Enam Perempuan Indonesia Berbagi Cerita Kontribusi untuk Keberlanjutan Bumi

Krisis iklim telah menjadi isu mendesak untuk berbagai negara di dunia, dan tujuan pembangunan berkelanjutan menjadi agenda global untuk mengatasi dampak krisis iklim dan memastikan keberlanjutan bumi. Agenda global ini mensyaratkan keterlibatan aktif semua pihak, termasuk perempuan. Mengundang 6 perempuan dari berbagai latar belakang untuk berbagi kisah kontribusi mereka dalam isu keberlanjutan, IESR menyelenggarakan Pojok Energi Sustainable Ladies pada 20 Mei 2020 lalu. Keenam narasumber tersebut adalah Ratna Susianawati, Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi Pembangunan Kementerian PPPA; Tirza R. Munusamy, Deputy Director of Public Affairs Grab Indonesia; Lia Zakiyyah, Climate Leader Indonesia Climate Reality Project; Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia; Chandra Kirana, Pendiri dan Direktur Yayasan Sekar Kawung dan Hapsari Damayanti, Patriot Energi Angkatan II, Program Officer Sustainable Energy Access, IESR.

Diskusi daring ini dilaksanakan untuk memberikan rekomendasi pada pemangku kepentingan dan pihak-pihak terkait untuk pembangunan berkelanjutan yang berorientasi gender, juga untuk membagikan cerita dan pengalaman terbaik yang dimiliki oleh para narasumber pada publik.

Fabby Tumiwa selaku Direktur Eksekutif IESR menyampaikan bahwa isu keberlanjutan merupakan isu yang kompleks. Keberlanjutan memiliki konteks pemenuhan kebutuhan hidup hari ini dengan mempertimbangkan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Secara teori, terdapat tiga pilar sustainability atau keberlanjutan yang harus berjalan serasi, yakni lingkungan, ekonomi dan sosial. Fabby berharap diskusi ini dapat menggali peran perempuan untuk memastikan pembangunan berkelanjutan yang inklusif. 

Ratna Susianawati selaku Staf Ahli Menteri PPPA Bidang Komunikasi Pembangunan menjelaskan bahwa isu energi, lingkungan, dan perubahan iklim telah diangkat sebagai isu mendasar keberlanjutan bumi yang menjadi sorotan dunia internasional. Pada tahun 2015, PBB telah menetapkan isu tersebut sebagai bagian dari target SDGs (Sustainable Development Goals) tahun 2030. Target-target yang ditetapkan di antaranya adalah kesetaraan gender, juga untuk pemenuhan energi universal (save energy for all), dan penurunan emisi global. Dalam SDGs ini pula, peran perempuan sangat penting, tidak sebagai sasaran, juga sebagai pelaku aktif.

Ratna Susanawati menggarisbawahi alasan pentingnya peranan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan.Prinsip SDGs adalah memastikan ‘no one left behind’, tidak boleh ada satupun kelompok masyarakat yang tertinggal. Artinya, tidak hanya lelaki dan perempuan saja, tetapi juga inklusi sosial, dengan menargetkan juga anak, lansia, disabilitas dan kelompok marginal lainnya.

Peran perempuan dalam isu energi juga tidak hanya sebagai penerima manfaat atau yang merasakan dampak terbesar dari pengelolaan energi dan perubahan iklim. Perempuan juga perlu diberikan aksesibilitas agar terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga perempuan merasakan manfaat yang adil dan setara. Ratna menggarisbawahi dampak sosial dan kesehatan bagi perempuan karena ketiadaan atau adanya akses energi. Dampak sosial ketika ada kemiskinan energi dan pengelolaan perubahan iklim yang tidak melibatkan perempuan salah satunya adalah kekerasan bagi perempuan dan anak. Dari segi kesehatan, WHO juga menemukan bahwa dampak yang dirasakan perempuan dan anak adalah dengan energi memasak yang kurang bersih adalah infeksi saluran pernapasan akut.

Sependapat dengan Ratna, Mike Verawati selaku Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia menganalogikan bumi layaknya seorang perempuan. Bumi memiliki sifat mengadakan, melindungi, menyediakan, dan menyelaraskan; sehingga bumi dan perempuan punya ikatan yang kuat.

Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), ketika bicara tentang keberlanjutan bumi, lingkungan, perubahan iklim; dalam penerapannya di lapangan, pengelolaan pembangunan lingkungan selama ini justru mengeliminir prinsip-prinsip perempuan dalam kesehariannya. Pembangunan selama ini dilakukan secara maskulin, di mana sifatnya menjadi menguasai, mendominasi, dan praktek-prakteknya menjadi mengeruk sebanyak-banyaknya, mengeksploitasi tanpa melihat dampak dari kebijakan. 

Mike mengatakan pembangunan akan memberikan dampak besar bagi perempuan, namun keterlibatan perempuan dalam kebijakan masih minim. Karenanya, diperlukan dukungan terhadap program-program yang tidak mengabaikan keterlibatan perempuan. Prinsip anti diskriminasi, prinsip affirmative action untuk perempuan harus bisa diimplementasikan dan bukan hanya di atas kertas saja.

Mike juga menegaskan bahwa pembangunan saat ini harus berdasarkan keberagaman gender, tidak hanya terbatas pada laki-laki dan perempuan, namun juga mempertimbangkan perjalanan manusia yang tinggal di muka bumi ini, mulai dari manusia yang baru lahir hingga lansia yang punya pengalaman atau tantangan hidup yang berbeda. KPI selama ini sudah mencatat banyak perempuan yang telah sadar akan isu lingkungan. Banyak komunitas perempuan yang tertarik pada isu lingkungan dan melakukan kegiatan seperti mengolah sampah menjadi kompos, mengadakan bank sampah dan mereka juga melakukan identifikasi jenis-jenis energi pengganti.

Chandra Kirana selaku Pendiri dan Direktur Yayasan Sekar Kawung juga menyatakan bahwa pembangunan yang terjadi selama ini sangat bias kepada sifat-sifat maskulin dari peradaban. Pembangunan yang diamatinya bukan hanya gender laki-laki ataupun perempuan, namun juga gender peradaban. Peradaban memiliki nilai-nilai dan sifatnya sendiri. Agar hidup terus berlanjut maka diperlukan sifat memelihara, mengasihi, mendengarkan, memberi ruang kepada semua. Proses industrialisasi yang terjadi selama ini, menurut Chandra, memiliki sifat meretas dan menghancurkan, misalnya hampir semua proses produksi dan konsumsi dilandaskan pada satu perilaku awal yakni mengekstraksi dari bumi. Saat ini dan untuk masa depan, proses industrialisasi perlu ditinjau kembali dan dicari cara agar lebih sustainable.

Chandra memberikan usulan kepada pembuat kebijakan dan pelaku industri agar memperhatikan keanekaragaman hayati dan keragaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Ketika akan dilakukan pembangunan maka perlu diteliti terlebih dahulu elemen keanekaragaman hayati apa sajakah yang paling banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan perempuan dan laki-laki.

Dalam diskusi daring ini, IESR ini juga menghadirkan narasumber dari pihak swasta, yang diwakili oleh Tirza R. Munusamy dari Grab Indonesia. Sebagai perempuan yang bekerja di sektor bisnis, Tirza menerangkan bahwa sebagai perusahaan, Grab Indonesia juga memandang bahwa sustainable development penting dan karenanya hanya mengimplementasikan kebijakan yang memiliki agenda berkelanjutan. Grab Indonesia telah melakukan inisiasi lingkungan yang dikenal dengan “langkah hijau”, yaitu inisiatif terkait plastik, emisi karbon, dan transportasi pribadi. Saat ini Grab Indonesia bekerjasama dengan Danone untuk Program Grab Recycle, yaitu memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk mengirimkan botol bekas plastik. Selain itu, Grab Indonesia juga bekerjasama dengan puluhan bank sampah yang ada di DKI Jakarta. Untuk layanan pengantaran makanan, Grab Indonesia mendorong tidak tersedianya plastic cutlery bagi semua vendornya, dan mengenakan biaya tambahan bagi pelanggan yang tetap ingin menggunakan alat-alat makan berbahan plastik. Program percontohan kendaraan listrik juga telah diluncurkan Grab Indonesia pada Desember 2019. 

Menurut Lia Zakiyyah sebagai Climate Leader Indonesia, Climate Reality Project, isu perubahan iklim ini memang erat kaitannya dengan perempuan. Lia mengatakan ada anggapan bahwa ‘being green is being girly’. Banyak sifat-sifat dari seorang perempuan yang berhubungan dengan kegiatan menjaga lingkungan. Paris Agreement  pun juga menegaskan bahwa peran gender sangat penting. Lia menyebutkan ada satu gerakan global yang menyatakan bahwa salah satu aksi mitigasi perubahan iklim yang paling efektif adalah mengedukasi perempuan. Semakin besar pendapatan dan pendidikan perempuan, maka mereka berhak akan pekerjaan yang layak dan menjadikan mereka semakin berdaya untuk membantu menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca dan meningkatkan ketahanan mereka dalam menghadapi bencana.

Lia sependapat dengan narasumber lainnya bahwa perempuan perlu dilibatkan dalam beberapa aspek, seperti penyebaran informasi di desa, pengambilan kebijakan dan keputusan; yang saat ini masih perlu didorong mengingat akses perempuan pada informasi dan pengambilan keputusan ini masih belum terbuka. Kini, Lia  Zakiyyah bersama Climate Reality Project terus bergerak untuk mengedukasi anak-anak muda di seluruh Indonesia agar bisa menjadi agen perubahan yang bisa membawa isu perubahan iklim kepada teman sebayanya dan komunitasnya.

Hapsari Damayanti, Patriot Energi Angkatan II dan Program Officer Sustainable Energy Access di IESR, menyimpulkan bahwa masalah energi tidak bisa diselesaikan hanya dengan melihat dari ada atau tidaknya sumber energi saja. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keberlangsungan bumi, penyediaan akses energi harus terintegrasi dengan sektor lingkungan, konteks sosial-budaya dan ekonomi; sehingga dampak berkelanjutan yang diterima masyarakat tidak dilihat dari akses energi saja, juga manfaatnya secara luas di masa depan. Dari pengalamannya mendampingi masyarakat, Hapsari melihat bahwa pelibatan perempuan sering menjadi tantangan, dan karenanya perlu terus didorong untuk bisa mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan inklusif. 

Diskusi ini bisa disaksikan kembali di tautan berikut:

 

 

 

 

 

 

Kontan.co.id | Target investasi EBT tahun 2020 terancam meleset karena corona dan masalah regulasi

Rabu, 03 Juni 2020 / 18:16 WIB

Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Situasi pandemi Corona dan belum rampungnya regulasi membuat investasi di sektor energi baru terbarukan (EBT) masih menemui hambatan sepanjang tahun ini.

Sebagai catatan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan perolehan investasi sektor EBT di tahun 2020 sebanyak US$ 2 miliar. Nilai investasi tersebut diharapkan dapat terus meningkat menjadi US$ 20 miliar hingga tahun 2024 mendatang. Hal ini guna mendorong target bauran EBT di Indonesia sebanyak 23% di tahun 2025 nanti.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, pemerintah menargetkan penambahan pembangkit EBT sebanyak 686 megawatt (MW) menjadi 10,84 gigawatt (GW) di tahun ini.

Jika dirinci, kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) ditargetkan naik 165,2 MW menjadi 6.050,7 MW di tahun ini. Kemudian, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) naik 140,1 MW menjadi 2.270,7 MW, Pembangkit Listrik Berbasis Bioenergi naik 246,9 MW menjadi 2.131,5 MW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) naik 116,5 menjadi 231,9 MW.

Adapun kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Bayu tetap di level 154,3 MW di tahun ini. Begitu pula dengan Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid yang tetap di level kapasitas 4 MW.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, seluruh investasi di sektor EBT yang meliputi pembangunan pembangkit listrik EBT dan infrastruktur EBT non listrik seperti biodiesel sulit mencapai target US$ 2 miliar di tahun ini. Belum cukup, kondisi investasi EBT di tahun tahun depan juga diperkirakan tidak bisa pulih 100%.

Sebab, untuk tahun ini saja lelang-lelang proyek pembangkit oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mengalami penundaan. Bahkan, di tahun lalu tidak ada lelang proyek besar dari PLN, kecuali proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Bali berkapasitas 2×25 megawatt (MW).

Lalu, proyek-proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTMH) juga masih tertunda. “Kemungkinan investasi EBT bisa pulih di tahun 2022 dengan catatan pandemi Corona tak berlarut-larut lewat dari kuartal II-2020,” ungkap dia, Rabu (3/6).

Ia menyebut, untuk saat ini proyek EBT yang paling realistis dibangun dengan cepat adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) maupun PLTS Atap. Pasalnya, proyek ini tidak memerlukan survei terlalu lama dan masa persiapan proyeknya bisa di bawah 18 bulan. Adapun masa konstruksinya berkisar 9-12 bulan.

Perkiraan Fabby, ada potensi kapasitas sebanyak 200 MW-300 MW dari proyek PLTS yang bisa dieksekusi pemerintah dengan peluang investasi sekitar US$ 160 juta-US$ 240 juta. Akan lebih bagus lagi apabila pemerintah juga memaksimalkan segmen PLTS Atap.

“Kalau tahun depan pemerintah mau dapatkan investasi EBT cepat, caranya adalah memberikan kesempatan kepada industri dan komersial untuk memasang PLTS atap,” terangnya.

Lebih lanjut, tantangan mencapai target investasi EBT tak hanya dari keberadaan pandemi Corona, melainkan kepastian hukum yang belum kunjung didapat para pelaku usaha di sektor tersebut.

Saat ini, para investor masih menunggu penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Feed in Tariff EBT hingga implementasi Peraturan Menteri ESDM No. 4 Tahun 2020 utamanya terkait poin purchasing power agreement (PPA) antara PLN dan pengembang. “Selain itu, investor perlu stimulus pasca Covid-19 lewat program nasional,” tambah Fabby.

Dia mencontohkan, di Malaysia terdapat program LSS@MEnTARI yaitu pengadaan PLTS 2×500 MW untuk menarik investasi 4 miliar ringgit Malaysia. Program ini dibuka untuk perusahaan domestik dan diharapkan dapat menciptakan 12.000 lapangan kerja.

“Ini contoh bagaimana pemerintah menciptakan proyek yang memberi dampak berganda untuk mengatasi kondisi investasi lesu karena wabah Corona,” pungkasnya.

Menelisik Komitmen Energi Nasional dan Daerah dalam Upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Indonesia telah memiliki komitmen iklim untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sesuai Paris Agreement dan tertuang dalam NDC (nationally determined contribution). Perencanaan nasional yang selaras dengan komitmen tersebut juga telah disusun Bappenas melalui strategi pembangunan rendah karbon (low-carbon development initiative) yang diluncurkan pada 2019 lalu. Untuk menggali peran pemerintah nasional dan daerah untuk mendorong perencanaan energi berorientasi iklim yang lebih ambisius, pada 13 Mei 2020, IESR bersama ICLEI Indonesia mengadakan diskusi panel dengan mengundang delapan narasumber yang memiliki peran strategis di sektor publik.

Kedelapan narasumber yang diundang adalah Sugeng Mujiyanto, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan, Dewan Energi Nasional; Yulia Suryanti dari Sub-Direktorat Pemantauan Pelaksanaan Mitigasi, KLHK  mewakili Ruandha Agung S. selaku Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK; Niken Arumdati, Kepala Seksi Pengembangan EBT, Dinas ESDM, Pemprov NTB; Ida Bagus Setiawan, Kepala Seksi Ketenagalistrikan, Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM Pemprov Bali; Sherly Sicilia Wila Huky, Kepala Sub-Bidang Pertanian dan SDA, Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Pemprov NTT; Retno Gumilang Dewi, Kepala Pusat Kebijakan Keenergian, ITB; Saladin Islami, Project Officer 100% RE, ICLEI Indonesia dan Erina Mursanti, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR.

Dalam sambutannya, Ari Mochamad, Direktur Eksekutif ICLEI Indonesia menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 memicu turunnya emisi karbondioksida global dan di Indonesia. Hal ini menjadi sebuah momentum besar bagi Indonesia untuk memprioritaskan energi bersih dalam pemulihan ekonomi. Ari berharap bahwa diskusi panel ini bisa memberikan pencerahan dan terobosan dalam memasuki masa new normal dalam setiap aspek, khususnya aspek pemanfaatan penggunaan energi dalam kehidupan sehari-hari. 

Di sesi pertama, Sugeng Mujiyanto menjelaskan bahwa visi pengelolaan energi saat ini telah berubah ke pengelolaan energi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan dengan memprioritaskan pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi dalam rangka mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi nasional. Visi tersebut tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Nasional, yang juga menargetkan penurunan emisi hingga 41% pada 2030 dan 58% pada tahun 2050. Menurut Sugeng, pencapaian yang diperoleh Indonesia atas upaya mitigasi emisi sektor energi pada tahun 2019 patut diapresiasi. Dalam aspek efisiensi energi, Indonesia sudah lebih efisien hingga 25%, penggunaan bahan bakar rendah kalori sebesar 14%, penggunaan teknologi pembangkit bersih sebesar 7%, juga mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 54.852.260 ton.

Pencapaian lain yang dialami oleh Indonesia juga diutarakan oleh Yulia Suryanti. Pada tahun 2018, capaian penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor energi mencapai  sekitar 8,3 juta ton CO2eq.  Yulia Susanti menambahkan contoh aksi nyata untuk mitigasi skala nasional, di antaranya adalah pemanfaatan biogas skala kecil, penyediaan dan pengelolaan EBT pada pembangkit listrik skala kecil, penggunaan tenaga surya di sektor publik, rumah tangga dan penerangan jalan umum, serta inisiatif green building di kota.

Erina Mursanti menjelaskan bahwa Indonesia berpotensi mengalami kelangkaan air, kekeringan yang parah, cuaca yang terik dan bencana-bencana lain seperti kebakaran lahan dan hutan.  Hal ini karena dipengaruhi oleh perubahan iklim yang sebenarnya juga berkaitan dengan bencana alam yang terjadi. Menurut analisa Climate Action Tracker, target NDC Indonesia yang berada dalam dokumen NDC itu masih dalam skenario kenaikan temperatur 3°C, di mana harusnya Indonesia berada pada jalur kompatibel 1,5°C. Indonesia memiliki potensi banjir lima kali lipat lebih parang dan lebih sering pada kenaikan temperatur 3°C dibanding 1,5°C.

Erina Mursanti juga mengingatkan bahwa Indonesia memiliki instrumen konkret yang jika dioptimalkan akan mampu menurunkan emisi. Potensi mitigasi yang bisa dioptimalkan yaitu moratorium PLTU baru dan penonaktifan PLTU berdasarkan usia operasi, penggantian pembangkit listrik termal dengan pembangkit energi terbarukan, peningkatan bauran energi terbarukan secara optimal di sistem ketenagalistrikan Jawa-Bali dan Sumatera tanpa mengurangi keandalan sistem, peningkatan fuel economy pada kendaraan bermotor (mobil dan motor) sesuai dengan standar GFEI, peningkatan pemanfaatan electric vehicle (EV), serta peningkatan efisiensi energi dari penerangan dan peralatan rumah tangga.

Upaya penurunan emisi yang terintegrasi dalam perencanaan energi juga sudah dilakukan dalam skala lokal. Dalam sesi kedua, perwakilan dari pemerintah daerah memaparkan peran daerah dan kontribusi mereka untuk pencapaian target iklim yang lebih ambisius. Niken Arumdati mengatakan bahwa Pemda NTB sudah mengenali pembangunan berkelanjutan dan mengimplementasikannya dalam berbagai kebijakan yang dibuat. Dalam pelaksanaannya, menurut Niken, Pemda NTB masih menemui sejumlah tantangan seperti harmonisasi RUED-P dengan dokumen lainnya, konsistensi perencanaan, pengimplementasian program sesuai dengan kemampuan fiskal daerah dan momentum politik.

Niken menjelaskan juga Pemda NTB sudah membentuk tim koordinasi lintas instansi dalam implementasi RUED-P, menyusun rencana detail implementasi RUED-P, dan harmonisasi dengan dokumentasi perencanaan yang lain, menjalin kerjasama dengan Pemerintah Kerajaan Denmark, membuat studi detail perencanaan energi, dan mengupayakan pendanaan selain dari APBN dan APBD.

Ida Bagus Setiawan dari Pemda Bali menjelaskan bahwa saat ini RUED Bali masih diproses di badan legislatif. Di sisi lain, Gubernur Bali telah mengeluarkan peraturan Gubernur Bali Energi Bersih dan pengembangan kendaraan listrik, untuk mempercepat implementasi visi Bali sebagai daerah berwawasan berkelanjutan. Gubernur Bali juga menugaskan dinas terkait untuk melakukan percepatan penyiapan dokumen RUKD Bali 2019-2039 untuk memenuhi cita-cita mandiri energi dengan mendorong energi bersih dan menurunkan emisi. Pemda Bali sendiri sudah menghentikan pembangunan pembangkit baru yang tidak berbasis energi bersih di Bali.

Lain halnya dengan Pemda Bali, Pemda NTT sudah memiliki RUED yang diproses sejak 2017 dan telah diresmikan dengan perda pada 2019. Sherly Sicilia Wila Huky menyatakan bahwa Pemda NTT memiliki cukup banyak tantangan untuk perencanaan energi yang berorientasi iklim, di antaranya tingkat ketergantungan energi fosil yang masih tinggi, akses dan infrastruktur energi terbatas, belum adanya regulasi yang mengatur pengelolaan energi, pengelolaan potensi EBT yang belum optimal, dan keterbatasan sumber daya untuk melakukan riset dan inovasi. Pemda NTT sendiri memiliki target pemanfaatan EBT 24% pada tahun 2025 dan 39% pada tahun 2050, dengan menjalankan beberapa strategi: meningkatkan eksplorasi pemanfaatan EBT sebagai energi alternatif, penguatan kelembagaan lokal dengan mengaktifkan BUMDes (badan usaha milik desa) sebagai lembaga yang mengelola pemanfaatan EBT di tingkat desa, kebijakan konservasi energi, dan kolaborasi pembangunan energi.

Retno Gumilang Dewi dari ITB melihat bahwa dalam masa pandemi Covid-19, anggaran pembangunan banyak difokuskan untuk menanggulangi dampaknya. Meski demikian, pembatasan aktivitas dan mobilitas selama pandemi juga berkontribusi pada penurunan emisi karbon. Dalam sektor transportasi misalnya, konsumsi BBM menurun secara signifikan. Menurut Retno Gumilang Dewi, ada 3 pilar dekarbonisasi, yakni energi efisiensi, renewable energy, clean power, dan fuel switching. Retno memberikan usulan kepada pemda untuk membangun smart micro-grid (dalam ukuran kecil) daripada menunggu pembangunan grid besar terpusat. Smart micro-grid dapat digunakan untuk 100% energi terbarukan, seperti biofuel, dengan investasi pengembangan yang murah. Menurut Retno, penggunaan bahan bakar nabati juga perlu dipertimbangkan karena target EBT 23% di 2025 juga mencakup BBN.

Saladin Islami dari ICLEI Indonesia mengapresiasi 16 provinsi yang sudah memiliki RUED (Rencana Umum Energi Daerah). Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dengan keunikan tiap-tiap daerah, namun sayangnya kapasitas terpasang pembangkit EBT masih rendah dan didominasi oleh PLTA dan PLTP dengan tingkat teknologi yang cukup matang. Saladin memaparkan tantangan utama pengembangan energi terbarukan, yakni finansial, teknis, dan kebijakan. Isu finansial menjadi isu yang dominan dalam pengembangan EBT di Indonesia, termasuk di dalamnya pasar, tarif, dan biaya. Tarif berkaitan dengan power purchase agreement dan biaya pokok penyediaan energi, sedangkan biaya energi menjadi tantangan karena perlu mempertimbangkan affordability dari berbagai lapisan masyarakat. Dari segi kebijakan, banyak pemerintah daerah kesulitan menerjemahkan strategi prioritas dalam program pembangunan karena kebijakan yang sering berganti-ganti. Sumber daya manusia di daerah juga menjadi tantangan pengembangkan EBT, termasuk di dalamnya kesiapan teknis dan strategi keberlanjutan.

Menurut Saladin, pemerintah harus membuat rencana strategi yang terarah, dengan melakukan inventarisasi data energi dan emisi GRK, menyesuaikan pemanfaatan energi terbarukan dan kegiatan konservasi energi dengan prioritas pembangunan daerah, misalnya pemanfaatan sektor pariwisata, pertambangan, dan remote area, memprioritaskan pemanfaatan energi terbarukan dengan memanfaatkan potensi daerah sesuai kearifan lokal seperti pemanfaatan sampah rumah tangga dan biogas khususnya di daerah peternakan, serta melibatkan lembaga pendidikan di daerah untuk melakukan penelitian dan pelatihan dalam bidang energi terbarukan, konservasi energi dan perubahan iklim. Selain itu, pemerintah juga perlu menciptakan kader-kader baru untuk membangun daerahnya masing-masing.

Rekaman diskusi ini dapat disaksikan melalui tautan berikut:

 

 

 

 

 

 

 

The Jakarta Post | Demand for photovoltaic panels plummets in Indonesia amid pandemic

Norman Harsono | The Jakarta Post

Jakarta, 4 May 2020

Indonesia’s photovoltaic (PV) providers face a bleak business outlook at least in the next six months as the government and individual users cut back spending on anything deemed nonessential amid the pandemic, including solar panels.

Demand for commercial PV panels was down up to 70 percent in the March-April period from a year earlier as businesses aborted installation plans and as, most critically, the government cut back electrification project plans, according to a recent survey conducted by energy think tank Institute for Essential Services Reform (IESR).

Meanwhile, demand for residential PV systems dropped by up to 100 percent during the same period as consumers reallocated funding to groceries, bills and savings.

“We see the outlook over the next six months – until the third quarter of 2020 – as largely negative. No new orders,” IESR executive director Fabby Tumiwa said during a virtual press conference on April 21.

The challenges faced by Indonesia’s solar power industry are similar to those across developing renewable markets in Asia, such as India and Vietnam, where local producers are equally exposed to foreign exchange risks and shrinking financial support.

“So far no government has taken a strong stand to support renewables during the downturn,” wrote energy consultancy Wood Mackenzie Asia Pacific in a press note on April 29.

Solar power contributes less than 4 percent to overall energy consumption in the Asia Pacific region but is the fastest-growing renewable energy source worldwide alongside wind power.

In Indonesia’s case, the domestic solar industry is at the mercy of the government, which accounts for more than 70 percent of the electricity business through electrification projects, according to an Indonesian Solar Panel Producers Association (APAMSI) representative.

“That automatically means that a shift in spending will add to the burden on solar producers,” APAMSI chairman Nick Nurrachman told The Jakarta Post on Monday (27/4).

“Due to the COVID lockdown, the industry can close down,” either temporarily or permanently, he said.

The government announced in late March a plan to reallocate Rp 62.3 trillion (US$4.15 billion) from the state budget to tackle the coronavirus. The freed funds would focus on health care, the disbursement of relief funds and financial incentives for enterprises.

Nick added that Indonesian producers also struggled with higher production costs due to the weakening rupiah exchange rate and more costly cross-border logistics. Producers imported 40 percent of the materials used to create solar PV panels, including silicon, junction boxes and glass.

Domestically produced solar PV costs rose between 15 and 20 percent per unit in the March-April period.

Responding to the challenges, APAMSI members were cutting costs and securing Industry Ministry permits to remain open under lockdown in anticipation of new solar PV orders.

“Most members have reduced employee shifts. Production line workers are put on leave – still receiving salary – and indirect staff, particularly marketing, go to work to ensure orders can keep coming in,” said Nick, summarizing workplace changes within the domestic industry.

Meanwhile, the Energy and Mineral Resources Ministry’s energy conservation director, Hariyanto, confirmed that the government was slashing state-funded renewable energy project targets but not cancelling them entirely.

He said the ministry had revised down its target for government-funded solar rooftop installations from 800 units to 144 units and for solar-powered streetlamps from 40,000 to 26,000. The lamps are installed in hard-to-reach regions with poor electricity infrastructure.

“There’s a reduction in volume as we refocus the state budget on attainable projects,” he told reporters during a video conference earlier this month (22/4).

Diskusi Media: Dampak Pandemi COVID19 pada Sektor Kelistrikan Energi Terbarukan di Indonesia

Pada tanggal 21 April 2020, IESR menyelenggarakan diskusi media daring (online) guna membahas dampak pandemi COVID19 terhadap pengembangan energi terbarikan di Indonesia; dengan narasumber diskusi: Hariyanto, Direktur Konservasi Energi, DJEBTKE, Kementerian ESDM, Sujarwanto Dwiatmoko, Kepala Dinas ESDM Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Hariyanto menyebutkan bahwa pemerintah tetap akan menjaga ketersediaan energi di Indonesia dan mempertahankan target pengembangan energi terbarukan tahun 2020, dengan proses evaluasi yang sedang dilakukan Kementerian ESDM. Meski demikian, Kementerian ESDM juga memperkirakan beberapa proyek pembangkit listrik energi terbarukan (PLT ET) akan terhambat dan akan selesai di 2021 alih-alih 2020; yang sudah teridentifikasi di antaranya 3 PLTP yang rencananya akan COD tahun ini bila kondisi business-as-usual. Hariyanto juga menggarisbawahi penundaan pembayaran dari perbankan pada proyek ET, yang kemungkinan akan menurunkan target investasi ET tahun ini.

Proyek PLTS Atap Kementerian ESDM menggunakan APBN yang menargetkan 800 titik dengan anggaran Rp 175 miliar tahun 2020 juga sedang dievaluasi. Kendala yang muncul adalah pengiriman dan logistik, mengingat banyak daerah yang memberlakukan pembatasan dan moda pengiriman yang terbatas. Mengingat secara administrasi proyek ini harus selesai di Desember 2020, Hariyanto mengatakan kementerian masih mencoba merealokasi anggaran untuk proyek lain.

Sujarwanto Dwiatmoko dari Dinas ESDM Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga menyatakan beberapa proyek pemerintah daerah terkait ET akan mengalami penundaaan, karena anggaran daerah difokuskan untuk meredam dampak pandemi pada sektor-sektor yang mendasar (essential). Pembangunan infrastruktur ET yang menggunakan dana APBD dan APBN sementara akan ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan, beberapa perusahaan PLTS Atap yang hendak melakukan ekspansi bisnis ke Jawa Tengah masih menunggu waktu yang lebih kondusif. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga fokus untuk menjaga keamanan suplai energi dan menerapkan prosedur kesehatan yang ketat untuk pelaksanaan operasional lokasi-lokasi pembangkitan dan distribusi energi.

Fabby Tumiwa menggarisbawahi tren pengembangan energi surya yang diperkirakan turun di tahun 2020 dibandingkan perkembangan pesat di 2019. Sepanjang 2019 dan hingga awal tahun 2020, perkembangan PLTS skala besar dan PLTS Atap menunjukkan tren positif. Empat PLTS skala besar juga telah memasuki tahap komisioning di tahun 2019, hingga total kapasitas terpasang PLTS mencapai 152 MW. Pertumbuhan ini juga mendorong turunnya harga listrik energi surya, tender untuk proyek PLTS di Bali Barat dan Bali Timur berkapasitas 2×25 MW telah mencapai < US$ 0,059 per kWh. PLTS skala besar sudah mulai kompetitif dengan pembangkit berbahan bakar fosil, dengan penurunan harga hingga 40% lebih rendah dibanding proyek-proyek PLTS sebelumnya.

Penggunaan PLTS dalam skala kecil (PLTS Atap) juga mencatat pertumbuhan yang eksponensial, hingga Desemvber 2019, jumlah pelanggan PLN yang menggunakan PLTS Atap sudah mencapai 1.580. Prospek awal tahun 2020 menurut analisa IESR juga baik, terutama di segmen pelanggan komersial dan industri yang termotivasi menggunakan energi terbarukan dan karena adanya kemudahan setelah revisi Permen ESDM No. 49/2018 menurunkan biaya kapasitas dari 40 jam menjadi 5 jam.

Dengan kondisi pandemi, prospek ini akan meredup, terutama karena pelemahan ekonomi, menurunnya pertumbuhan permintaan listrik, dan pergeseran prioritas pengguna. Selain itu, nilai tukar rupiah yang melemah juga menyebabkan harga unit PLTS Atap pun naik sekitar 15%-20%. Berdasarkan survei awal IESR terhadap perusahaan EPC (Engineering, Procurement, Construction) PLTS Atap, permintaan dari pelanggan rumah tangga pada Maret-April mengalami penurunan hingga 50%-100%. Sementara itu, untuk segmen pelanggan komersial dan industri mengalami penurunan di rentang 50%-70%. Fabby memperkirakan outlook  dalam 6 bulan ke depan akan negatif, tidak ada permintaan baru. Kelompok pelanggan komersial dan industri juga lebih memilih menahan investasi sebagai dampak dari cash flow yang terganggu. Kenaikan harga unit PLTS Atap juga akan memperpanjang waktu pengembalian investasi hingga 1 – 2 tahun lebih lama dibandingkan dengan harga sebelumnya.

Fabby mengusulkan Program Surya Nusantara sebagai alternatif program pemulihan ekonomi pasca-COVID19. Dengan menjadikan pengembangan PLTS Atap sebagai program nasional dan menyasar rumah tangga PLN bersubsidi, target tahunan 1 GWp akan mampu mendorong tumbuhnya industri dalam negeri, menyerap tenaga kerja hingga 30 ribu orang per tahun, mengurangi subsidi listrik dalam jumlah signifikan, dan berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca. Program ini dapat diintegrasikan dalam Program Kartu Prakerja untuk penyiapan tenaga kerja perancang, pemasang, dan teknisi tersertifikasi dan dapat dipersiapkan di tahun 2020 untuk bisa diterapkan segera pada 2021.

Rekaman diskusi dapat diakses di:

 

Webinar Recap: Indonesia’s Solar Landscape in 2020, Mostly Sunny or Partly Cloudy?

On 15 April 2020, IESR’s Executive Director, Mr. Fabby Tumiwa was invited to speak on an international webinar highlighting solar energy development in Indonesia. The webinar was arranged by Green Energy Future Indonesia, and Mr. Tumiwa was in attendance with Mr. Salman Baray, Country Director of ACWA Power.

Mr. Tumiwa shared IESR’s analysis and observation on Indonesia’s solar energy development throughout 2019. The year saw significant progress, four utility-scale solar power plants went into commissioning phase, three-fold increase from 2018. With the progress, Indonesia also started to see economies of scale of solar energy, first large scale power plants in Indonesia went for USDc 25/kWh (2015, 5 MW plant in Kupang, East Nusa Tenggara); while 15 MW plant in Minahasa (2019, North Sulawesi) yielded in USDc 10/kWh electricity price. Auction for two 25 MW plants in Bali has resulted even lower price: < USDc 5.9/kWh; driving competitiveness with coal power plants.

In only two years, rooftop solar also grew exponentially. In 2017, right after One Million Rooftop Solar Initiative was launched (backed by IESR), the number of rooftop solar user was less than 300. By the end of 2019, the number already reached > 1,600. One Million Rooftop Solar Initiative helped in rolling MEMR Reg. 49/2018, giving legal standing for on-grid rooftop solar; and the ministry has also listened to inputs from many stakeholders by revising capacity charge for industries and requirements for SLO (operation certificate).

Increase in rooftop solar users in Indonesia, 2017 – 2020

Going to 2020, this year the government and PLN have finally agreed to continue floating PV project in Cirata, amounts to 145 MW in capacity, after a long delay. The electricity price is not made public, but the project is expected to start construction soon, a decision made before the pandemic hit. The PPA is a good sign in terms of renewables development in Indonesia, however, PLN’s plan (RUPTL) only targets 933 MW renewables in 2020, and only 78 MW of that coming from solar; still far from RUEN’s target of 6.5 GW in 2025.

Two regulations related to solar energy development were issued in early 2020: MEMR Reg. 4/2020 revising BOOT terms to BOO and permit direct selection; and Ministry of Public Works’ regulation for floating PV on dam area. The latter signals floating solar power plants could be the next hottest renewable projects in Indonesia.

As the pandemic hit many countries, its impacts on solar landscape in Indonesia are fairly obvious. Small-scale rooftop solar, particularly for residential user, has seen decrease in interest and inquiries as homeowners prioritize health and other essential needs. Several EPC companies have reported sales decrease. For C&I consumers, they will likely wait-and-see as their financial also suffer from the weakened economy. However, RE100 companies with pre-commitment to use renewables might stick to their plans, such as Multi-Bintang and Danone-AQUA, they already have megawatt-size solar development on the pipeline.

Regulation on feed-in-tariff (FiT), long awaited by renewables investors and planned to be issued early this year, is likely to be delayed to June (earliest estimate). With limitations in transportation as well as area restriction; solar projects currently under construction phase will also be delayed for at least 6 months. The government has also announced that several other renewables projects under government budget and PLN’s pipeline, such as geothermal projects, will be postponed.

Mr. Baray spoke more on the investment climate. Enabling environment with supportive regulations, such as FiT, will help in boosting solar growth in Indonesia. However, he mentioned the challenges in land availability (might be addressed by government), transmission and distribution in integrating renewables into power grid, and the high requirements for local content. With those challenges, reaching economies of scale and in particular during the difficult time of pandemic, will be a more difficult task to accomplished.


Complete recording is available here:

Pojok E-Nergi: Jaring Pengaman Sosial Sektor Energi di Masa Pandemi Virus Corona

Pada 14 April 2020, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Seri Diskusi Daring (online) Pojok E-Nergi perdana, mengangkat topik jaring pengaman sosial sektor energi di masa pandemi virus corona. Pojok Energi adalah seri diskusi isu energi untuk umum yang dilakukan reguler oleh IESR sejak 2017, dan kali ini diselenggarakan secara daring.

Dalam Pojok E-Nergi kali ini narasumber yang hadir adalah Hendra Iswahyudi (Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM), Tulus Abadi (Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia/YLKI), dan Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR). 

Sejak penetapan status darurat kesehatan masyarakat dengan anjuran berkegiatan di rumah dan membatasi aktivitas yang melibatkan banyak orang, ekonomi Indonesia juga turut melemah dan mempengaruhi banyak kelompok masyarakat; utamanya kelompok masyarakat rentan yang kebanyakan dari sektor informal. Pemerintah menanggapi kondisi ini dengan memberikan paket jaring pengaman sosial, termasuk sektor energi, menyasar masyarakat yang termasuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Jaring pengaman sosial sektor energi tersebut berupa penggratisan biaya listrik pelanggan 450 VA (sekitar 23 juta pelanggan) selama tiga bulan mulai April hingga Juni 2020, sementara pelanggan 900 VA (sekitar 7 juta pelanggan) berhak mendapatkan potongan harga sebesar 50%. Hendra Iswahyudi menyatakan dalam paparannya, dibutuhkan sedikitnya Rp 3 triliun untuk kompensasi PLN demi menjawab kebijakan diskon tarif ini.

Dalam pelaksanaannya, pemberian keringanan tarif tenaga listrik ini telah diatur melalui Surat Dirjen Ketenagalistrikan Nomor 707/26/DJL.3/2020 dan Kementerian ESDM telah menginstruksikan kepada PT PLN untuk pelaksanaan pemberian diskon tarif.

Skema keringanan tarif tenaga listrik untuk RT 450VA dan 900VA

Menurut Hendra, tantangan yg muncul di lapangan di antaranya adalah sosialisasi untuk masyarakat yg belum paham teknologi informasi (IT) dan panjangnya proses penerbitan voucher. Selain itu, Kementerian ESDM juga membahas penggantian pendapatan daerah (PAD) yg hilang dari penggratisan biaya listrik (termasuk penerangan jalan umum) dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian Dalam Negeri.

Hendra juga menggarisbawahi bahwa proses evaluasi jaring pengaman sosial ini sedang dilakukan. Kementerian ESDM juga terus mengkaji insentif dan stimulus untuk kelompok pelanggan lain, termasuk sektor UMKM dan komersial/bisnis yang juga terdampak pandemi. Untuk sementara ini sebagai respon cepat, stimulus diberikan pada kelompok masyarakat paling rentan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif, menilai kebijakan keringanan tagihan listrik tersebut merupakan langkah yang tepat oleh pemerintah di tengah pandemi COVID19. Respon cepat ini diperlukan untuk memastikan kelompok masyarakat terdampak segera terbantu. Fabby juga memberikan beberapa catatan terkait tindakan pemerintah ini. Menurutnya, pemerintah belum memiliki skema jaring pengaman sosial energi yg komprehensif, mengingat Indonesia belum memiliki standar dan mekanisme pengukuran kemiskinan energi.

Hingga saat ini, akses energi di Indonesia masih berdasar prinsip ketersambungan, belum mengukur kualitas dan standar konsumsi minimal untuk kegiatan produktif.  Secara kualitas dan dalam klasifikasi tier menurut kerangka multi-tier framework (MTF) yang dikembangkan oleh ESMAP dan Bank Dunia, banyak daerah di Indonesia yang akses energinya masih berada di tier rendah, yaitu tersambung atau ada listrik namun ketersediaan dan kualitas listriknya minim. Studi IESR di 2 provinsi menunjukkan hal serupa, rumah tangga yang menjadi sasaran distribusi Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) otomatis masuk dalam tier rendah mengingat listriknya hanya tersedia terbatas dan hanya untuk penerangan dan pengisian daya telepon genggam.

Fabby mengatakan, masa pandemi ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan evaluasi penyediaan akses energi dan mengintegrasikan “kemiskinan energi” dalam penentuan kelompok rumah tangga miskin, sehingga jaring pengaman sosial energi dapat dirancang secara efektif. Dengan adanya standar kualitas akses energi, maka jaring pengaman sosial energi di masa darurat dapat dirancang dengan mempertimbangkan aktivitas produktif masyarakat dan tidak sekadar memberikan penerangan atau sambungan listrik sementara. Contoh sederhananya, jika aspek standar konsumsi listrik dimasukkan, maka pemberian keringan tarif listrik untuk masyarakat miskin dan rentan bisa didasarkan pada konsumsi tersebut sehingga aktivitas ekonomi dapat berjalan normal. 

Tulus Abadi juga mengapresiasi langkah pemerintah untuk memberikan jaring pengaman sosial bagi kelompok masyarakat rentan. Di sisi lain, Tulus merekomendasikan kelompok rumah tangga 1300 VA untuk mendapatkan stimulus serupa. Di kawasan perkotaan, kelompok 1300 VA ini adalah terdiri dari pekerja informal, dirumahkan, atau kehilangan pendapatan sehingga mereka memerlukan stimulus energi; karena energi adalah kebutuhan utama dan mendasar. Meski tidak termasuk dalam kelompok masyarakat miskin, mereka kehilangan pendapat sehingga menjadi kelompok masyarakat yang memerlukan bantuan pemerintah.

Tulus mengharapkan pemerintah menjaga pasokan LPG 3 kg dan harganya. Menurutnya, subsidi energi memasak yang diberikan pemerintah untuk LPG 3 kg sudah cukup, yang perlu dipastikan adalah ketersediaannya secara merata dan pengawasan harga eceran tertinggi sehingga tetap terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan.  

Dua orang perwakilan masyarakat, yaitu Ibu Mariyam dari Jakarta dan Pak Ismono dari Demak (Jawa Tengah) merespon dengan baik tindakan pemerintah memberikan jaring pengaman sosial energi ini. Menurut mereka, sosialisasi di lapangan yang belum menyeluruh masih menjadi kendala, juga adanya keluarga yg menurut pengamatan mereka sebenarnya membutuhkan namun tidak mendapatkannya. Ibu Mariyam dan Pak Ismono berharap penyebaran informasi dilakukan dengan lebih masif dan lebih jelas, benar-benar diberikan untuk yang membutuhkan, dan diberikan sepanjang dampak pandemi COVID19 dirasakan — bisa jadi lebih dari 3 bulan seperti skema jaring pengaman sosial saat ini.

Rekaman diskusi daring ini dapat dilihat secara utuh di: