PLN Terjebak Dilema, Pertumbuhan Penjualan listrik melambat.

Melambatnya pertumbuhan penjualan listrik menjadi dilema bagi PT PLN Persero, dimana permintaan listrik hanya mencapai 77,9 gigawatt untuk memenuhi kapasitas di tahun 2026. Situasi ini menimbulkan keraguan untuk mencapai target proyek listrik pemerintah sebesar 35 GW di tahun 2019.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan dengan pertumbuhan saat ini, target yang bisa dicapai di tahun 2019 hanya sebesar 15 GW. Jika sisa target 35 MW tetap dibangun pada tahun 2020 kemungkinan tidak akan terserap dan menimbulkan margin yang tinggi

Baca lebih lengkap tersedia dalam versi Bahasa Inggris

 

Pemerintah Harus Hati-hati Soal Kesepakatan dengan Freeport

  • Ignasius Jonan bersama Sri Mulyani dan CEO Freeport-McMoran Copper & Gold Inc Richard Adkerson berbincang sebelum menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait divestasi saham di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/8). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

    Pemerintah masih menghitung skema penerimaan negara dari PT Freeport Indonesia

  • Pemerintah diharapkan berhati-hati dan konsisten terhadap hasil perundingan yang telah dicapai dengan PT Freeport

JAKARTA, TIRTO.ID- Pertemuan antara Tim Perundingan Pemerintah dan PT Freeport Indonesia yang berlangsung pada Minggu (27/8/2017) akhirnya menyepakati sejumlah poin penting, yaitu: perubahan status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), divestasi saham 51 persen, komitmen bangun smelter, dan stabilitas penerimaan negara.

Dengan kesepakatan tersebut, PT Freeport Indonesia akan mendapatkan perpanjangan masa operasional maksimal 2×10 tahun hingga 2041. Namun demikian, pemerintah masih menghitung skema penerimaan negara dari Freeport, dan merinci pembagian saham yang telah disepakati.

“Di satu sisi sudah ada PP 01/2017, namun di satu sisi kita dorong lagi agar kesepakatan lebih cepat. Nanti akan didetailkan waktu dan prosesnya, karena ini berkaitan dengan siapa yang berpartisipasi dan juga pemerintah,” kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati saat konferensi pers, Selasa (29/8).

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya Widya Yudha mengharapkan agar pemerintah dan PT Freeport Indonesia bisa konsisten terhadap hasil perundingan yang telah dicapai. Hasil renegosiasi final yang telah berlangsung dapat dikatakan positif.

Kendati demikian, Satya mengimbau agar pemerintah agar berhati-hati dalam menentukan rincian dari divestasi saham yang telah ditentukan. “Karena kontrak berakhir pada 2021, lalu bisa diperpanjang 2 x 10 tahun hingga 2041, maka [divestasi] harganya harus bisa lebih tinggi di saat itu,” kata Satya saat dihubungi Tirto melalui sambungan telepon, pada Selasa malam.

Politisi Partai Golkar ini juga menyinggung perihal pembangunan smelter yang direncanakan bakal berlangsung hingga 2022 mendatang. “Pentahapannya pun harus jelas. Seperti di tahun pertama bagaimana, tahun kedua, dan selanjutnya. Karena memang yang terpenting dari itu adalah implementasinya,”kata Satya.

Satya juga menyinggung perihal penggantian izin operasi PT Freeport Indonesia dari yang tadinya berbentuk KK menjadi IUPK. Selain untuk mematuhi aturan yang tercantum pada PP No 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, diperlukan adanya perubahan pada skema operasional yang harus dilakukan.

Menurut Satya, seharusnya dengan adanya perubahan tersebut, pemerintah harus mengadakan lelang.“Tapi mungkin karena ini kontrak lama, jadi ada satu dan lain hal yang menjadi kesepakatan tersendiri,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa berpendapat seharusnya pemerintah bisa lebih utuh dalam menjelaskan kesepakatan dengan PT Freeport Indonesia. Masyarakat perlu tahu bagaimana hitungan dari fiskal, perpajakan, maupun divestasi saham tersebut.

“Esensi kontraknya kan ada di level itu. Kalau sudah tahu, baru kita akan tahu apakah kesepakatan itu menguntungkan atau tidak,”kata Fabby kepada Tirto, Selasa malam.

Tak hanya itu, Fabby juga menilai pemerintah tidak cukup transparan dalam menjabarkan rincian proses negosiasi yang telah dilakukan. Salah satunya, seperti informasi bahwa ternyata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan adalah ketua dari tim negosiasi.

“Sebelumnya tidak diketahui kan siapa sebenarnya yang melakukan negosiasi dengan Freeport dari Indonesia. Lalu apakah dari awal Menteri Keuangan juga ikut dalam tim, atau hanya sekadar dimintai pertimbangannya?”jelas Fabby.

Karena itu, meski mengapresiasi langkah yang telah ditempuh pemerintah, namun Fabby melihat kesepakatan yang muncul baru sebatas payung hukum. Masih banyak hal-hal teknis lainnya yang perlu didetailkan dan dijabarkan lebih lanjut.

“Ini semacam framework agreement saja, banyak detail teknis yang belum (terungkap),”tutur Fabby.

Hal senada juga diungkapkan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana. Ia mengingatkan pemerintah harus berhati-hati terkait penentuan harga divestasi saham Freeport. Jangan sampai pemerintah membeli saham sangat mahal, atau saking mahalnya akhirnya pemerintah tidak bisa melakukan divestasi.

“Nah yang pemerintah harus hati-hati adalah dengan harga berapa divestasi saham akan dilakukan. Saya yakin ini akan alot. Freeport pasti minta harga premium sementara pemerintah minta harga serendah-rendahnya,” kata Hikmahanto, seperti dikutip Antara.

Terkait dengan pengumuman hasil negosiasi dengan Freeport, Hikmahanto menilai sudah baik karena pemerintah berhasil mengharuskan PT Freeport Indonesia untuk mematuhi Pasal 170 UU 4/2009, yaitu untuk Kontrak Karya tidak lagi melakukan ekspor kalau tidak dimurnikan di dalam negeri.

Kalaupun sekarang masih melakukan ekspor, kata Hikmahanto, hal itu karena Freeport memilih untuk melakukan konversi dari KK menjadi IUPK.

“Dalam konteks IUPK berdasarkan Pasal 102 dan 103 tidak ada batas waktu lamanya melakukan kewajiban memurnikan di dalam negeri. Tapi berdasarkan PP 1/2017 Freeport hanya diberi waktu dalam jangka waktu 5 tahun,” kata dia.

Sumber : tirto.id.

Pojok Energi #4: Menerangi dari Desa

Tujuh puluh dua tahun Indonesia merdeka, belum seluruh masyarakat Indonesia dapat menikmati fasilitas dan kenyamanan yang sama. Salah satunya dari segi aksesibilitas energi listrik. Untuk mencari lebih jauh informasi, program, dan perkembangan program pemerintah dalam menangani masalah ini, IESR bersama Strategic Partner (SP) for Green and Inclusive Energy yang didukung oleh Hivos  menyelenggarakan diskusi publik Pojok Energi dengan judul “Quo Vadis Listrik Perdesaan?” pada tanggal 23 Agustus 2017 di Hotel Oria, Menteng.

Hadir sebagai pembicara adalah  Rachmat Mardiana (Direktur Energi, Telekomunikasi dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas), Alihuddin Sitompul (Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM), dan Kiswanto (Manajer Senior Perencanaan Sistem III PLN).

Alihuddin Sitompul membuka sesi dengan menjabarkan kondisi kelistrikan Indonesia saat ini. Menurut data terakhir yang dimiliki oleh ESDM, rasio elektrifikasi Indonesia telah mencapai 92,8% dengan konsumsi listrik sebesar 959,46 kWh/kapita. Berdasarkan data geografis, rasio elektrifikasi terendah ada di Provinsi Papua dan NTT. Jika dilihat berdasarkan lokus desa, terdapat 2.424 desa yang belum terlistriki yang sebagian besar berada di provinsi Papua dan Papua Barat. “Kita tahun 2019 punya target konsumsi 1.250 kWh/kapita. Kalau cuma berdasarkan elektrifikasi saja, yang naik paling 50 kWh/kapita,” terang Alihuddin.

Tantangan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi salah satunya adalah letak geografis yang sulit dijangkau. Untuk menjawab tantangan ini, Kementerian ESDM memiliki program Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) yang penyediaannya telah diatur dalam Perpres No. 47 Tahun 2017 dan tata cara penyediaannya diatur dalam Perpres No. 33 Tahun 2017. Program LTSHE ini dimaksudkan sebagai program pra-elektrifikasi, guna menerangi desa-desa yang masih gelap sebelum jaringan PLN masuk.

Program lain berkaitan listrik perdesaan yang dimiliki Kementerian ESDM adalah perluasan jaringan PLN yang diatur oleh RUPTL. Nilai anggaran program tersebut sebesar Rp 3,1 triliun. Di dalamnya terdapat biaya penyambungan senilai 2,1-2,5 juta rupiah/sambungan yang dibayar oleh pelanggan.

Salah satu regulasi yang mengatur pengembangan listrik perdesaan adalah Permen ESDM No. 38/2016. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa investor swasta dapat masuk untuk menerangi desa-desa yang jauh lokasinya atau sulit terjangkau jaringan PLN. Terkait hal ini, Alihuddin menyebutkan investor asing lebih banyak tertarik berinvestasi di pulau-pulau besar di Papua.

“Kuasa usahanya bisa sampai 20-25 tahun. Jadi pulau tersebut menjadi wilayah usaha swasta berbasis listrik hingga 25 tahun. Lebih baik bila bergabung dengan BUMD pemerintah setempat, sehingga pengelolaannya tidak murni oleh asing,” jelas Alihuddin lebih jauh.

Presentasi selanjutnya disampaikan oleh Rachmat Mardiana dari Bappenas. Paparan Rachmat Mardiana secara garis besar mencakup tiga hal: rencana besar pembangunan nasional, rencana pembangunan infrastruktur kelistrikan, serta opsi skema pembiayaan infrastruktur kelistrikan.

Seperti disampaikan oleh Rachmat Mardiana, kerja pemerintah sekarang beralih dari yang semula money follow function menjadi money follow program.

“Ada kegiatan yang untuk mendukung pencapaian atau target-target RKT (Rencana Kerja Tahunan) kita kategorikan sebagai proyek prioritas nasional. Kemudian ada kegiatan-kegiatan yang  bertujuan memenuhi target-target pada RPJMN kita kategorikan sebagai prioritas bidang, “ jelas Mardiana.

Secara garis besar arah kebijakan ekonomi makro 2018 meliputi tiga hal: menjaga pertumbuhan ekonomi 5,4-6,1%, menjaga stabilitas ekonomi, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Mardiana lebih lanjut menjabarkan terdapat tiga sektor prioritas, yaitu industri pengolahan, pariwisata, dan pertanian. Dengan demikian, penetapan proyek-proyek infrastruktur perlu merujuk pada sektor-sektor prioritas.

Berkaitan dengan pendanaan, menurut Mardiana dana pemerintah saat ini terbatas. “Untuk investasi sebesar Rp 4.796,2 T selama 5 tahun (2015-2019), dana APBN dan APBD hanya mencakup sekitar 41,3%,, BUMN 22,2%, dan sisanya swasta.”

Mardiana lebih lanjut menjelaskan terdapat empat skema pendanaan swasta yaitu investasi sosial, KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha), special commercial investment, dan general commercial investment.

Sementara untuk sektor ketenagalistrikan, terdapat beberapa pos pendanaan dalam APBN antara lain: Dana Desa, belanja kementerian/lembaga, dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Berbicara lebih jauh mengenai Dana Alokasi Khusus (DAK), menurut Rachmat Mardiana jumlahnya terbatas. “Untuk dua tahun ini mungkin sekitar 500 milyar, tetapi dibagi-bagi ke seluruh Indonesia dengan menunya PLTS, PLTMH, biogas skala rumah tangga untuk DAK 2016,” papar Rachmat Mardiana. Namun menurut Rachmat Mardiana, kendala yang muncul adalah mengenai proposal. Untuk mendapatkan DAK, salah satu persyaratannya adalah pengajuan proposal dari pemerintah daerah. Artinya tanpa proposal, meski daerah tersebut misalnya membutuhkan listrik, DAK tidak bisa diberikan. Lebih lanjut, tantangan terkait DAK adalah keberlanjutan program. Banyak aset yang mangkrak karena warga atau pemerintah tidak bisa mengoperasikan.

Pada sesi selanjutnya, Kiswanto dari PLN berbicara tentang tantangan yang dihadapi PLN beberapa tahun ke belakang. Salah satu kendala PLN dalam melistriki desa adalah larangan pembangunan PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) oleh manajemen PLN dan pemerintah . Larangan tersebut berlaku hingga tahun 2015. Untuk mendapatkan minyak diesel pun PLN terbentur kuota dari Pertamina, sedangkan di satu sisi PLN dilarang untuk membeli dari luar negeri.

Kiswanto selanjutnya menjelaskan rencana ekspansi jaringan PLN. Saat ini perluasan jaringan sudah menyasar daerah luar pulau Jawa seperti pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, atau Maluku Utara. Hingga tahun 2019, PLN berencana dapat menerangi 2.500 desa yang masih gelap.

Secara garis besar rencana PLN untuk menerangi 2.500 desa adalah dengan pengembangan paralel segi pembangkitan, transmisi, maupun distribusi. Namun, menurut pengakuan Kiswanto, pengembangan jaringan transmisi masih terkendala pembebasan lahan. ”Ini memang soal prosesnya, di mana pembebasan lahan untuk fasilitas umum prosesnya agak sulit meski ada unsur paksa yang dilindungi undang-undang.”

Kiswanto melanjutkan, “Ketika sosialisasi sering ada perantara-perantara dadakan, hal seperti ini sulit dihindari.”

Pada sesi tanya jawab, diskusi yang dihadiri oleh pengamat kelistrikan, akademikus, peneliti, maupun masyarakat sipil berjalan menarik. Berbagai pertanyaan dan pendapat kritis terkait rencana pengembangan infrastruktur kelistrikan disampaikan audiens. Topik penyediaan energi baru-terbarukan  (EBT) juga disinggung dalam diskusi hari itu.

Kanti dari Artikel33 mengemukakan temuan penelitian banyak inisiatif masyarakat dalam membangkitkan energi dari sumber EBT  terkubur sia-sia setelah PLN justru mengembangkan jaringan di daerah itu.

Sementara Yurgen, inisiator masyarakat sipil dari Kupang, memberikan saran kepada pemerintah agar pembangkitan listrik juga memperhatikan kearifan dan pola perilaku lokal masyarakat. Menurutnya, pengembangan infrastruktur kelistrikan jangan hanya berhenti di perumahan, tapi juga ke wilayah-wilayah pertanian. Hal ini berdasarkan pengamatan bahwa mayoritas penduduk perdesaan bekerja sebagai petani dengan usia yang sudah tua.

Rachmat Mardiana menanggapi bahwa pengembangan infrastruktur memang seharusnya perpaduan antara pendekatan top-down dan partisipasi daerah. Menyinggung kembali mengenai Dana Alokasi Khusus, program tersebut baru bisa berjalan jika ada inisiatif pemerintah daerah.

Kiswanto dari PLN menyatakan bahwa pengembangan EBT telah menjadi prioritas PLN. Hal ini juga mengacu pada batasan dari pemerintah bahwa porsi pembangkitan dari batu bara maksimal 50%. Namun kendala EBT adalah sifatnya yang intermittent (suplai tidak bisa diatur), sedangkan di satu sisi masyarakat menginginkan karakteristik listrik yang handal dengan harga yang murah.

Harga Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) EBT saat ini ditengarai masih mahal. Menurut Kiswanto, BPP EBT bisa menjadi lebih murah jika pengembangannya dalam skala besar. Kendati demikian, pengembangan skala besar juga harus disertai dengan pengembangan transmisi dan sambungan ke grid.

Masalah listrik desa adalah permasalahan multisektor. Pemerintah di satu sisi harus memutar otak untuk dapat mengoptimalkan anggaran melalui sektor-sektor prioritas. Beberapa program nasional pada praktek kurang dapat berjalan optimal karena kurang memperhatikan aspek sosial lokal. Di satu sisi, pada level birokrasi yang lebih rendah perlu peningkatan kapasitas dan inisiatif dari pemerintah daerah untuk dapat mengakses dana-dana yang diberikan oleh pemerintah pusat. Tidak ketinggalan, inisiatif masyarakat sipil perlu mendapatkan perhatian agar kebijakan listrik nasional lebih produktif dan tepat sasaran.

Artikel ini ditulis oleh Kukuh Samudra (internee di IESR) dan disunting oleh Marlistya Citraningrum.

 

 

 

 

Perubahan Kebijakan Tidak Menyelesaikan Permasalahan

Menanggapi cepat kritikan Presiden Joko Widodo mengenai kebijakan yang dianggap mengganggu iklim investasi, Kementerian Energi dan Smber Daya Mineral (ESDM) berencana untuk merevisi Permen No. 42 Tahun 2017 yang mengatur tentang kewajiban perusahaan untuk meminta persetujuan Menteri ESDM terhadap perubahan kepemilikan saham, pengalihan interes dan kepengurusan perusahaan, termasuk perubahan direksi dan/atau komisaris.

Menurut Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, permasalahan di sektor energi dan mineral tidak dapat diselesaikan hanya dengan membuat revisi kebijakan. Namun yang dibutuhkan adalah sebuah upaya yang sistematis untuk mengindentifikasi permasalahan yang dihadapi para investor.

Baca lebih lengkap tersedia dalam versi Bahasa Inggris

Mengukur Capaian NDC di Sektor Energi

Jika Indonesia tidak mampu mencapai target penurunan emisi sebesar 29-41% di tahun 2030, maka akan lebih berat lagi untuk mencapai target Kesepakatan Paris dengan skenario 1,5°C.

Apakah Indonesia mampu mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% seperti yang dinyatakan dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contribution)? Bagaimana dengan target penurunan emisi di sekto energi? Bagaimana mengukur capaian NDC dan siapa yang mengukurnya?

Pembahasan tentang pengukuran pencapaian target NDC di sektor energi menjadi topik yang hangat dalam diskusi Pekan Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Jum’at pekan lalu (4/8).

Diskusi ini menghadirkan Rida Mulyana, Dirjen EBTKE, Kementerian ESDM, Retno Gumilang Dewi Pusat Kebijakan Keenergian Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).

Menurut Rida Mulyana untuk mendukung pencapaian target NDC kementerian ESDM telah menyiapkan berbagai perangkat kebijakan, program strategis dan rencana aksi untuk menurunkan emisi sebesar 11% atau 314 juta ton CO2e yang dicapai di tahun 2030.

“Hingga tahun 2016 target penurunan emisi telah mencapai 33 juta ton CO2e, baik yang masuk ke dalam program DIPA maupun yang dilaksanakan oleh pihak swasta,”jelas Rida.

Namun pencapaian ini, terbatas hanya pada kementerian ESDM dan tidak termasuk penurunan emisi di sektor energi dari kementerian atau pihak lainnya.

“Kami tidak mempunyai wewenang untuk mendokumentasikan seluruh capaian tersebut,” jelasnya.

Pengukuran capaian NDC Indonesia sebesar 29-41% di tahun 2030, menurut Fabby Tumiwa menjadi sangat penting. Dan untuk, itu diperlukan sebuah sistem pemantauan dan verifikasi dengan indikator yang jelas dan disepakati semua pihak.

“Komitmen terhadap Kesepakatan Paris tidak hanya membuat dokumentasi NDC, namun yang lebih penting adalah bagaimana target tersebut dapat diintegrasikan atau dimasukkan ke dalam rencana kerja pembangunan dan sektoral, dan dapat dilaksanakan setiap tahunnya oleh para pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan kelompok masyarakat sipil.” ujar Fabby.

Jika target NDC ini tidak dapat tercapai, maka akan lebih berat lagi bagi Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi dengan skenario 1,5°C.

Dia menjelaskan ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengukur pencapaian NDC Indonesia, salah satunya dengan menggunakan indikator kebijakan administratif. Indikator ini akan melihat sejumlah aspek seperti 1) Besarnya pendanaan yang di alokasikan untuk pembangunan energi terbarukan seperti APBN atau APBD, 2) Jumlah perizinan yang dikeluarkan untuk proyek-proyek energi terbarukan. Selain lintas kementerian, indikator ini juga perlu dikoordinasikan dengan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) yang selama ini mempunyai wewenang terkait perizinan, 3) Monitoring pelaksanaan proyek-proyek energi terbarukan yang dilihat dari jumlah PPA dan kapasitas pembangkit yang sudah direncanakan dan disiapkan, serta 4) Kesuaian pencapaian terhadap target dan aturan yang ditetapkan pemerintah.

Selain menggunakan indikator di atas, pencapaian NDC juga bisa dapat diukur dari dampak kegiatan aksi mitigasi, seperti

  • Pengembangan energi terbarukan yang mengukur total kapasitas pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan, kontribusi terhadap bauran energi, komposisi Bahan Bakar Nabati (BBN) terhadap bahan bakar yang dipakai, jumlah produksi listrik dari energi terbarukan
  • Efisiensi energi yang dihitung dari total konsumsi energi di tingkat nasional dan sektoral, intensitas energi untuk ekonomi di setiap sektor
  • Clean Power yang dilihat dari kapasitas PLTU yang menggunakan teknologi ulta super critical (USC) dari kapasitas PLTU nasional, kapasitas PLT Sampah
  • Fuel Switching yang diukur dari penambahan jaringan gas kota, jumlah konsumsi gas dan LPG dll
  • Reklamasi pasca tambang yang diukur dari jumlah kawasan pertambangan yang telah direklamasi

Fabby menegaskan pencapaian target penurunan emisi tidak bisa dicapai hanya hanya dengan mendorong proyek-proyek energi terbarukan, namun juga perlu dukungan kebijakan lain seperti peluang untuk menerapkan carbon pricing, disinsentif untuk pajak bahan bakar, penutupan PLTU yang tidak lagi efisien, peningkatan standar emisi PLTU, rasionalisasi batubara serta percepatan standar Euro 4.

“Semua pilihan ini tentunya perlu dipertimbangkan termasuk risiko yang ditimbulkan dan upaya mitigasinya” ujar Fabby.

Retno Gumilang Dewi juga menegaskan pengukuran dan dokumentasi pencapaian target NDC merupakan bagian dari prinsip Kesepakatan Paris terkait clarity, transparency and understanding. Oleh karena itu, penguatan sistem informasi dan monitoring yang terkoordinasi menjadi sangat penting.

Project Manager – Sustainable Energy Partnership

About the Position

IESR, an Indonesia NGO, is preparing an initiative to support the sustainable development of the Indonesian energy system, in order to help meet the emission reduction pledge in the Nationally Determined Contribution (NDC). The initiative will focus on the power system in Indonesia, and the feasibility of integrating larger shares of renewables. The Project Coordinator will work together with the Executive Director of IESR develop this initiative, and implement strategies and activities, including working closely with partners and key stakeholders in Indonesia and internationally. IESR is seeking a highly qualified candidate to assist the further development and implementation of this initiative.

The key roles and responsibilities

  • Together with the ED develop the growth strategy of the project, and assist in building up a team of power sector experts;
  • Work closely with ED to implement project’s activities under agreed work-plan;
  • Lead and coordinate the work of the project’s team and manage day to day operation;
  • Identify strategies to work with project’s partners and engage with key stakeholders;
  • Identify strategies to communicate of project outputs and outcomes to partners and various stakeholders.

Qualification and Selection Criteria

  • Has good understanding on energy sector in Indonesia
  • A minimum of 5-7 years professional experience in the energy sector, preferably in management position; including experience in conducting advocacy or campaign
  • Proven management skill
  • Sound analytical skill, in particular on energy/power sector policy issues
  • Having experience in reach out and work with high-level stakeholders from government, business, and NGOs
  • Ability to think innovatively and strategically in advancing the project
  • Excellent written communication skill, and fluency in English
  • Advanced university graduate (minimum Master degree)
  • Indonesia nationality
  • Ability join IESR before the end of 4th week of August is an advantage.

Salary

Salary and benefits is competitive and will be commensurate with candidate’s qualification and experiences. 

How to apply

  1. Candidate to download application form from IESR website
  2. Send the completed application form, together with an application letter and latest CV to iesr@gmail.com before August 12th, 2017.
  3. Only qualified candidate will be called for interview.

Tarif Listrik yang Adil Didorong

Mutu Pasokan yang Diterima Pelanggan Timpang

JAKARTA, KOMPAS — Institute for Essential Services Reform mendorong realisasi pembentukan tarif listrik yang adil bagi seluruh pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Berdasarkan laporan pemantauan kualitas listrik, mutu pasokan listrik di Pulau Jawa dengan Indonesia bagian timur timpang.

Padahal, tarif listrik per kilowatt-jam yang dikenakan terhadap pelanggan sama.

Laporan Electricity Supply Monitoring Initiative itu disampaikan Program Manager Institute for Essential Services Reform (IESR) Marlistya Citraningrum, Selasa (25/7), di Jakarta.

Hasil pemantauan IESR menunjukkan ketimpangan mutu pasokan listrik di beberapa lokasi percontohan. Penelitian dilakukan dengan memasang alat khusus pemantau dan pencatat tegangan listrik di rumah pelanggan PLN di sejumlah kota di empat provinsi. Keempat provinsi itu adalah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Pemantauan dilaksanakan pada periode Agustus 2016 hingga Mei 2017.

“Rata-rata listrik padam di wilayah DKI Jakarta hanya dua kali dalam sebulan, sedangkan di Kupang sebanyak 11 kali dalam sebulan. Adapun durasi pemadaman di DKI Jakarta 2 jam 19 menit, sedangkan di Kupang selama 13 jam 9 menit,” ujar Marlistya.

Direktur IESR Fabby Tumiwa menambahkan, hasil pengukuran mutu pasokan listrik yang timpang dan tarif listrik per kilowatt-jam (kWh) yang sama di seluruh Indonesia menunjukkan, ada kesan ketidakadilan terhadap pelanggan yang mendapat mutu pasokan listrik buruk.

Ia mengusulkan agar ada perbedaan tarif bagi daerah yang tingkat mutu pelayanan listriknya buruk dengan daerah yang tingkat mutu pelayanan listriknya sudah baik, seperti di wilayah Jawa.

“Ini masalah keadilan. Apakah bisa dibilang adil jika pelanggan membayar tarif yang sama, tetapi mutu pelayanannya berbeda? Sistem pemantauan yang kami lakukan ini juga untuk menciptakan transparansi agar masyarakat bisa mengetahui kondisi sesungguhnya soal mutu layanan listrik yang mereka bayar,” kata Fabby.

Formula

Mengenai ide tersebut, Kepala Divisi Niaga Perusahaan Listrik Negara Benny Marbun mengatakan, pihaknya sedang mengajukan formula mengenai perbedaan tarif listrik terhadap pelanggan yang menerima mutu pelayanan berbeda. Tingkat mutu pelayanan ini ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan indikator antara lain toleransi jumlah pemadaman listrik dan durasinya. Jika yang dialami pelanggan melebihi ambang toleransi, pelanggan berhak mendapat kompensasi dari PLN.

“Sedang kami usulkan dan sedang disusun formulasinya. Dasarnya, tarif listrik yang dibayar sama, tetapi mutu dan kualitas yang didapat pelanggan berbeda. Penyebab perbedaan itu antara lain kapasitas daya listrik terpasang di suatu wilayah maupun kualitas infrastruktur jaringan dan trafo,” ujar Benny.

Kepala Seksi Keselamatan Ketenagalistrikan pada Direktorat Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Didit W mengatakan, standar tingkat mutu pelayanan di setiap wilayah berbeda. Namun, dapat dipastikan, pelanggan berhak mendapat kompensasi jika mutu dan pasokan listrik yang didapat melampaui batas toleransi yang ditetapkan.

Kompensasi itu berupa potongan pembayaran tagihan listrik maupun berupa penambahan token (pulsa) listrik.

Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, total kompensasi sepanjang 2016 senilai Rp 30,6 miliar yang dibayarkan kepada sekitar 3,7 juta pelanggan di seluruh Indonesia. Khusus di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, total kompensasi yang dibayarkan sepanjang 2016 mencapai Rp 1,2 miliar, yang dibayarkan kepada 27.693 pelanggan.

Selain di Indonesia, model pemantauan mutu dan kualitas pasokan listrik juga dilakukan di Tajikistan, Tanzania, dan India. Secara khusus, alat pemantau yang dipasang di rumah pelanggan akan mencatat besaran tegangan yang masuk serta durasi pemadaman. Data tersebut dikirim secara langsung melalui jaringan yang terhubung, menggunakan kartu seluler. (APO)

Sumber : kompas.id.

 

Kualitas Listrik Pelanggan Belum Merata, Pemerintah Didorong Perkuat TMP

Penyediaan listrik yang handal dan berkualitas masih menjadi persoalan dalam penyediaan layanan listrik di Indonesia. Hal ini terungkap dari hasil pemantauan kualitas listrik PLN oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui project Electricity Supply Monitoring Initiative (ESMI).

ESMI merupakan sebuah inisiatif pemantauan kualitas listrik pada pelanggan yang awalnya dikembangkan oleh Prayas Energy Group, sebuah NGO di India. ESMI menggunakan alat portable Electricity Supply Monitor (ESM), yang dipasang dan dihubungkan ke saluran listrik di rumah pelanggan. ESM akan merekam tegangan setiap menitnya serta frekuensi dan durasi listrik padam yang terjadi, kemudian mengirimkannya datanya ke sebuah server. Dengan ESM, rekaman tegangan dan gangguan listrik di sisi pelanggan dapat dipantau real time. Data yang direkam oleh ESM tersebut diolah dan ditampilkan di website sehingga dapat dilihat dan dipantau pula oleh publik. Metode crowdsourcing ini dapat menyediakan data kualitas listrik dari berbagai lokasi dalam waktu bersamaan.

Diperkenalkan pada publik pada Maret 2015 di India, ESMI sudah diterapkan di beberapa negara, antara lain Indonesia, Tajikistan, dan Tanzania. Pilot project ESMI di Indonesia yang dimulai pada Agustus 2016 mencakup 28 lokasi di 4 provinsi. Alat ESM merekam kualitas listrik di pemukiman dengan berbagai variasi tipe dan kedekatan dengan kawasan lain seperti perkantoran dan industri, serta kawasan komersial dan pertanian.

Hasil pemantauan ESMI yang dapat dilihat melalui http://pantaulistrikmu.id menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang telah mendapatkan pasokan listrik yang memadai seperti Jakarta tetap menghadapi permasalahan seperti pemadaman listrik dan kualitas tegangan yang beragam.

Menurut Dr. Marlistya Citraningrum dari IESR, analisa data ESMI menunjukkan rata-rata durasi listrik padam di wilayah Jabodetabek mencapai 2 jam 9 menit per bulan. Bila dibandingkan dengan besaran Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) tahun 2017, beberapa lokasi merekam lama gangguan yang lebih kecil dibanding nilai TMP area/rayon terdekat. Misalnya untuk Area Distribusi Jakarta Raya, lama gangguan menurut pantauan ESMI lebih kecil dibanding TMP 2017 (5 jam/bulan). Sementara itu, lokasi pemantauan ESMI di Cibinong memiliki lama gangguan rata-rata 5 jam/bulan, lebih besar dibanding TMP Rayon Cibinong sebesar 2 jam 30 menit.

Lain di Jakarta, lain pula di Kupang. Rata-rata pemadaman listrik di Kupang jauh lebih tinggi dibandingkan area Jabodetabek, mencapai 13 jam 9 menit per bulannya. Angka ini juga lebih besar dibanding TMP Rayon Kupang sebesar 10 jam/bulan.

Tegangan listrik yang masuk kategori rendah (< 210 V) juga direkam di lokasi pemantauan ESMI, terutama di wilayah padat penduduk dan pemukiman yang berdekatan dengan area industri. Tegangan merupakan penanda kualitas listrik yang tak terlihat, dan tegangan rendah yang terekam di beberapa lokasi pemantauan ESMI menunjukkan bahwa kualitas listrik di tingkat pelanggan masih perlu diperbaiki. Sesuai TMP tahun 2017 untuk Area Distribusi Jakarta Raya dan Rayon Kupang, tegangan yang di tingkat pelanggan seharusnya paling rendah 198 V. Meski begitu, beberapa lokasi pemantauan ESMI merekam tegangan di bawah 180 V.

Perbedaan pola konsumsi listrik di Jabodetabek dan Kupang juga terlihat, di mana banyak lokasi di Jabodetabek mengalami MCB trip (sekring “turun”), sementara di Kupang tidak ditemukan kasus ini. Fenomena MCB trip ini dapat disebabkan karena penggunaan alat elektronik yang banyak dalam waktu bersamaan atau ketidakstabilan tegangan.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menjelaskan, ESMI dapat mendorong transparansi informasi pencapaian Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) PT PLN, sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kualitas pasokan listrik. “Pemerintah telah memiliki komitmen untuk untuk melistriki 100% wilayah di Indonesia. Namun komitmen tersebut juga harus diimbangi dengan peningkatan kualitas listrik di daerah-daerah yang berlistrik. Dengan demikian pelanggan tidak dirugikan atas dampak yang terjadi dari kualitas listrik yang buruk,” ujar Fabby.

Fabby juga menambahkan hasil ESMI menunjukkan bahwa kualitas infrastruktur ketenagalistrikan masih harus dibenahi dan diperkuat. Menurutnya, PLN harus memberikan perhatian terhadap kualitas dan kehandalan jaringan distribusi.

Pengumpulan data melalui ESMI ini diharapkan dapat menjadi evidence-based data mengenai kualitas listrik di tingkat pelanggan. Dengan data ini, pengambil kebijakan dapat memetakan area di mana kualitas layanan minimum ketenagalistrikan perlu ditingkatkan. Penyedia layanan ketenagalistrikan seperti PLN juga bisa menggunakan data ini untuk melakukan evaluasi dan pemeriksaan operasional di lapangan untuk memenuhi TMP yang ditetapkan oleh pemerintah.

Jakarta, 25 Juli 2017

Ringkasan ESMI

ESMI merupakan inisiatif untuk memantau kualitas listrik di tingkat pelanggan PLN di tegangan rendah. Dengan menggunakan metode crowdsourcing, ESMI merekam data kualitas listrik secara real time, yang kemudian diolah serta ditampilkan kepada publik secara online.

Sebanyak 28 lokasi di 4 provinsi di Indonesia menjadi wilayah percontohan selama Agustus 2016 – Mei 2017. Sejumlah lokasi di Jakarta terpantau mengalami pemadaman listrik yang cukup sering, lebih dari 5 kali per bulan. Beberapa lokasi juga terekam memiliki tegangan dominan rendah, terutama lokasi yang berada di kawasan padat penduduk dan pemukiman yang berdekatan dengan area industri.

Sementara itu Kupang mengalami pemadaman listrik dengan durasi yang lebih lama dan frekuensi yang lebih tinggi dibanding area Jabodetabek. Hasil pantauan ESMI ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan dan penyedia layanan listrik untuk melakukan evaluasi tingkat mutu pelayanan dan meningkatkan kualitas layanan PLN dan memperkuat kehandalan infrastruktur ketenagalistrikan, untuk mewujudkan akses energi di Indonesia yang berkelanjutan.

Tentang Electricity Supply Monitoring Initiative (ESMI)

ESMI merupakan sebuah inisiatif kolaborasi antara antara World Resource Institute (WRI) dan Prayas (Energy Group). Pilot project ESMI di Indonesia dilakukan oleh IESR, di Tajikistan oleh Consumers Union of Tajikistan, dan oleh Energy Change Lab di Tanzania. ESMI merupakan inisiatif yang dikembangkan dan diterapkan di India oleh Prayas (Energy Group), India. Inisiatif ini diperkenalkan ke publik pada Maret 2015 dan saat ini ESM sudah dipasang di ratusan lokasi di seluruh India. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di www.watchyourpower.org atau www.prayaspune.org/peg.

Aturan Mobil Listrik Disusun

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah menyiapkan draf peraturan presiden mengenai pemanfaatan tenaga listrik untuk transportasi. Kebijakan ini untuk menekan impor minyak dan elpiji serta untuk mendorong pemanfaatan energi yang lebih ramah lingkungan.

“Sudah ada instruksi tertulis dari Presiden bahwa pemerintah mendukung pengembangan mobil listrik. Kebijakan ini untuk mendukung terciptanya lingkungan yang lebih bersih. Sedang disusun (aturannya), barangkali akan berupa peraturan presiden,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan seusai membuka seminar “Powering Indonesia 2017”, Rabu (19/7), di Jakarta.

Menurut Jonan, selain Kementerian ESDM, instansi lain yang terlibat dalam penyusunan draf atau rancangan peraturan tersebut adalah Kementerian Keuangan dan Kementerian Perindustrian. Salah satu hal yang dibahas dengan Kementerian Keuangan adalah mengenai perpajakan. Menurut dia, dengan sistem perpajakan saat ini, impor mobil listrik menjadi sangat mahal harganya.

“Ide teknisnya, baterai mobil listrik, bila tenaganya habis, bisa ditukar dengan yang sudah terisi penuh. Sistemnya semacam penukaran tabung elpiji. Soal perakitan di mana dan impor segala macamnya itu di Kementerian Perindustrian,” ujar Jonan.

Jonan menambahkan, jika rencana itu terealisasi, impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM), termasuk elpiji, oleh Indonesia akan turun drastis. Penggunaan tenaga listrik untuk transportasi juga sejalan dengan rencana bauran energi nasional, yakni 23 persen dari energi terbarukan pada 2025.

Bukan masalah utama

Mengenai rencana tersebut, Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan, isu kecukupan pasokan daya listrik untuk pengembangan mobil listrik di Indonesia bukanlah masalah utama. Pasokan listrik yang ada di Indonesia, terutama di kota-kota besar, sangat cukup untuk pemanfaatan mobil listrik. Isu yang krusial adalah kemudahan mengisi tenaga baterai di ruang publik.

“Selain itu, bagaimana sumber energi pembangkit listriknya? Apabila masih menggunakan batubara, tetap saja ada kontribusi emisi gas rumah kaca yang besar. Akan lebih bagus jika memanfaatkan sumber energi terbarukan,” ujar Fabby.

Secara umum, lanjut Fabby, biaya pemakaian tenaga listrik untuk kendaraan jauh lebih hemat dan murah ketimbang memakai gas atau bahan bakar minyak. Di samping itu, mobil listrik juga lebih ramah lingkungan. Menurut Fabby, perlu campur tangan pihak Kementerian Koordinator Perekonomian untuk mengoordinasikan penyusunan regulasi mengenai kebijakan pemanfaatan tenaga listrik bagi transportasi.

Sebelumnya, pemerintah telah menerbitkan sejumlah aturan mengenai pemanfaatan gas untuk transportasi. Namun, kebijakan itu bisa disebut jauh dari sukses. Data Kementerian ESDM mengungkapkan, pemanfaatan gas untuk transportasi di Indonesia belum optimal, yaitu hanya 0,06 persen dari total konsumsi gas nasional, atau setara dengan 4,48 miliar british thermal unit per hari (BBTUD) pada 2015. Pada 2016, porsi gas untuk transportasi menurun menjadi 0,05 persen dari keseluruhan pemanfaatan gas bumi domestik.

“Gas untuk transportasi tidak bisa jalan karena SPBG (stasiun pengisian bahan bakar gas)-nya tidak ada. Tidak bisa dibangun karena banyak masalah dan tantangan, seperti infrastruktur dan pasokan gasnya,” kata Jonan.

Gas untuk transportasi diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2015 yang merupakan perubahan dari Perpres No 64/2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Bahan Bakar Gas untuk Transportasi. Aturan yang terbaru adalah Peraturan Menteri ESDM No 25/2017 tentang Percepatan Pemanfaatan Bahan Bakar Gas untuk Transportasi Jalan. Dalam peraturan ini, pengelola SPBU di daerah wajib menyediakan sarana pengisian gas alam terkompresi (CNG) paling sedikit satu dispenser. (APO)

Sumber : kompas.id.