The Original Wisdom of Energy Use

Energy Transition Blog Series #1

Energy in human civilization

Paolo Malanima, an economic historian from Italy, classifies the history of the world energy into two periods based on the utilization of energy source. The first period ranges from 7 million to 500 years ago, marked with five prime energy sources, namely food, firewood, animal feed, hydropower, and wind power. For about 5 to 7 million years ago, food is known as the only energy source by a human with other two forms of energy (i.e., kinetic and thermal). They only relied on their body and animals to perform some works with limited usage of hydro and wind power. For this reason, he then called this period as the organic vegetable economy.

The second world energy period spans from the present to last 500 years ago. In this era, the prime energy sources for human and animals have been replacing by fossil fuel-based, along with the development of machine tools and mechanization. The fossil energy sources which have been utilized are from coal, crude oil, primary electricity, natural gas, and nuclear, respectively. So, for this second period, Paolo Malanima called the era as the organic economies.

Figure 1. Paolo Malanima’s history of the world energy era classification.

From these two periods, the common principle to extract the energy remains the same: by burning the carbon. While the first period used direct timber and other traditional biomass as the carbon source, the modern period uses the “fossil” carbon from ancient plants and organisms which subject to intense heat and pressure over millions of years. The changes in the use of fuel between these periods encourage the emergence of the energy transition.

What is energy transition?

The energy transition can be interpreted simply as “changes in the system of energy production and consumption in a certain period of time.” Nowadays, the terms globally referred as the transformation process in the energy supply in which from fossil fuel-based energy system (i.e. coal, oil, and gas) towards a more efficient, low carbon, and sustainable energy system with renewables (e.g. solar, wind, bioenergy, hydro). The current transition is driven to achieve global climate mitigation goals in limiting global warming to 2oC – or even limiting to 1.5oC.

Energy transition phenomenon is actually already started a long time ago. It began in the mid 19th century by the utilization of coal as the main source of energy, followed by the introduction of oil in the 20th century, and nuclear in the 1950s. From the 1950s to date, the energy supply from renewables has been taking over the dominance of the non-renewables. It’s fairly to say that the global energy transition has undergone under four major waves (see Figure 2).

 

Figure 2. The phenomenon of the global energy transition.

The first global energy transition arguably marked when Thomas Newcomen and James Watt invented the steam engine in the late-18th century. In this era, there have been changes in the number and pattern of energy use as well as the energy-carrying substitutes – which were originally dominated by biomass (firewood) to coal and oil later in the mid-20th century. Further, the geographical distribution of energy production, the commercialization of energy resources, and the impact of energy use on the environment began to be visible in this industrial revolution era.

The era of industrialization – along with the discovery of electricity and the increasing population of the world, pushed for greater demand for energy. Coal and oil have more energy density than biomass. Hence, these two sources of energy had been used massively in the era to supply the needs. As a consequence, biomass utilization was dramatically decreased and the new type of energy, i.e. electricity, was started to increase.

High utilization of coal and oil – plus economic development, not only increased fossil fuel usage but also encouraged the development of technology towards more efficient and more environmentally friendly. That’s why the introduction of nuclear energy to generate electricity in the 1950s marked as the third wave of the global energy transition. The world’s first nuclear powerplant started operations in Obninsk, in the Soviet Union, on June 27, 1954.

The fourth wave of the global energy transition marked by the reduction in the use of fossil fuels, especially in developed countries. With the threat of climate change and its impact, countries in the world then agreed to require the transition of the current energy system towards a cleaner system by using renewables. Solar and wind energy are among the most renewable sources which have a rapid deployment around the globe.

“Back to the future past”

Maybe not many people are aware that we finally return to the original wisdom of energy use in the past. If we referring back to the Paolo Malanima’s classification, our ancestors had been evidently used the renewable energy to empower their work in the first place. With technological advancement, we can back to use past wisdom in tapping the energy from renewable energy sources, in more effective ways.

Current renewable energy technologies, combined with the storage system, can substitute the dirty fossil power plants without having the reliability. The rise of micro-power and decentralized generation globally indicates that we no longer need the big, centralized power plant. Moreover, the digital revolution in the energy sector (e.g. digitalization, internet of things) also accelerate the energy transition towards a more efficient, low carbon, and sustainable energy system with renewables.

So let’s turn, not burn!


Jannata Giwangkara,
Program Manager – Energy Transformation

SK Pengadaan Sistem Energi Surya untuk Sekolah Dasar

Berdasarkan keputusan rapat Tim Program Akses Energi Berkelanjutan dan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform yang dituangkan dalam Surat Keputusan No. 033/PM-SEA/EDM/2019; ditinjau dari pengalaman dan rekam jejak kontraktor/vendor, kualitas produk, garansi, dan after-sales services yang ditawarkan, spesifikasi seluruh kelengkapan sistem dan justifikasinya, serta total biaya yang kompetitif, maka untuk Pengadaan Sistem Energi Surya untuk Sekolah Dasar yang dikeluarkan Request of Proposal-nya tanggal 5 April 2019 ditetapkan pemenang pengajuan proposal adalah:

Nama perusahaan           : PT Darma Arka Sakti

Alamat                              : Rase Building, Jl. Dr. Setiabudhi No. 19, Bandung, Indonesia

Telepon                            : 022 – 8260 2599

Demikian pemberitahuan ini disampaikan sebagai informasi publik, dan bagi peserta yang belum mendapatkan kesempatan, Institute for Essential Services Reform mengucapkan terima kasih atas partisipasi peserta dalam proses pengajuan proposal ini.

 

Jakarta, 13 Mei 2019

Marlistya Citraningrum
Manajer Program – Akses Energi Berkelanjutan

Belajar dari Wind Farm di Feldheim, Jerman: Catatan Researcher IESR dalam program Fellowship Agora Energiewende

Kontributor: Deon Arinaldo, Energy Information Specialist; Researcher

Sebagai bagian dari program Fellowship yang dikelola Agora Energiewende dan Renewables Academy Jerman. Energy Information Specialist kami beserta 11 delegasi lainnya berkunjung ke Wind Farm di Feldheim.

Pembangkit Tenaga Angin dengan Kapasitas 123MW ini menyuplai sebagian besar produksi listrik ke jaringan setelah memenuhi kebutuhan listrik desa. Untuk kebutuhan panas (heater), koperasi petani Feldheim memiliki PLTBG yang menggunakan material dari hasil pertanian dan peternakan mereka sendiri.

Tenaga angin untuk listrik sepenuhnya terpenuhi, dan menggunakan Biogas plant dan wood chip biomass sebagai cadangan (backup) untuk panas (ada heating gridnya). Produksi tahunan PLTB sekitar 250 GWh, sedangkan kebutuhan desa adalah sekitar 1 GWh, sehingga 99% lebih di ekspor ke grid. Di lokasi yang sama, developer lainya juga membangun 10 mw baterry storage yang membantu menjaga stabilitas grid.

Kapasitas PLTB di desa ini sangat besar, sehingga meskipun angin tidak banyak, listriknya masih cukup dari PLTB untuk desa. Selain itu mereka punya PLTBG untuk CHP sebagai sumber listrik lainnya.  

Jika memang tidak ada sama sekali listrik dari keduanya, mereka menggunakan mobile diesel generator tapi selama ini belum pernah ada kejadian menggunakan mobile diesel generator tersebut.

PLTBG (biogas plant) nya memiliki kapasitas 500 kW.

Wind farm ini di kelola oleh developer (Energiequelle). Mereka hanya menyewa pada pemilik lahan (landowner). Maintenance contract langsung dgn EPCnya yaitu enercon. Sedangkan untuk koperasi petani, mereka bangun grid sendiri sehingga mereka beli listrik lebih murah dibandingkan listrik normal (agreement dengan developer). Unutk biogas plant dan heating grid, yang punya koperasi petaninya juga. Pemerintah setempat memberikan subsisdi untuk modal awalnya.

Mirip dengan Studi Kasus di Amerika Serikat untuk rural electrification, koperasi milik petani, punya peran penting dalam elektrifikasi dengan pinjaman lunak dari pemerintah. 

##

Rooftop Solar dan Demokrasi Energi di Indonesia

#WeThePeopleHaveThePower:
Rooftop Solar dan Demokrasi Energi di Indonesia

Karena energi adalah kebutuhan mendasar manusia modern, idealnya, masyarakat juga memiliki hak untuk mendapatkan dan menggunakan energi bersih dan terbarukan. Bagaimana rooftop solar dapat menjawab tantangan ini di Indonesia?

Kontributor: Marlistya Citraningrum, Program Manager – Sustainable Energy Access

Sebagai negara yang terletak di khatulistiwa, potensi energi surya di Indonesia terbilang besar dan berlimpah sepanjang tahun. Potensi teknis pembangkitan listrik energi surya (fotovoltaik) di Indonesia mencapai 559 GW, dan beberapa lokasi di Indonesia dapat menghasilkan listrik fotovoltaik hingga 1.680 kWh per tahun untuk setiap 1 kWp (kilowatt peak) panel surya terpasang. Dengan potensi yang tinggi dan perkembangan teknologi yang sangat pesat yang berkontribusi pada meningkatnya akses pada produk fotovoltaik dan turunnya harga pembangkitan listrik fotovoltaik, tren penggunaan energi surya semakin meningkat setiap tahunnya.

Energi surya adalah satu dari sedikit jenis energi terbarukan yang secara langsung dapat diakses masyarakat dan dapat digunakan dengan variasi skala yang beragam. Tidak hanya untuk pembangkitan listrik skala besar yang membutuhkan tanah yang luasnya berhektar-hektar (di atas 10 MW), energi surya dapat dinikmati masyarakat umum dengan penggunaan rooftop solar berkapasitas beberapa kWp hingga sekecil lampu meja dan power bank. Tidak berlebihan bila energi surya disebut sebagai “sumber energi yang demokratis” karena dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan berbagai bentuk dan skala kapasitas.

Penggunaan energi surya dalam bentuk rooftop solar di Indonesia sendiri masih sangat terbatas. Meski secara global telah menjadi tren yang terus berkembang setiap tahunnya, masyarakat Indonesia masih belum memiliki akses yang komprehensif dan merata pada informasi dan variasi produk rooftop solar. Hingga bulan Januari 2019, PLN mencatat pelanggannya yang menggunakan rooftop solar tersambung jaringan (on-grid) baru mencapai 609 orang. Informasi mengenai rooftop solar, baik dari informasi teknis, produk, hingga kebijakan dan regulasi, masih terbatas di kalangan tertentu; kebanyakan didominasi kalangan menengah ke atas dan mereka yang terpapar pada isu energi atau ketenagalistrikan. Selain itu, harga produk rooftop solar masih dianggap tinggi. Dengan rata-rata harga USD 1,000/kWp, pelanggan rumah tangga yang ingin menggunakan energi surya masih enggan untuk memasang panel surya karena mereka harus mengeluarkan sejumlah uang dalam jumlah besar dan belum dimungkinkan untuk dibayar dengan skema cicilan.

Tren penggunaan rooftop solar oleh pelanggan listrik rumah tangga mulai terlihat signifikan sejak tahun 2013. Sebelum 2013, tidak ada aturan yang secara khusus mengakomodasi pelanggan listrik rumah tangga yang memasang panel surya di rumahnya, dan karenanya dapat memicu masalah dengan PLN sebagai satu-satunya perusahaan yang secara hukum berkekuatan legal untuk memproduksi dan menjual listrik di Indonesia. Untuk melindungi pelanggan listrik rumah tangga yang memasang rooftop solar di rumah mereka, PLN mengeluarkan Peraturan Direksi No. 0733.K/DIR/2013 yang mengatur pemanfaatan listrik fotovoltaik dengan skema net-metering. Pelanggan PLN dapat mengoperasikan rooftop solar secara paralel dengan sistemn PLN dan diizinkan untuk mengirimkan kelebihan produksi listriknya ke jaringan PLN. Meter ekspor-impor dipasang di rumah pelanggan dan jumlah listrik yang dikirim ke jaringan PLN akan di-offset dengan listrik PLN yang digunakan pelanggan, dengan nilai 1:1 (setara tarif dasar listrik pelanggan). Kelebihan listrik dari ekspor-impor akan dijadikan deposit untuk bulan berikutnya dan diberlakukan rekening minimum sesuai daya terpasang bagi pelanggan.

Meski telah memiliki payung hukum, peraturan ini tidak disosialisasikan secara masif dan diterjemahkan secara berbeda oleh kantor-kantor regional PLN; sehingga pelanggan PLN yang hendak memasang rooftop solar di rumahnya dan menyambungkannya ke jaringan PLN belum tentu mendapatkan persetujuan kantor regional PLN setempat.

Dengan semakin pesatnya teknologi fotovoltaik dan persebaran informasi yang semakin luas, minat masyarakat juga semakin meningkat; tidak hanya dari kalangan rumah tangga melainkan juga dari pihak komersial dan industri. Perusahaan-perusahaan di Indonesia yang memiliki induk perusahaan multinasional, banyak memiliki kebijakan internal yang berkaitan dengan energi untuk merespon isu perubahan iklim. Beberapa perusahaan multinasional yang tergabung dalam Grup RE100, yaitu aliansi perusahaan yang berkomitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan dalam produksi mereka, memiliki lokasi produksi atau mitra produksi di Indonesia yang juga harus berkontribusi pada visi perusahaan. Penggunaan rooftop solar merupakan salah satu cara kontribusi yang mereka gunakan. Pembangkitan listrik mandiri ini seringkali terkendala dengan aturan operasi paralel PLN, yang mensyaratkan pelanggan untuk mematuhi aturan teknis tertentu dan membayar sejumlah biaya (parallel charge) setara dengan kapasitas listrik yang mereka bangkitkan.

Merespon peningkatan minat pemanfaatan rooftop solar ini, pada tahun 2017, Kementerian ESDM bersama dengan beberapa kementerian dan lembaga pemerintah lain, asosiasi, lembaga non-pemerintah (termasuk IESR), dan universitas mendeklarasikan inisiatif Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap/GNSSA, yang bertujuan untuk mendorong pencapaian target Kebijakan Energi Nasional (6,5 GW pemanfaatan energi surya pada tahun 2025). GNSSA sendiri memiliki target kapasitas kumulatif rooftop solar sebesar 1 GW pada tahun 2020. Deklarasi GNSSA dan sosialisasi yang dilakukan oleh beragam institusi mampu mendorong peningkatan pemanfaatan rooftop solar di Indonesia, terlihat dari kenaikan jumlah pelanggan PLN pengguna rooftop solar on-grid yang cukup signifikan. Semakin banyak pelanggan PLN golongan rumah tangga yang tertarik memasang rooftop solar dengan beragam alasan: menggunakan energi bersih dan terbarukan, menghemat tagihan listrik, mandiri energi, menerapkan gaya hidup berkelanjutan, hingga kebanggaan karena menggunakan teknologi yang maju dan modern. Skema net-metering dengan transaksi kredit listrik 1:1 merupakan salah satu daya tarik penggunaan rooftop solar, mengingat motivasi penghematan menjadi salah satu alasan utama mereka.

Perkembangan ini kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Menteri ESDM no. 49/2018. Payung hukum yang lebih kuat untuk pengguna rooftop solar dibandingkan Peraturan Direksi PLN sebelumnya ini merupakan salah satu milestone penting dalam agenda pencapaian target energi terbarukan Indonesia dan mendorong pertisipasi masyarakat luas untuk pencapaian target tersebut. Permen ESDM No. 49/2018 ini memuat banyak hal terkait pemanfaatan rooftop solar oleh pelanggan PLN, di antaranya aturan teknis mengenai kapasitas pemasangan rooftop solar, skema transaksi kredit listrik dengan PLN, prosedur perizinan dan pemasangan rooftop solar, serta prosedur penggunaan rooftop solar bagi pelanggan komersial dan industri.

Namun demikian, pokok bahasan yang diatur dengan Permen ESDM No. 49/2018 justru memiliki potensi menghambat adopsi penggunaan rooftop solar oleh pelanggan rumah tangga, komersial, dan dan industri. Mengapa?

  1. Nilai transaksi kredit listrik yang diekspor ke PLN oleh pelanggan dikali 65% dan dengan siklus 3 bulanan

Angka ini lebih kecil dibanding dengan nilai transaksi kredit listrik yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Direksi PLN No. 0733.K/DIR/2013 yang memberikan besaran transaksi 1:1. Studi pasar yang dilakukan IESR dengan GIZ-INFIS menunjukkan bahwa salah satu motivas masyarakat untuk menggunakan rooftop solar adalah potensi payback period yang pendek. Nilai transaksi kredit listrik yang lebih rendah dalam Permen ESDM No. 49/2018 akan memperpanjang payback period pengguna rooftop solar dan membuat investasinya kurang menarik bagi pelanggan. Pengakumulasian selisih kelebihan ekspor listrik rooftop solar ke PLN juga diperpendek dalam aturan ini; yang awalnya 1 tahun menjadi hanya 3 bulan. Pemendekan periode reset ini juga mengurangi daya tarik pemanfaatan rooftop solar.

Salah satu alasan yang kekhawatiran yang muncul dari PLN adalah potensi kehilangan pendapatan (revenue loss), apabila banyak pelanggannya yang memasang rooftop solar di saat penjualan listrik PLN tidak mencapai target pertumbuhan sales. Simulasi IESR menunjukkan bahwa bila target GNSSA tercapai pada tahun 2020, persentase listrik yang dihasilkan dari rooftop solar hanya sebesar 0,42% dari total proyeksi pembangkitan listrik PLN dan PLN hanya akan kehilangan pendapatan sebesar 0,52% dari pendapatannya pada tahun berikutnya (2021), dengan nilai transaksi kredit listrik sesuai Permen ESDM No. 49/2018.

2. Perizinan yang lebih rumit

Dalam agenda percepatan pembangunan listrik surya atap di Indonesia termasuk di antaranya dengan mendorong partisipasi sebanyak mungkin pihak, pengajuan izin sebelum pemasangan ini sebaiknya tidak diberlakukan untuk pelanggan yang hendak memasang rooftop solar dengan kapasitas kecil (di bawah 200 kW). Mengingat mereka memasang rooftop solar di properti milik mereka sendiri, dengan biaya yang juga mereka keluarkan sendiri; pemerintah seyogyanya memberikan kemudahan untuk pengoperasian paralel instalasi tersebut dengan jaringan PLN. Idealnya, pelanggan hanya perlu memberikan notifikasi pengajuan penggantian kWh exim (ekspor-impor) pada PLN. Klausul izin dalam Permen ESDM No. 49/2018 ini memberikan kewenangan mutlak pada PLN setempat untuk menolak atau mengeluarkan izin pemasangan rooftop solar. Proses perizinan yang lebih rumit ini juga ditambah dengan persyaratan bahwa pemasang rooftop solar adalah Badan Usaha dengan sertifikasi tertentu, yang dapat menambah biaya investasi awal untuk pelanggan dan juga tidak tersedia secara merata di banyak lokasi di Indonesia.

3. Masih berlakunya charge untuk pelanggan industri

Aturan ini secara kontradiktif mengecualikan pelanggan industri untuk memasang PLTS Atap dari Permen ESDM No. 1/2017, namun masih menyebutkan adanya ketentuan mengenai capacity charge dan emergency charge. Dengan minat dari kalangan komersial dan industri yang cukup tinggi untuk menggunakan energi terbarukan dengan berbagai alasan, ketentuan ini menjadi disinsentif tersendiri karena menambah biaya yang lebih besar.

**

Dengan potensi energi surya yang tinggi dan pemanfaatan yang masih terbatas, Indonesia memiliki peluang dan tantangan yang besar untuk meningkatkan penggunaannya. Demokrasi energi di Indonesia harus didorong dengan pemanfaatan energi surya untuk melistriki lokasi-lokasi yang sulit terjangkau secara geografis dan tersedianya enabling environment untuk masyarakat yang ingin beralih ke energi terbarukan. Pemerintah harus mampu melihat kondisi ini sebagai tren masa kini dan masa depan yang diakomodasi dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung, baik dari segi perlindungan hukum, keteknisan, hingga insentif-insentif fiskal mau pun non-fiskal. PLN sebagai entitas bisnis juga dapat melihat peluang ini untuk terjun ke sektor energi terbarukan, tidak hanya menjawab meningkatnya minat masyarakat dan sektor komersial serta industri, melainkan juga untuk memodernisasi pembangkitan listrik dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Masukan IESR tentang Badan Pengelola Energi Terbarukan dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan

Dewan Perwakilan Daerah Rakyat Republik Indonesia menginisiasi Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT). RUU ini semula diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), yang merupakan organisasi yang terdiri dari asosiasi pelaku usaha bisnis energi terbarukan, jasa dan industri pendukung serta para ahli, memiliki kepentingan sangat besar dengan kehadiran RUU ini. METI telah terlibat sejak pembahasan usulan RUU EBT di DPD dan ketika RUU ini menjadi inisiatif DPR, METI juga secara aktif terlibat dalam pembahasan yang dilakukan oleh Badan Keahlian DPR (BKD) yang menyiapkan naskah RUU EBT tersebut.

IESR telah menjadi bagian dari tim asistensi RUU EBT yang dibentuk oleh METI sejak naskah RUU ini menjadi pembahasan di DPD,  dan kemudian dilanjutkan dengan proses penyiapan RUU EBT di DPR. RUU EBT juga mendapatkan perhatian dari sekelompok organisasi non-pemerintah (NGO) yang kemudian berkoordinasi dengan METI untuk melakukan proses konsultasi dengan organisasi masyarakat sipil lainnya, sekaligus menyiapkan masukan untuk memperjelas sejumlah topik utama dalam naskah RUU EBT yang disiapkan oleh BKD.

Terdapat sejumlah isu penting dalam RUU EBT yang disiapkan BKD DPR. Salah satunya mengenai Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPET). BPET menjadi usulan METI dalam rangka menjamin pengembangan energi terbarukan secara konsisten dan terkoordinasi untuk mencapai target dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Bagaimana bentuk dan tupoksi serta ruang lingkup BPET ini masih perlu dibahas lebih lanjut sehingga dapat dituangkan dalam RUU EBT yang sedang disiapkan.

Untuk membahas BPET, pada hari Jumat, 5 April 2019 bertempat di Jakarta, IESR menghadiri focus group discussion (FGD) yang diadakan oleh WWF Indonesia, bersama Hivos dan KoAksi untuk membahas mengenai BPET. FGD ini dihadiri oleh sejumlah CSO, anggota METI, anggota DEN, dan sejumlah wakil dari Kemenko bidang Perekonomian dan Kemenko Maritim.

Dalam pertemuan tersebut IESR diwakili oleh Fabby Tumiwa yang memaparkan beberapa aspek yang perlu diperhatikan mengenai BPET, antara lain:

  • Sebelum ditetapkan bentuk, peran dan tupoksi BPET, perlu dianalisis lebih lanjut terlebih dahulu kendala atau tantangan yang dihadapi oleh kelembagaan energi terbarukan yang sudah ada saat ini (misalnya Dirjen EBTKE) yang dianggap belum berhasil mempromosikan dan mengembangkan ET dalam rangka mencapai target RUEN. Apa tantangan utama yang dihadapi oleh K/L yang ada dalam pengembangan ET. Selain daripada itu, sebagai bagian dari refleksi, perlu ditanyakan apakah dengan pembentukan lembaga baru seperti BPET akan dapat menyelesaikan kendala atau tantangan tersebut.
  • Berdasarkan observasi IESR, terdapat 3 fungsi besar yang diperlukan untuk pengembangan ET: pertama, pembuatan kebijakan dan regulasi, kedua, dukungan pengembangan proyek, serta ketiga, pendanaan/pembiayaan. Fungsi-fungsi ini dapat dilakukan oleh lembaga yang berbeda-beda. Perlu dilihat fungsi mana yang belum dimandatkan pada lembaga existing dan kemudian dimandatkan pada lembaga yang baru, serta fungsi mana yang perlu diperkuat mandatnya pada lembaga existing.
  • Dari pengalaman mancanegara, terdapat sejumlah lembaga/institusi yang dibentuk untuk mempercepat dan memberikan dorongan untuk pengembangan energi terbarukan, baik komersial maupun non-komersial, antara lain:
    • Australian Renewable Energy Agency (ARENA): fokus pada investasi dan pendanaan
    • Germany Energy Agency (DENA): fokus pada riset, inovasi, dan pengembangan proyek
    • Sustainable Energy Development Agency (SEDA) di Malaysia: fokus pada fungsi regulasi
    • Solar Energy Corporation of India (SECI): berperan sebagai offtaker yang berkontrak dengan pembangkit ET, kemudian menjualnya ke perusahaan utility

Rangkuman materi pemaparan yang di sampaikan oleh Eksekutif Direktur IESR, Fabby Tumiwa dapat di akses di sini Download PPT

Kampanye Nasional GBK – Jika terpilih Prabowo akan Menurunkan Harga Listrik Dalam 100 Hari

Dalam pidato kampanye Nasional di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, hari ini 07 April 2019, Calon Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa jika terpilih dia akan menurunkan Tarif Listrik dalam 100 hari. Siang ini saya (Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR) mendapatkan pertanyaan dari beberapa media soal ini. Berikut garis-garis besar pernyataan saya:

  1. Sesuai dengan UU No. 30/2009 tentang ketenagalistrikan, tarif listrik ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR. Jadi siapapun yang menjadi Presiden, tidak bisa sepihak menaik-kan atau menurunkan TDL. Kebijakan ini harus mendapatkan persetujuan DPR dan perlu disiapkan kebijakan subsidi atau kebijakan lainnya untuk melaksanakan penurunan TDL.
  2. Sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, pemerintah (Kementerian ESDM) sebagai regulator dapat mengendalikan atau menekan biaya pokok produksi tenaga listrik tetapi langkah atau kebijakan yang dibuat memiliki konsekuensi biaya sebagai akibat intervensi yang dilakukan. Penurunan biaya yang bisa dilakukan tanpa membebani keuangan negara adalah melalui efisiensi pada bisnis proses PLN. Walaupun demikian ada batasan dampak yang ditimbulkan dari tindakan efisiensi tersebut terhadap biaya produksi tenaga listrik.
  3. Saya menilai bahwa janji menurunkan TDL sebenarnya tidak jelas. Kalau dibilang akan menurunkan tarif listrik, apakah seluruh TDL atau hanya golongan tarif tertentu saja yang mau diturunkan? Sebagai contoh tarif untuk golongan R1 450 VA dan 900 VA rumah tangga tidak mampu, tarif sosial dan usaha kecil, masih menerima subsidi dan besaran tarifnya sangat rendah. Misalnya tarif listrik R1/450 VA hanya sebesar Rp. 415/kWh, sedangkan R1/900 VA yang subsidi adalah Rp. 568/kWh. Tarif subsidi ini tidak pernah naik sejak 2003. Jadi sesungguhnya tidak jelas, tarif listrik yang mau diturunkan dan cara menurunkannya.
  4. Rata-rata tarif listrik saat ini sebesar Rp. 1467/kWh atau $11 sen/kWh sebenarnya justru dibawah tingkat yang “sustainable” bagi PLN. Dengan tarif saat ini, margin yang diterima PLN dibawah 4%, padahal idealnya PLN mendapatkan margin 10% sehingga dapat beroperasi dan berekspansi secara sehat.
  5. Kalau TDL dibuat murah tapi biaya produksi listrik tidak turun, dampaknya adalah subsidi pemerintah akan naik dan justru menjadi tidak sehat bagi keuangan negara, PLN serta Program perlindungan sosial lain, dan juga dapat mengancam rating investasi pemerintah dan PLN sendiri yang akan menaikan biaya pinjaman PLN.
  6. Masyarakat dan konsumen listrik diharapkan kritis Untuk menguji dampak dari usulan kebijakan penurunan TDL karena dapat membahayakan keamanan pasokan energi Indonesia.

Fabby Tumiwa

photo courtesy of Google.com

Sistem Energi Surya untuk Sekolah Dasar di Ende – Request for Proposal

Masa pendaftaran di perpanjang hingga Senin, 15 April 2019

Institute for Essential Services Reform, sebuah lembaga advokasi kebijakan publik di Jakarta, Indonesia, mengundang Kontraktor/Vendor terbatas untuk mengajukan proposal instalasi sistem energi surya (“Sistem”) di sebuah sekolah dasar yang berlokasi di Nusa Tenggara Timur. Instalasi ini merupakan bagian dari penyediaan akses energi untuk masyarakat yang menggunakan pendekatan Energy Delivery Model (EDM). Pendekatan EDM menggabungkan visi penyediaan energi dengan asesmen sosial ekonomi dan partisipasi penuh masyarakat; sehingga solusi penyediaan akses energi di perdesaan benar-benar mampu menjawab permasalahan desa dan menjadi nilai tambah untuk masyarakat.

Unduh Term of Reference dari RFP Instalasi Sistem Energi Surya Untuk SD di Ende.

Pojok Energi: Akses Energi yang Berkelanjutan bagi Masyarakat Desa

Pojok Energi IESR dilaksanakan kembali pada 21 Maret 2019 di Ke:Kini Komunitas Ruang Bersama, Cikini, Jakarta. Kali ini topik yang di diskusikan adalah, Akses Energi yang Berkelanjutan Bagi Masyarakat Desa. Berikut beberapa catatan penting dari forum diskusi tersebut:

1. Sebagai negara dengan wilayah luas dan tantangan geografis yang beragam, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah untuk menyediakan akses energi bagi seluruh masyarakat, terutama yang berada di kawasan perdesaan. Menurut data BPS, masih terdapat 2.281 desa yang sama sekali belum mendapatkan akses listrik hingga tahun 2018

2. Pemerintah memiliki beberapa pendekatan untuk melistriki desa: perluasan jaringan PLN, jaringan terisolasi (isolated grid), dan program pra-elektrifikasi (LTSHE). Selain tantangan geografis, keterbatasan pembiayaan pemerintah juga menjadi tantangan dalam pemerataan akses energi untuk masyarakat desa.

3. Selain itu, definisi rasio elektrifikasi dan penyediaan akses energi juga perlu ditelaah. Kualitas akses energi yang diterima masyarakat masih berbeda-beda, misalnya durasi tersedianya listrik bisa 24 jam di satu daerah namun hanya 4 jam untuk daerah lain. Pemerintah perlu membuat standar kualitas akses energi yang sama dan mendukung kegiatan produktif masyarakat di luar kebutuhan penerangan dasar. Dengan alasan ini pula, LTSHE merupakan program pra-elektrifikasi yang patut diapresiasi sebagai solusi cepat penyediaan listrik dan perlu diimbangi dengan perencanaan jangka panjang untuk meningkatkan kualitas energi yang diterima masyarakat. IESR merekomendasikan kualitas akses energi di Indonesia minimum setara dengan Tier-3 dalam Multi-tier Framework ESMAP Bank Dunia.

4. Pelibatan pihak swasta, badan usaha milik daerah, dan komunitas menjadi penting dalam percepatan penyediaan akses energi untuk desa. Pelibatan ini mensyaratkan kemudahan proses, akses pada pembiayaan berbunga rendah dan tenor panjang, peningkatan kapasitas pemerintah lokal dan komunitas, hingga pendampingan masyarakat untuk memastikan keberlanjutan.

5. Model-model bisnis penyediaan akses energi untuk perdesaan yang berhasil dari negara lain, misalnya Kenya, India dan Amerika Serikat, dapat menjadi bahan pembelajaran dan rujukan untuk pengembangan program listrik perdesaan di Indonesia.​

Bagaimana menurut pendapat kamu? bagikan pendapat kamu dari diskusi kemarin, atau share rangkuman kegiatan ini di linimasa media sosial kamu dengan tagar #pojokenergi11 #iesr #1by20 jangan lupa tag akun media sosial IESR dan dapatkan token of appreciation dari kami untuk kamu yang telah berbagi dan mendapat like terbanyak.