Mengenal Air Conditioner (AC) yang Hemat dan Efisien Energi

Penggunaan penyejuk ruangan atau Air Conditioner (AC) sudah menjadi kebutuhan umum bagi masyarakat. Namun bagaimana memilih AC yang hemat dan efisien energi? Karena penggunaan AC tak hanya berpengaruh pada tagihan listrik pada pelanggan, tetapi bagi pemerintah dalam menghitung kebutuhan energi nasional dan anggaran belanja negara.

Dalam proses transisi energi-yaitu peralihan sistem energi dari penggunaan sumber energi berbahan bakar fosil menjadi sistem energi terbarukan-efisiensi energi menjadi salah satu unsur yang penting. Efisiensi energi bertujuan untuk mendorong perbaikan penggunaan energi menjadi lebih efisien, menghindari penggunaan energi yang tidak perlu dan pada akhirnya akan menciptakan keuntungan sosial dan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi tentunya akan mendorong peningkatan kebutuhan energi. Untuk itu, pemerintah menyiapkan sebuah regulasi berupa Peraturan Pemerintah No. 79 tentang Kebijakan Energi Nasional mewajibkan tentang standarisasi dan labelisasi untuk semua perlengkapan elektronik yang menggunakan energi [1]. Penggunaan standar dan label ini penting untuk melihat manakah produk yang lebih efisien dalam penggunaan energinya.

Mengapa efisiensi energi penting? Karena efisiensi berarti penghematan energi. Bagi masyarakat sebagai konsumen listrik, penghematan penggunaan energi berarti pengurangan biaya tagihan listrik setiap bulannya. Sementara untuk pemerintah, penghematan energi berarti pengurangan beban keuangan negara yang selama ini digunakan untuk biaya impor bahan bakar minyak (BBM) dan subsidi batubara yang diperlukan untuk memproduksi listrik di pembangkit.

Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pemerintah telah mentargetkan efisiensi energi nasional sebesar 17,4% terhadap Business as Usual (BAU) pada tahun 2025 dan 38,9% pada tahun 2050[2].

AC Hemat Energi

Namun untuk mencapai target efisien energi tidaklah mudah. Ada sejumlah tantangan yang dihadapi pemerintah. Salah satunya, tingginya tingkat permintaan konsumen terhadap piranti penyejuk ruangan atau Air Conditioner (AC). Menurut riset yang dilakukan Lawrence Berkeley National Laboratory tahun 2013, tingkat pertumbuhan penjualan AC di Indonesia mencapai 10-15% setiap tahunnya [3]. Analisis terbaru dari International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa tingkat permintaan global terhadap AC akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050 dan akan menjadi salah satu faktor penyumbang konsumsi listrik terbesar [4].

Situasi ini mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengatur tingkat pemakaian energi pada AC. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 07/2015 tentang Penerapan Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) dan Pencantuman Label Tanda Hemat Energi untuk piranti AC, dan dalam rangka penyederhanaan perizinan terkait SKEM dan label, Permen ini diperbaharui dengan Permen ESDM No.57/2017.

SKEM adalah spesifikasi yang memuat sejumlah persyaratan kinerja energi minimum sebuah peralatan elektronik pada kondisi tertentu dengan tujuan untuk membatasi jumlah maksimum dari energi yang dapat dikonsumsi oleh produk tersebut. Bila sebuah produk AC telah memenuhi syarat hemat energi tertentu, maka pada produk tersebut dapat ditempelkan label tanda hemat energi.

Maksud dari label ini adalah agar konsumen mendapatkan informasi yang jelas mengenai produk-produk yang hemat energi sehingga konsumen bisa melakukan efisiensi energi dan menghemat biaya tagihan listrik setiap bulannya. Jika hal ini terjadi secara massal, tentunya akan mendukung target efisiensi energi pemerintah.

Berikut adalah bentuk label hemat energi untuk AC sesuai dengan lampiran Peraturan ESDM No.57/2017.

Gambar 1 Bentuk Label Tanda Hemat Energi pada Piranti Pengkondisi Udara [5]

Melihat label di atas, salah satu hal yang penting untuk diperhatikan oleh konsumen adalah tanda bintangnya. Semakin banyak bintang, berarti semakin hemat perangkat tersebut. Di dalam Permen yang sama diatur maksud dari masing-masing bintang sebagai berikut:

Gambar 2 Kriteria Label Tanda Hemat Energi pada Piranti Pengkondisi Udara [5]

Apa itu EER?

Sebagai perangkat elektronik, AC mengkonsumsi energi listrik. Besarnya konsumsi listrik tiap AC ditunjukkan dengan satuan Watt. Selain dalam satuan Watt, di Indonesia juga digunakan satuan PK. PK merupakan singkatan dari Paardenkracht (bahasa Belanda) atau Horse Power/HP (dalam bahasa Inggris). 1 HP setara dengan 746 watt.

Selain itu, setiap AC juga memiliki kapasitas pendinginan dalam satuan BTU (British Thermal Unit). BTU merupakan satuan untuk menyatakan banyaknya energi yang dibutuhkan guna menaikkan suhu 1 pound (sekitar 454 gram) air sebanyak 1 °F (sekitar -17,22 °C). Dalam hubungannya dengan AC, BTU digunakan sebagai ukuran banyaknya panas yang dapat dibuang atau dikurangi oleh AC dari suatu ruangan setiap jamnya.

Sebagai panduan untuk memilih kapasitas pendinginan AC yang sesuai, website United States Department of Energy – Energy Star menyediakan data-data berikut (catatan: hanya menyajikan sebagian data dari sekumpulan data):

Luas ruangan
(dalam m2)
Kebutuhan kapasitas pendinginan
(dalam BTU)
9,3 – 28 5.000 – 7.000
28 – 51 8.000 – 12.000
51 – 93 14.000 – 18.000

Sebagai tambahan, jika ruangan yang ingin dipasang AC terlindung dari kontak sinar matahari langsung, maka kapasitas BTU dapat dikurangi sebesar 10%. Sementara itu, jika mendapatkan kontak langsung, kapasitasnya dinaikkan 10%. Dan jika ruangan itu ditempati oleh lebih dua orang dalam waktu yang bersamaan, tambahkan 600 Btu untuk setiap satu orang [6].

Dengan memahami kedua properti utama AC di atas, maka EER atau Energy Efficiency Ratio dapat dijelaskan sebagai rasio antara energi pendinginan udara yang dihasilkan (dalam BTU) dengan daya listrik yang dikonsumsi setiap jam (dalam Watt hour).

Sebagai contoh, jika sebuah AC yang memiliki kapasitas pendinginan 11.900 BTU mengkonsumsi daya sebesar 1.200 watt tiap jamnya, maka EER AC tersebut adalah 9,92. Semakin tinggi nilai EER sebuah AC, semakin hemat AC tersebut. Hanya saja ini juga berarti bahwa harga jual AC tersebut akan lebih mahal.

Manfaat Hemat Energi terhadap Kehidupan Sehari-hari

Jika kita ingin membeli AC 1 PK dan ada dua pilihan sebagai berikut:

AC pertama AC kedua
Tipe Fixed speed (non-inverter) Inverter
Harga Rp 3,050,000 Rp 4,900,000
Kapasitas pendinginan 9000 Btu/h ~ 9000 Btu/h
Daya Listrik 800 Watt 690 Watt
EER 11,25 Btu/h.W 13,04 Btu/h.W

 

Kedua AC di atas memiliki kapasitas pendinginan yang hampir sama. Namun akibat perbedaan konsumsi daya diantara keduanya, nilai EER-nya menjadi berbeda. Sesuai dengan pernyataan sebelumnya, semakin tinggi nilai EER, semakin mahal harga sebuah AC. Karenanya AC kedua dari contoh di atas (merupakan AC tipe inverter) memiliki harga yang lebih mahal Rp. 1,85 juta dibandingkan dengan AC pertama yang bukan inverter.

Misalnya kita menggunakan AC setiap harinya selama 10 jam. Dengan harga listrik per kWh sebesar Rp. 1.467,28 dan asumsi 30 hari untuk tiap bulannya, maka untuk tiap sepuluh jam penggunaan AC yang hemat energi (EER 13,04), kita menghemat tagihan listrik sebesar:

((800-690)/1000) kW x 10 h x Rp. 1.467,28 /kWh = Rp 1.614,01 per hari, atau Rp 48.420,3 per bulannya.

AC dengan EER 13,04 memiliki harga pembelian yang mahal, namun biaya pengoperasian yang lebih murah. Dari contoh perhitungan di atas, dalam jangka waktu 3,18 tahun (sekitar 3 tahun 3 bulan) biaya investasi kita untuk membeli AC yang lebih mahal telah terbayarkan (break even).

Jadi, mau pilih AC yang hemat dan efisien energi, atau sekedar murah tapi boros energi?

 

Referensi

[1] Peraturan Pemerintah No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional

[2] Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional

[3] Lawrence Berkeley National Laboratory. 2015. Benefits of Leapfrogging to Superefficiency and Low Global Warming Potential Refrigerants in Room Air Conditioning. Diakses dari: http://eta-publications.lbl.gov/sites/default/files/lbnl-1003671.pdf

[4] International Energy Agency. 2018. Air conditioning use emerges as one of the key drivers of global electricity-demand growth. Diakses dari: https://www.iea.org/newsroom/news/2018/may/air-conditioning-use-emerges-as-one-of-the-key-drivers-of-global-electricity-dema.html

[5] Peraturan Menteri ESDM No. 57/2017 tentang Penerapan SKEM dan Pencantuman Label Tanda Hemat Energi untuk Peranti Pengkondisi Udara

[6] SFGATE. 2017. How to Choose the Right Size Air Conditioner. Diakses dari: https://homeguides.sfgate.com/choose-right-size-air-conditioner-24686.html

Kenapa Kamu Harus Sadar Energi? 3 “Sama Dengan” Ini Jawabannya!

Pernah mengalami masa transisi dari anak-anak ke remaja atau malah dari remaja ke dewasa? Apa pun masa transisi yang pernah kamu lewati, pasti kamu ingin jadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, kan!

Kalau waktu masih anak-anak kamu sering jajan sembarangan, sekarang pasti sedikitnya kamu sudah mulai memikirkan kesehatan saat membeli makanan atau minuman. Kalau dulu kamu cuma bisa menghambur-hamburkan uang dan melakukan apa yang kamu suka, sekarang pasti kamu sudah mulai memikirkan “mau dibawa ke mana” hubungan kita (Eh, maksudnya mau jadi apa kamu di masa depan). Iya, kan?

Nah, sama seperti manusia, bumi juga butuh transisi untuk bisa menjadi tempat yang lebih baik dari sebelumnya. Salah satu hal yang saat ini bisa kita lakukan untuk mewujudkannya adalah dengan melakukan transisi energi, yaitu perubahan pengadaan energi yang dilakukan dengan meninggalkan minyak, batu bara, gas, dan tenaga nuklir serta menggantinya dengan energi terbarukan.

Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari “proses alam yang berkelanjutan”, seperti tenaga surya, angin, arus air, proses biologi, dan panas bumi. Lalu, apa hubungannya dengan kesadaran energi? Ini dia jawabannya!

Energi bagi Bumi = Uang bagi Manusia

Sama seperti uang yang kita miliki, energi juga adalah kekayaan yang dimiliki oleh bumi. Kalau kita hanya menggunakan uang untuk membeli barang-barang tertentu, sudah pasti uang yang kita miliki akan habis suatu hari nanti. Berbeda jika uang tersebut kita gunakan untuk menabung atau membangun sesuatu yang lebih bermanfaat, seperti usaha atau bisnis kecil-kecilan yang menghasilkan pendapatan; uang akan mengalir dan menghasilkan pendapatan baru sehingga masa depan pun lebih terjamin.

Begitu juga dengan energi yang dimiliki bumi. Jika kita hanya menggunakan energi yang ada tanpa memikirkan bagaimana cara mengelolanya dengan baik, energi tersebut tentu akan habis di masa mendatang dan nantinya kita pun akan kesulitan untuk melakukan berbagai hal yang membutuhkan energi.

Kita lihat sebentar persoalan energi yang ada di tanah air. Pada 2014, Dewan Energi Dunia mencatat bahwa tingkat ketahanan energi Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 129 negara. Peringkat ini menurun jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Artinya, Indonesia punya ketahanan energi yang rendah dan berpotensi untuk menghadapi krisis energi di masa depan.

Ketahanan energi sendiri meliputi tiga aspek penting, yaitu ketersediaan sumber energi, keterjangkauan pasokan energi, dan keberlanjutan pengembangan energi terbarukan. Kalau ketersediaan sumber energi sudah menipis, pasokan energi sulit dijangkau, dan pengembangan energi terbarukan tidak berjalan dengan baik, apa yang bisa kita lakukan di masa depan?

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, energi bagi bumi sama seperti uang bagi manusia sehingga kita harus pintar-pintar mengelolanya agar tidak “tercekik” di masa depan. Sayangnya, banyak generasi muda yang abai terhadap lingkungan dan sering lupa bahwa energi juga bisa habis. Untuk itu, hal pertama yang harus kita lakukan adalah menyadari pentingnya energi bagi keberlangsungan hidup kita.

Kita makan pakai nasi, tapi nasi dimasak pakai magic com. Kita berkomunikasi dan bekerja pakai gadget, tapi gadget juga butuh listrik. Bahkan, saat tidur pun, kita masih membutuhkan energi! Energi yang diperoleh dari makanan dan sumber daya alam lainnya. Kalau bumi sudah kehabisan energi, apa kita masih bisa punya energi untuk tidur?

Jadi, sudah jelas kan kenapa kita harus sadar energi!

Pemuda = Agen Perubahan

Pernah dengar kutipan terkenal dari Presiden RI pertama kita, Soekarno, yang berbunyi “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncangkan dunia”?

Jika melihat kembali catatan sejarah, pemuda berperan penting dalam mewujudkan kemerdekaan dan juga reformasi kemerdekaan sehingga Indonesia menjadi negara yang lebih baik. Kehadiran generasi muda menjadi kekuatan bagi suatu bangsa untuk dapat memperoleh gagasan dan semangat baru yang berpotensi menjadi solusi bagi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini.

Kutipan tersebut sepertinya tidak cuma berlaku pada masa kemerdekaan saja. Sampai saat ini, pemuda masih menjadi tonggak utama bagi perubahan dalam segala bidang, termasuk dalam bidang transisi energi.

Cuma dengan sepuluh pemuda, dunia bisa jadi lebih baik atau bahkan lebih buruk. Kenapa? Karena pemuda punya “kekuatan” yang besar untuk mengubah pemikiran dan perilaku masyarakat di sekitarnya.

Berapa banyak sih orang tua yang memahami perkembangan teknologi yang ada saat ini? Jumlahnya tentu lebih sedikit dibandingkan dengan anak muda yang paham tentang hal itu. Apalagi, di era digital ini, sudah banyak media yang bisa digunakan untuk mempercepat arus informasi. Dalam waktu sehari, kita bahkan sudah bisa menerima ratusan informasi dari media sosial.

Sebuah jurnal berjudul Youth and Social Movements: Key Lessons for Allies yang diterbitkan Harvard pada 2012 menyebutkan bahwa pemuda berperan penting dalam berbagai bidang, termasuk geografi dan orientasi politik. Kaum muda bisa menjadi agen perubahan sosial yang kuat karena kebanyakan dari mereka memiliki keinginan dan kemampuan untuk mengubah dunia, serta mencari berbagai peluang untuk melakukannya.

Dalam jurnal tersebut, dijelaskan pula bahwa pemuda sering kali melakukan inovasi dengan melakukan praktik gerakan sosial. Kita lihat bagaimana kaum remaja perempuan berbondong-bondong menyuarakan emansipasi atau feminisme selama bertahun-tahun. Ada juga komunitas punk yang mulai menyuarakan idealisme mereka melalui musik dan gaya hidup DIY pada era 80-an. Hingga kini, kedua idealisme tersebut masih bisa kita dengar, kan?

Dengan kata lain, generasi muda selalu punya cara yang tidak biasa untuk menunjukkan, memperkenalkan, atau bahkan menyebarluaskan suatu hal. Tapi, di sisi lain, kaum muda juga biasanya mencari sosok idola yang akan dijadikannya sebagai panutan. Oleh karena itu, kaum muda juga cenderung lebih mudah dipengaruhi ketika mendapatkan informasi dari lingkungan. Dengan sosok panutan yang tepat, maka generasi muda pun bisa menyerap informasi yang tepat pula.

Ingin jadi bagian dari perubahan bangsa yang lebih baik? Yuk, sadari terlebih dahulu bahwa kita punya segudang kemampuan untuk bisa berkontribusi bagi lingkungan!

Transisi Energi = Investasi untuk Negeri

Sebelum membahas pentingnya transisi energi bagi kehidupan kita, ada baiknya kita kenali dulu apa hal yang membuat peringkat ketahanan energi di Indonesia semakin merosot; yaitu produksi minyak bumi yang semakin menurun dan permintaan semakin meningkat. Sayangnya, sumber energi yang digunakan saat ini didominasi oleh energi fosil sehingga energi tersebut akan habis di masa mendatang.

Sekarang ini, hampir 30 persen kebutuhan energi di Indonesia berasal dari minyak bumi impor yang terus meningkat sehingga sistem perekonomian negara pun terganggu. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa cadangan minyak bumi di Indonesia akan habis dalam waktu 11-12 tahun ke depan. Hal serupa juga akan terjadi pada cadangan batu bara yang akan habis dalam kurun waktu 22 tahun ke depan. Sementara itu, cadangan gas juga akan habis dalam kurun waktu 25-50 tahun ke depan.

Dulu, orang tua susah payah mengajarkan kita menabung. Tapi, kita juga susah payah menuruti mereka karena menganggap bahwa tabungan bukanlah hal yang penting. Seiring berjalannya waktu, kita sudah mulai sadar kalau menabung adalah hal yang penting bagi masa depan. Bahkan, banyak dari kita yang mulai berinvestasi karena menganggap kebutuhan di masa depan akan lebih tinggi.

Begitu juga dengan kondisi energi yang ada saat ini. Mungkin, sekarang kita belum bisa melihat dampak positif dari kesadaran energi yang kita bangun. Tapi, di masa mendatang, kita pasti akan menyadari bahwa transisi energi adalah investasi penting untuk masa depan negeri ini.

Setelah kamu tahu pentingnya membangun kesadaran energi, apa saja hal yang bisa dilakukan untuk mendorong terwujudnya transisi energi?

  • Mulailah terapkan gaya hidup hemat energi dengan menghemat air, listrik, dan sumber energi lainnya. Ingat, energi adalah uang! Jadi, matikan lampu atau perangkat elektronik lain kalau kamu sedang tidak memakainya. Kalau tidak dalam kondisi darurat, pakai kendaraan umum saja saat pergi. Jangan kalah sama gengsi ya, anak muda! 😀
  • Manfaatkan teknologi hijau dan hindari penggunaan produk yang bisa membuat sumber energi semakin menipis. Misalnya, pakai produk ramah lingkungan yang bisa digunakan berkali-kali dan mudah terurai saat dibuang, seperti penggunaan sedotan stainless atau bambu yang sekarang ini sudah banyak beredar di pasaran.
  • Jadi relawan energi terbarukan di lingkungan sekitar kamu dan jadilah pemuda keren yang sadar dan cinta lingkungan.
  • Dukung pemerintah daerah kamu untuk menjalankan berbagai kebijakan terkait transisi energi. Kalau tidak kenal dengan pemerintah, kamu bisa mulai mendorong mereka dengan mention mereka di postingan media sosial kamu.
  • Punya hobi update status di media sosial juga bisa jadi peluang besar bagi kamu untuk menyebarkan praktik sadar energi melalui konten yang kreatif dan “kamu banget”. Selain bisa memberikan informasi positif, kamu juga bisa terkenal, lho. (Tapi, jangan jadikan opsi kedua sebagai tujuan utama kamu, ya!)

Tarif BBM Naik? Ganti dengan Biodiesel!

Pernah merasakan dampak dari kenaikan bahan bakar minyak alias BBM? Selain uang jajan yang tidak lagi bisa meng-cover semua kebutuhan, budget untuk traveling pun jadi berkurang, kan?

Gara-gara BBM naik, ibu-ibu jadi lebih sering marah-marah kalau kamu minta ini-itu-banyak-sekali. Sayangnya, ibu tidak punya kantong ajaib. Jadi, mau tidak mau, kamu harus pasrah mendapatkan uang jajan seadanya dengan setengahnya mungkin masuk ke kasir pom bensin.

Kenaikan BBM pada dasarnya disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS. Menurut mantan Sekertaris Kementerian BUMN, Said Didu, kenaikan harga BBM disebabkan oleh kondisi perekonomian yang mendesak. Salah satunya karena harga minyak dunia saat ini juga sudah naik. Oleh karena itu, langkah pemerintah untuk menaikkan harga BBM dianggap sudah tepat.

Tapi, pasti kamu akan lebih senang kalau harga BBM tetap terjangkau dan tidak mengganggu besaran uang jajan kamu, kan?

Nah, selain mendorong pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM, ada juga hal lain yang bisa kamu lakukan untuk menghindari kenaikan BBM. Caranya? Menjadi inovator di bidang industri ekstraktif.

Pernah mendengar istilah “industri ekstraktif”? Istilah ini mengacu pada kegiatan industri yang bahan bakunya diperoleh langsung dari alam, seperti halnya industri pertanian, pertambangan, peternakan, dan lain sebagainya. Kegiatan ekonomi yang satu ini dilakukan untuk mengolah bahan mentah atau baku, barang setengah jadi atau barang jadi, menjadi suatu produk bermutu tinggi, termasuk dalam kegiatan rancang bangun dan rekayasa industri. BBM sendiri termasuk salah satu produk industri ekstraktif karena bahan bakunya berasal dari alam.

Berdasarkan data yang diperoleh dari World Bank, sumber daya alam berperan penting dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik di 81 negara, serta menyumbang seperempat dari produk domestik bruto (PDB) global dan setengah populasi dunia. Sayangnya, sumber daya alam juga berpotensi menyebabkan konflik, seperti halnya kemiskinan, korupsi, dan konflik yang disebabkan oleh sistem pemerintahan yang lemah.

Jangan Kalah dengan Negara Tetangga!

Dengan tata kelola yang baik, manajemen yang transparan, penguatan kapasitas, mobilisasi sumber daya domestik, dan pembangunan kerangka kerja tata kelola industri yang memperhatikan hak asasi manusia, perlindungan lingkungan, pengelolaan pendapatan, dan kebijakan fiskal yang berkelanjutan, maka industri ekstraktif sangat berpotensi untuk mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan yang inklusif.

Lalu, siapa yang punya kekuatan untuk bisa membantu pemerintah dalam mewujudkan hal tersebut? Tentu saja kita, generasi muda.

Di Kamboja, gerakan anak muda yang peduli terhadap masa depan industri ekstraktif telah dimulai sejak 2014. Sekitar 400 anak muda dari berbagai universitas berkumpul di Phnom Penh untuk mengadakan forum bertajuk “Pemerintahan yang Baik di Sektor Industri Ekstraktif”. Dalam forum yang diselenggarakan oleh Program Pengembangan Sumber Daya Pemuda di Institut Pendidikan Nasional Kamboja ini, para pemuda Kamboja digiring untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang apa saja manfaat dan dampak yang dihasilkan dari industri kreatif, serta bagaimana para pemuda bisa berperan aktif dalam mendorong transparansi di sektor tersebut.

Sama seperti di Indonesia, Kamboja juga merupakan negara yang memiliki potensi besar dalam hal ekplorasi penambangan emas dan minyak bumi. Di satu sisi, hal itu bermanfaat bagi pembangunan ekonomi negara. Tapi, di sisi lain, hal ini juga berdampak negatif terhadap lingkungan, ekonomi, dan kehidupan sosial masyarakat jika pemerintah tidak dapat mengelola sumber daya alam dengan baik dan transparan.

Oleh karena itu, anak muda menjadi tulang punggung yang bisa mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam hal ini, serta menggerakkan masyarakat untuk lebih sadar tentang pentingnya isu industri ekstraktif dalam memengaruhi kondisi sosial, ekonomi, dan politik di suatu negara.

Sementara itu, meski belum fokus terhadap isu industri ekstraktif, Indonesia juga cukup sadar bahwa pemuda merupakan tulang punggung yang bisa diandalkan bagi masa depan perindustrian di Indonesia.

Hal ini diungkapkan sendiri oleh pemerintah, melalui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, yang memaparkan berbagai capaian pembangunan yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah, terutama dalam hal pembangunan sumber daya manusia.

Dalam pemaparan tersebut, Moeldoko menyebutkan bahwa generasi muda sudah saatnya dituntut untuk dapat menghadapi Revolusi Industri 4.0 yang berpusat pada mekanisasi dan tenaga listrik. Dalam revolusi tersebut, penggunaan sistem berbasis siber fisikal menjadi kunci utama yang harus dimiliki oleh sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya alam yang ada.

Lebih lanjut lagi, Moeldoko juga menyebutkan bahwa pada 2045 mendatang, Indonesia akan menghadapi banyak perubahan di bidang industri, seperti halnya industri otomotif bertenaga listrik, menurunnya kebutuhan minyak bumi, berkembangnya teknologi cetak tiga dimensi, serta teknologi robot dan kecerdasan buatan. Oleh karena itu, generasi mudalah yang nantinya dituntut untuk berinovasi dan berkreasi dalam menghadapi berbagai peluang, permasalahan, dan perubahan yang berlangsung sangat cepat tersebut.

Nah, hal-hal yang saat ini bisa kamu lakukan untuk mendukung terciptanya pembangunan industri ekstraktif yang inklusif dan berkelanjutan adalah dengan senantiasa menjaga kelestarian lingkungan, memberikan kontribusi bagi lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan di bidang terkait isu industri ektraktif, serta mendukung berbagai forum dan gerakan sosial untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang inklusif.

Ganti BBM dengan Biodiesel

Salah satu kontribusi yang bisa kamu lakukan dalam bidang industri ekstraktif adalah mengganti BBM dengan sumber energi terbarukan, seperti bahan biodiesel. Biodiesel adalah bahan bakar terbarukan yang diproduksi dari minyak nabati, lemak hewani, atau sampah daur ulang untuk digunakan sebagai bahan bakar kendaraan diesel atau peralatan apa pun yang biasanya beroperasi dengan menggunakan bahan bakar diesel. Secara fisik, biodiesel mirip dengan diesel minyak bumi.

Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar kendaraan berpotensi untuk meningkatkan keamanan energi, meningkatkan kualitas udara dan lingkungan, dan memberikan manfaat keamanan bagi penggunanya.

Biodiesel bisa mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) dan nitrogen oksida (NOx) hingga tingkat nol. Hal ini disebabkan oleh pelepasan karbon dioksida pada saat menggunakan biodiesel diimbangi dengan penyerapan karbon dioksida oleh bahan-bahan pembentuk biodiesel.

Berdasarkan analisis siklus hidup yang dilakukan oleh Argonne National Laboratory, ditemukan bahwa penggunaan biodiesel 100 persen (B100) dapat mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 74 persen dibandingkan dengan minyak solar.

Selain itu, penggunaan biodiesel juga memiliki potensi kerusakan lingkungan yang lebih rendah dibandingkan dengan minyak bumi. Hal ini disebabkan oleh bahan-bahannya yang tidak mudah terbakar.

Tapi, sebelum menggunakannya, periksa dulu rekomendasi original equipment manufacturer (OEM) mesin kendaraan yang kamu punya untuk menentukan bauran apa yang optimal digunakan pada kendaraan kamu.

Sudah tahu kan apa saja hal yang bisa kamu lakukan untuk mendorong industri ekstraktif di Indonesia? Yuk, dorong pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip dan tata kelola yang baik dan transaparan dalam bidang industri ekstraktif!

Memacu pembangunan listrik surya atap, belajarlah dari India

 

Foto: antara

Potensi dan Pemanfaatan Energi Surya

Indonesia memiliki potensi energi surya yang cukup berlimpah. Data Kementerian ESDM menyebutkan potensi energi surya Indonesia mencapai 207.898 MW. Dengan teknologi modul surya (pv module) saat ini, potensi listrik yang terbangkitkan 3,4 kWh/kWp – 4,8 kWh/kWp per hari atau setara dengan 1170 kWh/kWp – 1530 kWh/kWp per tahun (lihat gambar 1). Wilayah timur Indonesia memiliki intensitas radiasi sinar matahari yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah barat. KESDM memperkirakan potensi energi surya di Indonesia mencapai 532 GWp.

Gambar 1. Potensi daya terbangkit listrik dari tenaga surya (kWh/kWp)

Sumber: World Bank/ESMAP (2017)

[1] Direktur Eksekutif IESR, dan Wakil Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI).

Dengan potensi sumber daya yang cukup besar dan wilayah yang luas, Indonesia seharusnya dapat memimpin pengembangan energi surya di kawasan Asia Tenggara. Namun kenyataannya, Indonesia justru tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, bahkan negara kecil seperti Singapura. Hingga 2017, kapasitas terpasang solar PV di Indonesia masih kurang dari 100 MW. Sementara Thailand sudah mencapai 2700 MW, Filipina 885 MW, Malaysia yang baru mulai 2011 sudah memasang 375 MW, dan Singapura yang belum lama memulai sudah punya
130 MW.

Keberhasilan negara-negara tersebut sangat kontras dengan Indonesia yang sudah memulai memanfaatkan listrik tenaga surya untuk listrik perdesaan dan penyediaan air bersih sejak tahun 1980-an. Pengalaman Indonesia dalam menggunakan solar home system (SHS) untuk akses listrik perdesaan bahkan menjadi contoh praktek terbaik (best practice) bagi negara-negara berkembang pada tahun 1990-an. Tidak sedikit negara yang menjadikan program SHS di Indonesia sebagai model untuk direplikasi.

Transformasi Energi di Sektor Kelistrikan

Di tingkat global sektor kelistrikan tengah mengalami transformasi besar menuju sistem energi rendah karbon. Pembangkit energi surya dan angin menjadi bagian penting dalam proses transisi tersebut. Total kapasitas pembangkit energi terbarukan di seluruh dunia mencapai 2,200 GW pada akhir 2017, dimana kapasitas pembangkit angin dan surya telah mencapai 1000 MW pada pertengahan tahun ini, dan terus meningkat. Salah satu faktor dari pertumbuhan listrik tenaga surya yang cepat adalah harga teknologi dan pembangkitan listrik yang semakin rendah dan kompetitif terhadap pembangkit konvensional.

Dalam laporannya, IRENA (2018) menyatakan biaya pembangkitan listrik (levelized cost of electricity) dari teknologi surya sudah turun 73% sejak 2010 sampai 2017, yang mencapai $10 sen/kWh. Sejumlah proyek pembangkit listrik surya skala utilitas (utility scale) yang dilelang pada 2017 dan 2018 menawarkan harga pembangkitan listrik sebesar 3 – 4 sen/kWh. Harga ini lebih rendah dari listrik yang dihasilkan oleh PLTU.

Indonesia sesungguhnya dapat menjadi bagian dari trend tranformasi energi global dan secara bertahap melakukan dekarbonisasi sistem kelistrikan. Menurut IRENA (2017), Indonesia punya potensi membangun 3,1 GW pembangkit listrik tenaga surya setiap tahun sampai 2030. 1 GW untuk listrik surya atap dan 2,1 GW untuk PLTS yang dibangun diatas tanah. Hingga 2030, potensi yang dapat dipasang mencapai 37 GW untuk sistem on-grid dan off-grid (tabel 1).

Tabel 1. Potensi instalasi PLTS berdasarkan scenario IRENA (2015-2030)

Sumber: IRENA (2017), data diolah

Tantangan Indonesia

Salah satu tantangan untuk mengembangkan pembangkit surya di Indonesia adalah biaya investasi pembangkit yang lebih tinggi dari rata-rata global. Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan harga tinggi tersebut, antara lain: pasar pembangkit listrik tenaga surya yang masih kecil, pertumbuhan permintaan yang rendah (<20 MW per tahun), hambatan regulasi, dan interkoneksi dengan jaringan PLN, serta financing cost yang tinggi, dimana biaya ini juga terkait dengan tingkat risiko.

Saat ini, diperkirakan total biaya proyek untuk PLTS diatas 10 MWac (utility scale) mencapai $1,3-1,4/Wp, dengan LCOE sebesar $0,14-0,15/kWh di wilayah Jawa. Dengan kapasitas yang lebih besar dan suku bunga pinjaman yang lebih rendah dapat menurunkan biaya investasi dan harga listrik dibawah 0,1/kWh. Pada 12 Desember 2017, PLN menandatangani MoU dengan Akuo Energi untuk proyek PLTS Bali 1 di Kubu, Bali sebesar 50 MW, dan Equis untuk PLTS Bali-2 di Jembrana, dengan kapasitas 50 MW. Nilai kedua proyek ini sebesar $ 91,6 juta, atau 1,83 juta per MW. Nilai proyek ini lebih dari dua kali lipat dari biaya investasi PLTS 1,17 GW di Abu Dhabi.

Untuk listrik surya atap, harga paket di tingkat retail ditawarkan pada kisaran 15 – 20 juta per watt-peak (Wp). Dengan melihat harga yang ditawarkan saat ini dan dengan potensi yang ada, listrik surya atap sangat berpotensi dikembangkan di Indonesia.

Pengembangan Listrik Surya Atap di India

Bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan potensi listrik surya yang besar ini? Mungkin bisa belajar dari India. Salah satu negara dengan pertumbuhan pembangkit listrik surya terbesar dan tercepat di dunia, selain China dan US. Pada 2017, terdapat 863,9 MW tambahan kapasitas pembangkit listrik surya atap. Total kapasitas pembangkit listrik tenaga surya mencapai 20 GW, dimana 1,7 GW adalah listrik surya atap.

Gambar 2. Perkiraan permintaan pembangkit listrik surya 2018 – 2022

Sumber: Mercom’s Solar Installation Market Update (2018)

Apa yang membuat India berhasil membangun listrik surya atap dengan cepat dan mendapatkan harga yang semakin kompetitif? Hal ini tidak lepas dari ambisi program nasional yang didukung juga oleh pemerintah negara bagian. Pemerintah juga mentargetkan listrik surya atap dapat mencapai 40 GW pada 2022. Saat ini listrik surya atap berkembang di lebih dari 30 negara bagian di India.

Harga listrik dari pembangkit tenaga surya di India sangat kompetiitif, dan lebih murah dari PLTU Batubara. Harga terendah saat ini sebesar $0.36/kWh pada lelang 500 MW proyek PLTS di Rajasthan pada Mei 2017. Harga yang rendah ini merupakan hasil dari kombinasi kebijakan dan regulasi yang konsisten sejak pemerintah india memutuskan mengembangkan listrik tenaga surya sejak 2003, insentif fiskal dan finansial yang mendorong permintaan sehingga memperbesar pasar pembangkit listrik tenaga surya dalam waktu yang tidak terlalu lama, serta dukungan pendanaan melalui National Clean Energy Fund (NCEF) yang sumber dananya berasal dari pungutan Rs. 50 untuk setiap ton batubara yang diproduksi di dalam negeri atau diimpor sejak 2010. NCEF ini mendanai 40% total biaya proyek melalui Indian Renewable Energy Agency (IREDA).

Tabel 2. Kebijakan pendukung listrik surya atap di sejumlah negara bagian di India

Sumber: Goel, Malti (2016)

Selain itu, pemerintah dan pemerintah negara bagian juga memberikan sejumlah insentif dan subsidi untuk membuat listrik surya atap berkembang pesat. Walaupun sejak 2014, harga listrik dari proyek-proyek pembangkit surya skala besar semakin turun, tapi untuk segmen lainnya seperti listrik surya atap harganya masih relatif lebih tinggi. Untuk mendukung keekonomian dan mendukung pencapaian target 40 GW listrik surya atap, pemerintah nasional India dan negara bagian menerbitkan berbagai inisiatif berupa kebijakan, pengaturan (regulasi), dukungan insentif fiskal dan finansial, antara lain:

  • Subsidi finasial sebesar 30% dari biaya proyek/biaya yang dipatok (benchmark cost) untuk proyek listrik surya atap di sektor perumahan/institusi/sosial, bahkan mencapai 70% untuk beberapa negara bagian yang khusus.
  • Finansial insentif sampai dengan 25% dari biaya proyek/biaya yang dipatok (benchmark cost) untuk proyek listrik surya atap di pemerintah atau BUMN (public sector undertaking).
  • Kebijakan gross/net-metering di berbagai negara bagian.
  • Renewable Purchase Obligation (RPO) pada sisi perusahaan distribusi listrik (distribution company atau DISCOM).
  • Pemberian pinjaman berbunga rendah kepada developer/pengembang melalui dukungan institusi multilateral. Indian Renewable Energy Development Agency (IREDA) memberikan pinjaman kepada system integrator dengan bunga 9,9% – 10,75%.

Di tingkat negara bagian, pemerintah negara bagian memiliki skema insentif kebijakan net metering/gross metering untuk mendorong konsumsi seluruh listrik yang dibangkitkan (self-consumption). Kebijakan ini di beberapa negara bagian digabungkan dengan instrumen lainnya, misalnya dalam bentuk subsidi langsung dan insentif fiskal berupa depresiasi yang dipercepat (appreciated depreciation) serta pengurangan pajak. Tabel 2 berikut memberikan contoh instrumen dukungan atau insentif untuk listrik surya atap dari sejumlah negara bagian.

Untuk mempercepat pencapaian target 40 GW listrik surya atap, pada akhir 2017 pemerintah India menetapkan sebuah kebijakan baru, salah satunya adalah memperluas insentif untuk pembangkit surya atap yang tersambung dengan jaringan (grid connected). Untuk mendukung ini, Kementerian Energi Terbarukan (MNRE) India mendorong perusahaan distribusi listrik (distribution company, DISCOM) sebagai garda depan implementasi listrik surya atap dan memberikan insentif finansial berbasis kinerja. Insentif akan diberikan untuk setiap MW yang terpasang di wilayah distribusi DISCOM. Kapasitas terpasang ini akan diperhitungkan sebagai bagian dari kewajiban Renewable Purchase Obligation (RPO) DISCOM.

Dalam pelaksanaannya, semua DISCOM menyampaikan baseline kapasitas instalasi listrik surya atap di wilayah distribusinya melalai aplikasi online. Baseline ini akan menjadi dasar dari monitoring. Insentif akan diberikan untuk tambahan kapasitas yang didapat pada akhir tahun anggaran.

Tabel 3. Insentif finansial untuk Distribution Company (DISCOM) untuk penambahan kapasitas listrik surya atap.

Parameter Insentif yang disediakan
Untuk setiap kenaikan sampai dengan 10% dari kapasitas terpasang dasar, dalam periode 1 tahun anggaran. 5% dari biaya proyek untuk kapasitas yang terpasang dalam satu tahun, dan diatas kapasitas terpasang di tahun sebelumnya.
Tambahan kapasitas terpasang, diatas 10% sampai dengan 15% dari kapasitas terpasang dasar, dalam periode 1 tahun anggaran. 5% dari biaya proyek untuk 10% kapasitas yang terpasang pertama, dan 10% dari biaya proyek untuk tambahan kapasitas terpasang selebihnya, dalam satu tahun.
Tambahan kapasitas terpasang lebih dari 15% dari kapasitas terpasang dasar, dalam 1 periode anggaran. 5% dari biaya proyek untuk 10% kapasitas yang terpasang pertama, dan 10% dari biaya proyek untuk tambahan diatas 10 sampai 15% kapasitas yang terpasang, dan 15% biaya proyek untuk setiap kapasitas tambahan diatas 15%, dalam satu tahun.

Sumber: MNRE (2017)

Kebijakan Renewable Purchase Obligation (RPO) atau kewajiban pembelian listrik dari pembangkit energi terbarukan merupakan salah satu kebijakan kunci yang dikeluarkan oleh pemerintah India. Kebijakan RPO ini menciptakan pasar minimum bagi energi terbarukan, ditengah ketiadaan biaya eksternalitas untuk pembangkit listrik konvensional. Kebijakan ini dieksekusi di oleh negara bagian, dan mewajibkan konsumen listrik besar untuk menggunakan listrik dari energi terbarukan dalam porsi minimum tertentu. Kewajiban RPO ini juga berlaku bagi perusahaan distribusi listrik (DISCOM) yang diberikan lisensi untuk mengalirkan listrik pada wilayah tertentu.

Sejak dimandatkan dalam UU Kelistrikan (Electricity Act) tahun 2003, penerapan RPO tidak terlalu efektif. Banyak negara bagian di India yang menerapkan RPO terlalu rendah atau tidak menerapkan RPO sama sekali. Untuk mendorong penerapan RPO, pada 2010 Central Electricity Regulatory Commission (CERC) mengeluarkan peraturan untuk mendorong pelaksaan RPO oleh pemerintah negara bagian dengan mengeluarkan ketentuan mengenai Renewable Energy Certificates (REC).

National Climate Change Action Plan (NCCAP) India mentargetkan RPO sebesar 15% pada 2022, yang diturunkan menjadi target untuk setiap negara bagian (states). Negara bagian menetapkan target RPO masing-masing untuk energi surya dan non-surya. Pada 2011, State Energy Regulatory Commissions (SERCs) menetapkan target minimum untuk solar 0,25% yang harus dicapai pada akhir tahun fiskal 2011/2012. Pada periode 2011-2013, sejumlah negara bagian menerapkan RPO secara bervariasi antara 3 (Haryana) sampai 14% (Tamil Nadu). Walaupun dalam pelaksanaannya, hanya enam dari dua puluh empat negara bagian yang berhasil memenuhi target yang ditetapkan. Pada 2016/2017, terdapat 16 negara bagian dan teritori yang mencapai target RPO-nya kurang dari 60%.

Kinerja pencapaian RPO yang tidak sepenuhnya mulus tidak menghambat langkah pemerintah India untuk meningkatkan target RPO hingga 2022. Target yang naik cukup tinggi adalah RPO untuk listrik dari energi surya (lihat gambar 2). CERC menetapkan bahwa 85% dari target untuk kewajiban bagi energi surya harus dicapai. Kewajiban ini merefleksikan tarif listrik dari listrik surya yang turun dan semakin kompetitif.

Gambar 3. Target Renewable Purchase Obligation (RPO) India 2016-2022

Beberapa Pelajaran dari India

Apa saja yang dapat dipelajari Indonesia dalam pengembangan listrik surya atap dari keberhasilan India?

Pertama, komitmen yang kuat terhadap pengembangan energi terbarukan, konsistensi kebijakan, target, dan stabilitas regulasi pemerintah di tingkat pusat dan tingkat negara bagian untuk mendorong pengembangan listrik surya atap. Pemerintah negara bagian cukup aktif mengeluarkan regulasi dan insentif untuk mendorong perkembangan listrik surya atap. Selain itu target pengembangan energi terbarukan sangat terkait dengan target dan strategi dalam Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim (National Climate Change Action Plan).

Kedua, kebijakan didukung oleh regulasi yang kuat, serta instrumen yang beragam dan saling mendukung. Sebagai contoh, pemerintah India mengeluarkan kebijakan Renewable Purchase Obligation (RPO) dan Renewable Energy Certificate (REC), yang diimplementasikan oleh negara bagian. Kebijakan RPO ini terus menerus disempurnakan ketaatan pelaksanaan dan mekanisme pendukungnya. Untuk mendukung pengembangan energi surya, terdapat kewajiban membeli listrik dari pembangkit surya, termasuk surya atap dalam target RPO setiap tahunnya. Hal ini membuat pasar untuk teknologi listrik dari energi surya semakin tumbuh dan semakin kompetitif.

Ketiga, pemerintah dan regulator mengatur perilaku utility kelistrikan dan perusahaan distribusi listrik (DISCOM) dan mendorong mereka dalam pengembangan energi terbarukan, khususnya energi surya. Pemerintah memberikan insentif finansial bagi entitas Public Sector Undertaking (PUC) atau BUMN untuk mengembangkan energi surya. Hal yang sama juga dilakukan kepada perusahaan distribusi listrik (DISCOM). Insentif ini mendorong PUC untuk membangun pembangkit energi terbarukan yang berkontribusi mendorong turunnya harga pembangkitan listrik surya sehingga lebih murah daripada harga listrik dari PLTU batubara.

Keempat, instrumen gross/net-metering, yang dikombinasikan dengan subsidi finansial (generation based incentive) dan insentif fiskal (accelerated depreciation) terbukti menjadi paket kebijajan yang efektif dalam mendorong instalasi listrik surya atap di sektor perumahan, institusi dan industri sehingga membuka pasar listrik surya atap di seluruh negeri. Kebijakan dan insentif yang disediakan juga mendorong penggunaan listrik surya secara langsung (self-consumption) sehingga dapat mengurangi tekanan untuk menambah kapasitas pembangkit konvensional.

Kelima, pengembangan instrumen finansial dan pendanaan inovatif untuk mendorong potensi pasar lebih lanjut. Untuk mendorong instalasi energi surya di India, pemerintah mendorong investasi swasta melalui pembentukan instrumen pendanaan yang lebih inovatif. Instrumen finansial ini dimaksudkan untuk menggantikan skema subsidi yang diberikan oleh pemerintah dalam rangka membangun pasar dan alih teknologi listrik tenaga surya, yang berhasil membuat listrik surya atap mencapai $ 0,1/kwh dan semakin rendah. Pemerintah India mendorong bank-bank BUMN untuk mendanai instalasi listrik surya atap melalui skema kredit pemilikan rumah (KPR) atau kredit untuk renovasi rumah. Pinjaman konsesi (bunga rendah) juga diberikan kepada pemilik usaha, industri, lembaga keuangan non-bank, kelompok masyarakat yang terdaftar untuk proyek listrik surya atap.

Dukungan IESR dalam Musyawarah Nasional Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Ke-1

Institute for Essential Services Reform (IESR) memberikan dukungan dalam Musyarawah Nasional (Munas) Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) ke-1 yang diselenggarakan pada tanggal 25 Januari 2018 di Jakarta. Munas AESI ini bertema “Konsolidasi Asosiasi Energi Surya Indonesia untuk Mendukung Pencapaian Target Kebijakan Energi Nasional dalam Rangka Mewujudkan Energi Berkeadilan Hingga Pelosok Negeriâ€. Dalam acara ini juga dilakukan peluncuran portal “Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap“ dan pameran INDOSOLAR 2018.

AESI diresmikan pendiriannya pada 15 Desember 2016. Sejarah pendirian AESI diawali pada saat Luluk Sumiarso menerima undangan dari Asosiasi Energi Surya di Jerman untuk berbicara mengenai berbagai sumber energi dan berdialog di sebuah konferensi. Sebelum datang ke Jerman, Luluk Sumiarso bertemu dengan beberapa pegiat energi terbarukan lain dan menginisiasi berdirinya Indonesia Solar Association (ISA).

IESR mendukung deklarasi AESI secara resmi dan juga berperan aktif dalam menfasilitasi beragam diskusi AESI dengan fokus pada pengembangan energi surya di Indonesia. Dari beberapa diskusi yang diselenggarakan tersebut, kemudian disepakati adanya kolaborasi beragam pemangku kepentingan untuk mencapat target gigawatt pertama energi surya di Indonesia dengan pemanfaatan listrik surya atap. Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) ini dideklarasikan secara resmi dalam acara IndoEBTKEConnex tahun 2017 lalu.

Rida Mulyana sebagai Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM menyampaikan pemerintah sangat mengapresiasi AESI dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Rida menyampaikan adanya beberapa kendala untuk pengembangan energi surya, misalnya teknologi baterai, sifat yang intermitent dan tergantung cuaca, serta ketersediaan lahan. Harus dipikirkan mengenai solusi untuk mengatasi tantangan ini, tentunya kerjasama dengan berbagai pihak, melihat permasalahan secara holistik dan tidak saling menyalahkan. Rida juga menyoroti ragam pemangku kepentingan di AESI yang diharapkan dapat berkontribusi secara positif untuk mewujudkan cita-cita bersama.

Selanjutnya Arthur Panggabean sebagai konsultan GNSSA memberikan pemaparan mengenai portal GNSSA yang dapat diakses secara publik. Portal ini dirancang sebagai portal informasi mengenai pengetahuan, pertanyaan dan jawaban, juga forum untuk pelaku bisnis dan konsumen listrik surya atap untuk berjejaring.

Setelah pembukaan Munas AESI, dilakukan diskusi panel dengan tema “Towards the First Gigawatt Solar Energy in Indonesia†dengan moderator Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa. Duduk sebagai panelis adalah Harris, Direktur Aneka Energi Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Zakiyudin, Direktur Mesin dan Alat Mesin Pertanian Ditjen ILMATE Kementerian Perindustrian, Dewanto, Deputi Manager Alternatif PT PLN, dan Ahmad Masyuri, Head of Engineering PT Sampoerna.

Fabby Tumiwa menerangkan bahwa GNSSA dirancang dan dideklarasikan untuk berkontribusi terhadap target kebijakan energi nasional, yaitu 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Dari target tersebut,  6,5 GW disumbang oleh listrik tenaga surya. Pembahasan tentang bagaimana rencana GNSSA ke depan terbilang penting, karena target GNSSA yaitu tercapainya 1 GW listrik surya atap dapat memiliki efek yang sangat luar biasa terhadap industri dan terhadap perkembangan pasar energi surya di Indonesia.

Harris menyampaikan bahwa tren kebijakan pengembangan EBT berubah sangat cepat, sehingga dibutuhkan upaya-upaya sinergi internal eksternal, termasuk kolaborasi dalam GNSSA. Energi terbarukan, terutama energi yang dibangkitkan dari energi surya juga dianggap sangat mampu menyikapi perubahan dengan inovasi-inovasinya, sehingga mampu mengurangi biaya investasi dan harga.

Kesiapan industri Indonesia terkait pasar dan manufaktur komponen listrik tenaga surya ditanggapi oleh Zakiyudin. Peningkatan daya saing industri pendukung proyek ketenagalistrikan telah diatur oleh Kementerian Perindustrian, seperti pemberian fasilitas BMDTP (Bea Masuk Ditanggung Pemerintah) untuk impor bahan baku industri pendukung proyek ketenagalistrikan. Pemerintah juga memberikan tax holiday untuk investasi baru  industri permesinan pendukung proyek ketenagalistrikan, dan mengajukan usulan pemberian fasilitas tax allowance.

Dewanto sebagai perwakilan PT PLN menjelaskan bahwa PLN tidak menghalangi keberadaan PV rooftop. Secara kebijakan, sudah ada keputusan direksi tentang aturan penyambungan energi baru terbarukan, termasuk pemasangan instalasi listrik surya atap untuk pelanggan dan integrasi ke jaringan PLN. Saat ini PLN sedang berada dalam kondisi yang sulit, dikarenakan adanya penurunan penjualan, di samping berlebihnya pasokan di Jawa Bali karena turunnya permintaan dan banyaknya industri yang masih menggunakan pembangkit listrik sendiri.

Pengalaman pelaku sektor industri dalam menggunakan energi terbarukan disampaikan oleh Ahmad Masyuri dari PT HM Sampoerna. Saat ini Sampoerna memiliki dua fasilitas di Sukorejo (Jawa Timur) dan Karawang yang membangkitkan listrik dari tenaga surya. Sampoerna memiliki komitmen intenasional untuk mengurangi emisi karbon dari penggunaan energi, yang dilakukan dengan penggunaan listrik surya atap, penggantian lampu dengan lampu LED, dan efisiensi proses produksi.

Munas AESI ke-1 ini kemudian dilanjutkan dengan musyawarah anggota AESI yang menetapkan Ketua Dewan Pengurus, Ketua Dewan Pembina, dan Ketua Dewan Pakar. Untuk tahun 2018 – 2021, terpilih Ketua Dewan Pengurus Dr. Andhika Prastawa, Ketua Dewan Pembina Luluk Sumiarso, dan Ketua Dewan Pakar Nur Pamudji.

Implikasi Keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement terhadap Agenda Perubahan Iklim Global (Bagian 1)

(Bagian 1 dari 2 tulisan)

Oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Trump vs. Publik AS

foto: media.salon.com

Akhirnya Donald Trump mengumumkan secara resmi Amerika Serikat (AS) keluar dari Paris Agreement. Keputusan ini mewarnai berita media cetak, media elektronik dan media sosial di seluruh dunia sepanjang akhir pekan lalu. Berbagai komentar dari pemimpin-pemimpin negara maju dan berkembang (minus komentar Presiden Joko Widodo), para tokoh politik, akademisi asal AS dan negara lain memenuhi berbagai kanal pemberitaan.

Keputusan ini tidaklah terlalu mengejutkan. Sejak masih menjadi calon Presiden AS, Trump dan para pendukungnya telah mengancam akan membatalkan keikutsertaan AS dalam kesepakatan iklim global ini. Apa yang dilakukan Trump adalah pelaksanaan janji kampanyenya.

Saat berpidato pada Kamis (1/06) lalu berkali-kali Trump mengatakan bahwa Paris Agreement merupakan kesepakatan yang buruk (bad deal) bagi AS Trump. Dia beralasan keikutsertaan AS dalam perjanjian ini berdampak terhadap daya saing ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Trump mengutip hasil kajian NERA Consulting yang mengatakan Amerika dirugikan $ 3 triliun dalam beberapa dekade mendatang, dan kehilangan 6,5 juta kesempatan kerja.

Kajian NERA sesungguhnya didanai oleh dua kelompok pro-bisnis yang anti regulasi di bidang lingkungan, American Chamber of Commerce dan American Council for Capital Formation, yang juga didukung secara finansial oleh Koch Brothers. Oleh karenanya klaim berdasarkan kajian tersebut sangat diragukan, apalagi kajian tersebut tidak memperhitungkan dampak bagi bisnis perusahaan AS dalam bidang energi terbarukan.

Keputusan Trump ini sesungguhnya bertentangan dengan pendapat mayoritas warga AS yang justru tidak menghendaki negaranya keluar dari Paris Agreement. Dalam survei yang dilakukan Harvard School of Public Health dan Politico pada April lalu, sekitar 62 persen warga AS menghendaki tetap ikut dalam Paris Agreement. Survei lain juga menemukan bahwa para pemilih AS mendukung untuk tetap ikut serta dalam Paris Agreement dengan rasio 5 berbanding 1 dengan pemilih yang tidak setuju.

Sejumlah kelompok bisnis, termasuk perusahaan-perusahaan raksasa AS yang masuk dalam Fortune 500, diantaranya Apple, Google, HP, Microsoft, Morgan Stanley, pun secara tegas mendukung agar AS tetap di Paris Agreement. Mereka beralasan hal tersebut dapat memperkuat daya saing, menciptakan lapangan kerja, pasar dan pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi risiko bisnis. Paska pengumuman Trump, sejumlah CEO perusahaan-perusahaan terkemuka AS seperti Tesla, Disney, General Electric, dan lembaga keuangan raksasa seperti Goldman Sachs, JP Morgan’s, dan Blackrock menyatakan penolakan mereka atas keputusan Trump tersebut. Bahkan CEO Tesla, Elon Musk dan CEO Disney, Bob Iger, menyatakan mundur dari dewan penasehat Presiden.

Jika mayoritas publik dan pimpinan-pimpinan bisnis raksasa AS menentang keputusan politik ini, mengapa Trump mengambil keputusan yang kontroversial tersebut? Bagi ekonom MIT, Paul Krugman, keputusan Trump menarik dari Paris Agreement tidak ada hubungannya dengan daya saing atau pekerjaan tetapi karena tidak suka dengan keputusan pemerintah Obama, “..mainly it’s about spite: Obama made deals liberal likes, so it must die.”

Dengan kata lain, Krugman bilang bahwa alasannya Trump keluar dari Paris Agreement cukup sepele, dia hanya ingin mematikan inisiatif apapun yang pernah dibuat oleh Obama. Kalau benar adanya, ironis sekali bahwa ego seseorang atau sekelompok orang mengalahkan kepentingan milyaran umat manusia dan mengancam keberlanjutan peradaban.

Partisipasi AS dalam Paris Agreement paska pengumuman Trump

Setelah pengumuman Trump, sesungguhnya tidak secara otomatis AS bisa langsung keluar sebagai party dari Paris Agreement. Sesuai dengan Paris Agreement pasal 28, pihak yang meratifikasi (party) baru dapat meninggalkan kesepakatan ini setelah tiga tahun sejak kesepakatan ini berkekuatan hukum tetap (entered into force) bagi pihak tersebut, dengan menyampaikan pemberitahuan (notifkasi) pengunduran diri. Paris Agreement memang disepakati pada 2015, tetapi baru berkekuatan hukum pada November 2016. Dengan demikian, jika konsisten dengan ketentuan di pasal 28, maka AS baru dapat keluar dengan resmi paling cepat di November 2020.

Jika AS tidak ingin menunggu selama itu, maka opsi yang tersedia adalah AS keluar dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang berkekuatan hukum tetap (entered into force) pada 1994. UNFCCC adalah perjanjian internasional dalam perubahan iklim, yang menjadi payung Paris Agreement. Dalam pidatonya, Trump tidak menyinggung AS akan keluar dari UNFCCC, tetapi dia menyatakan akan menegosiasikan ulang bagaimana AS akan bergabung kembali (reentered) dengan Paris Agreement, atau dengan kesepakatan yang sama sekali baru. Hingga kini tidak jelas bagaimana bentuk kesepakatan baru yang akan dinegosiasikan Trump.

Dalam situasi dimana AS masih tetap berada dalam Paris Agreement (sebagai party) sampai November 2020, maka delegasi AS masih dapat mengikuti negosiasi di Ad Hoc Working Group on Paris Agreement (APA). Jika AS ingin merusak kesepakatan ini, maka mungkin saja negosiator AS melakukan upaya-upaya yang mengganggu dan memperlambat proses negosiasi yang sedang berlangsung untuk mempersiapkan modalitas, prosedur dan peraturan sebagai instrumen operasionalisasi Paris Agreement. Sesuai dengan mandate APA, berbagai instrument ini harus diselesaikan pada 2018, sehingga dapat disahkan sebelum 2020.

Jika skenario ini terjadi dan kesepakatan tidak tercapai pada 2018, implementasi Paris Agreement dapat terlambat, dan menimbulkan situasi ketidakpercayaan diantara para negara pendukung Paris Agreement. Situasi ini dapat membuka kesempatan bagi pemerintah AS (dibawah Trump) untuk menawarkan kesepakatan alternatif kepada negara-negara tertentu.

Tindakan yang merendahkan produk kesepakatan global bukanlah hal baru bagi pemimpin AS yang berasal dari Republikan. Dalam konteks negosiasi perubahan iklim, AS pernah menolak meratifikasi Protokol Kyoto, setelah Bush menggantikan Clinton sebagai Presiden. Padahal AS merupakan salah satu pihak yang membidani lahirnya Protokol Kyoto (PK) di COP-3 tahun 1997. Konsekuensinya adalah AS tidak bisa ikut dalam track perundingan PK, tetapi ada sebagai party UNFCCC, dan merundingkan implementasi UNFCCC.

Tindakan pemerintah AS melalukan aksi unilateral sebagai bentuk penentangan terhadap kesepakatan global juga dilakuan. Pada 2002, pemerintah AS membuat instrumen dapat yang “menandingi” Millenium Development Goals (MDGs) yang disepakati di tahun 2000. Salah satu keberatan AS sehingga membentuk MCA adalah pendekatan target-setting yang dilakukan MDGs.

Untuk menekankan posisi mereka atas MDGs, pemerintah AS membuat Millenium Challenges Account (MCA) dan membentuk lembaga tersendiri, Millenium Challenge Corporation (MCC), untuk mengelola dana yang diberikan kepada negara-negara berkembang yang memenuhi kriteria kelayakan (eligibility criteria) yang ditetapkan pemerintah AS. Dana diberikan kepada proyek-proyek yang sesuai dengan prioritas dan kriteria lain yang ditetapkan oleh MCC.

Dari dua kasus diatas dapat dilihat bahwa AS tidak segan-segan mengabaikan atau keluar dari kesepakatan internasional dan berjalan sendiri, sepanjang kesepakatan atau perjanjian tersebut dianggap tidak sesuai dengan kepentingan AS.

(bersambung ke bagian 2)

Jakarta, 4 Juni 2017

Implikasi Keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement terhadap Agenda Perubahan Iklim Global (Bagian 2)

(Bagian 2 dari 2 tulisan)

Oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Sebagai negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia sesudah China, keluarnya AS dari Paris Agreement dapat berdampak terhadap dua hal: pertama, pencapaian target kenaikan temperatur 2/1,5°C, dan kedua, pendanaan untuk mendukung proses negosiasi internasional, dan pendanaan iklim untuk mendukung aksi mitigasi, aksi adaptasi dan pengembangan kapasitas di negara-negara berkembang.

Implikasi terhadap Target 2/1,5°C

Bisa dikatakan keluarnya AS dari Paris Agreement membuat upaya untuk mencapai target kenaikan temperatur global dibawah 2°C, apalagi 1,5°C akan semakin sulit. Saat ini temperatur global telah naik sekitar 1°C, oleh karena itu upaya bangsa-bangsa yang telah meratifikasi Paris Agreement adalah mencegah kenaikan temperatur 1°C yang tersisa.

Pada 2014, emisi AS mencapai 6,87 juta tonCO2eq dan berkontribusi 14% dari total emisi global. Di bulan September 2016, AS meratifikasi Paris Agreement dan sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC), AS berjanji mengurangi emisi 26-28% dibawah tingkat emisi 2005 pada 2025, termasuk emisi dari perubahan tata guna lahan dan kehutanan (LULUCF). Dengan target ini sekalipun, komitmen penurunan emisi AS dinilai tidak cukup amibisius untuk mencapai target 2°C. Terlebih dengan adanya kebijakan Trump yaitu, America First Energy Plan, dan Executive Order on Energy Independence, yang berpotensi membatalkan kebijakan Clean Power Plan, maka sangat besar kemungkinan AS tidak akan mencapai target NDC-nya.

Apabila AS gagal mengurangi emisi sesuai dengan bagian yang adil (fair share), maka kesempatan untuk mempertahankan kenaikan temperatur global dibahwa 2°C semakin berat. Sejumlah skenario menyatakan bahwa untuk dapat membatasi kenaikan temperatur dibawah 2°C, maka emisi global harus mencapai puncak sebelum 2030 lalu turun hingga pertengahan abad ini. Dalam artikelnya di Jurnal Nature Climate Change Oktober 2011, Rogelj, dkk (2011) menyatakan bahwa untuk dapat tetap dibawah 2°C maka emisi harus mencapai puncak (peak) sebelum 2020, dan turun pada tingkat 44 GtCO2 pada 2020. Intinya adalah aksi mitigasi harus dilakukan secepatnya, dan penurunan emisi tidak boleh terlambat.

Sanderson dan Knutti (2016), dalam artikel yang juga terbit di Jurnal Nature Climate Change, Desember 2016 menyatakan bahwa keterlambatan (delay) dalam target mitigasi di AS dapat membuat target 2°C tidak tercapai. Sanderson dan Knutti menyatakan bahwa jika AS tidak bertindak untuk mengurangi emisi GRK dalam periode tanpa aksi (inaction) 4-8 tahun (sesuai dengan masa jabatan Presiden AS), maka emisi gas rumah kaca di atmosfer akan meningkat setara atau lebih dari emisi GRK yang harus dipotong untuk mencapai target yang disepakati dalam Paris Agreement.

Tim Climate Interactive dari MIT dalam analisisnya menyampaikan bahwa tanpa partisipasi AS, temperatur global akan lebih tinggi 0.3°C pada akhir abad ini dibandingkan dengan tingkat temperature yang terjadi jika janji penurunan emisi negara-negara yang tergabung dalam Paris Agreement berupa target INDC/NDC dapat tercapai. Kontribusi AS terhadap total penurunan emisi global mencapai 21 persen. Menurut kajian Climate Interactive, jika tidak ikut serta dalam Paris Agreement, emisi AS akan mencapai 6,7 GtCO2/tahun pada 2025, dibandingkan dengan 5,3 GtCO2/tahun jika AS menjalankan komitmen penurunan emisinya sesuai dengan NDC.

Sumber: Climate Interactive (Mei, 2017)

Walaupun demikian, terdapat keyakinan bahwa walaupun pemerintah federal AS keluar dari Paris Agreement, hal ini tidak mempengaruhi negara-negara bagian dan kota-kota yang telah menetapkan target penurunan emisi dan energi terbarukan. Aksi dari negara bagian dan kota-kota ini dapat memenuhi target penurunan emisi AS. Sehari setelah pengumuan Trump, perwakilan dari negara bagian, kota-kota dan universitas serta perusahaan di AS merencanakan penyampaian rencana pengurangan emisi kepada UN, untuk memenuhi janji penurunan emisi AS yang dibuat sebelumnya. Mereka menyampaikan target penurunan emisi 26 persen pada 2025, setara dengan target NDC.

Implikasi terhadap pendanaan iklim

Pada tahun 2016, AS merupakan pendukung dana utama dengan jumlah $ 6,44 juta per tahun atau 20 persen dari operasionalisasi UNFCCC. Posisi AS terhadap agenda perubahan iklim global dan penarikan diri dari Paris Agreement dapat mengancam kemampuan operasionalisasi UNFCCC. Sebelumnya, Trump telah merencanakan untuk menghentikan dukungan pendanaan dari AS kepada UNFCCC dan inisiatif perubahan iklim lainnya dimulai pada tahun anggaran 2018.

Dengan menyatakan keluar dari Paris Agreement, secara logika pemerintahan Trump bisa berdalih bahwa tidak ada urgensi untuk ikut serta dalam UNFCCC dan menarik dukungan pendanaan yang diberikan selama ini. Dengan demikian, tanpa adanya sumber dana lain yang menambal celah yang ditinggalkan AS, operasionalisasi UNFCCC, termasuk proses negosiasi yang sedang berjalan untuk merumuskan modalitas operasional Paris Agreement dapat terganggu. Demikian juga dengan operasionalisasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan yang memberikan kajian dan rekomendasi berbasis ilmiah untuk isu perubahan iklim kepada UNFCCC, dapat terpengaruh.

Absennya AS dalam Paris Agreement dapat mengganggu arus pendanaan iklim yang dimaksudkan untuk mendukung proyek-proyek adaptasi dan mitigasi di negara-negara berkembang. Sebelumnya, Obama menjanjikan $ 3 miliar dari total target $ 10 miliar untuk GCF. AS sudah mengucurkan sebesar $ 1 miliar sampai dengan 2016. Sesuai kesepakatan Paris, negara-negara maju berjanji untuk mobilisasi pendanaan iklim hingga mencapai $ 100 milyar pada 2020-2025. Tanpa kontribusi AS, mobilisasi pendanaan iklim akan menghadapi tantangan yang cukup serius.

Di era Obama, aliran pendanaan iklim (climate finance) dari AS sebesar $ 2.6 milyar per tahun, dengan total 2010 – 2015 sebesar $15,57 milyar. Sebagai contoh, pada 2015, lebih dari 86 persen pendanaan iklim diberikan melalui kerjasama bilateral dan sekitar 16 persen atau senilai $ 422 juta disalurkan melalui lembaga multilateral seperti Global Environmental Fund (GEF) dan Climate Investment Fund (CIF) dan Montreal Protocol Multilateral Fund. Lebih dari 60 persen pendanaan iklim disalurkan dalam bentuk kredit investasi melalui lembaga pendanaan milik pemerintah AS, OPIC dan Exim Bank.

Proposal anggaran yang disusun Trump meniadakan anggaran untuk program Global Climate Change Initiative (GCCI). Program ini dibentuk di masa Obama dengan total anggaran $2.4 miliar pada 2010-2016, atau $ 330-340 juta setiap tahunnya. Melalui program ini, AS memberikan dana kepada UNFCCC, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dukungan untuk proses internasional melalui Clean Energy Ministerial (CEM), Climate and Clean Air Coalition, dan Enhance Capacity for Low Emission Strategies (LEDS). Anggaran tersebut juga menghilangkan alokasi untuk GCF, Clean Technology Fund (CTF), Strategic Climate Fund (SCF). Total dana yang dihilangkan dari keempat inisiatif ini sebesar $1,59 miliar. Dengan demikian, pada 2018, Trump menghilangkan kontribusi AS untuk agenda perubahan iklim global dengan total $2 miliar.

Memperkuat kerjasama dan kemitraan global untuk menghadapi perubahan iklim

Keluarnya AS dari Paris Agreement memberikan ketidakpastian terhadap pencapaian target kenaikan temperatur global 2/1.5°C, dan target mobilisasi pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tanpa adanya upaya untuk menutupi kesenjangan emisi sebesar 1,5 – 1,6 GtCO2eq per tahun, target Paris Agreement bisa tidak tercapai. Paling tidak diharapkan negara-negara yang telah meratifikasi Paris Agreement untuk konsisten dengan target mitigasi dan mulai melakukan aksi mitigasi sedini mungkin, sebelum 2020.

Tahap berikutnya adalah mengkaji target penurunan emisi yang lebih ambisius sesuai dengan porsi yang adil (fair share), khususnya bagi negara-negara G-20, yang menghasilkan 70 persen emisi global. Ini artinya negara-negara tersebut harus meningkatkan ambisinya, diatas komitmen INDC/NDC, dan mempercepat pengembangan energi terbarukan dan mengurangi pembangkit batubara secara bertahap. Kajian yang dibuat oleh Climate Analytics memberikan gambaran untuk dapat mencapai target Paris Agreement, pembangkit batubara negara-negara OECD dan EU harus sepenuhnya dipensiunkan sebelum 2030, dan 2040 untuk Cina.

Dalam jangka pendek, operasionalisasi GCF dapat terkena dampak. Persetujuan proposal dan Implementasi proyek-proyek mitigasi dan adaptasi dapat terhambat karena terdapat kekurangan penerimaan $2 milyar dari total mobilisasi 10 milyar, yang berasal dari pembatalan kontribusi AS yang seharusnya berjumlah $ 3 miliar.

Berkurangnya dukungan pendanaan AS untuk sejumlah inisiatif global atau multilateral yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pengembangan energi bersih dapat mempersempit ruang-ruang untuk membuat konsensus bagi sejumlah negara kunci, diluar proses UNFCCC. Kerjasama internasional seperti Clean Energy Ministerial (CEM) yang dapat mendorong inovasi teknologi dan kebijakan untuk mendorong pengembangan energi bersih dapat melambat, jika tidak ada upaya dari negara lain untuk menutupi lubang yang ditinggalkan AS. Kerjasama bilateral antara AS dengan sejumlah negara berkembang untuk mendorong transisi pembangunan rendah karbon secara lebih cepat sepertinya akan terhenti.

Dalam situasi ini, pilihannya adalah meningkatkan solidaritas global untuk mempertegas komitmen masyarakat internasional untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Sepertinya diperlukan sebuah aliansi global baru minus AS untuk memastikan keberhasilan Paris Agreement. Negara-negara anggota G-20 dapat mengambil alih kepemimpinan global mengatasi perubahan iklim secara kolektif melalui kerjasama investasi, inovasi dan teknologi energi bersih.

Peluang ini juga dapat digunakan Indonesia, yang merupakan salah satu negara besar secara ekonomi dan emisi, untuk memperkuat diplomasi perubahan iklim global bersama-sama dengan India dan China (juga Brazil, Mexico dan Africa Selatan) membentuk “Aliansi Selatan-Selatan” untuk mendorong peran negara berkembang dalam kerjasama pendanaan, dan alih teknologi bersih, dan pelestarian hutan dan gambut. Indonesia juga dapat memperkuat kerjasama dan kemitraan dengan negara-negara kecil di Pacific, yang telah ada selama ini melalui kerjasama teknik, dengan memperluasnya ke kerjasama teknologi dan finansial untuk adaptasi perubahan iklim.

Semoga Presiden Joko Widodo memiliki visi global dan bertransformasi menjadi salah satu pemimpin dunia yang berkomitmen menyelamatkan dunia dari ancaman perubahan iklim.

Jakarta, 4 Juni 2017

Pencabutan Subsidi Listrik: Mahal atau Wajar?

Pencabutan subsidi listrik bagi rumah tangga golongan 900 VA telah diterapkan pemerintah. Apa implikasinya bagi konsumen?

Rumah saya di desa berlangganan listrik dengan kapasitas terpasang 900 VA. Kebutuhan listrik di rumah memang cukup dengan kapasitas segitu, tidak ada peralatan elektronik yang memakan daya besar seperti AC atau oven. Sehari-hari, yang rutin digunakan hanya penerangan, kulkas, dan televisi. Ada pompa air dan mesin cuci, yang penggunaannya kadang-kadang saja. Lampu di rumah juga kebanyakan sudah ganti lampu LED. Saya kira ini alasan terbesar Ibu tidak ikut menaikkan kapasitas ke golongan rumah tangga 1.300 VA seperti anjuran pemerintah (golongan yang tarif listriknya tidak disubsidi) karena memang konsumsinya sedikit.

Dengan berlakunya Permen ESDM No. 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik PT PLN, maka otomatis rumah saya adalah rumah yang diases ulang untuk urusan subsidi tarif. Dan seperti sudah diduga pula, rumah saya termasuk yang tidak lagi mendapatkan subsidi tarif listrik. Penyesuaian tarif ini dilakukan untuk seluruh rumah tangga golongan 900 VA yang dinilai sudah mampu. Jadi pemerintah melakukan pencabutan subsidi listrik yang selama ini dinikmati oleh 18,94 juta pelanggan berdaya 900 VA terhitung mulai 1 Januari 2017. Jumlah pelanggan golongan 900 VA yang dicabut subsidinya berkisar 82% dari total jumlah pengguna listrik 900 VA, termasuk rumah saya. Subsidi tersebut akan dicabut dalam tiga tahap, di mana tarif listrik per kilowatt-hour (KWh) setiap periodenya akan naik 33 persen.

Tagihan listrik rumah saya biasanya berkisar di angka 100 ribu rupiah per bulan, yang di bulan Maret langsung terasa kenaikannya menjadi ±150 ribu rupiah. Terang saja, tarif listrik yang sebelumnya “hanya” Rp 585/kWh kini menjadi Rp 1.032/kWh. Tarif ini akan naik lagi di bulan Mei 2017 menjadi Rp 1.352/kWh. Untungnya Ibu saya tidak lekas panik atau protes, karena sebelumnya sudah mengetahui bahwa pencabutan subsidi ini akan mempengaruhi tagihan listrik bulanan. Kemudian kami juga menyadari bahwa kami memang tidak layak untuk menerima subsidi. Barangkali harusnya kami menaikkan kapasitas listrik di rumah sehingga membayarnya juga tarif normal, namun penggunaan listrik kami juga tak terlalu besar.

Dinilai Tak Berpihak Pada Rakyat Miskin

Meskipun bertujuan menghemat anggaran dan mengalihkannya untuk membiayai listrik perdesaan, kebijakan ini menuai banyak protes dari konsumen pengguna listrik, terutama yang merasa berat dengan kenaikan tarif tersebut. Ribuan pengaduan mengenai kenaikan TDL ini masuk ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sejak Januari lalu. Pencabutan subsidi listrik ini juga dinilai tidak berpihak pada masyarakat kelas bawah.

Pemerintah menilai pencabutan subsidi listrik ini adalah langkah yang baik karena selama ini subsidi yang diberikan dianggap salah sasaran. Dengan pencabutan subsidi ini, diharapkan anggaran subsidi listrik di tahun 2017 bisa ditekan menjadi Rp 45 triliun, dari sebelumnya Rp 60,44 triliun di tahun 2016. Sekitar 4,1 juta rumah tangga yang dievaluasi masih berada pada golongan tidak mampu tetap mendapatkan subsidi. Dasar evaluasinya dilakukan bersama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), yang selanjutnya dilakukan verifikasi ulang oleh PLN. Evaluasi seperti ini tentunya tak kebal error, sehingga Kementerian ESDM juga membuka kesempatan pengaduan masyarakat melalui kantor kelurahan/desa atau secara online. Kerangka waktu jelasnya perlu dipublikasikan agar masyarakat bisa tahu kapan keluhan mereka akan ditanggapi. Harapannya subsidi listrik TETAP diberikan bagi mereka yang tergolong tidak mampu.

Sementara verifikasi data dan bagaimana menanggapi keluhan masyarakat kurang mampu terkait pencabutan subsidi listrik itu adalah tantangan, kita juga hendaknya mencermati mengapa pengalihan subdisi listrik itu penting.

Hingga saat ini, rasio elektrifikasi (persentase penduduk yang mendapatkan akses listrik) Pulau Jawa (dan Indonesia bagian barat) memang timpang dibandingkan Indonesia bagian timur. Citra satelit NASA yang acapkali digunakan sebagai ilustrasi ketimpangan itu memang benar adanya. Rasio elektrifikasi DKI Jakarta misalnya, sudah mencapai hampir 100%, dan rata-rata provinsi di Jawa sudah di atas 90%. Provinsi-provinsi di luar Jawa, khususnya Indonesia bagian timur, masih di bawah 70%. Tercatat lebih dari 2.500 desa di seluruh Indonesia yang masih gelap total, sama sekali belum tersentuh listrik dalam bentuk jaringan PLN atau mesin diesel. Konsumsi listrik antara Jawa dan pulau-pulau di kawasan timur Indonesia (KTI) juga menunjukkan ketimpangan yang besar. Ini artinya pemenuhan energi di Indonesia belum merata, yang salah satunya disebabkan oleh kurangnya anggaran pemerintah untuk melistriki daerah-daerah yang memiliki tantangan geografis yang cukup besar.

Pertanyaan fundamentalnya bagi saya pribadi sebagai pelanggan 900 VA adalah, bersediakah saya membayar listrik lebih mahal sehingga saudara-saudara saya di KTI bisa merasakan nikmat listrik?

Saya dan Ibu berpendapat, pertanyaan itu bisa diiyakan. Tentu saja harus ada prasyarat kepercayaan bahwa pengalihan subsidi ini akan digunakan sebagaimana mestinya, dan itulah harapan kami. Ini juga tak menihilkan harapan lain bahwa kualitas listrik bagi daerah yang sudah terlistriki akan terus ditingkatkan. Jamak kita dengar bahwa banyak daerah di Indonesia yang sering mengalami pemadaman bergilir. Berdasarkan data yang didapat dari inisiatif pemantauan kualitas pasokan listrik ESMI yang dikelola oleh IESR di Indonesia, banyak lokasi di Jabodetabek yang mengalami pemadaman atau ketidakstabilan tegangan. Permasalahan ini semakin jamak ditemui di Kupang, salah satu kota yang menjadi lokasi pilot project ESMIInilah PR lain bagi penyedia layanan listrik di Indonesia: bagaimana pemerataan kualitas dilakukan.

 

Cermati Konsumsi Listrik Sendiri

“Wah parah nih pemerintah, masa tagihan gue naik dua kali lipat dari bulan lalu,” seorang teman mendadak curhat. Saat itu saya menyempatkan bertanya mengenai kapasitas terpasang di rumahnya. Karena si teman ini tidak yakin, saya menanyakan apa saja peralatan elektronik yang ada di rumahnya. Dia menjawab ada dua AC, kulkas, mesin cuci, pompa air, oven, dan beberapa yang lain. Dengan AC yang digunakan harian, saya cukup yakin bahwa kapasitas terpasang di rumahnya pasti setidaknya 1.300 VA.

“Coba cek dulu tagihan sama penggunaannya, harusnya sih rumah elo tarifnya normal aja kagak ada pencabutan subsidi karena emang nggak disubdisi, Neng,” saya menjawab sembari memberikan ilustrasi berapa konsumsi listrik yang dipakainya di rumah dengan peralatan elektronik sebanyak itu.

Saat ini kenaikan TDL hanya terjadi pada golongan rumah tangga 900 VA yang dianggap mampu, belum ada kenaikan TDL untuk golongan lain. Jadi ketika ada yang mengeluh seperti teman saya tadi, saya memang memilih bertanya kapasitas terpasang di rumahnya berapa. Dari sana bisa diperiksa kenaikannya karena TDL yang berubah atau karena konsumsi yang naik. Bulan April kemarin cukup panas di Jakarta, barangkali itu yang menyebabkan konsumsi listrik naik, akibatnya tagihan pun naik.

Sebagai manusia modern yang selalu mencari colokan di mana pun berada (tunjuk diri sendiri), membicarakan listrik ini menarik. Sering tak kelihatan (karena tidak membayar tagihan), tapi begitu naik, langsung terasa dampaknya. Apakah kita menyadarinya, dan kemudian peduli?

Hening Marlistya Citraningrum, Program Manager for Sustainable Energy Transition di IESR.