Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Selamat Tahun Baru 2020! Apa harapan anda di 2020? Kami di IESR berharap di tahun ini energi terbarukan dapat bangkit kembali setelah mati suri selama 3 tahun terakhir. Mengapa kebangkitan energi terbarukan menjadi harapan kami? 

Pertama, membangun energi terbarukan adalah amanat UU No. 30/2007 tentang Energi, yang kemudian diturunkan dalam PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Tujuannya adalah menjamin kemandirian dan ketahanan energi nasional. Pasal 9 butir (f) dari PP tersebut mentargetkan bauran energi baru dan terbarukan mencapai 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Ini adalah kebijakan dan target pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. 

Kedua, peningkatan bauran energi terbarukan dan pemanfaatannya dapat membantu Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik. Hal ini sesuai dengan komitmen Indonesia yang meratifikasi Paris Agreement dengan UU No. 16/2016, yang juga memuat komitmen Indonesia menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan usaha sendiri dan tambahan 12%, menjadi 41% dengan dukungan internasional. Sektor kelistrikan adalah salah satu kontributor utama emisi GRK. Berdasarkan kajian KESDM dan UNDP (2018), emisi GRK sub-sektor pembangkitan listrik mencapai 199 MtCO2e pada 2017 dan diperkirakan hingga 2030 akan tumbuh sebesar 10,1% per tahun. Dengan demikian pada 2030, emisi GRK diproyeksikan mencapai 699 MtCO2e (BAU). Dengan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi sebesar 20% maka emisi GRK dapat turun 36% dari skenario business as usual. Dengan itu faktor emisi listrik nasional turun dari 1,005 tCO2e/MWh menjadi 0,729 tCO2e/MWh. Oleh karena itu adanya peningkatan energi terbarukan yang signifikan menunjukan Indonesia turut berperan mengurangi risiko iklim global yang akan mengancam kehidupan generasi sekarang dan generasi masa depan. 

Ketiga, dengan memperbesar pemanfaatan energi terbarukan, biaya pasokan energi jangka panjang akan semakin rendah dan terjangkau. Berbeda dengan pembangkitan energi fosil yang cenderung naik dari tahun ke tahun karena harga bahan bakar, pengaruh nilai tukar dan inflasi, biaya O&M pembangkit energi terbarukan khususnya surya, angin dan hidro relatif rendah dan kenaikan terjaga. Capital expenditure (capex) pembangkit PLTS, PLT Angin skala besar juga cenderung turun. Oleh karena itu memperbesar porsi energi terbarukan dalam pasokan tenaga listrik dalam jangka panjang dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik.   

Pengembangan pembangkit energi terbarukan selama lima tahun terakhir nyaris mandek.

Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) 2020 yang diluncurkan IESR bulan lalu mencatat penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan 2015-2019 hanya mencapai 1,6 GW, lebih rendah dari periode 2010-2014 yang mencapai 1,8 GW. Ini kabar yang kurang baik karena dibandingkan target kebijakan, penambahan kapasitas ini hanya 10-15% dari yang seharusnya terbangun sesuai target RPJMN 2015-2019.  

Praktis sejak berlakunya Permen ESDM No. 12/2017, yang kemudian digantikan dengan Permen ESDM No. 50/2017, pengembangan energi terbarukan mandek. Dari 75 PPA yang ditandatangani sepanjang 2017-2018, terdapat 5 proyek yang diterminasi dan 27 proyek lainnya belum memperoleh pendanaan. Sebagian besar proyek yang berjalan, tidak menggunakan mekanisme harga yang diatur di dua Permen tersebut dan kemungkinan bisa berjalan karena menggunakan pendanaan sendiri atau instrumen pembiayaan korporat. 

Yang lebih parah lagi adalah Permen No. 50/2017 telah menyebabkan para pelaku usaha swasta asing dan domestik kehilangan kepercayaan terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia. Para investor yang datang ke Indonesia pada 2015 dan 2016 karena melihat adanya peluang investasi di bidang energi terbarukan, secara perlahan angkat kaki dan mencoba peruntungan di negara tetangga, Vietnam, yang pada 2017 dan 2018 justru mengeluarkan kebijakan feed in tariff (FiT) untuk pembangkit listrik surya dan angin. Kebijakan ini menjadi insentif bagi para investor yang berbondong-bondong memanfaatkannya.  

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kedua, ada harapan pengembangan energi terbarukan. Sejauh ini ada sejumlah sinyal positif yang mengindikasikan pemerintah memiliki keinginan yang kuat mendorong energi terbarukan Indikasinya saat memperkenalkan Menteri ESDM yang baru pada Oktober 2019 lalu, Joko Widodo memerintahkannya untuk mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan yang dimiliki Indonesia. Selain itu, pada saat menghadiri Indonesia Mining Award pada bulan November tahun lalu, Presiden menyatakan bahwa dunia sudah bergerak menuju pada pemanfaatan energi yang ramah lingkungan ketimbang menggunakan batubara

Terlepas dari pernyataan dan sikap politik tersebut, Presiden Joko Widodo sesungguhnya menghadapi tantangan untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dari 8% menjadi 23% pada 2025 seperti yang ditargetkan dalam Perpres No. 22/2017. Ini artinya, dalam lima tahun mendatang akan jadi ajang pembuktian apakah Presiden Joko Widodo mampu membangun pembangkit energi terbarukan dari 8 GW menjadi 30-35 GW dan pemanfaatan BBN untuk mengganti BBM.

Apa saja tantangan yang dihadapi Presiden Joko Widodo dan kabinetnya dan apa yang perlu dilakukan?

Pertama, kebutuhan me-mobilisasi investasi publik dan swasta.  Diperlukan investasi $70-90 miliar (~ Rp. 1000 triliun) untuk membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan dan infrastruktur pendukungnya. Hanya 10%-15% dari kebutuhan investasi ini yang dapat dipenuhi oleh BUMN dan anggaran publik. Sisanya harus berasal dari swasta/investor asing dan domestik. Untuk menarik investasi, khususnya investasi asing, pemerintah harus meningkatkan kondisi iklim investasi dengan mengeluarkan kebijakan yang transparan, terukur, dan pasti. Kebijakan tidak transparan dan regulasi yang tidak konsisten dengan kebijakan ataupun target kebijakan menjadi penyebab investor dan perbankan menganggap investasi di sektor energi terbarukan beresiko dan tidak menarik. Regulasi Indonesia harus dapat memberikan insentif yang lebih baik, risiko yang lebih rendah dan kepastian investasi jangka panjang yang lebih baik.  

Kedua, daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia yang rendah. Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) yang dikeluarkan oleh EY, secara konsisten menempatkan Indonesia pada peringkat bawah dari 40 negara yang dikaji. Pada RECAI edisi Oktober 2019, Indonesia berada di peringkat 38. Tiga negara Asia Tenggara, Thailand, Filipina dan Vietnam memiliki peringkat yang lebih baik dari Indonesia. 

Selain itu penilaian atas 5 indikator dan 11 sub-parameter atas daya tarik investasi yang dilakukan IESR yang dilaporkan dalam ICEO 2020 menghasilkan penilaian 6 dari 11 sub-parameter dianggap tidak memadai (insufficient). Penilaian menunjukan pemerintah harus bekerja keras dalam 1-2 tahun mendatang, tidak saja membuat kebijakan yang tepat dan regulasi yang menarik dan terukur, tapi juga melakukan reformasi fundamental yang berkaitan dengan reformasi struktur industri kelistrikan, mandatory pemanfaatan energi terbarukan yang agresif, dukungan pembiayaan dari lembaga finansial lokal dan penyiapan instrumen mitigasi risiko, serta pelaksanaan kebijakan TKDN yang rasional dan instrumen untuk memfasilitasi transfer teknologi serta peningkatan kemampuan EPC domestik. 

Ketiga, bertambahnya kapasitas pembangkit thermal, khususnya PLTU. Pada 2019-2028, direncanakan dibangun 27 GW PLTU batubara dan mulut tambang, dimana 22 GW dibangun pada 2019-2025. Dengan perkembangan laju permintaan listrik PLN saat ini yang berada di bawah 5%, jauh di bawah proyeksi laju permintaan listrik dalam RUPTL, maka diperlukan koreksi terhadap rencana pembangunan pembangkit thermal untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan. Dengan mempertimbangkan pertumbuhan listrik 5 tahun terakhir, kami memproyeksikan pertumbuhan permintaan listrik berada di kisaran ~5% per tahun dalam lima tahun mendatang sehingga tambahan pembangkit baru sekitar 4 GW per tahun (rata-rata). Oleh karena itu untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan hingga mencapai 23-30% dari total kapasitas pembangkit PLN pada 2025, sekitar 3-4,5 GW pembangkit energi terbarukan harus masuk di sistem PLN setiap tahunnya. Ini berarti setelah 2020, pembangunan PLTU batubara harus mulai dikurangi dibarengi dengan phasing out pembangkit-pembangkit thermal tua dan yang efisiensinya rendah. Tanpa melakukan ini, PLN akan kesulitan memasukan tambahan 20-22 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan. 

Mengubah rencana pembangunan pembangkit listrik terutama menunda atau membatalkan PLTU batubara tentunya bukan keputusan yang mudah bagi Menteri ESDM yang akan memutuskan RUPTL 2020-2029 dalam dua bulan mendatang. Perubahan ini dapat mengguncang berbagai macam kepentingan, terutama pemilik tambang dan pembangkit batubara yang berharap dapat mengoptimalkan aset tambang yang mereka miliki. Tapi disinilah kualitas kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan menteri-menterinya akan diuji. Menarik tentunya memperhatikan langkah dan strategi pemerintah (jika ada) dalam hal merumuskan kebijakan dan instrumen regulasi untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan politik dan bisnis dalam rangka memajukan energi terbarukan di Indonesia dan memastikan Indonesia berada di jalur transisi energi yang berkelanjutan. 

Jakarta, 2 Januari 2020

 

Lakukan mulai hari ini! Memperingati Hari Konservasi Energi Dunia

Beberapa hal yang harus mulai kita lakukan di hari ini Memperingati Hari Konservasi Energi Dunia 

World Energy Conservation Day -14 December 2019

Gimana sih cara melakukan konservasi energi dalam kehidupan sehari – hari?

Melakukan konservasi energi itu penting untuk mencegah semakin tingginya suhu bumi. 

Sebenarnya tujuan dari konservasi energi itu adalah ingin melestarikan sumber energi, sehingga kita perlu menggunakan teknologi untuk membangkitkan energi yang bersumber dari sumber energi terbarukan, dan kita harus menggunakan teknologi yang lebih efisien (hemat) energi. 

Lalu apa yang kita bisa lakukan? 

1.Sesuaikan perilaku kita sehari – hari

Ketika usaha – usaha secara individu secara kolektif di kumpulkan untuk membawa perubahan besar, setiap langkah kecil akan sangat bermakna, terutama dalam langkah konservasi energi; mematikan lampu dan peralatan elektronik saat tidak digunakan, gunakan air untuk melakukan kegiatan sehari-hari secukupnya, dan menggunakan transportasi umum ketika bepergian, atau yuk jalan kaki jika dekat!

2.Reduce, Reuse, Recycle and Repair

Hal yang sangat mendasar, konsep ini telah sering kita dengarkan atau digaungkan namun menjadi metodologi yang memiliki dampak yang sangat efektif untuk mengatasi krisis energi. Membawa tas belanja sendiri yang dapat dipakai kembali ketika berbelanja, akan mengurangi konsumsi plastik kita sehari – hari, termasuk mengurangi konsumsi kita terhadap produk – produk yang dibungkus plastik, atau menyimpannya yang dapat berdaya guna/alih fungsi lain, hal ini akan sangat signifikan mengurangi jumlah sampah anorganik yang dihasilkan dari produk – produk yang kita beli atau konsumsi. Satu hal lagi yang dapat kita lakukan, adalah selalu berusaha memperbaiki barang – barang sehari – hari yang sekiranya masih dapat diperbaiki, dan tidak secara langsung membuangnya jika rusak dan memutuskan membeli baru. 

Tahukah anda bahwa setiap setengah kilogram sampah yang dapat kita kurangi, kita telah menyelamatkan energi dan mengurangi emisi CO2 hingga 1 pon atau sekitar 450 gram?!

Doronglah selalu diri kita masing – masing untuk sebisa mungkin menggunakan produk – produk yang dapat didaur ulang, dan tidak bersifat konsumtif (yang berlebihan).

3.Mulai praktikan menggunakan peralatan hemat energi dan ramah lingkungan

Menggunakan solar power bank lampu taman menggunakan tenaga surya, sepeda listrik, motor listrik, menggunakan lampu LED dan peralatan elektronik yang efisien (hemat) energi.

Setiap hal yang kita lakukan tersebut sangat mempengaruhi bumi, bayangkan jika semua orang dapat memulainya, ini bisa menjadi efek riak: dari satu rumah, satu wilayah, hingga satu kota. Jadi bijaklah dalam menggunakan energi untuk melestarikan energi.

Cadangan Minyak Bumi Akan Habis

Selama 10 tahun terakhir, lebih dari 90% dari bauran energi final berasal dari bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara). Persediaan bahan bakar fosil diperkirakan akan habis dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, bahkan minyak bumi diperkirakan akan habis pada 2030. Jika kita tidak mulai memikirkan untuk melakukan transisi menuju energi rendah karbon dan memiliki sumber sumber energi yang lebih efisien maka dunia akan mengalami krisis energi. 

Ditambah dengan krisis ekonomi yang membayangi fluktuatifnya harga dari bahan bakar fosil serta krisis iklim yang akan diperparah dengan bertambahnya penggunaan bahan bakar fosil, Hal – hal tersebut merupakan dua alasan mengapa Indonesia perlu meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi finalnya. 

“Meskipun porsi energi terbarukan sudah meningkat dua kali dari 4,37% pada 2008 menjadi 8,55% pada 2018, Indonesia masih perlu mengoptimalkan efisiensi energi untuk mencegah kenaikan suhu bumi karena energi terbarukan yang dikombinasikan dengan efisiensi energi merupakan langkah mitigasi perubahan iklim yang tepat. Transformasi sistem perekonomian pun dibutuhkan untuk dapat membuat implementasi teknologi energi terbarukan dan optimalisasi efisiensi energi yang masif di Indonesia. Erina Mursanti, Program Manager Green Economy, IESR”


Secara global 14 Desember diperingati Hari Konservasi Energi, untuk menyoroti pentingnya konsumsi energi dan penggunaannya dalam kehidupan kita sehari-hari, kelangkaannya dan dampaknya terhadap keberlanjutan sistem eko-global. Ini memfokuskan konsentrasi kita pada masalah-masalah signifikan yang dihadapi masa depan umat manusia sehubungan dengan energi.

Ini adalah hari untuk membangun kesadaran tentang:
• Kebutuhan konservasi energi
• Efisiensi energi
• Berhemat dalam penggunaan energi

Erina Mursanti, Program Manager Green Economy
Gandabhaskara Saputra, Communications Coordinator

Cerahkan rumahmu demi masa depan bumi yang lebih cerah

Cerahkan Rumahmu demi Masa Depan Bumi yang lebih Cerah

Ditulis oleh Malmal ‘Amalia Juara 2 dalam lomba menulis blog The Ambition Call, yang di laksanakan oleh IESR dan Climate Transparency.

Pengeluaran rumah tangga kian hari kian meningkat. Semua harga kebutuhan yang bertambah membuat setiap orang harus berpikir keras mengolah keuangannya. Sedikit cerita dari kisah keluarga kami mengakali pengeluaran untuk kebutuhan. Desain rumah diperbaiki untuk memanfaatkan energi alam. Penggunaan atap transparan pun menjadi terobosan baru dalam rangka menurunkan penggunaan lampu.

Pemanfaatan sinar matahari langsung masuk ke dalam rumah dapat menjadi sumber utama penerangan saat siang hari. Jumlah sinar matahari yang didapatkan pun ditingkatkan dengan memaksimalkan penggunaan jendela berukuran besar. Penerangan menggunakan listrik menjadi tidak diperlukan lagi di siang hari.  sudah lebih dari 15 tahun kami memanfaatkan sumber cahaya ini. Dengan semakin meningkatnya tarif listrik dan semakin banyaknya kebutuhan rumah tangga, alih-alih hanya memadamkan lampu, keluarga pun memutuskan untuk tidak menggunakan listrik selama 1 hingga 2 jam pada rentang pukul 9 pagi hingga 12 siang. Selama 1 hingga 2 jam tersebut, rumah kami menjadi bangunan dengan zero energy.  Semacam earth hour yang dilakukan setiap hari.

Apakah tidak merasa gerah?

Pertanyaan yang paling sederhana ini pun mencuat. Jawabannya tentu tidak karena ada air conditioner alami. Jendela rumah yang besar disertai ventilasi udara yang mumpuni membuat aliran udara selalu masuk ke dalam rumah. Rumah kami juga dikelilingi pagar hijau yaitu pagar dari tanaman sehingga lebih teduh, salah satu bentuk nyata brown to green.

Tidak kami sangka ternyata langkah ini merupakan salah satu penerapan pemanfaatan sumber energi terbarukan, dalam hal ini sinar matahari. Awalnya hanya ide untuk menekan pengeluaran justru berujung baik untuk lingkungan. Yuk, kita kenalan dengan energi terbarukan!

Apa itu sumber energi terbarukan?

Sumber energi terbarukan berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 53 Tahun 2018 adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber energi berkelanjutan jika dikelola dengan baik antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.

Lantas, apa bedanya dengan sumber energi yang selama ini kita gunakan?

Begini. Begini. Semua kegiatan sehari-hari kita yang menggunakan energi seperti alat-alat elektronik, penggunaan gas elpiji, bahan bakar kendaraan, semuanya bersumber pada energi fosil yaitu minyak bumi, batu bara, dan gas alam. Poin pentingnya adalah sumber energi ini jumlahnya terbatas dan berdampak buruk terhdap lingkungan. Pembakaran energi fosil menghasilkan emisi gas rumah kaca seperti karbondioksida yang bersifat merusak lingkungan dan atmosfer. Suhu global pun turut meningkat drastis karena ini sehingga menyebabkan terjadinya pemanasan global. Nah, terkuak sudah tabir pengetahuan penyebab suhu bumi kian hari kian meningkat.

Cerminan Energi Terbarukan di Indonesia

Indonesia sebagai negara tropis yang dilewati garis khatulistiwa, diberkahi dengan waktu penyinaran matahari yang cukup lama per harinya. Data dari global solar atlas menunjukkan bahwa energi surya yang didapatkan di seluruh wilayah Indonesia berkisar antara 3,6-6 kWh per meter kuadrat dengan rata-rata keseluruhan 4,8 kWh per meter kuadrat. Wilayah Indonesia tengah seperti Kepulauan Nusa Tenggara dan Sulawesi serta sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi daerah dengan energi surya terbanyak. Sayang sekali jika anugerah ini tidak dimanfaatkan, bukan?

Pada kenyataannya, anugerah kekayaan ini belum mendapatkan perhatian yang serius di negara kita. Hal tersebut terlihat sejak 4 tahun terakhir dimana kapasitas pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan masih jauh dari angka yang memuaskan, yaitu hanya bertambah 960 MW. Energi terbarukan yang menjadi penyumbang terbanyak secara berurutan yaitu energi tenaga panas bumi, diikuti oleh energi mini/mikro hidro, bionergi, dan bayu atau angin. Bahkan energi surya belum dimanfaatkan selayaknya. Jumlah ini menurun dari 4 tahun sebelumnya. Pada tahun 2010-2014, setiap tahunnya kapasitas pembangkit energi terbarukan rata-rata bertambah 523 MW (0,52 GW). Target yang dicanangkan pada tahun 2025 yaitu sebesar 45 GW sepertinya semakin suram karena pembangunan pembangkit energi terbarukan kian melambat.

Pemanfaatan Sinar Matahari Sebagai Sumber Penerangan Utama

Memaksimalkan penggunaan cahaya matahari sebagai sumber penerangan merupakan upaya pemanfaatan sumber daya terbarukan ini. Kini sudah semakin trend desain rumah dengan tema dekat dengan alam. Penggunaan atap transparan dan jendela yang besar (seperti yang penulis ceritakan tentang rumahnya) dalam dunia arsitektur pun dikenal dengan istilah skylight.

Wah mahal dong perlu ganti ini itu?

Semampunya saja. Ini bisa dianggap sebagai investasi. Memang perlu keluar dana di awal namun setelahnya terasa lebih hemat saat membayar listrik karena sudah menekan penggunaan energi listrik setiap harinya.

Kenapa terlalu sibuk memanfaatkan sinar matahari? Jadi untuk apa dulu Bapak Thomas Alva Edison menciptakan lampu sebagai alat penerangan?

Perlu kita ketahui, bahkan Tuan Edison sendiri sudah menyadari pentingnya tenaga surya dalam bauran energi masa depan dunia dan bahaya ketergantungan yang berlebihan pada bahan bakar fosil sejak masa hidupnya jauh sebelum pemanfaatan energi fosil besar-besaran seperti sekarang.

“Kita seperti petani penyewa yang memotong pagar di sekitar rumah untuk bahan bakar ketika kami seharusnya menggunakan sumber energi alami yang tidak habis-habisnya – matahari, angin dan pasang surut air laut. Saya akan menaruh uang saya pada cahaya matahari dan energi matahari. Sungguh sumber kekuatan yang luar biasa! Saya harap kita tidak perlu menunggu sampai minyak dan batubara habis sebelum kita mengatasinya. “.  Thomas Alva Edison -1931.

Penemu lampu saja sudah mewanti-wanti kita untuk lebih setia terhadap sumber energi alami seperti sinar matahari ketimbang menggunakan temuannya.

Sinar Matahari sebagai Energi Solar Penghasil Listrik

Selain memanfaatkan sinar matahari untuk penerangan, sinar matahari dapat diubah menjadi energi listrik melalui penggunaan panel surya. Panel surya ini dapat dipasang di tempat yang mendapatkan banyak cahaya matahari seperti di atap atau yang dikenal dengan nama surya atap (rooftop solar). Pemanfaatan energi surya dengan acara ini masih memiliki banyak kekurangan yang dibahas dalam laporan IESR dan kami rangkum dalam dua poin utama, yaitu:

1. Rooftop solar masih menjadi istilah asing yang kurang terdengar gaungnya. Kurangnya sosialiasi mengenai manfaat energi surya sebagai energi terbarukan menyebabkan minimnya pengetahuan dan minat masyarakat menggunakan panel surya di rumahnya.

2. Pemasangan panel surya yang membutuhkan tenaga profesional dan dana yang tidak sedikit sertaeterbatasan penyedia instalasi dan layanan yang kredibel.Solusi yang saya ajukan dari kedua poin utama di atas yaitu:

Selagi menunggu tindak lanjut dari yang berwenang, kita sebagai masyarakat tidak perlu menunggu dalam diam. Sekarang sudah banyak ditemui powerbank yang dilengkapi dengan panel surya seperti yang dipamerkan dalam Buletin Energi Kita milik IESR Juli lalu. Powerbank akan terisi ketika terpapar sinar matahari. Biasanya alat ini dilengkapi dengan penggantung sehingga saat beraktivitas di luar ruangan, cukup gantungkan saja di luar tas maka powerbank ini akan mengisi energinya. Ini salah satu bentuk penggunaan panel surya sebagai sumber energi dalam skala kecil  namun langsung dapat dirasakan manfaatnya.

Kesimpulan

Semakin hari dampak pemanasan global semakin terasa. Hal ini tidak lepas dari campur tangan manusia melalui kegiatannya yang menggunakan energi tidak terbarukan yaitu energi berbahan dasar fosil. Manusia sebagai penduduk bumi harus bersama-sama memikirkan masa depan bumi demi anak cucunya kelak melalui Climate Action, aksi terhadap perubahan iklim. Pemanfaatan energi terbarukan mulai digalakkan di seluruh dunia termasuk Indonesia. Energi yang berasal dari sinar matahari adalah satunya. Pengetahuan cara pemanfaatan energi solar melalui panel surya ini masih begitu minim. Padahal energi solar ini sangat kaya bila dapat diubah menjadi energi listrik. Kurangnya sosialisasi dan sedikitnya fasilitas pemasangan menjadi kendala utama. Sebuah kenyataan yang begitu disayangkan mengingat negara kita merupakan negara tropis yang berarti mendapat sinaran cahaya matahari cukup lama per harinya. Sinar matahari juga dapat dimaksimalkan masyarakat dengan mengubah huniannya. Penggunaan skylight rooftop dan penempatan jendela berukuran besar dapat menekan energi listrik yang digunakan untuk penerangan. Gaya ramah lingkungan ini juga menghemat pengeluaran rumah tangga. Dengan begini, masyarakat yang belum tersentuh dengan penggunaan panel surya juga dapat berperan aktif menyelamatkan bumi dan menjadikan bumi kembali hijau, brown to green.

Artikel asli


Follow Amalia di Twitter dan Instagram @yoayokka

Referensi
– IESR. Buletin Energi Kita. Juli 2019.
– IESR. Energi Surya untuk Kota: Analisa Potensi Pasar dan Rekomendasi untuk Akselerasi Pengembangan Rooftop Solar di Dua Kota Metropolitan di Indonesia. Juli 2019.
– IESR(Blog). Refleksi Perkembangan Energi Terbarukan Indonesia di 2015-2018 dan Prospeknya di 2019. Januari 2019.
– Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 53 Tahun 2018- globalsolaratlas.info
– Pengaturan Penghawaan dan Pencahayaan Pada Bangunan dalam http://arsitekturdanlingkungan.wg.ugm.ac.id. 2015.
– Thomas Edison- Solar Power Visionary dalam energymatter.com. 2010.

Berani Hemat Pakai Cokelat?

Berani Hemat Pakai Cokelat?

Ditulis oleh Adhi Nugroho Juara 3 dalam lomba menulis blog The Ambition Call, yang di laksanakan oleh IESR dan Climate Transparency.

Energi masa depan akan bersumber dari tanaman, buah, rumput—hampir apa saja.

Tidak banyak orang percaya ketika Henry Ford—pencetus revolusi transportasi di Amerika Serikat (AS)—mengucap kalimat itu satu abad yang lalu. Namun seiring berjalannya waktu, dunia semakin sadar akan pentingnya mencari sumber energi baru.

Apa sebab? Energi fosil yang biasa kita gunakan memiliki segudang dampak negatif bagi kelestarian lingkungan. Sebut saja polusi, efek gas rumah kaca, hujan asam, hingga pemanasan global.

Selain merusak lingkungan, hasil pembakaran energi fosil juga berdampak buruk bagi kesehatan. Asap kendaraan dan pabrik di kota besar, misalnya, akan menyebabkan kita sesak napas. Itulah mengapa, kita lebih suka menghirup segarnya udara di desa atau pegunungan ketimbang di daerah perkotaan.

Lagi pula, energi fosil bukanlah komoditas abadi. Cepat atau lambat, stoknya akan habis. Kalau boleh jujur, sekarang pun kita sudah dikejar tenggat. Adalah prediksi Oxford University (2017) yang mengatakan cadangan energi fosil akan habis dalam 100—150 tahun lagi.

Sayangnya, ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil masih sangat tinggi. Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bertajuk Indonesia’s Coal Dynamics: Toward A Just Energy Transition menyebut komposisi bauran energi kita berasal dari minyak bumi (42,1 persen), batubara (30,3 persen), dan gas bumi (21,3 persen). Itu artinya, sekira 93,7 persen energi yang dikonsumsi di negeri ini tidak dapat diperbarui.

Upaya mengurangi ketergantungan energi fosil sebenarnya sudah lama dicanangkan. Melalui PP No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah menargetkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) ditingkatkan menjadi 23% pada 2025.

Jika dihitung, waktu yang tersisa kurang dari 6 tahun lagi. Dalam tempo yang relatif singkat, kita harus mengejar ketertinggalan pemanfaatan EBT yang saat ini baru mencapai 6 persen saja.

Untuk itu, Climate Transparency dan IESR dalam laporan berjudul The Ambition Call merekomendasikan tiga tindakan kepada Indonesia. Salah satunya adalah menurunkan kontribusi pembangkit listrik tenaga batubara dan meningkatkan kontribusi EBT pada sektor ketenagalistrikan hingga tiga kali lipat pada 2030.

Rekomendasi tersebut sejalan dengan Perjanjian Paris yang disepakati oleh negara G20 (kecuali Amerika Serikat). Indonesia, bersama dengan negara besar lainnya, bercita-cita agar bumi yang kita pijak ini benar-benar terbebas dari emisi gas rumah kaca pada 2050 nanti.

Demi menyelamatkan bumi, berbagai Climate Action pun dilakukan. Salah satunya lewat upaya pencarian sumber alternatif EBT pengganti batubara.

Saat ini, banyak penelitian yang berhasil menemukan teknologi penghasil EBT berbahan baku zat organik. Sebut saja kelapa sawit, singkong, atau tebu. Bahkan, beberapa di antaranya sukses memanfaatkan limbah industri organik sebagai bahan baku energi alternatif.

Hanya saja, upaya Brown to Green tersebut nyatanya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab teknologi ramah lingkungan tersebut sering kali gagal mencapai pasar. Alasannya klasik: ongkos produksinya tidak mampu menandingi murahnya harga jual batubara.

Itu sebabnya, batubara masih mendominasi pangsa bauran energi pembangkit listrik hingga saat ini. Data Kementerian ESDM pada 2017 menyebut 57,22 persen aliran listrik di Indonesia masih dipasok oleh batubara.

Oleh karena itu, mencari sumber EBT saja tidak cukup. Kita juga harus bisa menekan biaya produksi EBT hingga, paling tidak, setara dengan batubara. Syukur-syukur kalau bisa lebih hemat. Tanpa diminta, pelaku industri pasti akan melupakan batubara.

Sekarang, kita hanya perlu menjawab satu pertanyaan. Adakah sumber EBT yang memenuhi kriteria demikian?

Untuk memperoleh sumber EBT hemat, ada baiknya kita tengok hasil temuan LIPI. Belum lama ini, Dr. Dieni Mansur—seorang ilmuwan LIPI—berhasil menemukan teknologi penghasil bio-oil berbahan baku kulit cokelat.

Temuan itu ia publikasikan pada 2014 lewat jurnal bertajuk Conversion of Cacao Pod Husks by Pyrolysis and Catalytic Reaction to Produce Useful Chemicals. Menurutnya, bio-oil adalah sumber EBT yang berpotensi menggantikan kedudukan batubara sebagai sumber tenaga listrik.

Bio-oil adalah bahan bakar cair berwarna hitam pekat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Di kalangan ilmuwan, bio-oil lebih dikenal dengan nama pyrolysis-oil, mengingat teknik yang digunakan untuk menghasilkan minyak ini disebut dengan pyrolysis.

Bio-oil dikenal punya banyak manfaat. Di bidang pangan dan kesehatan, bio-oil digunakan sebagai bahan dasar pembuat cuka dan cairan antiseptik. Sedangkan di bidang energi, bio-oil lazim dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin pengapian terbuka, seperti mesin diesel yang digunakan pada kapal laut.

Namun demikian, manfaat yang paling berharga dari bio-oil adalah sumber bahan bakar alternatif. Dengan menggunakan mesin dan teknologi yang tepat, pembakaran bio-oil akan menghasilkan uap untuk memutar turbin penghasil energi listrik.

Kulit cokelat, sebenarnya berasal dari limbah perkebunan cokelat. Cokelat yang kita makan sehari-hari berasal dari biji cokelat. Sedangkan kulit cokelat, hampir tidak memiliki nilai ekonomis. Biasanya dijadikan sumber pakan ternak atau dibiarkan begitu saja oleh para petani cokelat.

Namanya saja limbah, pasti punya dampak buruk apabila tidak diolah. Kulit cokelat pun begitu. Bila dibuang begitu saja, kesuburan tanah akan berkurang. Mengolah kulit cokelat menjadi bio-oil, sama artinya dengan menjaga kelestarian lingkungan.

Tahun lalu, saya cukup beruntung bisa bertemu Dieni secara langsung. Sebagai analis ekonomi, saya diminta untuk menghitung biaya produksi bio-oil. Tujuannya hanya satu: untuk mengetahui apakah kulit cokelat cukup hemat untuk menggantikan peran batubara sebagai bahan baku energi listrik?

Benar saja, hasilnya cukup mencengangkan. Biaya produksi bio-oil berbahan baku kulit cokelat 20—30 persen lebih hemat dibanding batubara. Plus, tingkat kalori yang dihasilkan pun setara dengan 5.200 kcal—lebih tinggi ketimbang kandungan kalori batubara (4.400 kcal) yang lazim digunakan PLN.

Andai PLN bisa mengadopsi teknologi ini pada PLTU-nya, maka biaya produksi listrik akan jauh lebih murah. Studi IESR berjudul Kebijakan Tarif Listrik di Indonesia mengatakan harga jual listrik PLN selalu lebih rendah dibanding ongkos produksinya.

Demi menambal selisih tersebut, pemerintah terpaksa turun tangan dengan memberi subsidi. Asal tahu saja, anggaran subsidi listrik kita tidaklah sedikit. Tahun ini saja, anggaran subsidi listrik mencapai Rp59,3 triliun, naik 24 persen dibanding realisasi tahun lalu. Dengan beralih ke bio-oil, anggaran subsidi listrik bisa dikurangi.

Lagi pula, kita tidak perlu khawatir memikirkan ketersediaan kulit cokelat. Indonesia adalah negara penghasil cokelat terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Sepanjang 2017 saja, produksi cokelat kita mencapai 290 ribu metrik ton. Nilai ekspor biji cokelat pada periode yang sama mencapai 55,5 juta Dolar AS.

Fakta tersebut sekaligus mengafirmasi penelitian Rogers dan Brammer (2011). Ilmuwan asal Inggris itu berpendapat bahwa harga bio-oil bisa lebih murah ketimbang energi fosil. Asalkan, bahan baku biomassa—seperti kulit cokelat—dapat diperoleh dengan mudah dan murah.

Bukankah keunggulan komparatif ini sudah dimiliki oleh negeri kita tercinta?

Untuk mencapai target 23 persen bauran EBT pada 2025, diperlukan kesadaran bersama. Dari sisi produsen, belum banyak pelaku industri yang tertarik memproduksi EBT. Akibatnya, alat penghasil bio-oil belum diproduksi secara massal.

Andai saja jumlah produsen EBT meningkat, maka permintaan teknologi bio-oil pun akan turut meningkat. Alhasil, biaya investasi teknologi ramah lingkungan menjadi lebih efisien.

Selain itu, peran pemerintah sebagai regulator juga tidak bisa dikesampingkan. Langkah menerbitkan aturan target bauran energi jangka panjang sudah tepat. Hanya saja, insentif bagi industri yang menggunakan EBT masih sangat minim. Ini yang perlu diperhatikan bila target bauran EBT ingin tercapai.

Sama halnya dengan konsumen. Kesadaran industri untuk menggunakan EBT harus lebih ditingkatkan. Sebab manfaatnya sudah sangat jelas: ramah lingkungan, bersih, abadi, bahkan kini sudah ada yang lebih hemat.

Pada akhirnya, kuncinya kembali pada diri kita. Teknologinya sudah ada, bahan baku cokelat pun bisa didapatkan dari mana saja. Asalkan terus berusaha dan meningkatkan kesadaran sedikit saja, niscaya asa menggantikan batubara dengan kulit cokelat bukanlah isapan jempol belaka. [Adhi]

***

Artikel asli

Follow Adhi di Instagram dan Twitter @nodiharahap

 

View this post on Instagram

 

Berani Hemat Pakai Cokelat? Energi fosil yang biasa kita gunakan memiliki segudang dampak negatif bagi kelestarian lingkungan. Sebut saja polusi, efek gas rumah kaca, hujan asam, hingga pemanasan global. Upaya mengurangi ketergantungan energi fosil sebenarnya sudah lama dicanangkan. Melalui PP No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah menargetkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) ditingkatkan menjadi 23% pada 2025. Jika dihitung, waktu yang tersisa kurang dari 6 tahun lagi. Dalam tempo yang relatif singkat, kita harus mengejar ketertinggalan pemanfaatan EBT yang saat ini baru mencapai 6 persen saja. Demi menyelamatkan bumi, berbagai #ClimateAction dan upaya #Brown2Green pun dilakukan. Salah satunya dengan mencari sumber alternatif EBT pengganti batubara. Saat ini, banyak penelitian yang berhasil menemukan teknologi penghasil EBT berbahan baku zat organik. Hanya saja, teknologi ramah lingkungan tersebut sering kali gagal mencapai pasar. Alasannya klasik: ongkos produksinya tidak mampu menandingi murahnya harga jual batubara. Sekarang, kita hanya perlu menjawab satu pertanyaan. Adakah sumber EBT yang memenuhi kriteria demikian? Temukan jawabannya lewat artikel saya berikut: https://www.nodiharahap.com/2019/09/cokelat-ganti-batubara.html atau klit tautan aktifnya di bio. Selamat membaca. @iesr.id #nodiharahapdotcom #bloggerquotes #blogger #blogpost #blog

A post shared by Adhi Nugroho (Nodi) (@nodi_harahap) on

Artikel ini diikutsertakan dalam The Ambition Call: Writing Competition yang diselenggarakan oleh IESR dan Climate Transparency.

Foto dan gambar yang ditampilkan dalam artikel ini berasal dari koleksi pribadi penulis dan situs penyedia gambar gratis Pixabay. Olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis.

Referensi:

[1] IESR & Climate Transparency (2019), The Ambition Call.

[2] IESR (2019), Indonesia’s Coal Dynamics: Toward A Just Energy Transition.

[3] IESR (2019), Briefing Paper: Kebijakan Tarif Listrik di Indonesia.

[4] Bisnis.com (2018), Pembangkit Listrik, Bauran Batu Bara 57%.

[5] Ritchie H. (2017), How Long Before We Run Out of Fossil Fuels?

[6] Mansur D. et. al. (2014), Conversion of Cacao Pod Husks by Pyrolysis and Catalytic Reaction to Produce Useful Chemicals.

[7] Rogers & Brammer (2011), Estimation of the Production Cost of Fast Pyrolysis Bio-Oil.

[8] Statista (2018), World Cocoa Production by Country from 2012/2013 to 2016/2017 (in 1,000 metric tons).

[9] Bank Indonesia (2018), Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia : Nilai Ekspor Menurut Komoditas.

Kiat Hemat Energi Rumah Tangga Demi Bumi

Sederhana Tapi Mengena, Begini Kiat Hemat Energi Rumah Tangga Demi Bumi Kita

Ditulis oleh: Fadli Hafizulhaq, Juara 1 dalam lomba menulis blog The Ambition Call, yang di laksanakan oleh IESR dan Climate Transparency.

Apa yang akan anda pikirkan jika seseorang tiba-tiba datang ke hadapan anda, menunjuk-nunjuk anda dan berkata bahwa anda adalah penyebab temperatur bumi yang semakin tinggi hari ke hari?

Ada beberapa opsi yang bisa anda ambil. Pertama, menerimanyadengan lapang dada dan meminta maaf. Kedua, cuek-bebek tanpa merisaukannya. Ketiga, anda bahkan bisa memarahi balik orang tersebut dan berkata bahwa itu “fitnah”.

Terlepas dari apapun jawaban yang akan anda pilih, faktanya memang suhu permukaan bumi terus memanas. Dikutip dari Goddard Institute for Space Studies (GISS) NASA, temperatur bumi telah meningkat hampir 1ºCelsius semenjak 1880 [1]. Jika tidak ditangani segera, peningkatan ini akan terus berlanjut hingga mencapai lebih dari 2ºC pada tahun 2030. Sejurus data di atas tampak “aneh”. Kenapa masalah ini menjadi penting padahal naiknya juga 1-2 derajat saja? Kenaikan dua derajat ini memang tidak terlihat besar—kita bahkan mungkin tidak akan menyadarinya. Tapi perubahan iklim dan pemanasan global bukanlah masalah temporal, melainkan mengacu pada tren jangka panjang.

Jika kenaikan temperatur bumi melebihi 2ºC, dunia akan lebih kering. Kekeringan ini akan berdampak pada ekonomi, pertanian, infrastruktur hingga pola cuaca. Belum lagi kerusakan ekosistem karena tidak mampunya beberapa spesies beradaptasi. Jangan lupakan juga gununggunung es di kutub bumi yang akan mencair, lalu menenggelamkan pulau-pulau kecil atau sebagian wilayah pesisir pantai. Atas semua resiko itu, kembali lagi ke pertanyaan awal, jika ada seseorang datang dan meminta anda bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global, apa yang akan anda lakukan?

Dan apapun jawaban anda, sadar atau tidak, sebenarnya anda (dan juga saya) punya andil dalam membuat bumi ini menjadi semakin panas— apalagi jika selama ini kita masih sering boros energi.

Energi yang Kita Boroskan Buat Iklim Bumi Alami Kerusakan

Rusaknya iklim tak terlepas dari “kontribusi” manusia di dalamnya. Hal ini dikarenakan penyebab utama pemanasan global adalah pelepasan banyak Gas Rumah Kaca (GRK) ke atmosfer. Dan tahukah anda, salah satu GRK terbesar yang bertanggung jawab untuk masalah ini adalah gas karbon dioksida (CO2).

Belum lama ini Institute for Essential Services Reform (IESR), sebuah lembaga riset dan advokasi di bidang kebijakan energi dan lingkungan, melaporkan fakta yang mengejutkan mengenai emisi GRK Indonesia.

Sebagai salah satu negara anggota G-20, pada tahun 2015 lalu saja, Indonesia memiliki emisi GRK sebesar 9,2 tCO2e/kapita, besar emisi ini 15% lebih tinggi dari rata-rata negara G-20 yaitu 8 tCO2e/kapita [2]. Artinya setiap warga negara Indonesia menghasilkan rata-rata 9,2 ton emisi karbon dioksida setiap tahunnya.

Lantas dari mana datangnya karbon dioksida sebanyak itu? Tentu bukan dari gas yang kita hembuskan dalam sistem pernapasan—itu tidaklah cukup besar, melainkan yang dihasilkan dari proses penyediaan energi yang kerap kita gunakan, yaitu energi listrik.

Menurut data, 40% lebih produksi listrik Indonesia masih berasal dari pembangkit yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya— yang notabene menghasilkan karbon dioksida sebagai sisa pembakaran[3]. Lebih lanjut, produksi GRK Indonesia dari sektor energi dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Pada tahun 2017 misalnya, emisi gas karbon dioksida yang dihasilkan mencapai 562 ribu Gigagram atau 562 juta ton [4]. Dengan demikian, bijak atau tidaknya kita menggunakan energi berkaitan erat dengan “kontribusi” kita merusak iklim bumi.

Menyelamatkan Iklim Bumi Bisa Dimulai dari Rumah Tangga

Merujuk pada laporan bertajuk Brown to Green: Transisi G-20 Menuju Ekonomi Rendah Karbon dari Climate Transparency yang bekerja sama dengan IESR, Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia tidak konsisten dengan batas kenaikan suhu sesuai Kesepatakan Paris (2°C), melainkan meningkat menuju kenaikan suhu 3-4°C. Parahnya, kebijakan terkait iklim di Indonesia masih berada di taraf yang rendah.

Hingga saat ini pemerintah, bisa dikatakan, masih belum bisa menekan penggunaan batu bara, sementara penggunaan energi terbarukan juga masih sangat minim. Kebijakan yang ada barulah sebatas rencana peningkatan porsi energi baru dan terbarukan menjadi 31% pada tahun 2050 [5]. Dengan kata lain, batu bara masih akan sangat diandalkan hingga beberapa tahun (atau bahkan dekade) ke depan.

Sehingga dalam waktu “transisi” ini, mesti ada Climate Action dalam rangka penyelamatan iklim bumi. Tak perlu muluk-muluk menunggu stakeholder dan institusi-institusi besar lainnya bergerak, gerakan penyelamatan ini bisa dimulai dari rumah tangga. Caranya yaitu dengan melakukan penghematan dan pengefektifan penggunaan listrik.

Kenapa harus dari rumah tangga? Karena nyatanya meski berstatus sebagai komunitas masyarakat yang kecil, rumah tangga menjadi kalangan pengguna energi listrik terbesar. Pada kuartal-I 2019 saja, sektor rumah tangga memegang porsi sebesar 48,85% disusul oleh industri 32,44%, bisnis 18,23%, dan sisanya tersebar di pelanggan sosial dan publik [6]. Maka, jika kita bisa menghemat penggunaan listrik di rumah tangga, itu akan menjadi sebuah langkah yang konkret untuk menahan laju pemanasan global yang ada.

Hal ini juga selaras lho dengan salah satu rekomendasi tindakan dalam The Ambition Call terhadap penanganan perubahan iklim Indonesia, yaitu menaikkan tingkat efisiensi energi dari penerangan dan peralatan rumah tangga, di mana hal ini dapat mengurangi beban puncak sebesar 26,5 GW pada tahun 2030.

Cara Sederhana Menghemat Penggunaan Energi Rumah Tangga

Dengan ruang lingkup yang kecil, pengelolaan energi listrik di rumah tangga tentu tidak serumit industri atau sektor lainnya. Pelaksanaannya malah cenderung fleksibel dan tergantung pada “kearifan lokal”. Usaha dari pemerintah Indonesia dalam mengajak masyarakat menghemat energi sebenarnya sudah ada sejak lama, tapi himbauan tersebut semakin ke sini semakin jarang terdengar.

Pernahkah anda mendengar himbauan penghematan listrik pada pukul 17-22? Kapan terakhir kali anda mendengar itu? Rasanya sudah lama sekali ya, karena memang himbauan itu populernya di tahun 2014 lalu. Sementara untuk hari ini, ketimbang menunggu himbauan, mengambil inisiatif justru lebih dibutuhkan.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghemat energi listrik dan menaikkan tingkat efsiensinya, cara-cara itu bahkan bisa dilakukan dengan hal-hal yang sederhana. Berikut beberapa cara yang bisa kita lakukan di dalam skop rumah tangga.

Gunakan Lampu LED dan Hidupkan Seperlunya Saja

Saat ini teknologi kian berkembang, kalau lah dulu kita mengenal bohlam, hari ini kita mulai diakrabkan dengan lampu berbahan Light Emitting Diode (LED). Teknologi penerangan saat ini sudah semakin hemat energi, dengan daya yang kecil lampu LED bisa menerangi dengan lumen yang besar. Maka, mari mengganti lampu di rumah tangga dengan lampu LED dan pastikan menghidupkan lampu
seperlunya saja.

Bijaksana dalam Memakai Peralatan yang Membutuhkan Listrik

Di antara semua peralatan elektronik di rumah, ada beberapa yang menjadi pengkonsumsi daya tertinggi. Mereka adalah pendingin ruangan, kulkas dan pompa air. Konon, ketiga peralatan ini saja sudah mengonsumsi sebanyak 85% daya rumah tangga. Oleh karena itu, sudah seyogyanya kita bijak dalam memakai alat-alat tersebut serta juga alat-alat lainnya.

Selain itu, cabut steker peralatan listrik jika tidak lagi digunakan. Meskipun itu hanya sebuah pengisi daya ponsel atau adaptor laptop, ada energi yang terbuang sia-sia selama ia masih terpasang. Mematikan perangkat elektronik sebelum tidur juga baik untuk dilakukan.

Memasang Sumber Energi Terbarukan Sendiri Jika Mampu

Cara lainnya yang dapat menjadi opsi penyelamatan atmosfer bumi dari ancaman emisi karbon dioksida adalah beralih menggunakan sumber energi terbarukan secara mandiri. Hal ini termasuk dalam upaya Brown to Green. Pun jika tidak bisa secara penuh, barangkali bisa sebagai penyuplai sebagian kebutuhan energi saja. Salah satu contoh energi terbarukan yang bisa kita gunakan adalah energi surya. Memang, biaya investasinya akan sedikit mahal. Tapi bukankah itu tidak ada apaapanya, dibanding apa yang sudah diberikan bumi kepada kita?

Pada akhirnya, menghentikan pemanasan global secara total memang mustahil untuk dilakukan. Hanya saja, kita bisa menekan lajunya. Mengacu pada Kesepakatan Paris, semua kita hendaknya sama-sama berusaha membatasi kenaikan temperatur bumi tidak melebihi 2ºC pada tahun 2030 nanti. Dengan kata lain, penyelamatan ilkim bumi hendaknya menjadi ambisi kita bersama, bukan hanya sebagian
orang/kelompok saja. Dan, cara yang paling mudah dan bisa dilakukan dengan segera adalah menghemat atau menaikkan tingkat efisiensi energi dari penerangan dan peralatan rumah tangga.

Artikel asli

Ikuti Fadli di Instagram:

View this post on Instagram

Kian hari, bumi kian panas. Hal itu disebabkan adanya perubahan iklim akibat pemanasan global. Indonesia bersama dengan berbagai negara lainnya di dalam Kesepakatan Paris (Paris Agreement) telah setuju untuk berupaya menekan kenaikan temperatur bumi tidak melebihi 2 derajat Celsius pada tahun 2030 (bahkan kalau bisa 1,5 derajat Celsius). Namun, hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Harus ada aksi penyelamatan iklim yang terukur dan efektif. Salah satunya adalah memulai upaya beralih ke energi yang ramah lingkungan. Namun sebelum itu, hal yang paling mudah dan bisa dilakukan sekarang juga untuk menyelamatkan iklim bumi kita adalah "menghemat energi dalam rumah tangga". Gimana caranya? Yuk baca selengkapnya di artikel terbaru saya : https://ajopiaman.com/kiat-hemat-energi-rumah-tangga/ Penyelamatan iklim bumi harusnya menjadi ambisi kita bersama. Yuk, beraksi! @iesr.id #ClimateAction #Brown2Green #TheAmbitionCall #GreenEconomy

A post shared by Fadli Hafizulhaq (@fadlihafz) on

 

Referensi:
[1] NASA. World of Change: Global Temperatures.
https://earthobservatory.nasa.gov/world-ofchange/
DecadalTemp
[2] IESR. The Ambition Call.
[3] Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan. Statistik
Ketenagalistrikan Tahun 2018.
[4] Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim.
Statistik Tahun 2018.
[5] Climate Transparency. Brown to Green: Transisi G-
20 Menuju Ekonomi Rendah Karbon.
[6] Ridwan Nanda Mulyana. Konsumsi listrik kuartal-I
2019 capai 78,18 TWh, terbanyak dari rumah tangga.
https://industri.kontan.co.id/news/konsumsi-listrikkuartal-
i-2019-capai-7818-twh-terbanyak-dari-rumahtangg

Tanggapan IESR mengenai langkah strategis transisi energi Indonesia

Kontributor: Jannata Giwangkara, Erina Mursanti

Merespon tiga langkah strategi transisi energi di Indonesia versi Menteri ESDM dalam Energy Action Forum “Accelerating the Energy Transition on the Road to 2020 and Beyond” yang dihelat di New York, Minggu (22/9)  (sumber: EBTKE ESDM)

Ketiga langkah yang disampaikan oleh Menteri Jonan dalam pertemuan tersebut adalah:

  1. Kemudahan akses energi dan keterjangkauan masyarakat dalam mendapatkan energi
  2. Mempercepat pengembangan energi terbarukan dan meningkatkan porsinya dalam bauran energi nasional
  3. Pemanfaatan kemajuan teknologi untuk memperluas akses energi, namun tetap mempertahankan keterjangkauan dan mengakomodasi energi terbarukan ke dalam sistem

Penulis berpendapat bahwa:

  1. Penyediaan akses energi yang terjangkau dapat dilakukan melalui pembangkit listrik berbasis energi terbarukan (misal surya, mikrohidro, biomassa atau bayu skala kecil) yang mana tidak hanya dapat memberikan akses energi yang lebih terjangkau dari pembangkit berbasis diesel, tetapi juga dapat menciptakan nilai-nilai ekonomi baru bagi masyarakat setempat. Alhasil tidak hanya bisa menyasar target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDG) #7, tetapi juga menjadi aksi untuk target TPB #13. Lebih lanjut, disamping biaya pembangkitan listrik dari energi terbarukan (capital cost yang tinggi tapi marginal cost yang hampir nol) yang lebih kompetitif dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa dengan membangun PLTD (capital cost yang rendah tapi marginal cost yang tinggi), membangun energi terbarukan juga akan menghindari/meminimalisir adanya polusi udara yang ditimbulkan akibat pembangunan sumber energi berbasis fosil.

Sejak 2016, CAFOD, IEED dan IESR mengembangkan model penyediaan energi berbasis perencanaan dari bawah (bottom up energy planning) yang dikenal sebagai Energy Deliver Model. Percontohan metode EDM di Desa Boafeo di Kabupaten Ende dilakukan bersama-sama dengan AMAN. Simak laporan percontohan pertama EDM di Indonesia di Desa Boafeo, Ende, NTT berikut:

2. Akselerasi pembangunan energi terbarukan nasional tidak hanya membutuhkan regulasi yang responsif dan mendukung instrumen pasar yang diperlukan dalam meningkatkan investasi energi terbarukan, tetapi juga peraturan yang konsisten dan stabil. Peranan swasta dalam membantu pemerintah mencapai target energi bauran energi terbarukan sangat krusial dan menjadi tumpuan pemerintah mengingat kapasitas fiskal pemerintah dan BUMN/BUMD dalam membangun infrastruktur energi terbarukan terbatas. Untuk itu, ekosistem pendukung dalam pengembangan energi terbarukan perlu didesain multipihak dan terintegrasi.

Ekosistem pendukung yang dibuat oleh Jerman, Tiongkok, dan India dalam menyukseskan transisi energi dinegaranya mencakup lima hal berikut: (1) Komitmen dan kepemimpinan yang kuat ditingkat nasional dan daerah; (2) Kebijakan dan regulasi yang saling mendukung dan menguatkan, serta adaptif dan fleksibel sesuai dengan tren dan kondisi pasar; (3) Sistem dan manajemen ketenagalistrikan yang dikelola secara terintegrasi; (4) Instrumen pendanaan yang mendukung bagi investor; dan (5) Konsisten dan fokus dalam meriset dan mengembangkan teknologi energi terbarukan dalam negeri. Laporan Igniting A Rapid Deployment of Renewable Energy in Indonesia: Lessons Learned from Three Countries dapat dijadikan referensi dalam mempercepat pembangunan energi terbarukan di Indonesia. Simak laporannya di:

3. Teknologi yang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan tentu harus terdesentralisasi dan memanfaatkan potensi energi terbarukan setempat. Dengan kombinasi energi terbarukan dari air, panas bumi, surya, dan biomassa, yang ada potensinya di setiap desa, kabupaten, dan provinsi di Indonesia, penulis yakin bahwa kebutuhan energi daerah dapat terpenuhi dan juga dapat lebih terjangkau dalam jangka panjang. Jadi pembangkit fosil yang besar dan tersentralisasi di pusat-pusat beban sudah tidak lagi terjangkau dan relevan untuk dibangun dalam peta jalan transisi energi Indonesia kedepan dengan harga teknologi energi terbarukan dan sistem penyimpanan yang akan semakin terjangkau.

Kedepan, konsep konsumen energi dari sektor rumah tangga (yang selalu disasar oleh PLN sebagai salah satu target pendapatan listrik utamanya), tidak akan lagi relevan karena berkat adanya kemajuan teknologi energi terbarukan yang demokratis. Panel surya misalkan, sekarang konsumen listrik bisa menjadi produsen listrik pada saat yang bersamaan, dimana listrik yang dibangkitkan bisa disalurkan ke jaringan transmisi PLN setempat. Efisiensi energi di sisi pengguna juga menjadi low hanging fruit yang selama ini kurang didorong oleh pemerintah, dan dilirik oleh pengguna rakus energi sebagai first fuel dalam memenuhi kebutuhan energinya. Hal tersebut sejalan dengan tren penyediaan energi/listrik di masa depan yang terdesentralisasi, bidirectional, dan tidak mengenal base load/mengedepankan demand side management.

Infografis potensi dan kapasitas terpasang energi terbarukan Indonesia tahun 2018 bisa menjadi bahan evaluasi kita dalam mengevaluasi pembangunan energi terbarukan di Indonesia. Lihat infografisnya melalui:

https://iesr.or.id/galeri/potensi-dan-kapasitas-terpasang-energi-terbarukan-indonesia-tahun-2018/

Secara umum, melakukan #EnergyTransformation dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dapat mempercepat pengembangan energi terbarukan dan memperluas akses energi. Dengan demikian, masyarakat di daerah pedalaman dan terpencil mendapatkan keterjangkauan akses energi yang berkualitas #SustainableEnergyAccess.

Seperangkat regulasi dan peraturan yang kondusif vital dibutuhkan dalam menarik minat investor energi terbarukan untuk menempatkan sejumlah dananya dalam bentuk proyek pengembangan energi terbarukan di seluruh pelosok Indonesia. Dukungan pemerintah, baik pemerintah pusat dan daerah pun sangat berperan dalam percepatan #EnergyTransformation demi menjamin #SustainableEnergyAccess.

Pemerintah daerah dapat memberikan jaminan kepastian (contohnya kepastian skema pendanaan atau kepastian lahan) untuk investor yang akan melakukan investasi di daerahnya. Kepastian ini dapat dituangkan pemerintah dalam RUED. Seperangkat regulasi dan peraturan (baik teknis dan non teknis) serta dukungan pemerintah dapat mewujudkan #GreenEconomy di Indonesia sehingga Indonesia unggul tanpa melupakan lingkungan.

High Geothermal Potential in Indonesia and Green Trains Running on Biofuel

On 26 – 27 August 2019, IESR (represented by Julius Christian, Clean Fuel Specialist and Abdilla Alfath, Research Intern) participated in field visit to PLTP (geothermal power plant) Kamojang and PT KAI (Indonesia’s railways corporation) organized by YLKI (Indonesian Consumers’ Organization). The participants included HIVOS, AMAN (The Alliance of Indigenous Peoples of the Archipelago), Koalisi Perempuan Indonesia (Indonesia Women Coalition) and Coaction Indonesia. The field visit was a part of discussion for consumers manual on energy developed by YLKI.

On the first day, the group visited PLTP Kamojang, the oldest geothermal power plant in Indonesia. The power plant has been commercially operational since 1983 and is also one of the largest geothermal power plants in Indonesia with a total installed capacity of 235 MW from its 5 units. An interactive Q&A session with managers at the power plant was conducted, particularly regarding geothermal developments in Indonesia. It was highlighted that the potential for geothermal in Indonesia is the highest in the world and currently Indonesia is only second to the US in geothermal installed capacity. However, it was also noted that there were high risks in exploration for geothermal energy, which drives high capex and difficulty to get financing before a Power Purchase Agreement (PPA) signed. The visit also included visit to a Geothermal Information Centre (GIC), built and managed by PERTAMINA. Visitors can can learn all things about geothermal energy from an expert geologist with various exhibits on geothermal energy. The GIC also has various interesting facilities, such as a mini cinema for geothermal documentaries. The group then continued to visit one of the units of PLTP Kamojang, Unit V. Unit V has a capacity of around 35 MW.

On the second day, the group visited the head office of PT KAI in Bandung. There was a meeting and discussion with directors from various departments. Intensive discussion was centered around KAI’s progress in implementing the use of B20 biodiesel (blending program) for KAI trains. It was highlighted that KAI has so far deployed B20 in 100% of its train and is currently undergoing testing for the implementation of B30. There were several issues noted, such as subsidy for biofuel and the future projection of it (non-subsidy program). KAI has great interests in making its trains consumer-friendly and hopes that it can go greener with the use of biofuel.

The event was insightful to understand more the landscape of renewable energy in Indonesia and its use in transportation sector. It was also nice to know that the journey from and to Jakarta left less carbon footprint as the trains used were run on B20.


Written by Abdilla Alfath, Research Intern, and edited by Marlistya Citraningrum


 

Sunny Days: Powering Indonesia with Solar Energy (Only!)

In 2017, Institute for Essential Services Reform (IESR), together with Ministry of Energy and Mineral Resources, Ministry of Industry, Indonesia Solar Association, Indonesia Renewable Energy Society, others associations and university; launched One Million Rooftop Solar Initiative (Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap). Since then, we have been working intensively to take active part in accelerating solar deployment in the country.

On Tuesday (30 July), we have launched our 4 major reports on solar energy, highlighted below:

1. For utility-scale solar power plants, we recommend the government to adopt reverse auction scheme. The effectiveness of the scheme has been proven by 4 countries with record-low solar generation cost (auction should be designed well to create competition and high-quality bids!)

Read more: Under The Same Sun (in English)

2. How massive of solar energy is massive? We decided to show how massive solar energy potential in Indonesia is by calculating technical potential for households in 34 provinces. With 4 scenarios used, Indonesia has 194 – 655 GWp of solar power, residential only. How much of that is feasible to achieve, market wise?

Read more: Residential Rooftop Solar Technical Potential in 34 Provinces in Indonesia (in English)

3. With that potential, why rooftop solar penetration for residential is so low? We asked people in Greater Jakarta and Surabaya to find out. Well, they are aware of the technology, with different perceptions. Those living in Greater Jakarta care more on the savings and ease of use, while people in Surabaya consistently mentioned good impact of solar energy for the environment and its high technology, apart from savings.

Three out of ten people in Greater Jakarta are willing to buy, 1 in 3 people in Surabaya also conveys the same intention. But what makes them reluctant to do it?

Also, the market potential for Greater Jakarta and Surabaya amounts to 13% and 19%, respectively. Assuming 2 kWp installation capacity, the numbers equal to 1,1 – 1,2 GWp and 170 – 186 MWp. Not small numbers compared to Indonesia’s solar energy target (6,5 GW by 2025).

Read more: Market Analysis of Rooftop Solar in Greater Jakarta and Surabaya (in Indonesian), Market Potential of Rooftop Solar PV in Surabaya (in English)

4. Powering the Cities, our latest series. We believe the role of local governments is crucial in accelerating solar deployment in Indonesia. Thus, we calculated technical potential of government and commercial buildings in Jakarta and Surabaya to understand more the solar energy landscape in those cities and how we can work together with local governments to establish solar cities in Indonesia.

Jakarta has 22 MWp rooftop solar potential, while Surabaya has 36 MWp. We encourage Government of Jakarta and Government of Surabaya to tap this potential and start transitioning to low-carbon development.

Read more: Powering the Cities: Technical Potential of Rooftop Solar for Public and Commercial Buildings (Jakarta and Surabaya) (in English)

Powering Indonesia with 100% renewables, or even solar energy only, perhaps no longer a faraway dream.


Warm (pun intended) regards,

Marlistya Citraningrum
Program Manager – Sustainable Energy Access