Pemerintah Indonesia Perlu Komitmen Kuat untuk Cegah Krisis Iklim

CAT

Jakarta, 6 Desember 2022 – Saat ini dunia mengalami perubahan iklim yang berpengaruh terhadap peningkatan intensitas bencana iklim dan mengancam  kehidupan manusia dan keanekaragaman hayati. Untuk itu, diperlukan komitmen pemerintah dan target yang konkret untuk  menurunkan emisi emisi. Salah satunya dengan menetapkan target yang lebih ambisius dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) yang telah disampaikan Indonesia pada September 2022 lalu,  yang berisikan peningkatan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sekitar 2%.

Berdasarkan dokumen NDC terbaru, Indonesia bertekad mengurangi emisi dengan skenario kemampuan sendiri (unconditional) sebesar 31,8% dan dengan bantuan internasional (conditional) sebesar 43,2% pada 2030. Namun berdasarkan penilaian target dan ambisi iklim Indonesia tersebut oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan anggota dari  Climate Action Tracker (CAT), konsorsium tiga think tank yang melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kebijakan perubahan iklim di 39 negara dan Uni Eropa. IESR dan CAT menilai, NDC Indonesia sampai saat ini belum linear dengan target 1,5°C. Secara angka lebih kuat, tetapi masih belum mendorong aksi iklim lebih lanjut. Indonesia kemungkinan besar akan mencapai targetnya (kecuali kehutanan) tanpa upaya tambahan, sementara emisinya hampir dua kali lipat saat ini. Untuk itu, Indonesia perlu memperbarui Skenario Bisnis seperti-Biasa (BAU) agar linier dengan target yang lebih kuat.

“Indonesia berkontribusi terhadap pemanasan global, untuk itu diperlukan target penurunan gas rumah kaca (GRK) yang lebih ambisius. Semakin terlambat kita menghambat GRK maka risiko bencana iklim akan semakin besar. Misalnya saja bencana banjir, puting beliung, hal ini menandakan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi peristiwa tersebut juga lebih tinggi dan diperlukan penyelesaian yang tepat. Untuk itu, environmental cost perlu dihitung untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” jelas Fabby Tumiwa  Direktur Eksekutif IESR pada peluncuran hasil penilaian CAT terhadap aksi dan kebijakan iklim Indonesia.

Shahnaz Nur Firdausi, Peneliti Energi dan Iklim, IESR menyatakan,  energi terbarukan hanya menyumbang 13,5% dari bauran pembangkit listrik pada tahun 2021, Indonesia perlu membuat kemajuan substansial untuk memenuhi target 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Beberapa penelitian telah menunjukkan bagaimana Indonesia dapat meningkatkan penggunaan potensi energi terbarukannya jauh melampaui rencana saat ini dan memasok 100% listriknya dengan sumber terbarukan pada tahun 2050.

“Walaupun batubara masih memainkan peran utama dalam sistem kelistrikan Indonesia, pemerintah telah merencanakan penghentian PLTU. Namun demikian,  untuk memenuhi batas suhu 1,5°C, penggunaan batubara di Indonesia harus turun hingga 10% pada tahun 2030 dan dihentikan secara bertahap pada tahun 2040.  Indonesia akan membutuhkan dukungan keuangan yang signifikan untuk merencanakan penghentian PLTU sesuai dengan Persetujuan Paris,” jelas Shanaz. 

Perencana Ahli Madya, Direktorat Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),  Erik Armundito menegaskan, pihaknya memiliki kebijakan pembangunan rendah karbon, yang terintegrasi dengan prioritas nasional RPJMN 2020-2024, dilengkapi juga dengan strategi indikator dan target yang jelas setiap tahunnya. 

“Indikator makro yang dimaksud yakni persentase potensi penurunan GRK dengan target 27,3% di tahun 2024 dan persentase penurunan  intensitas GRK dengan 31,6% di tahun 2024. Penetapan target ini menjadi langkah maju Indonesia dalam pelestarian lingkungan. Selain itu, Bappenas memiliki aplikasi AKSARA untuk  pemantauan, evaluasi, dan pengendalian terhadap penurunan emisi GRK yang dihasilkan dari pembangunan rendah karbon,” jelas Erik. 

Direktur Eksekutif Yayasan Madani, Nadia Hadad menuturkan, diperlukan kolaborasi berbagai pihak untuk mendorong pencapaian target 1,5°C. Berbagai pihak harus memiliki peran dan berkontribusi. 

“Kita semua memiliki peran. Laporan CAT ini bukan mengkritik, tetapi untuk mendorong agar langkahnya lebih baik. Semuanya dilakukan untuk menyelamatkan bumi, untuk itu diperlukan akuntabilitas dan transparansi,” papar Nadia Hadad. 

Mahawan Karuniasa, Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIKI) menuturkan, emisi karbon yang dihasilkan seluruh negara di dunia diproyeksikan tidak boleh lebih dari 33 gigaton pada tahun 2030 untuk menjaga suhu bumi tidak lebih dari 1,5°C. Meski demikian, perkiraan emisi karbon yang dihasilkan mencapai 58 gigaton. 

“Apabila terdapat implementasi NDC di seluruh negara, maka perkiraan emisi bisa menurun menjadi 53-56 gigaton pada tahun 2030. Yang berarti masih ada gap yang besar sekali antara 20-23 gigaton. Jika gap tersebut tidak bisa dipenuhi semua negara, termasuk Indonesia, maka kita bisa mencapai di atas 1,5°C,” papar Mahawan. 

Sonny Mumbunan,  ekonom juga peneliti dari Research Center for Climate Change Universitas Indonesia, memandang perlu pula membahas bagian pembiayaan iklim secara mendalam pada  laporan Climate Action Tracker.

“Ketika Indonesia masuk menjadi anggota G20 dengan dinarasikan memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, hal ini menjadi dilema tersendiri bagi Indonesia. Mengingat, Indonesia juga masih perlu dana dari negara lain. Hal ini juga mempengaruhi cara kita mendekati sektoral di energi, di sektor berbasis lahan maupun sektor loss and damage. Kelihatannya Indonesia memerlukan pendekatan berbeda berdasarkan profiling dirinya, yang berada antara negara maju maupun negara berkembang,” tegas Sonny. 

Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Paris Agreement yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. CAT telah memberikan analisis independen terhadap sekitar 40 negara sejak 2009. Anggota CAT terdiri dari Climate Analytics, New Climate Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bergabung sebagai mitra sejak 2022.  

Menggenjot Aksi Iklim Ambisius dari Pelaku Ekonomi

Direktur Eksekutif IESR

Jakarta, 30 November 2022 – Pemerintah Indonesia perlu menunjukkan perhatian kuat terhadap upaya mitigasi iklim. Salah satu caranya yakni meningkatkan komitmen terhadap penurunan emisi gas rumah kaca secara signifikan. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memaparkan, kenaikan temperatur global yang lebih tinggi bisa menyebabkan krisis iklim yang semakin sulit untuk diatasi. Hal tersebut disampaikannya pada acara Astra Green Energy Summit 2022 dengan tema Aksi Nyata Perjalanan Transisi Energi Menuju Lingkungan Berkelanjutan.

“Sejak disepakati dokumen United Nations Framework on Climate Change Conference (UNFCCC) tahun 1992, kemudian diratifikasi sebagian besar oleh negara di dunia pada tahun 1994, maka seluruh negosiasi perubahan iklim diarahkan untuk mencegah kenaikan temperatur bumi,” tegas Fabby Tumiwa. 

Mengutip data Climate Action Tracker 2022, kata Fabby, kebijakan iklim Indonesia di sektor energi dinilai belum cukup untuk dapat menahan kenaikan rata-rata suhu bumi di bawah 1,5°C sebagaimana disepakati pada KTT COP 26 di Glasgow pada 2021. Untuk itu, Fabby menilai emisi gas rumah kaca (GRK) global harus mencapai puncaknya pada tahun 2030 dan kemudian turun, apabila Indonesia ingin mencegah kenaikan temperatur di atas 2°C yang punya implikasi luas.

“Yang artinya, aksi ambisius diperlukan, khususnya untuk negara G20 yang berkontribusi besar menghasilkan emisi GRK. Penurunan emisi GRK juga harus dilakukan pelaku ekonomi, apabila hanya dilakukan pemerintah, saya kira akan sulit,” jelas Fabby Tumiwa. 

Menurut Fabby, proses dekarbonisasi perlu dilakukan secara komprehensif karena berkaitan dengan struktur pasokan energi Indonesia. Saat ini energi fosil masih menjadi penyumbang utama pembangkit listrik di Indonesia. Kenaikan konsumsi BBM juga cukup tinggi, ditandai dengan kenaikan jumlah kendaraan bermotor. 

“Sejak 10 tahun terakhir konsumsi BBM mulai disubtitusi sedikit dengan biofuel. Sampai dengan 2021 lalu, proporsi jumlah bahan bakar yang disubstitusi ke biofuel mencapai 14%. Untuk itu, penggunaan bahan bakar rendah karbon (low carbon fuel) perlu ditingkatkan sampai 40-60% di tahun 2040. Artinya, kita perlu mendorong penggunaan bahan bakar sintetik selain biofuel,” papar Fabby Tumiwa.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menuturkan, badan usaha diharapkan dapat terlibat dalam percepatan transisi energi, dengan meningkatkan kontribusi dalam melakukan akselerasi transisi energi. Misalnya saja penerapan efisiensi energi di seluruh rantai bisnis dan mengembangkan inovasi teknologi serta industri bersih. Badan usaha juga diharapkan melakukan mitigasi dampak dari transisi energi di sektor usaha dan supply chain

“Untuk mengatasi adanya kendala transisi energi dibutuhkan sinergi antara pemangku kepentingan, baik pemerintah, media, NGO serta swasta demi tercapainya emisi nol bersih,” papar Arifin. 

Menilik Upaya Peningkatan Konsumsi Listrik di Indonesia

Sinergi Stakeholder dalam Upaya Peningkatan Elektrifikasi dan Konsumsi Listrik per Kapita di Indonesia

Surabaya, 25 November 2022 –  Energi listrik menjadi satu di antara kebutuhan manusia yang tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan sehari-hari. Peningkatan akses terhadap listrik melalui rasio elektrifikasi 100% perlu pula dibarengi dengan penyediaan sumber listrik yang ramah lingkungan. 

Akbar Bagaskara, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan,  Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara forum diskusi publik dengan tema “Sinergi Stakeholder dalam Upaya Peningkatan Elektrifikasi dan Konsumsi Listrik per Kapita di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM, menyebutkan, bahwa terdapat lima negara di ASEAN yang belum mencapai rasio elektrifikasi 100% yakni Kamboja, Laos, Myanmar, Indonesia dan Filipina. 

“Berdasarkan data ASEAN Center of Energy per 2021, Indonesia menempati rasio elektrifikasi 99%, disusul Filipina 97%, Laos menempati 95%, Kamboja 81% dan Myanmar masih 51%. Indonesia dan Filipina belum mencapai rasio elektrifikasi 100% karena kondisi negara yang kepulauan. Kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri dibandingkan negara ASEAN lainnya yang merupakan daratan, lebih mudah menyalurkan listriknya,” terang Akbar. 

Menilik lebih dalam terkait rasio elektrifikasi, tak bisa lepas dari keterkaitannya dengan konsumsi energi listrik di Indonesia. Menurut Akbar, konsumsi energi listrik dalam sektor rumah tangga mayoritas digunakan untuk penerangan. Sedangkan untuk masak masih cenderung menggunakan gas (LPG), dengan rasio konsumsi energi total di sektor rumah tangga mencapai 49%. 

“Adanya kondisi ini menciptakan potensi untuk meng-elektrifikasi kompor yang digunakan sektor rumah tangga, menggantikan LPG,” ujar Akbar. 

Selain itu, mengutip data KESDM, kata Akbar, elektrifikasi di  sektor transportasi,  masih cenderung rendah, berkisar hanya 1%. Menurutnya, adanya program Pemerintah Indonesia yang menggalakkan mobil listrik dinilai cukup krusial untuk meningkatkan adopsi kendaraan listrik. 

“Pemanfaatan sepenuhnya potensi elektrifikasi akan menciptakan peluang menaikkan konsumsi listrik di sektor transportasi dan rumah tangga,”tegas Akbar. 

Akbar memaparkan, penggunaan energi listrik di Indonesia dan negara ASEAN lainnya masih hanya berkisar 20%. Hal ini bisa dilihat berdasarkan data konsumsi energi per kapita periode 2018-2021. Di sisi lain, berdasarkan RENSTRA KESDM 2020-2024, target konsumsi listrik per kapita Indonesia adalah 1.408 kWh. Sementara itu, rata-rata konsumsi listrik di ASEAN sendiri sudah sekitar 3.672 kWh per kapita.

“Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu untuk meningkatkan konsumsi listrik, namun demikian sektor hulu yakni pembangkit energi listrik harus mendapatkan perhatian juga. Selain itu, Indonesia juga bisa menggunakan  potensi energi terbarukan dalam sektor ketenagalistrikan,” ucap Akbar. 

Kepala Bidang Ketenagalistrikan Dinas ESDM Jawa Timur, Waziruddin menyatakan, berdasarkan rasio elektrifikasi 99,32% pada tahun triwulan III, tahun 2022, masih terdapat rumah tangga yang belum menikmati sambungan listrik. Hal ini juga bisa dilihat dari jumlah rumah tangga miskin (RTM) di Jawa Timur yang belum berlistrik sekitar 126.708. Namun pihaknya telah menganggarkan sekitar Rp 12 miliar hibah instalasi rumah pada tahun 2023 dan berbagai bantuan lainnya untuk menyediakan akses listrik kepada rumah tangga tersebut. Selain itu, Waziruddin menegaskan, Pemprov Jawa Timur juga terus mendorong kebijakan transisi energi untuk meningkatkan ketahanan energi. 

“Misalnya saja dengan pemanfaatan gas bumi sebagai substitusi energi batubara pada pembangkit listrik, mengingat Jawa Timur kaya akan potensi gas bumi. Selain itu, beberapa industri di Jawa Timur juga telah memasang PLTS atap, pengembangan pembangkit listrik biomassa dan pemanfaatan biofuel,” papar Waziruddin. 

Edy Pratiknyo,  Sub Koordinator Fasilitasi Hubungan Komersial Usaha, Kementerian ESDM menyatakan, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan mendorong percepatan peningkatan konsumsi listrik.

“Dengan program peningkatan konsumsi listrik, Pemerintah mendorong melalui percepatan perizinan berusaha infrastruktur pengisian Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB),” pungkas Edy.