi lebih cepat, tercapainya skala keekonomian, juga akan meningkatkan ketertarikan masyarakat dan harganya menjadi lebih terjangkau,”ungkap Fabby.

Tentu saja, gaungan GNSSA membawa dampak yang cukup baik.Terjadi peningkatan jumlah pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap sepanjang 3 tahun terakhir, dari 268 pada tahun 2017 menjadi lebih dari 2.500 pelanggan hingga Oktober 2020. Kenaikan ini juga dipicu oleh regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah (Permen ESDM No. 49/2018 yang direvisi dengan Permen ESDM No. 13/2019 dan Permen ESDM No. 16/2019), semakin banyaknya perusahaan penyedia layanan pemasangan PLTS atap, dan juga meningkatnya ketertarikan masyarakat untuk menggunakan PLTS atap sebagai bagian dari gaya hidup.

Meski demikian, kenaikan ini masih belum cukup untuk mengejar target energi surya sesuai RUEN dan juga mencapai target Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap yaitu 1 GW kumulatif PLTS atap pada 2020.

Menurut Fabby, daripada berharap pada pengembangan PLTS pada skala utilitas yang membutuhkan lahan, waktu dan pembiayaan yang cukup lama, sebaiknya pemerintah dapat pula berfokus pada PLTS atap untuk rumah tangga, sektor bisnis dan komersial, serta UMKM.

“Kajian IESR menunjukkan sampai 2030, potensi pasar untuk PLTS atap di Jawa dan Bali bisa mencapai 10 – 12 GW,” jelasnya pula.

Di Jawa Tengah saja, berdasarkan survei IESR, terdapat potensi pasar hingga 9,6% untuk kelompok residensial, 9,8% untuk bisnis/komersial, dan 10,8% untuk UMKM. Lebih jauh, survei ini juga menunjukkan 7 dari 10 orang pemilik rumah memberikan respon positif untuk menggunakan PLTS atap. Namun, 92% masih memiliki keraguan yang besar karena masih belum paham dengan teknologinya, menganggap harganya masih mahal, dan belum mendapatkan jawaban yang tepat terkait produk dan manfaat penghematan listrik dari PLTS atap.

Terkait harga, menurut Fabby dalam jangka waktu 3 tahun ini sudah terjadi penurunan biaya investasi pemasangan PLTS atap yang semula sebesar Rp 25 – 35 juta per kWp menjadi Rp.15 – 20 juta per kWP. Begitu juga dengan harga modul surya yang turun 40% dari $30 per Wp menjadi 20 sen per Wp. 

“Kebimbangan para pelanggan untuk memasang PLTS atap ini dilatari oleh minimnya informasi yang terpercaya dan rendahnya sosialisasi aturan mengenai penggunaan PLTS atap. Selain itu, informasi mengenai prosedur pemasangan PLTS atap tersambung jaringan (on-grid), manfaat yang bisa dirasakan pengguna, hingga di mana mereka bisa membeli produknya pun masih terbatas dan masih terkonsentrasi di kota-kota besar di Pulau Jawa,” papar Fabby.

Bambang Sumaryo, Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) yang sudah menjadi konsumen PLTS atap selama 6 tahun juga mengungkapkan keraguan lain yang biasanya menjadi pertimbangan calon konsumen dalam pemasangan PLTS atap.

“Ketersediaan kWh exim (export-import) yang membuat pengguna PLTS masuk ke jaringan on grid sehingga lebih hemat. Namun justru kWh exim ini yang sulit untuk didapat, terutama di daerah,” keluhnya. Bambang juga sepakat dengan pengamatan IESR terkait kurang meratanya informasi yang bisa diakses calon pengguna.

Selain itu, Bambang menyinggung  aturan tarif net-metering 1:0,65 di Permen ESDM No. 49/2018. Tarif ini menyebabkan periode balik modal menjadi lebih dari 5 tahun dan persentase penghematan tidak setinggi yang diharapkan.

Menjawab kurangnya akses informasi untuk masyarakat, IESR membangun sebuah portal daring (online) SolarHub Indonesia (solarhub.id) yang bertujuan untuk memberikan informasi seputar energi surya bagi calon pengguna PLTS atap dan menghubungkan mereka dengan perusahaan penyedia produk dan pemasangan PLTS atap.

“Mungkin masih ada juga masyarakat yang menganggap perlu lahan yang besar untuk pasang PLTS. Padahal dengan kemajuan teknologi, kami bisa pasang PLTS di atap rumah, kanopi atau sebagai sistem hybrid,” ujar Chairiman dari ATW Solar sebagai salah satu penyedia produk dan jasa pemasangan PLTS yang bergabung di SolarHub Indonesia.

Menurut Chairiman, portal ini akan menarik lebih banyak orang untuk berinvestasi di PLTS atap dengan ketersediaan dan keakuratan narasinya.

Di sisi lain, Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Berkelanjutan IESR, menjelaskan bahwa keberadaan portal SolarHub Indonesia akan menjembatani masyarakat Indonesia, khususnya warga di luar perkotaan dan di luar Pulau Jawa untuk mendapatkan informasi tentang PLTS atap.

“Mereka yang tinggal di Jakarta misalnya, terbilang beruntung karena bisa langsung terpapar pada kegiatan sosialisasi dan terhubung dengan penyedia produk dan layanan bila ingin tahu lebih banyak tentang desain, manfaat penghematan, hingga layanan purna jual PLTS atap,” jelasnya.

Di SolarHub Indonesia tersedia pula kalkulator canggih yang dapat menghitung besaran penghematan biaya listrik, rincian kebutuhan PLTS atap untuk bangunan calon pengguna, dan besar anggaran yang diperlukan untuk investasi tersebut.

Potensi pasar listrik surya atap ini juga menunjukkan bahwa target energi surya di Indonesia dapat dicapai dengan mudah melalui pemanfaatan PLTS atap saja, tentunya dengan adanya kombinasi kebijakan dan regulasi yang mendukung, serta tersedianya informasi yang lengkap dan merata tentang PLTS atap, prosedur pemasangan, penyedia produk dan layanan pemasangan, hingga pilihan skema pembiayaan. 

Survei pasar IESR juga menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menginginkan periode balik modal kurang dari 5 tahun, yang sulit dicapai bila tarif net-metering yang dipakai masih 1:0,65 seperti aturan Permen ESDM No. 49/2018. Selain itu, kejelasan prosedur pemasangan di wilayah yang berbeda juga perlu diseragamkan sehingga pengguna PLTS atap tidak perlu menunggu hingga berbulan-bulan untuk mendapatkan kWh exim (export-import). Pemerintah perlu memperhatikan aspirasi masyarakat seperti ini sehingga ketertarikan mereka dapat didorong menjadi adopsi dan praktik.  

Kunjungi SolarHub Indonesia


Saksikan kembali siaran tundanya di sini:

Pemulihan Hijau Perlu Diterapkan Dalam Upaya Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Pasca Pandemi

Climate Transparency Report 2020 Launch and Virtual Discussion “Just Transition to a Low Carbon Economy: Accelerating Indonesia’s Recovery and Green Economic Growth”
Session 1: Panel Discussion on “Just Transition to a Low Carbon Economy: “Accelerating Indonesia’s Recovery and Green Economic Growth”

 

Jakarta, 3 Desember 2020 – “Semua negara, secara global, termasuk negara G20 tengah menghadapi darurat kesehatan dan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Namun dunia juga tetap harus fokus melawan musuh dengan kekuatan penghancur yang lebih besar, yakni perubahan iklim,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam sambutannya membuka peluncuran Laporan Transparansi Iklim 2020 (Climate Transparency Report 2020) secara daring.

Laporan Transparansi Iklim (sebelumnya dikenal sebagai “Laporan Brown to Green“) adalah tinjauan tahunan paling komprehensif di dunia atas tindakan iklim negara-negara G20 dan transisinya menuju ekonomi yang netral karbon. Transparansi Iklim merupakan kemitraan global dari 14 lembaga think tank dan LSM dari sebagian besar negara G20 yang mendapat dukungan dari Kementerian Federal Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keamanan Nuklir, Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia atau BMU Jerman.

Laporan tahun ini menganalisis kinerja negara-negara G20 di 100 indikator adaptasi iklim, mitigasi, dan sektor finansial. Tahun ini, Laporan Transparansi Iklim memuat pula respon pemerintah G20 terhadap krisis Covid-19 serta data dan proyeksi emisi terbaru untuk tahun 2020.

Lebih jauh, Fabby menuturkan negara G20, yang mewakili 75% emisi gas rumah kaca global, harus segera mengambil keputusan yang tepat dalam mengatasi pandemi dan perubahan iklim. Hal ini untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris agar tidak terjadi kenaikan suhu global diatas 1,5-20C yang berakibat pada bencana alam, kelaparan, kemiskinan dan gelombang pengangguran.

Demi mempertajam ambisi mitigasi iklim, di tahun 2020, semua negara yang ikut menandatangani Perjanjian Paris diminta untuk memperbaharui target iklim Nationally Determined Contributions (NDC) nya. Namun, Indonesia telah menyatakan tidak akan memperbaharui atau meningkatkan target NDC-nya karena masih harus fokus pada penanganan Covid-19 dan dampak dari resesi ekonomi di perekonomian Indonesia.

Ekonomi Indonesia memang mengalami kontraksi yang signifikan. Terlihat dari pertumbuhan ekonomi telah dua kali berturut-turut negatif di kuartal II (- 5.32%) dan di kuartal III (- 3.49%).  Pemerintah telah berupaya untuk keluar dari jurang resesi, diantaranya dengan memberikan stimulus perlindungan sosial dan stimulus untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) demi menggeliatkan kembali sektor perekonomian Indonesia yang utamanya ditopang oleh industri UMKM.

Selain itu, pada April 2020, Indonesia telah menetapkan anggaran di dalam APBN untuk mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sebagian besar anggaran ini dialokasikan untuk perusahaan produsen bahan bakar fosil dibandingkan untuk investasi hijau. Hampir sekitar Rp 100 triliun dari hampir lebih Rp 327 triliun akan disalurkan untuk perusahaan milik negara, Pertamina (minyak) dan PLN (listrik). Pada pertengahan Juli 2020, pemerintah telah berkomitmen untuk menyalurkan dana sebesar USD 6,49 miliar yang mendukung energi bahan bakar fosil, sementara hanya sekitar USD 237,17 juta digunakan untuk mendukung energi bersih melalui kebijakan yang dikeluarkan sejak awal tahun 2020.

“Langkah yang tepat untuk pulih dari krisis kesehatan dan resesi ekonomi akibat Covid-19 ini adalah dengan melakukan investasi lebih besar ke arah energi terbarukan dan menerapkan pemulihan hijau (green recovery),” tukas Lisa Wijayani, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR dalam pemaparannya mengenai temuan hasil Laporan Transparansi Iklim.

Status NDC Indonesia Sangat Tidak Mencukupi

Laporan Transparansi Iklim 2020 merekomendasikan lima Prinsip Pemulihan Ekonomi Hijau yakni, 1) Pemerintah negara anggota G20 dapat mengarahkan investasi ke infrastruktur yang berkelanjutan. 2) Investasi yang berbasis alam dan lingkungan. 3) Investasi pada pendidikan, pelatihan, dan pengembangan (litbang) industri ramah lingkungan. 4) Menyalurkan dana talangan bersyarat yang sejalan dengan komitmen iklim jangka panjang. 5) Negara anggota G20 dapat memperkuat kebijakan, peraturan, dan insentif untuk mendukung transisi yang berkelanjutan.

“Pemulihan hijau dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Juga sanggup menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkan nilai ekonomi lokal, mampu meningkatkan keanekaragaman hayati dan lingkungan serta memberikan keamanan finansial dan manfaat fiskal. Keuntungan lainnya ialah meningkatkan akses dan keamanan energi,” urai Lisa.

Berdasarkan analisis Laporan Climate Transparency, Lisa menyayangkan target NDC Indonesia masih sangat tidak mencukupi (highly insufficient) untuk mengurangi 26 persen gas emisi rumah kaca di tahun 2025 dan 29 persen di tahun 2030.

“Penghasil emisi tertinggi berasal dari sektor industri (37%), menyusul bidang transportasi (27 %), dan sektor energi (27%). Sejauh ini ada beberapa hal positif yang sudah pemerintah lakukan. Kementerian ESDM telah mengeluarkan Permen No. 4 tahun 2020 untuk memperkuat daya saing energi terbarukan. Sementara, saat ini Perpres tentang energi terbarukan sedang menunggu persetujuan Presiden yang memuat peraturan tentang fit in tariff untuk energi terbarukan dengan kapasitas di bawah 5 MW,” jelas Lisa.

Namun dari laporan Climate Transparency ini  tetap mendorong pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah untuk melepaskan diri dari industri fosil dengan penghapusan bertahap penggunaan batubara, pembatasan biaya publik untuk bahan bakar fosil, peningkatan target energi terbarukan, penetapan kebijakan untuk memperkuat dan memperbaiki struktur bangunan yang ada, penetapan harga karbon dan penghijauan sektor keuangan.

Indonesia Menjadi ‘ Titik-panas’ Hotspot Pekerja Industri Hijau

Meresponi pemaparan hasil Laporan Climate Transparency, Kuki Soejachmoen, Pendiri Lembaga Penelitian Dekarbonisasi Indonesia pun menyadari bahwa penurunan emisi karbon tahun ini lebih banyak berasal karena pembatasan kegiatan dan mobilisasi untuk mencegah penularan Covid-19. Namun Kuki menekankan bahwa persoalan perubahan iklim ini bukanlah suatu fenomena yang tiba-tiba.

“Upaya pembatasan suhu global ini sudah berlangsung sekitar 20 tahun. Sepatutnya kita sudah lebih bersiap menghadapinya,” tegasnya.

Ia berharap, kebijakan yang mempertimbangkan perubahan iklim juga bisa teraktualisasi di sistem keuangan di Indonesia.

Noor Syaifudin, Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal mengatakan bahwa pihaknya telah mengeluarkan kebijakan terkait insentif cuti  pajak penghasilan (PPh) wajib pajak badan atau tax holiday dan juga pengurangan pajak (tax allowance) bagi perusahaan, termasuk yang bergerak di energi terbarukan.

“Kami juga terus mendorong pihak swasta untuk terlibat dalam pendanaan yang berkaitan dengan perubahan iklim. Sekarang kami sedang mendiskusikan kebijakan terkait harga karbon dan penyusunan kerangka fiskal perubahan iklim yang memuat strategi pemenuhan target NDC dan SDG,” imbuhnya.

Tidak hanya itu, Cristina Martinez, International Labour Organization (ILO), Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok mendorong pemerintah Indonesia melakukan koordinasi kebijakan lintas kementerian serta memberikan dukungan stimulus.

“Terutama untuk mereformasi sistem pendidikan agar lebih bersaing dengan perkembangan energi terbarukan,” ujar Martinez.

“ILO memproyeksikan di tahun 2030 kawasan Asia Pasifik sebagai titik terpanas (hottest spot) untuk pekerjaan di sektor energi terbarukan di dunia. Terutama China, India dan Indonesia,” ungkapnya.

“Kesempatan kerja di industri ramah lingkungan atau industri hijau akan terbuka sangat lebar,” sambung Dessi Yuliana, Spesialis Investasi Hijau di Global Green Growth Institute (GGGI).

Dessi menjelaskan berdasarkan hasil kajian yang ia pelajari dari industri hijau akan tercipta lapangan pekerjaan sebanyak 2 hingga 5 kali lipat dibandingkan industri fosil.

“Untuk mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan, sebenarnya Indonesia dapat menciptakan 7 juta pekerjaan di tahun 2030. Bandingkan dengan industri fosil yang hanya mampu menciptakan 3,9 juta lapangan kerja saja,” tandasnya.

Tentu saja, dampak menguntungkan selain memberikan pendapatan bagi para pekerja, juga menjawab masalah-masalah lingkungan seperti kekurangan air dengan restorasi gambut, dan penghijauan bakau.

Lucia Karina Direktur Public Affairs, Communications & Sustainability, Coca-Cola Amatil Indonesia menyebutkan bahwa investasi dalam bidang penelitian ramah lingkungan juga penting. Pihaknya dalam proses pendistribusian produk juga sudah berinovasi dalam sistem pendingin yang 2 kali lebih hemat energi.

Coca Cola Amatil, yang mempekerjakan lebih dari 9500 karyawan menargetkan penggunaan 60 persen energi terbarukan dalam mengoperasikan bisnisnya dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Sayangnya, banyak tantangan yang harus perusahaan hadapi dalam pembangunan PLTS ini.

“Semacam sulitnya mengurus perizinan dan birokrasi yang panjang serta investasi yang cukup mahal. Sebaiknya pemerintah harus segera memperbaiki ini sehingga industri tidak ragu dalam implementasi energi terbarukan sebagaimana negara lain di dunia sudah lakukan,” ungkapnya.

Secara umum, pemerintah Indonesia sepakat bahwa pemulihan ekonomi dan sosial Indonesia harus ditempatkan tepat dalam kerangka tujuan pembangunan berkelanjutan dengan penekanan bahwa tidak ada yang boleh tertinggal (no one left behind). Hal ini disampaikan oleh Agustaviano Sofjan, Direktur Pembangunan, Ekonomi dan Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, pada kesempatan yang sama.

“Pada KTT G20 di bawah kepemimpinan Saudi Arabia, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pasca-pandemi Indonesia bercita-cita untuk membangun ekonomi yang lebih inklusif, berkelanjutan dan tangguh. Presiden juga menekankan bahwa Indonesia akan melakukan transformasi besar dengan komitmen pada ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan,” ulasnya.

Agustaviano menambahkan bahwa beberapa tahun ke depan, Indonesia akan memainkan peran strategis di percaturan internasional. Hal ini akan mendukung pemulihan sosial dan ekonomi nasional yang inklusif dan berkelanjutan.

“Kepresidenan Indonesia untuk G20 telah dipercepat dari sebelumnya tahun 2023 sekarang menjadi 2022. Mulai tahun 2021 kita juga akan menjadi anggota Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Pada 2023 indonesia juga akan menjadi ketua ASEAN,”ujar Agustaviano.

Pemerintah berharap agar terjalin kerjasama yang baik antara parlemen, pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, seperti IESR dan juga media untuk mendorong pemulihan ekonomi Indonesia.

Petrominer | IETD 2020: Peluang Transisi Energi Pascapandemi

Jakarta, Petrominer – Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) kembali hadir untuk memfasilitasi diskusi-diskusi mengenai transisi energi di Indonesia. Memasuki tahun ketiga, penyelenggaraan kali ini secara khusus dilakukan secara daring pada 7-11 Desember 2020.

Baca selengkapnya di Petrominer 1 Desember 2020