Dorong Akselerasi Transisi Energi Level Daerah melalui Forum Energi Daerah (FED)

Jakarta, 23 Februari 2022 – Pemerintah daerah melalui kewenangannya memainkan peran penting dalam upaya pencapaian target pembangunan nasional terkait pengembangan energi terbarukan (ET) untuk mendukung akselerasi transisi energi di Indonesia. Bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dewan Energi Nasional (DEN), Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan acara Forum Energi Daerah (FED) dalam mempercepat transisi energi di level daerah.

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto; Anggota DEN, Musri Mawaleda; dan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana, menjadi narasumber dalam kegiatan virtual ini. Hadir pula Kepala Dinas ESDM dan Kepala Bappeda Provinsi se-Indonesia yang menyampaikan perkembangan pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di daerahnya.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam sambutannya menyampaikan bahwa Forum Energi Daerah menjadi bagian dari serangkaian kegiatan road-to Indonesia Solar Summit (ISS) 2022. “Kegiatan FED ini dilatarbelakangi oleh target net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat, karena potensi energi surya di Indonesia juga mencapai lebih dari 3.400GW sehingga bisa menjadi ujung tombak untuk mencapai NZE 23% EBT pada 2025,” ujar Fabby.

Dalam paparannya, Musri menyampaikan Indonesia telah berkomitmen dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui ratifikasi Persetujuan Paris Agreement sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 16 tahun 2016 dan selanjutnya ditegaskan dalam komitmen di Pakta Iklim Glasgow yang bertujuan untuk membatasi kenaikan temperatur global di bawah dua derajat celcius. Komitmen ini menimbulkan konsekuensi khususnya dalam arah pembangunan menuju pembangunan rendah karbon.

“Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk memitigasi perubahan iklim di sektor energi yaitu pemenuhan target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025, penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dan 41% dengan bantuan internasional, target NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat, dan penetapan target penambahan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) menjadi 51,6% atau sekitar 20.923 MW sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Khusus pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), target pembangunan tambahan pembangkit hingga tahun 2030 pada RUPTL mencapai 4.680 MW atau 22% dari total kapasitas pembangkit EBT,” ujar Musri.

Musri menuturkan dukungan dan upaya pemerintah daerah, terutama Dinas ESDM dan Bappeda, diperlukan dalam percepatan pembangunan rendah karbon dan merealisasikan target yang tertera pada matrik RUED atau sesuai dengan kemampuan dan potensi daerah setempat. Ia juga menekankan bahwa salah satu pembangkit yang paling mudah dan murah dibangun dengan dan berpotensi besar di Indonesia adalah tenaga surya.

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, Djoko Siswanto, menyampaikan bahwa sampai saat ini masih ada 12 Provinsi yang sedang menyelesaikan Peraturan Daerah Rencana Umum Energi Daerah (Perda RUED), 5 diantaranya dalam proses fasilitasi nomor register di Kementerian Dalam Negeri, 3 Provinsi sudah memasukkan rancangan RUED Provinsi dalam Program Pembentukan Perda (Propemperda) Tahun 2021 dan 2022 juga telah melakukan pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta 4 Provinsi baru akan membahas dengan DPRD.

Lebih lanjut, Djoko menjelaskan bahwa beberapa gubernur telah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) maupun Perda terkait energi bersih, kendaraan listrik, PLTS dan mewajibkan panel surya terutama di perumahan, apartement, dan gedung. Beberapa ketentuan tersebut dijadikan dasar oleh para gubernur untuk membuat peraturan di provinsi masing-masing.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana, menyampaikan pengembangan energi surya merupakan bagian dari pencapaian target 23% bauran energi terbarukan di tahun 25. Ia optimis target tersebut dapat tercapai menimbang secara perencanaan, Indonesia sudah sangat siap dan lengkap. Meskipun demikian, ia menyebutkan bahwa secara pengelolaannya nanti mungkin ada hal-hal yang akan tertunda, sehingga perlu porsi PLTS atap yang lebih besar sebagai jaring pengaman supaya target 23% bisa tercapai.

“Dalam rencana pengembangan, kami memiliki 3 kelompok utama yaitu PLTS atap dengan target 2025 sebesar 3,61 GW. Lalu kedua PLTS skala besar dengan target 2030 sebesar 4,68 GW dan PLTS terapung dengan potensi 26,65 GW. Tak lepas dari isu revitalisasi PLTS tidak hanya PLTS atap, di daerah ada beberapa permasalahan teknis yang jumlahnya tidak sedikit untuk operasional dan maintenance. Teknis pelaksanaan untuk revitalisasi pembangkit energi terbarukan khususnya PLTS juga akan kami pikirkan,” tambah Dadan.

Dalam diskusi turut hadir Dinas ESDM dari sejumlah daerah, salah satunya Dinas ESDM Jawa Tengah, yang diwakili oleh Kepala Bidang Energi Baru dan Terbarukan, Eni Lestari. Menurut Eni, peningkatan pemahaman tentang energi terbarukan hingga ke tingkat akar rumput serta dorongan dari pemerintah daerah dapat membantu percepatan pengembangan energi terbarukan.

“Pemerintah provinsi Jawa Tengah akan membuat penyuluh energi di tingkat daerah sehingga masing-masing desa dapat memiliki panduan agar memahami dan bisa mengadopsi energi terbarukan. Surat edaran sekretaris daerah tahun 2021 bahwa sektor bisnis, industri, dan bangunan pemerintah untuk kontribusi pemanfaatan PLTS atap pun sudah ada dan dapat dijalankan,” ungkap Eni.

Ia menambahkan juga bahwa skema pembiayaan untuk PLTS di berbagai sektor masih menjadi kendala, oleh karena itu akselerasi energi terbarukan di daerah tidak dapat mengandalkan APBD saja, namun membutuhkan kontribusi berbagai sektor termasuk swasta.

Senada dengan Eni, Irfan Hasymi Kelrey dari Dinas ESDM NTB menyebut bahwa pemerintah daerah dapat mendorong pengembangan energi terbarukan dengan regulasi, tapi implementasinya membutuhkan dukungan dan langkah nyata dari masyarakat di berbagai sektor, khususnya di sektor swasta.

“Saat ini Pergub Energi Hijau terkait dengan pemanfaatan seluruh energi terbarukan termasuk potensinya sedang kami susun. Surat edaran bagi hotel-hotel untuk memasang PLTS atap juga telah kami distribusikan dan di Kab. Sumbawa dan Kab. Bima tahun ini sedang dalam proses 10MW. Dari beberapa hal tersebut, kami optimis target NZE Nusa Tenggara Barat (NTB) akan lebih cepat tercapai dari Indonesia,” ujar Irfan Hasymi Kelrey, Dinas ESDM NTB saat berbagi terkait rencana dan capaian daerahnya.

Selangkah lebih maju, Disnaker Bali bidang ESDM, Ida Bagus Ngurah Arda, mengungkapkan bahwa Bali merupakan pertama yang memiliki Pergub No. 45 tahun 2019 tentang Energi Bersih dan akan menerbitkan surat edaran yang ruang lingkupnya lebih luas tidak hanya di sektor BUMN atau pemerintah yang meliputi semua sektor, pelibatan swasta, termasuk juga perorangan (PLTS atap). Ida juga menuturkan bahwa pembangunan PLTS dalam berbagai bentuk terus berjalan di Bali.

“Saat ini ada sejumlah pembangunan PLTS yaitu di Nusa Penida 3,5MWp dan 400KWp di jalan tol Bali-Mandara,” tambah Ida.

Sementara itu, Analisis Kebijakan Ahli Madya selaku Koordinator urusan ESDM, SUPD I, Ditjen Bina, Bangda, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Tavip Rubiyanto, mengungkapkan tantangan yang dihadapi untuk bisa mensinkronkan program pusat dan daerah juga mengintegrasikan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) ke dalam (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

“Sejumlah instrumen bisa digunakan oleh Pemda, misal instruksi gubernur untuk mendorong akselerasi ET. Permasalahan nomenklatur terkait dengan penganggaran EBT di daerah akan mengacu kepada Permendagri 050 tentang kodefikasi dan nomenklatur anggaran. Dan saat ini Bangda tengah menyusun secara operasional bagaimana mendorong pemda untuk mengintegrasikan RUED ke dalam dokumen RPJMD dan Renstra ESDM sehingga dapat dioperasionalkan dalam perencanaan daerah. Sehingga pada RPJMD 2023-2026 dapat menjadi jalan untuk menyelipkan beberapa langkah untuk mencapai target ET,” tutur Tavip.

Hasil Forum Energi Daerah ini menjadi tindak lanjut kegiatan Governor’s Forum on Energy Transition (Forum Gubernur) yang merupakan salah satu acara menjelang Indonesia Solar Summit 2022. Indonesia Solar Summit (ISS) adalah puncak dari serangkaian acara multistakeholders yang bertujuan untuk memobilisasi potensi investasi energi surya Indonesia dan mengakselerasi pemanfaatan PLTS untuk mencapai target Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan RUEN. ISS diselenggarakan untuk membuka pasar dan mendukung pengembangan ekosistem energi surya di Indonesia dan sebagai bahan dari presidensi G20 di Indonesia.

Negara-negara ASEAN Masih Bergantung Pada Energi Fosil Namun Memiliki Peluang untuk Transformasi Sistem Energi

Jakarta, 9 Februari 2022 – Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan terpadat dengan pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi yang meningkat pesat. Pertumbuhan ekonomi muncul pada saat ada upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Untuk menjaga perkembangan ekonomi dan pertumbuhan permintaan energi, pemerintah harus mengembangkan sistem energi yang lebih bersih. Situasi saat ini menunjukkan bahwa sistem energi di Asia Tenggara masih mengandalkan bahan bakar fosil yaitu batubara.

Untuk mengidentifikasi tantangan dan peluang tersebut, perwakilan dari Indonesia, Filipina, dan Vietnam hadir dalam webinar “Energy Transition Dialogue” yang diselenggarakan oleh Australia National University bekerjasama dengan CASE (Clean, Affordable, and Secure Energy) for Southeast Asia pada Rabu, 9 Februari 2022 .

Sirpa Jarvenpaa dari Energy Transition Partnership menyoroti bahwa jika arah kebijakan terus berjalan seperti biasa tanpa ada terobosan baru (business as usual), pertumbuhan ekonomi dan energi di negara-negara ASEAN pada saat yang sama akan mencemari kawasan Asia Tenggara dan juga dunia. Ia juga menekankan pentingnya pengetahuan bagi pengambil kebijakan untuk membangun komitmen yang kuat.

“Proyek iklim yang ambisius didirikan berdasarkan pengetahuan sehingga kami perlu mendorong sektor bisnis untuk melakukan investasi dalam transisi energi, dan bagi pemerintah untuk menciptakan lingkungan investasi yang kondusif, serta merampingkan kerangka peraturan dan hukum,” katanya.

Sirpa menambahkan bahwa Asia Tenggara perlu meningkatkan investasi dalam energi terbarukan dan efisiensi energi untuk memastikan masa depan yang bersih dan sehat bagi kawasan dan dunia.

Meskipun 8 dari 10 negara di kawasan ini telah mengumumkan target net-zero mereka, paling paling awal pada 2050 dan terakhir 2065, pembangkit listrik tenaga batu bara baru masih berkembang di Asia Tenggara, terutama di Indonesia, Filipina, dan Vietnam menurut International Energy Agency (IEA). Artinya, emisi gas rumah kaca untuk kawasan Asia Tenggara belum mencapai puncaknya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa ada serangkaian tantangan untuk mencapai net-zero emissions di ASEAN seperti kebijakan, jaringan listrik (grid), dan integrasi pasar regional, serta masalah non-teknis; terkait dengan persepsi dan akses pengetahuan. Perencanaan energi jangka panjang masih bertumpu pada fosil meskipun kebijakan mengatakan untuk mengurangi penggunaan fosil.

“Bahan bakar fosil masih dianggap sebagai komponen utama ketahanan energi, dan energi terbarukan masih dianggap tidak dapat diandalkan dan mahal,” jelas Fabby.

Fabby juga menekankan aspek ‘transisi yang adil’ sebagai hal yang harus diperhatikan terutama untuk daerah yang sangat bergantung pada industri batu bara. Kalimantan Timur, misalnya, merupakan salah satu provinsi penghasil batu bara terbesar di Indonesia. Ketika harga batubara dunia turun hingga dibawah USD 40/ton, pertumbuhan PDB-nya terhenti dan mempengaruhi sektor-sektor lain.

“Kita perlu mencari cara agar perekonomian suatu provinsi tidak crash begitu terjadi transformasi besar-besaran dan batu bara tidak lagi dibutuhkan,” ujarnya.

Frank Jotzo dari Australia National University menambahkan bahwa perkembangan teknologi energi bersih menyebabkan penurunan biaya instalasi dan harga listrik dari energi terbarukan seperti surya (matahari) dan angin, sehingga transformasi energi menjadi layak secara ekonomis dan semakin kompetitif.

“Namun, ada juga tantangan seperti bagaimana memobilisasi investasi sistem energi yang besar, memastikan transisi berhasil secara teknis, dan bagaimana memaksimalkan peluang ekonomi, dan meminimalkan gangguan sosial,” Frank mengingatkan.

Transisi Energi Indonesia Dibayangi Kegamangan Pemerintah

Jakarta, 21 Desember 2021 – Menutup tahun 2021, Institute for Essential Services Reform (IESR) kembali meluncurkan laporan tahunan bertajuk Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022. Sejak 2017, IETO (yang semula bernama Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) secara konsisten memaparkan perkembangan transisi energi di Indonesia pada berbagai sektor sekaligus memberikan proyeksi transisi energi Indonesia pada tahun 2022 mendatang. Selama dua tahun berturut-turut, IETO secara khusus  menganalisis kesiapan transisi energi Indonesia.

Pada level global, tahun 2021 ditandai dengan sejumlah kejadian penting seperti KTT Iklim yang diselenggarakan presiden Amerika Serikat, Joe Biden, yang menyerukan untuk seluruh dunia mengambil langkah yang lebih ambisius untuk menangani krisis iklim. KTT G20 dan COP 26 kembali menyerukan bahwa komitmen dan aksi mitigasi krisis iklim seluruh negara saat ini masih belum cukup untuk menahan kenaikan temperatur rata-rata global di 1,5 derajat Celsius. Aksi mitigasi iklim yang lebih ambisius dan agresif diperlukan.

Meski belum selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia mulai menunjukkan komitmen politik yang cukup progresif dengan menetapkan target net-zero pada 2060 atau lebih cepat, rencana untuk mempensiunkan dini sejumlah PLTU batubara, dan terbitnya RUPTL baru yang memberi porsi energi terbarukan  menjadi 51,6%. Menurut IESR, komitmen ini dapat dilihat sebagai angin segar bagi pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Namun, hal ini masih belum dapat mengakselerasi transisi energi Indonesia, dan mencapai target Persetujuan Paris yaitu mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini. 

Julius Cristian, penulis utama laporan IETO 2022 melihat adanya  kegamangan dari pemerintah. 

“Contohnya, meski RUPTL terbaru sudah mengakomodasi 50% energi terbarukan atau sekitar 20 GW, namun jika dibandingkan dengan kebutuhan dekarbonisasi yang mencapai 130 GW perencanaan ini tentu masih jauh dari kebutuhan. Selain itu, pemerintah masih juga mengandalkan strategi yang menurut kami tidak feasible seperti penggunaan nuklir dan CCS yang lebih mahal dibandingkan dengan energi terbarukan,” jelasnya. 

IETO 2022 mengkaji bahwa Indonesia mampu mencapai net-zero pada tahun 2050. Untuk mewujudkan ini Indonesia harus mencapai puncak emisi sebelum tahun 2030, dan setelah itu mulai menurunkannya. Implikasi dari hal ini salah satunya adalah Indonesia tidak boleh lagi membangun PLTU serta harus segera mulai melakukan pensiun PLTU lama. 

Menimbang potensi dan ketersediaan sumberdaya, PLTS akan menjadi tulang punggung dekarbonisasi Indonesia. Namun pertumbuhannya pada tahun 2021 hanya sekitar 18 MW, padahal kebutuhannya mencapai 108 GW pada 2030, atau bertambah rata-rata 10 GW per tahun.

Handriyanti Diah Puspitarini menambahkan bahwa terdapat sedikit perbaikan dalam hal kualitas kebijakan dan sosial (penerimaan publik) tentang transisi energi namun komitmen dari pemerintah dan iklim investasi energi terbarukan masih perlu banyak perbaikan.

“Kita perlu melihat bagaimana implementasi berbagai regulasi yang akan datang dan yang sudah diterbitkan. Pemerintah juga harus menyadari bahwa masyarakat sudah mulai aware dengan isu ini dan mendukung adanya transisi energi, maka pemerintah pun harusnya  mensupport dukungan publik yang sudah tinggi ini,” jelas Handriyanti.

Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), menekankan penting untuk energi terbarukan tumbuh secara eksponensial untuk memenuhi kebutuhan listrik dan memenuhi target perjanjian internasional. Meski sepanjang 2021 terdapat momentum tumbuhnya awareness untuk melakukan transisi arah kebijakan Indonesia masih belum pasti akan menuju kemana.

“Sebagai contoh RUED, meskipun daerah-daerah sudah memiliki RUED namun wewenang untuk mengeksekusi terpusat di PLN dan Pertamina, jadi daerah-daerah ini punya RUED namun tidak bisa mempengaruhi hasil,” ujar Herman.

Faela Sufa, Direktur Asia Tenggara ITDP, melihat bahwa sektor transportasi bisa menjadi salah satu pendorong ekosistem energi terbarukan di Indonesia.

“Misal untuk elektrifikasi transportasi publik perlu kita sinkronkan bersama dan identifikasi insentif apa yang perlu diberikan sehingga bisa lebih jadi tangible dalam penggunaan energi dan koordinasi dengan berbagai sektor yang berkaitan dengan renewable energy untuk elektrifikasi,” jelas Faela.

Yusrizki, Ketua Komite Tetap Kamar Dagang Indonesia (KADIN) bidang EBT, menyampaikan bahwa KADIN telah menyatakan akan menjadi net-zero organization 2060 dan secara aktif mendorong anggotanya untuk memiliki target net zero.

“Dalam gelaran G20 summit 2022 nanti kita diharapkan punya 100 perusahaan Indonesia yang sudah pledge target net zero dan ini merupakan target yang sangat ambisius. Kita mulai dari edukasi, assisting -membantu mereka membuat agenda-agendanya-, sampai pledge komitmennya,” pungkas Yusrizki.

Sementara itu Arief Sugiyanto, Vice President Pengendalian RUPTL PLN, menjelaskan bahwa pihaknya saat ini berusaha untuk memenuhi target bauran energi 23% pada tahun 2025.

“Target EBT 23% di 2025 ini memang tantangan yang berat. Salah satu strategi PLN adalah de-dieselisasi wilayah-wilayah isolated dan secara bertahap akan diganti dengan pembangkit EBT yang tersedia di lokasi tersebut,” ungkapnya.

Desakan untuk Meningkatkan Literasi Perubahan Iklim

Menelaah Buku Jejak dan Langkah Energi Terbarukan di Indonesia

Jakarta, 16 Desember 2021 – Perjanjian Paris tahun 2015 menyampaikan bahwa dunia telah berkomitmen untuk melakukan mitigasi dan upaya pencegahan lain untuk memastikan kenaikan suhu global tidak mencapai 2° celcius. Sebagai salah satu langkah kongkrit yang dilakukan oleh berbagai negara adalah dengan melakukan transisi energi, yang semula menggunakan energi fosil menjadi energi terbarukan. Namun, bukan tanpa tantangan – khususnya di Indonesia yang sistem ketenagalistrikannya terpusat dan diatur negara, perubahan sumber energi terkait dengan banyak hal didalamnya, misal investasi dan pembangunan infrastruktur pembangkit listrik yang sesuai.

Hal ini menjadi banyak catatan penting bagi banyak pihak. Bagaimana upaya transisi energi khususnya di Indonesia menjadi hal yang sangat sulit dilakukan. Namun pada kesempatan diskusi bedah buku yang berjudul “Jejak dan Langkah Energi Terbarukan di Indonesia”, sebagai rangkaian program dari proyek Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) – Aris Prasetiyo, Penulis utama buku ini menyampaikan bahwa dalam proses mempersiapkan buku ini, banyak ditemui praktik-praktik ramah-iklim dan pemanfaatan energi terbarukan pada tingkat akar rumput, tanpa memerlukan permodalan besar dan aturan kebijakan tertentu.

Aris lewat buku ini menceritakan bahwa sebagai contoh, di Hutan Akitajawe Halmahera –  adanya sebuah kearifan lokal yang berdampak pada upaya mitigasi iklim. Laki-laki yang hendak menikah, serta kelahiran anak laki-laki pada suku Tobelo Dalam, diwajibkan untuk menanam sepuluh (10) pohon. Hal ini mereka yakini sebagai bentuk pengembalian kepada alam sebagai sumber mata pencaharian mereka. Pada kesempatan diskusi bedah buku ini, Aris menyampaikan bahwa yang dilakukan suku Tobelo Dalam ini merupakan sebuah kerangka sosial yang patut dicontoh untuk meningkatkan literasi atas perubahan iklim di Indonesia.

Pada kesempatan ini juga, Meidella Syahni, Peneliti Mongabay yang bertugas sebagai moderator menyampaikan juga pentingnya literasi atas isu perubahan iklim yang perlu lebih di suarakan lagi di Indonesia. “Menjadi PR untuk masyarakat modern, bagaimana literasi perubahan iklim sepertinya perlu untuk diperhatikan lagi pada berbagai lapisan pemangku kepentingan. Misalnya pada Pemerintah Indonesia dan DPR yang cukup cepat meratifikasi aturan-aturan dan kebijakan yang terkait namun secara riil, dampak dan hasil dari kebijakan tersebut belum terasa nyata untuk iklim global.”

Julius Adiatma, Peneliti dan Penulis Utama Laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2022, IESR yang juga ikut berdiskusi pada kegiatan bedah buku ini menyampaikan bahwa adanya perkembangan positif terkait isu perubahan iklim dan energi transisi yang sudah menjadi trend sebagai poin bahasan. “Kita lihat bahwa pemerintah sampai dengan 2021 ini memiliki banyak agenda dan rencana. Contohnya adanya pledge untuk berhenti membangun PLTU dan phase-out batubara, kemudian target net-zero 2070. Kita lihat sebelumnya bahwa banyak juga komitmen pemerintah yang paling tidak sudah dijadikan kebijakan walaupun belum dikerjakan juga.” ujar Julius pada diskusi tersebut.

Tidak berhenti disitu, diskusi berlanjut terkait akses pembiayaan proyek energi terbarukan yang dirasa masih menjadi tantangan bagi sebagian besar pelaku usaha energi terbarukan. “Itu (transisi energi) merupakan hal baru untuk bank-bank, khususnya bank di Indonesia. Saya rasa kita perlu untuk support mereka, meningkatkan literasi mereka terkait hal ini agar akses-akses modal dan skema pembiayaan inovatif juga bisa dihadirkan oleh institusi keuangan.” ujar Julius menjawab pertanyaan dari perwakilan pengembang proyek energi terbarukan pada diskusi tersebut.

Dalam merumuskan kesimpulan diskusi, moderator juga menyampaikan terkait pentingnya membaca buku ini untuk meningkatkan pemahaman kenapa transisi energi dan pemanfaatan energi terbarukan menjadi penting bagi masyarakat umum. Selain itu, para panelis dan moderator setuju bahwa hal yang paling penting untuk dilakukan sekarang adalah untuk menjalankan komitmen-komitmen yang sudah dituangkan dalam bentuk gagasan dan kebijakan.

“Dalam waktu cepat, kita perlu untuk mengikuti arahan terkait transisi energi. Negara ini sudah ada panduannya, apa yang mau dicapai di 2025, apa yang mau dicapai di 2050. Kita hanya perlu melakukan apa yang perlu dilakukan. Menurut saya, yang paling cepat untuk dilakukan ya bertransisi menggunakan kendaraan listrik, walaupun tidak serta-merta merubah bauran listrik namun pesan-pesan ramah iklim yang disampaikan menjadi awalan yang baik sebagai langkah awal literasi terkait perubahan iklim ini.” ujar Aris menutup diskusi bedah buku ini.

Hitung Cermat Pembiayaan Transisi Energi Indonesia

Jakarta, 24 November 2021 – Transisi menuju energi bersih merupakan suatu keniscayaan. Teknologi energi bersih yang semakin berkembang membuat harga listrik dari energi bersih semakin kompetitif dengan energi fosil yang saat ini masih banyak ditemukan dalam sistem energi. Mengutip laporan Climate Transparency 2021, sistem energi Indonesia hingga tahun 2021 masih didominasi oleh energi fosil yang mencapai lebih dari 80% produksi listrik. Tingkat ketergantungan pada energi fosil yang tinggi ini, membuat transisi energi di Indonesia perlu dilakukan dengan cermat dan direncanakan serta dijalankan dengan baik. 

Agar proses transisi energi dapat berjalan tanpa menimbulkan kontraksi ekonomi yang signifikan, pemerintah perlu menyiapkan strategi pembiayaan yang berkelanjutan. Hal tersebut menjadi pembahasan dalam diskusi bertajuk “Peran dan Implementasi Sustainable Finance Menuju Transisi Energi dan Net Zero Emission di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Proyek Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia.

Sunandar, Asisten Deputi Utilitas & Industri Manufaktur, Kemenko Perekonomian, berpendapat perlu perhitungan yang cermat sehingga dapat memitigasi risiko ekonomi dari transisi energi. Terutama, pembiayaan transisi energi yang membutuhkan dana besar akan terpusat pada penghentian pembangkit batubara dan pembangunan pembangkit energi baru terbarukan.

“Dengan kondisi saat ini dimana energi kita masih banyak batubara dan EBT baru sekitar 11,2% melakukan transisi terlalu cepat akan membutuhkan dana besar karena kita harus menghentikan pembangkit batubara yang masih beroperasi sekaligus harus membangun pembangkit EBT. Karena itu, kita memerlukan perencanaan mekanisme transisi energi. Serta lebih penting lagi memastikan ketersediaan pendanaan yang terjangkau bagi semua pihak yang ingin berkontribusi dalam transisi energi,” terang Sunandar. 

Kondisi ini membuat Indonesia harus melihat skema pembiayaan apa yang cocok untuk diterapkan bagi transisi energi Indonesia. Studi Deep Decarbonization IESR menunjukkan bahwa kebutuhan investasi untuk bertransisi mencapai 287-360 triliun rupiah/tahun. Disampaikan oleh Dewa Putu Ekayana, ahli muda PKPPIM  Kementerian Keuangan bahwa kekuatan APBN untuk membiayai transisi energi hanya sekitar 32,6%. 

“Untuk mengisi kekurangan pembiayaan ini, pemerintah membuat skema blended finance dengan menerbitkan green bond dan green sukuk serta ikut mengundang keterlibatan investor dalam proyek-proyek perubahan iklim atau energi terbarukan,” jelas Dewa. 

Jenis pembiayaan lain yang juga sedang dijajaki oleh pemerintah adalah Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk mengembangkan infrastruktur energi bersih di Indonesia.

“Skema ini akan mengurangi beban APBN/D dalam membiayai transisi karena sebagian atau seluruh proyek akan dikerjakan dengan sumber daya milik Badan Usaha, dengan pembagian risiko antar para pihak (Badan Usaha dan Pemerintah),” jelas Suryo Wijiono Pambudi, Perencana Pengembangan Pendanaan Pembangunan, Bappenas

Suryo menambahkan kapasitas Pemerintah Daerah perlu untuk ditingkatkan supaya mereka dapat menyiapkan transisi di level akar rumput, serta mencari atau memetakan peluang ekonomi hijau apa yang dapat dikembangkan di daerah tersebut. 

“Selain itu dibutuhkan satu set kebijakan khusus terkait pengembangan EBT yang meliputi lembaga khusus, pembagian wilayah pelayanan serta roadmap pembangunan EBT nasional,” kata Suryo.

Implementasi dan Lesson Learned Pembiayaan Berkelanjutan

Teknologi energi terbarukan yang terus berkembang selain membuat harga energi yang dihasilkannya semakin kompetitif, juga menghasilkan kadar emisi yang lebih rendah. Tidak heran, energi terbarukan mulai dilirik untuk menggantikan energi fosil yang kadar emisinya tinggi serta cadangannya makin menipis. Sejumlah skema pembiayaan ditawarkan dengan beragam risiko dan konsekuensinya. 

Evy Susanty, Chief Finance Officer, PT Surya Utama Nuansa menjelaskan bahwa energi surya dapat menjadi pilihan prioritas penggunaan energi terbarukan dalam berbagai skala. 

“Untuk memfasilitasi konsumen dalam memasang PLTS PT SUN Energy menyediakan 3 skema pembiayaan yaitu solar purchase, performance based rental, dan solar lease. Dari ketiga skema ini, performance based rental adalah yang paling digemari konsumen sebab skema ini memungkinkan calon konsumen dari sektor bisnis dan industri untuk memasang PLTS atap tanpa modal awal,” kata Evy

Selain surya, Pemerintah Indonesia juga mengembangkan potensi energi terbarukan lain seperti biogas. Dari proyek biogas yang sedang berjalan terdapat beberapa pembelajaran, salah satu yang terpenting adalah kesesuaian kesepakatan PPA (Power Purchase Agreement) dengan dokumen proyek yang lain seperti perjanjian penggunaan lahan, pernyataan ketersediaan suplai feedstock, kontrak operasional dan perawatan, serta kontrak EPC (Engineering, Procurement, and Construction).

“Dalam proyek biogas ini beberapa hal perlu kepastian yang bersifat kebijakan seperti kesesuaian lahan, perijinan, pendapatan sesuai kesepakatan PPA, hingga jaminan ketersediaan suplai limbah cair kelapa sawit/POME (Palm Oil Mill Effluent),” Kirana Sastrawijaya, Senior Partner in Project, Energy & Finance, UMBRA Partnership menjelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan dari aspek legal hukum proyek biogas.

PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), salah satu special mission vehicles (SMV) Kementerian Keuangan untuk pembiayaan infrastruktur, mencatat sejumlah kendala dalam pembiayaan proyek-proyek hijau di Indonesia. Terbatasnya jumlah proyek hijau dan tidak ada insentif yang menarik dari pemerintah bagi proyek-proyek hijau membuat investor berpikir ulang untuk ikut berinvestasi di Indonesia.

“Dalam implementasi proyek-proyek hijau tidak jarang dibutuhkan waktu dan biaya tambahan untuk melakukan kajian terkait sustainability, dan seringkali tenaga profesional untuk mengerjakannya masih jarang, sehingga mau tidak mau harus bekerjasama dengan pihak lain,” terang Pradana Murti, Head of Sustainable Financing PT SMI.

Dalam proses transisi energi perlu adanya penyamaan persepsi serta pengembangan kapasitas dari pihak-pihak terkait, baik dari sektor energi maupun non-energi. “Sustainable finance dapat menjadi solusi atas beberapa bottleneck yang ada dari proses transisi energi,” ungkap Deni Gumilang, Deputy Programme Manager CASE Indonesia.

Indonesia Perlu Menangkap Peluang Pembiayaan Transisi Energi

Jakarta, 22 Nov 2021 – Seiring berakhirnya COP-26 beberapa minggu yang lalu, diskusi lanjutan tentang “apa aksi selanjutnya” dilakukan untuk terus mengingatkan baik Pemerintah maupun masyarakat bahwa komitmen dan deklarasi yang dibuat selama konferensi harus dilaksanakan.

Bertindak sebagai pra-pembukaan Indo EBTKEConnex 2021, FIRE (Friends of Indonesia’s Renewable Energy) mengadakan dialog untuk mengetahui bagaimana Indonesia menyiapkan strateginya untuk mencapai target dan komitmen baru yang diumumkan selama COP-26 di Glasgow.

Sripeni Inten Cahyani, Staf Khusus Kementerian ESDM menjelaskan sikap Indonesia dalam konferensi tersebut. Awal tahun ini, Indonesia menyerahkan dokumen NDC terbarunya ke Sekretariat UNFCCC dan berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih (net-zero emissions) pada tahun 2060 atau lebih awal. Hal ini dapat dikatakan sebagai langkah yang cukup progresif karena di awal tahun belum ada pembahasan tentang isu ini.

“Indonesia menandatangani Deklarasi The Global Coal to Clean Power, yang salah satu komitmennya adalah menghentikan pembangkit listrik tenaga batubara pada tahun 2040-an, dalam rencana awal kami, penghentian penggunaan batubara sekitar tahun 2050-an, jadi ada akselerasi disini. Akselerasi ini berarti kami membutuhkan lebih banyak dukungan keuangan untuk menghentikan pembangkit listrik yang saat ini beroperasi dan menggantinya dengan energi terbarukan,” kata Inten.

Indonesia telah secara konsisten mendesak negara-negara maju untuk mendistribusikan dana ke negara-negara berkembang untuk mengatasi perubahan iklim dan transisi energi.

David Lutman dari Kedutaan Besar Inggris di Jakarta menekankan bahwa dorongan untuk mengambil tindakan dapat diwujudkan dengan pengadaan energi terbarukan dalam skala besar dan itu berarti penghentian penggunaan batu bara. “Semakin cepat Indonesia melakukan transisi, maka akan semakin besar pula manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang bisa dipetik,” ujarnya.

Penting untuk mewujudkan komitmen yang sudah disepakati dan menunjukkan kemajuan yang dialami Indonesia dalam 2-3 tahun ke depan. Hal ini menunjukkan kesungguhan Pemerintah Indonesia dalam menjalankan komitmen perjanjian internasional dan penanganan iklim. 

“Transisi (energi) ini bukan hanya tentang Indonesia, tetapi masyarakat internasional turut mengamati sehingga kita perlu menunjukkan kemajuan kita untuk menjaga akuntabilitas kita, dan kemudian untuk menarik lebih banyak bantuan internasional,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby kemudian mengatakan bahwa tiga hal utama yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia untuk mempercepat transisi energi di Indonesia yaitu melakukan pensiun dini pembangkit batubara, meningkatkan proyek-proyek energi terbarukan, dan membantu PLN dalam hal lelang dan pengadaan energi terbarukan.

Pembiayaan yang cukup diperlukan dalam mentransformasi sistem energi. Pada COP-26, Pemerintah Indonesia menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) Energy Transition Mechanism (ETM) dengan Asia Development Bank untuk membiayai pensiun dini sejumlah pembangkit listrik tenaga batubara. Skenario pembiayaan lain yang dapat ditempuh Pemerintah adalah dengan mereformasi skema subsidi di Indonesia, yang saat ini banyak dikucurkan untuk energi fosil, dan mengalihkannya untuk sektor energi terbarukan. 

Butuh Kolaborasi Semua Pihak untuk Pastikan Implementasi Pakta Iklim Glasgow di Indonesia

Jakarta, 18 November 2021 –Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim ke-26 atau COP-26 telah berakhir pada 13 November lalu. Negosiasi perubahan iklim dunia tersebut menghasilkan Glasgow Climate Pact atau Pakta Iklim Glasgow, yang secara umum memberikan landasan bagi negara-negara untuk segera mengimplementasikan kesepakatan Paris. Pakta ini merupakan keputusan COP pertama yang secara eksplisit menyatakan pengurangan penggunaan energi fosil khususnya batubara. 

Di sisi lain, pakta ini mengakui bahwa komitmen negara-negara secara agregat tidak cukup untuk mencegah pemanasan bumi melebihi satu setengah derajat Celcius di atas suhu era pra industri. Hal ini mengakibatkan pekerjaan rumah untuk memastikan dunia keluar dari krisis iklim menjadi semakin berat. Komunitas Peduli Krisis Iklim menggelar konferensi pers untuk memberikan gambaran tentang apa saja pekerjaan rumah yang harus dilakukan serta memastikan akuntabilitas implementasi Pakta Iklim Glasgow ini dapat terlaksana secara efisien.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif  Institute for Essential Services Reform (IESR), menyatakan bahwa komitmen yang telah disampaikan selama COP26 harus dilengkapi dengan aksi yang konkret. 

“Jadi memang apa yang disampaikan oleh semua negara, termasuk Indonesia sendiri, itu kan sifatnya komitmen. Komitmen dan janji itu tidak akan menurunkan emisi gas rumah kaca, yang menurunkan emisi gas rumah kaca itu aksi. Jadi pasca-COP ini kita ingin melihat bagaimana aksi itu dilaksanakan.” 

​​Salah satu pekerjaan rumah Indonesia yang mendesak adalah transisi dari energi kotor ke energi hijau. Batubara masih merupakan sumber energi listrik yang utama. Menurut Kementerian Energi, 80 persen energi listrik masih bergantung pada batu bara. Indonesia saat ini telah memiliki rencana lanjutan untuk penutupan awal beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU).

Pendapat Fabby ini diamini oleh Dewi Rizki, Program Director For Sustainable Governance Strategic di Kemitraan. Dewi juga menambahkan, percepatan aksi iklim yang dilakukan oleh pemerintah juga harus dilakukan secara transparan dengan berkolaborasi dengan pihak swasta dan masyarakat sipil. 

“Pemerintah juga harus membuka kesempatan kerja sama dengan non-party stakeholders agar (komitmen) yang sudah direncanakan itu bisa berjalan. Kuncinya adalah kolaborasi dari semua sektor,” jelas Dewi.

Menurutnya, kolaborasi dan kerjasama dari semua pihak ini menjadi krusial, karena masing-masing pihak mempunyai peran yang sama pentingnya untuk mencapai target perubahan iklim yang telah disepakati. 

Selain itu, menyinggung peranan Indonesia di kancah internasional terkait aksi iklim, Nadia Hadad, Direktur Eksekutif dari Yayasan Madani Berkelanjutan mendorong agar Indonesia menunjukkan kepemimpinannya dalam upaya dekarbonisasi di semua lini.

“Ini waktunya untuk kita (Indonesia) menunjukkan sebagai leader di tingkat global bahwa Indonesia bisa menjadi negara yang memang leading dalam upaya penurunan emisi di semua sektornya. Harus ada konsistensi kebijakan, lalu juga harus bisa membuat langkah-langkah konkret supaya bisa mencapai ambisi iklim yang sudah kita setujui,” tutur Nadia.Selanjutnya, Nadia menekankan pula akan pentingnya penguatan kapasitas pemerintah daerah dan non-party stakeholders lainnya untuk mendukung aksi iklim yang komprehensif. 

Laetania Belai Djandam, remaja aktivis lingkungan hidup masyarakat Dayak menyatakan, Indonesia sudah harus mampu menunjukkan peningkatan ambisi dan aksi iklim yang signifikan pada saat COP 27 yang akan dilaksanakan tahun depan. 

“Masyarakat harus terus menekan pemerintah, dan menjaga setiap keputusan dan aksi yang pemerintah lakukan accountable (dapat dipertanggungjawabkan),” jelas Laetania.

Komunitas Peduli Krisis Iklim adalah kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap penanggulangan ancaman krisis iklim. Komunitas ini bertujuan mendorong pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan akses masyarakat yang berkelanjutan terhadap hak-hak atas lingkungan.

Green Jobs: Peluang yang Belum Tergarap Baik

Jakarta, 6 November 2021Green Jobs atau lapangan kerja hijau menjadi isu yang mulai banyak diperbincangkan. Masyarakat usia produktif berusaha memahami mengenai lapangan kerja hijau untuk menjawab pertanyaan seperti bidang apa saja yang termasuk dalam lapangan kerja hijau, bagaimana prospek peluang di masa mendatang, juga apa saja hal yang perlu disiapkan untuk bekerja di sektor ini. Project Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia berkolaborasi dengan Indonesia Mengglobal menggelar webinar bertajuk “Green Jobs in Indonesia: Opportunities, Challenges, and Future Outlook” dengan tujuan memberikan gambaran tentang lapangan kerja hijau dari praktisi di berbagai bidang.

Sebelumnya, pihak penyelenggara menggelar mini survei untuk menggali persepsi anak muda tentang green jobs. Survei yang berhasil menjaring sekitar 200 responden ini mengungkap salah satu temuan menarik yaitu lebih dari 90% responden menyatakan bahwa akan lebih memilih perusahaan yang memperhatikan isu lingkungan.

Desi Ayu Pirmasari, peneliti di Universitas Leeds Inggris, menyatakan bahwa green jobs ini begitu luas sektornya. “Green jobs ini sangat luas spektrumnya, tidak terbatas pada spesifik sektor seperti energi saja. Contohnya, saat PNS membuat tata kota yang lebih hijau, staff procurement yang dalam pengadaan barang mempertimbangkan jejak karbon. Pengacara pun bisa menjadi green job bila ia membantu orang lain untuk menghirup udara segar dan memperjuangkan perubahan iklim.” 

Pendapat Desi ini diamini oleh Julius Christian, peneliti bahan bakar bersih IESR, dengan tren penggunaan energi terbarukan yang semakin luas, menurutnya saat ini begitu banyak sektor yang membutuhkan pekerja dengan wawasan keberlanjutan (sustainability), SDGs, dan lingkungan secara umum. 

“Di sektor energi, dalam 5-10 tahun ke depan energi terbarukan akan semakin kompetitif dengan energi fosil, maka transisi energi sudah tidak bisa dielakkan lagi. Dari kajian IESR tentang Deep Decarbonization sendiri, akan ada sekitar 3,2 juta lapangan kerja baru. Tentu ini merupakan kesempatan yang besar dan harus disiapkan dari sekarang,” jelas Julius.

Persiapan sumber daya manusia dan sumber daya finansial ini sangat penting, karena perkembangan teknologi bergerak begitu cepat membutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni dan dukungan pendanaan yang cukup. 

“Jadi jika di masa depan kita ingin memanfaatkan kesempatan (green jobs) ini, misalnya membuat manufacturing plant solar panel di Indonesia, kita harus gerak cepat. Kita harus mempertimbangkan full lifecycle dari semuanya, mulai dari carbon footprint dari manufacturing processnya sampai digunakan, dan hasilnya tidak instan. Kita baru bisa lihat (hasilnya) dalam misal 10 tahun ke depan,” tutur Noor Titan Putri, peneliti pasca-doktoral, Helmholtz-Zentrum Berlin, Jerman.

Jonathan Davy, pendiri dan CEO Ecoxyztem Venture Builder, menyatakan mulai banyak pengusaha berinvestasi pada sektor green jobs. Tantangan pengembangan bisnis ramah lingkungan di Indonesia terletak pada adopsi teknologi ramah lingkungan yang ada. 

“Adopsi teknologi harus memenuhi tiga kategori yaitu desirability (apakah marketnya mau pakai), viability (apakah teknologi dibutuhkan), dan feasibility (apakah bisnisnya memungkinkan untuk berjalan). Saat ini kita juga masih heavily regulated sehingga beberapa bisnis proses masih terkunci,” jelas Jonathan.

Jonathan juga menyoroti perkembangan sumber daya manusia yang menurutnya perlu perubahan pola pikir dari semula mengenai seberapa banyak lapangan kerja yang dapat menyerap tenaga kerja menjadi seberapa banyak orang yang dapat menciptakan lapangan kerja.

Laporan Climate Transparency 2021: Dampak Perubahan Iklim Nyata, Indonesia Perlu Tingkatkan Aksi Iklimnya

Jakarta, 28 Oktober 2021 – Beberapa hari menjelang COP 26 di Glasgow, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Climate Transparency Report, Profil Negara Indonesia 2021. Secara khusus, laporan tahunan tentang aksi iklim negara-negara G20 ini, menyoroti aksi iklim Indonesia yang meliputi adaptasi, mitigasi dan mobilisasi keuangan untuk penanganan perubahan iklim. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam sambutannya menyampaikan bahwa peluncuran laporan Climate Transparency ini sangat relevan dengan COP26 karena laporan ini mengukur  pencapaian  aksi iklim Indonesia apakah selaras target Persetujuan Paris atau tidak.

“Waktu kita tinggal kurang dari satu dekade untuk memastikan kenaikan temperatur global di bawah 1,5 derajat celcius. Indonesia juga disorot selain karena kita negara anggota G20, juga karena Indonesia berada di peringkat 10 besar negara penghasil emisi terbesar di dunia,” jelas Fabby. 

Untuk itu, menurut Emil Salim, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI yang juga merupakan pakar di bidang lingkungan hidup, para pembuat kebijakan di Indonesia perlu menetapkan kebijakan politik yang mampu menurunkan emisi karbon dan mencapai netral karbon pada tahun 2050 demi kelangsungan hidup generasi mendatang. 

“Nasib generasi muda pada tahun 2050 tergantung pada keputusan politik yang kita buat sekarang. Jangan hanya memikirkan keuntungan ekonomi saat ini, karena generasi muda ini yang akan menanggung konsekuensi dari pilihan yang tidak mereka buat. Pikirkan apa yang akan terjadi pada bangsa Indonesia apabila dampak perubahan iklim semakin buruk,” ucap Emil Salim.

Memaparkan laporan aksi iklim Indonesia, Lisa Wijayani, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR menggarisbawahi bahwa aksi iklim Indonesia masuk dalam kategori “highly insufficient” atau sangat tidak memadai dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Penggunaan energi fosil mencapai 82% pada tahun 2020 membuat sektor energi sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di indonesia (45,7% selain emisi dari hutan dan penggunaan lahan).

Berdasarkan temuan Climate Transparency, Lisa menjelaskan bahwa tahun 2020 seharusnya menjadi puncak penggunaan batubara dan mulai tahun 2030-2040 penggunaannya harus sedikit demi sedikit dikurangi hingga tidak lagi digunakan.

“Selain itu, untuk mengurangi emisi dari sektor transportasi, Indonesia harus meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 40-60% pada tahun 2040 atau 70-90% pada tahun 2050,” jelas Lisa terkait sub sektor penghasil emisi terbesar kedua yakni transportasi. 

Laporan Climate Transparency juga mendorong penciptaan ekosistem yang mendukung pengembangan energi terbarukan di antaranya dengan menghentikan subsidi pada energi fosil.

“Pencabutan subsidi akan membantu energi terbarukan bersaing dengan energi fosil,” imbuh Lisa. 

Dari sisi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan, Budi Haryanto, Epidemiologis Universitas Indonesia, memaparkan tingginya angka kematian akibat kenaikan suhu bumi.

“Diperkirakan pada 2030-2050, perubahan iklim akan menyebabkan tambahan kematian per tahun sebanyak ¼ juta orang akibat malnutrisi (kekurangan nutrisi), malaria, stres akibat gelombang panas,” terangnya.

Lebih jauh, Budi mendorong agar pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan mempunyai data kesehatan yang berhubungan dengan adaptasi perubahan iklim.

Secara frekuensi, bencana akibat iklim semakin meningkat. Hal ini disampaikan oleh Raditya Jati, Deputi Sistem dan Strategi, Badan Nasional Penanganan Bencana. Ia menambahkan, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki risiko cukup tinggi terhadap bencana alam.

“7 dari 10 bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi dan frekuensinya tahun ini lebih tinggi dari tahun 2020,” tutur Raditya. 

Agar emisi GRK berkurang secara signifikan, transformasi juga perlu dilakukan di sektor ekonomi, dengan beralih ke ekonomi hijau. Eka Chandra Buana, Direktur Perencanaan Makro Ekonomi dan Analisis Statistik, Bappenas menyampaikan bahwa ekonomi hijau menjadi game changer bagi perekonomian Indonesia pasca Covid-19. Menurutnya, pembangunan rendah karbon dengan memanfaatkan energi terbarukan akan menjadi tulang punggung untuk mencapai target ekonomi hijau Indonesia dan net-zero emission pada tahun 2060.

“Perhitungan Bappenas, untuk mencapai net-zero pada tahun 2060, Indonesia harus meningkatkan penggunaan EBT hingga 70% pada tahun 2050, dan 87% pada 2060. Perhitungan ini masih dalam proses,” tutur Eka Chandra.

Suksesnya pembangunan rendah karbon tentu memerlukan peran serta semua pihak, terutama pemerintah kota.  Bernardia Tjandradewi, Sekretaris Jenderal United Cities and Local Governments Asia Pacific (UCLG ASPAC) mengemukakan tanggung jawab pemerintah kota menjadi vital, terutama secara statistik, 60-80% emisi gas rumah kaca di dunia ini dihasilkan di daerah perkotaan. 

“UCLG ASPAC mendorong peran para kepala daerah (walikota) dalam penanganan perubahan iklim dengan memberikan pelatihan pada pemerintah kota tentang perencanaan aksi iklim, akses pada pembiayaan terkait iklim, dan adopsi dan pengembangan perangkat monitoring,” jelas Bernardia.

Apapun solusi untuk menurunkan emisi GRK, termasuk melakukan transisi energi menuju energi terbarukan, haruslah dilakukan secara adil. Desi Ayu Pirnasari, Peneliti di Universitas Leeds, menekankan transisi yang berkeadilan akan membentuk ketahanan iklim dan inklusi sosial di masyarakat. 

“Strategi hendaknya mengedepankan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan ownership (kepemilikan) pada agenda yang kita buat, untuk membantu kita mencapai target. Keadilan iklim tidak hanya pada mitigasi atau aksi, namun juga untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang rentan,” tegasnya.