Pemerintah Indonesia Perlu Komitmen Kuat untuk Cegah Krisis Iklim

CAT

Jakarta, 6 Desember 2022 – Saat ini dunia mengalami perubahan iklim yang berpengaruh terhadap peningkatan intensitas bencana iklim dan mengancam  kehidupan manusia dan keanekaragaman hayati. Untuk itu, diperlukan komitmen pemerintah dan target yang konkret untuk  menurunkan emisi emisi. Salah satunya dengan menetapkan target yang lebih ambisius dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) yang telah disampaikan Indonesia pada September 2022 lalu,  yang berisikan peningkatan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sekitar 2%.

Berdasarkan dokumen NDC terbaru, Indonesia bertekad mengurangi emisi dengan skenario kemampuan sendiri (unconditional) sebesar 31,8% dan dengan bantuan internasional (conditional) sebesar 43,2% pada 2030. Namun berdasarkan penilaian target dan ambisi iklim Indonesia tersebut oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan anggota dari  Climate Action Tracker (CAT), konsorsium tiga think tank yang melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kebijakan perubahan iklim di 39 negara dan Uni Eropa. IESR dan CAT menilai, NDC Indonesia sampai saat ini belum linear dengan target 1,5°C. Secara angka lebih kuat, tetapi masih belum mendorong aksi iklim lebih lanjut. Indonesia kemungkinan besar akan mencapai targetnya (kecuali kehutanan) tanpa upaya tambahan, sementara emisinya hampir dua kali lipat saat ini. Untuk itu, Indonesia perlu memperbarui Skenario Bisnis seperti-Biasa (BAU) agar linier dengan target yang lebih kuat.

“Indonesia berkontribusi terhadap pemanasan global, untuk itu diperlukan target penurunan gas rumah kaca (GRK) yang lebih ambisius. Semakin terlambat kita menghambat GRK maka risiko bencana iklim akan semakin besar. Misalnya saja bencana banjir, puting beliung, hal ini menandakan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi peristiwa tersebut juga lebih tinggi dan diperlukan penyelesaian yang tepat. Untuk itu, environmental cost perlu dihitung untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” jelas Fabby Tumiwa  Direktur Eksekutif IESR pada peluncuran hasil penilaian CAT terhadap aksi dan kebijakan iklim Indonesia.

Shahnaz Nur Firdausi, Peneliti Energi dan Iklim, IESR menyatakan,  energi terbarukan hanya menyumbang 13,5% dari bauran pembangkit listrik pada tahun 2021, Indonesia perlu membuat kemajuan substansial untuk memenuhi target 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Beberapa penelitian telah menunjukkan bagaimana Indonesia dapat meningkatkan penggunaan potensi energi terbarukannya jauh melampaui rencana saat ini dan memasok 100% listriknya dengan sumber terbarukan pada tahun 2050.

“Walaupun batubara masih memainkan peran utama dalam sistem kelistrikan Indonesia, pemerintah telah merencanakan penghentian PLTU. Namun demikian,  untuk memenuhi batas suhu 1,5°C, penggunaan batubara di Indonesia harus turun hingga 10% pada tahun 2030 dan dihentikan secara bertahap pada tahun 2040.  Indonesia akan membutuhkan dukungan keuangan yang signifikan untuk merencanakan penghentian PLTU sesuai dengan Persetujuan Paris,” jelas Shanaz. 

Perencana Ahli Madya, Direktorat Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),  Erik Armundito menegaskan, pihaknya memiliki kebijakan pembangunan rendah karbon, yang terintegrasi dengan prioritas nasional RPJMN 2020-2024, dilengkapi juga dengan strategi indikator dan target yang jelas setiap tahunnya. 

“Indikator makro yang dimaksud yakni persentase potensi penurunan GRK dengan target 27,3% di tahun 2024 dan persentase penurunan  intensitas GRK dengan 31,6% di tahun 2024. Penetapan target ini menjadi langkah maju Indonesia dalam pelestarian lingkungan. Selain itu, Bappenas memiliki aplikasi AKSARA untuk  pemantauan, evaluasi, dan pengendalian terhadap penurunan emisi GRK yang dihasilkan dari pembangunan rendah karbon,” jelas Erik. 

Direktur Eksekutif Yayasan Madani, Nadia Hadad menuturkan, diperlukan kolaborasi berbagai pihak untuk mendorong pencapaian target 1,5°C. Berbagai pihak harus memiliki peran dan berkontribusi. 

“Kita semua memiliki peran. Laporan CAT ini bukan mengkritik, tetapi untuk mendorong agar langkahnya lebih baik. Semuanya dilakukan untuk menyelamatkan bumi, untuk itu diperlukan akuntabilitas dan transparansi,” papar Nadia Hadad. 

Mahawan Karuniasa, Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIKI) menuturkan, emisi karbon yang dihasilkan seluruh negara di dunia diproyeksikan tidak boleh lebih dari 33 gigaton pada tahun 2030 untuk menjaga suhu bumi tidak lebih dari 1,5°C. Meski demikian, perkiraan emisi karbon yang dihasilkan mencapai 58 gigaton. 

“Apabila terdapat implementasi NDC di seluruh negara, maka perkiraan emisi bisa menurun menjadi 53-56 gigaton pada tahun 2030. Yang berarti masih ada gap yang besar sekali antara 20-23 gigaton. Jika gap tersebut tidak bisa dipenuhi semua negara, termasuk Indonesia, maka kita bisa mencapai di atas 1,5°C,” papar Mahawan. 

Sonny Mumbunan,  ekonom juga peneliti dari Research Center for Climate Change Universitas Indonesia, memandang perlu pula membahas bagian pembiayaan iklim secara mendalam pada  laporan Climate Action Tracker.

“Ketika Indonesia masuk menjadi anggota G20 dengan dinarasikan memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, hal ini menjadi dilema tersendiri bagi Indonesia. Mengingat, Indonesia juga masih perlu dana dari negara lain. Hal ini juga mempengaruhi cara kita mendekati sektoral di energi, di sektor berbasis lahan maupun sektor loss and damage. Kelihatannya Indonesia memerlukan pendekatan berbeda berdasarkan profiling dirinya, yang berada antara negara maju maupun negara berkembang,” tegas Sonny. 

Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Paris Agreement yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. CAT telah memberikan analisis independen terhadap sekitar 40 negara sejak 2009. Anggota CAT terdiri dari Climate Analytics, New Climate Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bergabung sebagai mitra sejak 2022.  

Menilik Upaya Peningkatan Konsumsi Listrik di Indonesia

Sinergi Stakeholder dalam Upaya Peningkatan Elektrifikasi dan Konsumsi Listrik per Kapita di Indonesia

Surabaya, 25 November 2022 –  Energi listrik menjadi satu di antara kebutuhan manusia yang tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan sehari-hari. Peningkatan akses terhadap listrik melalui rasio elektrifikasi 100% perlu pula dibarengi dengan penyediaan sumber listrik yang ramah lingkungan. 

Akbar Bagaskara, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan,  Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara forum diskusi publik dengan tema “Sinergi Stakeholder dalam Upaya Peningkatan Elektrifikasi dan Konsumsi Listrik per Kapita di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM, menyebutkan, bahwa terdapat lima negara di ASEAN yang belum mencapai rasio elektrifikasi 100% yakni Kamboja, Laos, Myanmar, Indonesia dan Filipina. 

“Berdasarkan data ASEAN Center of Energy per 2021, Indonesia menempati rasio elektrifikasi 99%, disusul Filipina 97%, Laos menempati 95%, Kamboja 81% dan Myanmar masih 51%. Indonesia dan Filipina belum mencapai rasio elektrifikasi 100% karena kondisi negara yang kepulauan. Kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri dibandingkan negara ASEAN lainnya yang merupakan daratan, lebih mudah menyalurkan listriknya,” terang Akbar. 

Menilik lebih dalam terkait rasio elektrifikasi, tak bisa lepas dari keterkaitannya dengan konsumsi energi listrik di Indonesia. Menurut Akbar, konsumsi energi listrik dalam sektor rumah tangga mayoritas digunakan untuk penerangan. Sedangkan untuk masak masih cenderung menggunakan gas (LPG), dengan rasio konsumsi energi total di sektor rumah tangga mencapai 49%. 

“Adanya kondisi ini menciptakan potensi untuk meng-elektrifikasi kompor yang digunakan sektor rumah tangga, menggantikan LPG,” ujar Akbar. 

Selain itu, mengutip data KESDM, kata Akbar, elektrifikasi di  sektor transportasi,  masih cenderung rendah, berkisar hanya 1%. Menurutnya, adanya program Pemerintah Indonesia yang menggalakkan mobil listrik dinilai cukup krusial untuk meningkatkan adopsi kendaraan listrik. 

“Pemanfaatan sepenuhnya potensi elektrifikasi akan menciptakan peluang menaikkan konsumsi listrik di sektor transportasi dan rumah tangga,”tegas Akbar. 

Akbar memaparkan, penggunaan energi listrik di Indonesia dan negara ASEAN lainnya masih hanya berkisar 20%. Hal ini bisa dilihat berdasarkan data konsumsi energi per kapita periode 2018-2021. Di sisi lain, berdasarkan RENSTRA KESDM 2020-2024, target konsumsi listrik per kapita Indonesia adalah 1.408 kWh. Sementara itu, rata-rata konsumsi listrik di ASEAN sendiri sudah sekitar 3.672 kWh per kapita.

“Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu untuk meningkatkan konsumsi listrik, namun demikian sektor hulu yakni pembangkit energi listrik harus mendapatkan perhatian juga. Selain itu, Indonesia juga bisa menggunakan  potensi energi terbarukan dalam sektor ketenagalistrikan,” ucap Akbar. 

Kepala Bidang Ketenagalistrikan Dinas ESDM Jawa Timur, Waziruddin menyatakan, berdasarkan rasio elektrifikasi 99,32% pada tahun triwulan III, tahun 2022, masih terdapat rumah tangga yang belum menikmati sambungan listrik. Hal ini juga bisa dilihat dari jumlah rumah tangga miskin (RTM) di Jawa Timur yang belum berlistrik sekitar 126.708. Namun pihaknya telah menganggarkan sekitar Rp 12 miliar hibah instalasi rumah pada tahun 2023 dan berbagai bantuan lainnya untuk menyediakan akses listrik kepada rumah tangga tersebut. Selain itu, Waziruddin menegaskan, Pemprov Jawa Timur juga terus mendorong kebijakan transisi energi untuk meningkatkan ketahanan energi. 

“Misalnya saja dengan pemanfaatan gas bumi sebagai substitusi energi batubara pada pembangkit listrik, mengingat Jawa Timur kaya akan potensi gas bumi. Selain itu, beberapa industri di Jawa Timur juga telah memasang PLTS atap, pengembangan pembangkit listrik biomassa dan pemanfaatan biofuel,” papar Waziruddin. 

Edy Pratiknyo,  Sub Koordinator Fasilitasi Hubungan Komersial Usaha, Kementerian ESDM menyatakan, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan mendorong percepatan peningkatan konsumsi listrik.

“Dengan program peningkatan konsumsi listrik, Pemerintah mendorong melalui percepatan perizinan berusaha infrastruktur pengisian Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB),” pungkas Edy. 

 

Merencanakan Penyediaan Listrik Sesuai Persetujuan Paris

Jakarta, 24 November 2022 – Listrik telah menjadi kebutuhan primer sekaligus penggerak ekonomi bagi seluruh orang. Permintaan listrik diprediksi akan terus meningkat baik dari sektor industri maupun dari sektor residensial. Demi memenuhi permintaan tersebut serta menurunkan emisi di sektor energi, perencanaan dengan pemanfaatan energi terbarukan yang lebih besar patut dirancang dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik). 

Dalam RUPTL 2021-2030, PLN berencana untuk menambah kapasitas energi terbarukan hingga 51,6%. Sayangnya besaran target ini belum cukup untuk memenuhi target Persetujuan Paris, yaitu membatasi emisi dan kenaikan suhu global pada tingkat 1,5 derajat celcius. 

Akbar Bagaskara, peneliti sistem kelistrikan IESR, dalam peluncuran laporan studi Enabling High Share of Renewable Energy in Indonesia’s Power System by 2030 menjelaskan bahwa sebagai negara yang berada pada peringkat 10 besar penghasil emisi terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menurunkan emisinya secara sistematis. 

“Elektrifikasi pada semua sektor mulai dari industri, transportasi, dan sektor lainnya serta pemanfaatan energi terbarukan secara maksimal adalah kunci utama untuk menurunkan emisi Indonesia untuk kemudian mengejar target Paris Agreement,” jelas Akbar.

Akbar menjelaskan bahwa kapasitas energi terbarukan yang dapat ditambahkan ke dalam sistem mencapai 129 GW terdiri dari energi surya sebesar 112,1 GW, energi air 9,2 GW, panas bumi 5,2 GW, energi bayu (angin) 1,5 GW, dan biomassa sebesar 1 GW.

Akbar juga menambahkan studi ini merupakan kelanjutan dari studi Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang diluncurkan IESR pada tahun 2021 lalu yang melihat kemungkinan sistem energi Indonesia mencapai status net zero emission (NZE) dengan menggunakan 100% energi terbarukan. 

Kamia Handayani, EVP Energy Transition and Sustainability PT PLN, menjelaskan bahwa RUPTL 2021-2030 memang belum sesuai untuk mengejar target Paris Agreement. 

“RUPTL memang belum sepenuhnya align dengan persetujuan Paris karena masih ada batubara yang terlibat. Kami (PLN) memiliki beberapa skenario untuk mencapai NZE, berdasarkan roadmap NZE PLN sampai 2060, CCS bisa menjadi teknologi yang dimanfaatkan. Namun, kami harus terus melihat perkembangan teknologi kedepannya untuk memenuhi target NZE,” kata Kamia.

Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst IEEFA, menambahkan bahwa untuk align dengan target Paris Agreement, perlu ada satu badan yang memonitor pelaksanaan dan pembangunan energi terbarukan.

“Perlu ada suatu badan yang memastikan target pembangunan dan pengadaan energi terbarukan yang misalnya dikeluarkan pemerintah di sistem ketenagalistrikan sehingga curtailment dapat diantisipasi,” tutur Elrika. 

Ikhsan Asa’ad, Ketua Dewan Eksekutif PJCI, menyoroti pentingnya membangun industri energi terbarukan seperti surya dalam negeri yang kuat untuk memenuhi target energi terbarukan yang ambisius.

“Harga renewable saat ini masih relatif lebih mahal daripada listrik PLN, namun semakin masifnya penggunaan diharapkan harganya makin kompetitif. Industri lokal harus mulai disiapkan untuk memenuhi kenaikan kebutuhan komponen energi terbarukan di dalam negeri,” tegasnya. 

Eko Adhi Setiyawan, Dosen, Universitas Indonesia, mengatakan perlu adanya manajemen permintaan (demand management) untuk memobilisasi pelanggan. Selain itu perlu untuk menerjemahkan terminologi Paris Agreement dalam target yang lebih konkrit.

Pengusaha Listrik Swasta Siap Dukung Pemerintah Indonesia Bertransisi secara Adil

Bali, 15 November 2022 – Mewujudkan transisi energi berkeadilan memerlukan dukungan dan partisipasi banyak pihak, baik dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Para pengusaha listrik swasta yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) pada euforia KTT G20 mendeklarasikan dukungan dan kesiapannya untuk bertransformasi menuju sistem ketenagalistrikan yang ramah lingkungan. Hal ini merupakan bagian dari  i salah satu isu prioritas G20.

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rida Mulyana dalam acara IPP Dialogue on Energy Transition, yang diselenggarakan oleh APLSI dan Institute for Essential Services Reform (IESR), menegaskan bahwa Indonesia serius untuk bertransisi menuju sistem energi yang lebih rendah karbon dan berkelanjutan.

“Melalui Perpres 112/2022, Indonesia berencana untuk tidak menambah PLTU baru setelah tahun 2030 kecuali PLTU-PLTU yang sudah kontrak dan dalam masa konstruksi,” Rida menjelaskan.

Dirinya melanjutkan, bahwa hasil studi Kementerian ESDM menunjukkan terdapat 16,8 GW PLTU di 33 lokasi yang dapat dipensiunkan. Namun saat ini kendala finansial masih menghambat sebab biaya yang dibutuhkan untuk mempensiunkan PLTU akan semakin banyak jika pensiun PLTU dilakukan secepat mungkin.

Modeler IEA, Thomas Spencer mengingatkan bahwa penghentian operasi PLTU bukanlah tujuan akhir dari transisi energi.

“Tentu penghentian PLTU bukanlah tujuan utama dari transisi energi. Adanya kerangka kebijakan, ekosistem lokal dan investasi yang memungkinkan Indonesia mengambil keuntungan dari energi terbarukan yang lebih murah harus menjadi tujuan utama transisi energi di Indonesia,” tutur Thomas.

Direktur Program Pembinaan Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM, Wanhar kembali menyatakan pentingnya ketersediaan pembiayaan yang terjangkau selama proses transisi energi di Indonesia.

“Untuk menghentikan PLTU kita perlu meremajakan jaringan (grid), memastikan harga listrik dari energi terbarukan terjangkau, dan listrik tersedia bagi semua,” jelasnya.

Untuk mendapatkan bunga yang rendah untuk pembiayaan transisi energi adalah satu tantangan lain. Martin Syquia, Deputy Chief Finance Officer ACEN Filipina, membagikan pengalamannya dalam meyakinkan berbagai pihak untuk meninggalkan batubara.

“Memberikan pemahaman kepada investor dan pemilik modal tentang risiko jika tetap berinvestasi pada batubara itu sulit. Di sisi lain, proyek pengembangan energi terbarukan belum bankable sebab tidak mendapat pendanaan yang murah,” jelas Martin.

Instrumen pendanaan berbasis pasar, dengan memodifikasi skema energy transition mechanism (ETM) milik ADB akhirnya dikembangkan oleh ACEN dengan menggandeng sejumlah bank sebagai lender.

Dialog dilanjutkan dengan diskusi panel yang banyak membahas tentang strategi pendanaan transisi energi Indonesia. Skenario apa yang saat ini sudah terlihat hingga, hal-hal apa saja yang perlu diwaspadai dari proses transisi energi.

Pradana Murti, Direktur PT SMI (Sarana Multi Infrastruktur), menyatakan tantangan transisi energi ini besar karena hal ini menyangkut transformasi ekonomi. 

“Pada dasarnya kami melihat ini bukan sekedar transformasi di sistem energi namun transformasi ekonomi secara besar-besaran terutama untuk daerah penghasil fosil (batubara) yang menggantungkan ekonominya selama ini pada komoditas tersebut,” terang Pradana. 

Hal ini diakui oleh David Elzinga, Senior Energy Specialist ADB, bahwa batubara dan PLTU telah menggerakkan ekonomi berbagai negara di dunia, sayangnya pertumbuhan ekonomi ini harus dibayar mahal dengan adanya perubahan iklim.

“ADB terus mendukung transisi energi menuju net-zero emission dan memastikan proses penghentian operasi PLTU berjalan lancar, dengan prinsip fair and ambitious sehingga kebutuhan untuk pensiun PLTU berjalan beriringan dengan kebutuhan listrik dan pertumbuhan ekonomi,” kata David.

Arthur Simatupang, Ketua Umum APLSI, menjelaskan bahwa APLSI berkeinginan untuk mengoptimalkan peran swasta sebagai mitra pemerintah dalam membangun sistem kelistrikan yang handal berdasarkan transisi energi yang berkeadilan (just energy transition) dengan melakukan diversifikasi investasi pembangkit dari berbagai sumber energi yang bersifat terbarukan yang potensinya sangat besar di Indonesia.

“Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) mendukung rencana Pemerintah Indonesia dan kebijakannya yang mendorong dekarbonisasi dan transisi energi dan siap melakukan transformasi agar tetap berkontribusi dalam kelistrikan nasional yang mandiri, semakin ramah lingkungan dan berkelanjutan, demi mendukung target Net Zero Emissions Pemerintah Indonesia,” ungkap Arthur dalam deklarasi Inisiatif Transisi Energi Berkeadilan oleh Produsen Listrik Swasta Indonesia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menekankan pentingnya untuk membuat project pipeline energi terbarukan untuk menjamin ketahanan energi. 

“Dalam studi IESR dan University of Maryland, untuk selaras dengan Persetujuan Paris Indonesia harus mempensiunkan 9,2GW PLTU yang 50% dimiliki oleh swasta (IPP). Maka kami menilai keterlibatan IPP disini penting,” tutur Fabby.

Fabby juga menambahkan bahwa transisi yang berkeadilan tidak akan terjadi dengan mudah. Untuk itu, dibutuhkan kerjasama, kolaborasi, dan komitmen dari berbagai sektor dan pemangku kepentingan.

Potensi Peran Sektor Industri dan Komunitas Dalam Transisi Energi Berkeadilan

Semarang, 10 November 2022 – Transisi energi menjadi fokus banyak pihak akhir-akhir ini. Bukan hanya pemerintah yang memiliki tanggungjawab untuk menyediakan energi yang bersih dan terjangkau bagi seluruh penduduk, sektor industri juga mulai beralih pada energi bersih melalui berbagai upaya. Bagi perusahaan, daya saing produk secara global saat ini juga ditentukan oleh bagaimana proses manufaktur dilakukan secara efisien dan dengan menggunakan sumber-sumber energi berkelanjutan. Kolaborasi aksi berbagai sektor dalam penggunaan energi terbarukan akan mendukung percepatan transisi energi secara nasional. 

Untuk melihat lebih dekat berbagai inisiatif dari sektor industri dan masyarakat ini, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Institute for Essential Services Reform menyelenggarakan kegiatan Jelajah Energi Terbarukan Jawa Tengah pada tanggal 10 – 11 November 2022. Jelajah Energi ini merupakan kegiatan kedua setelah pada bulan Juni lalu dilaksanakan kegiatan serupa dengan fokus destinasi yang berbeda.

Perjalanan dimulai dengan mengunjungi CV Jaya Setia Plastik, Demak, untuk melihat bagaimana industri mainan anak-anak ini menghemat penggunaan listrik dengan memasang PLTS atap secara on-grid (terhubung jaringan PLN) sebesar 470 kWp. 

PLTS Atap di CV Jaya Setia Plastik
PLTS Atap di CV Jaya Setia Plastik

“Saat ini sebenarnya yang terpasang di atap kami sebesar 1300 kWp namun yang tersambung dengan PLN baru sebanyak 470 kWp, lainnya belum kami gunakan karena saat ini kami terkendala aturan yang membatasi pemasangan PLTS atap hanya boleh maksimal 15% dari total daya terpasang,” jelas Wahyu yang menemui rombongan jelajah energi.

Kendala serupa juga dialami Djarum Kretek Oasis yang berlokasi di Kudus, Jawa Tengah. Memiliki beberapa jenis inisiatif green industry seperti penggunaan boiler biomassa, PLTS atap, pond penampungan air yang dilengkapi dengan fasilitas pengolahan limbah air, Djarum masih bertekad untuk terus menambah kapasitas energi terbarukannya. 

“Luas atap kami masih dapat menampung lebih banyak PLTS namun karena batasan aturan yang ada kami belum dapat menambah kapasitas,” kata Suwarno, Deputy General Manager Engineering PT Djarum. 

Pembatasan kapasitas PLTS ini sudah menjadi perhatian berbagai pihak karena telah menjadi salah satu hambatan untuk konsumen, utamanya sektor industri untuk memasang ataupun menambah kapasitas PLTS atapnya. Saat ini, Kementerian ESDM dan PLN sedang dalam proses merevisi Permen ESDM no. 26/2021 yang mengatur tentang pemasangan PLTS atap bagi konsumen PLN.

Selain memanfaatkan PLTS, Djarum Oasis juga merancang skema keberlanjutan untuk pabriknya dengan komprehensif mencakup berbagai aspek salah satunya dengan memanfaatkan hasil pruning pohon trembesi yang ditanam pada sejumlah ruas tol sebagai bagian CSR nya sebagai wood chip (potongan kayu) untuk bahan bakar boiler biomassa. 

Perjalanan hari pertama berlanjut menuju PLTSa Putri Cempo, yang berada di daerah Surakarta. PLTSa ini telah menandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dengan PLN dan akan COD pada akhir tahun 2022. Dijelaskan oleh Elan Suherlan, Direktur PT SCMP (Solo Metro Citra Plasma), PLTSa Putri Cempo ada untuk mengatasi permasalahan sampah di kota Surakarta yang tidak lagi mampu ditampung oleh Tempat Pengolahan Sampah. PT SMCP yang memenangkan tender untuk pembangunan PLTSa ini memulai konstruksi sejak 2021. 

 

“Nantinya PLTSa Putri Cempo akan menghasilkan listrik sebesar 5 MW dan akan disalurkan ke PLN,” tutur Elan. 

Yang perlu dicermati adalah penghitungan yang jelas terhadap emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembangkitan listrik berbahan bakar sampah ini.

Jelajah Energi hari pertama ditutup dengan mengunjungi Desa Krendowahono yang telah memanfaatkan gas rawa (biogenic shallow gas) untuk 30 rumah warga. Gas biogenik dihasilkan dari senyawa organik seperti tanaman dan rerumputan yang membusuk dan terurai dengan bantuan bakteri. Karena berasal dari residu senyawa organik, umumnya gas biogenik ditemukan di lapisan tanah yang dangkal. Karena jumlahnya yang relatif kecil dan tersebar, gas biogenik harus dimampatkan (dinaikkan tekanannya) sehingga mudah untuk dialirkan dan digunakan.

Beberapa desa di Jawa Tengah memiliki potensi gas biogenik yang cukup banyak antara lain di desa Gabus, Kecamatan Ngrampal, Sragen, Desa Rajek, Grobogan, Desa Bantar dan Desa Pegundungan di Banjarnegara, yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif untuk memasak. Instalasi pemanfaatan gas biogenik ini juga relatif rendah dan bisa digunakan secara komunal.

Solihin, kepala RT 6, Desa Krendowahono, menjelaskan penemuan gas rawa ini berawal dari warga yang akan membuat sumur untuk sumber air namun ketika pada kedalaman tertentu saat ditemukan air, airnya justru dapat terbakar. 

“Setelah kami lapor dan ada tim yang turun untuk memeriksa ternyata gas ini dapat dimanfaatkan untuk rumah tangga,” tuturnya.

Ibu Uni, salah satu penerima manfaat dari gas rawa ini mengaku dengan menggunakan gas rawa ini dirinya dapat menghemat pengeluaran untuk bahan bakar memasak cukup signifikan.

“Biasanya dalam 1 bulan bisa habis 4 tabung gas 3 kg, sekarang sudah 1 saja,” tuturnya sambil menunjukkan dapurnya. Uni mengaku masih menggunakan gas LPG sebagai cadangan bahan bakar untuk memasak sebab kompor dari gas rawa baru 1 tungku. 

Saat ini warga setempat sedang merancang sistem operasional jaringan gas rawa desa Krendowahono ini mulai dari jam operasional mesin, besaran iuran, dan biaya perawatan. 

COP27: Upaya Negara di Dunia Kejar Nir Emisi pada 2050

Mesir, 9 November 2022 – Komitmen yang ambisius negara di dunia untuk mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini menjadi krusial, terutama saat ini suhu bumi telah meningkat menjadi 1,1 derajat Celcius setelah pra industri.  Mengukur kebijakan dan strategi negara di dunia untuk mencapai bebas emisi perlu dilakukan untuk mendorong mitigasi iklim yang sejalan dengan Persetujuan Paris.   

Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo dalam side event COP27 di Sharm El-Sheik, Mesir dengan tajuk Net-0 scenarios and How to Get Them Right” yang diselenggarakan oleh  International Network of Energy Transition Think Tanks (INETTT)  menjelaskan, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menyadari urgensi transisi energi. Hal ini bisa dilihat dari adanya strategi pembangunan rendah karbon dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang menunjukkan manfaat yang besar jika Indonesia mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) bersyaratnya pada 2030, mulai dari pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, penciptaan lapangan kerja, dan membaiknya kualitas kesehatan. 

Namun, Indonesia masih memberikan subsidi energi fosil yang signifikan. Deon menegaskan, kebijakan subsidi energi fossil kontra produktif terhadap upaya melakukan transisi energi dan mencapai dekarbonisasi di pertengahan abad ini. 

“Subsidi energi telah membebani belanja negara, apalagi dengan kenaikan harga komoditas pada tahun 2022. Subsidi energi menjadi “hambatan” transformasi energi, reformulasi subsidi energi menjadi agenda prioritas pemerintah,” tegas Deon. 

Memperhatikan  kondisi tersebut, berdasarkan kajian IESR berjudul “Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System” Deon merekomendasikan, skenario kebijakan terbaik (Best Policy Scenario) untuk pengurangan emisi dalam sistem energi melalui tiga tahap yakni menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030, menghilangkan sebagian besar emisi melalui transformasi sistem energi pada tahun 2045 dan mencapai nir emisi melalui peningkatan produksi bahan bakar sintetis hijau dan dekarbonisasi di sektor industri pada tahun 2050.

“Dengan strategi tersebut, mencapai emisi nol pada tahun 2050 secara teknis dan ekonomis menjadi memungkinkan dan hal ini membuka peluang untuk meningkatkan kebijakan iklim. Tahun 2020-2030 menjadi periode kritis dalam upaya dekarbonisasi,” terang Deon. 

Nhien Ngo To, Vietnam Initiative for Energy Transition menuturkan, Vietnam telah menerapkan strategi mengurangi emisi menjadi net zero emissions pada tahun 2050. Strategi tersebut menetapkan tujuan keseluruhan untuk beradaptasi secara proaktif dan efektif. Kemudian, meminimalkan kerentanan dan kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan iklim.

“Namun, terdapat beberapa tantangan yang masih dihadapi yakni penggunaan energi yang tidak efisien, intensitas energi yang tinggi, kurangnya pembiayaan,, kurangnya tenaga kerja terampil untuk transisi energi, dan kesenjangan dalam koordinasi pemangku kepentingan utama,” jelas Nhien Ngo To.

Dalam kesempatan yang sama, Manajer Program Pendanaan Iklim dan Energi Green Cape, Jack Radmore, menuturkan, Afrika Selatan mempunyai sektor kebijakan dan rencana yang cukup matang terkait ekonomi hijau dan dekarbonisasi. Hal ini bisa dilihat strategi respon perubahan iklim nasional sejak tahun 2004 yang telah ditingkatkan dan diadaptasi selama bertahun-tahun.

“Afrika Selatan telah membentuk komite percepatan transisi energi dan pemerintah juga telah mengadopsi target pengurangan emisi yang lebih ambisius. Mengingat 90 persen listrik di Afrika Selatan masih bergantung dari PLTU dengan lebih dari 600.000 orang bekerja di sektor pertambangan,” tegas Jack Radmore. 

Al Kumba, Direktur Transisi Energi, SHURA, menyatakan, Turki telah mengambil langkah signifikan dalam hal dekarbonisasi sektor listrik selama dekade terakhir. Saat ini 50 persen daya terpasang di Turki berasal dari energi terbarukan dan dalam hal pembangkit listrik sekitar 40 persen berasal dari energi terbarukan. Namun, bauran energi Turki masih bergantung pada bahan bakar fosil, hanya sekitar 16 persen yang disuplai energi terbarukan. 

“Dekarbonisasi menjadi hal penting bagi Turki. Beberapa langkah nyata mewujudkan dekarbonisasi yakni Turki telah meratifikasi Perjanjian Paris pada Oktober 2021 dan mengumumkan ambisinya untuk mencapai netral karbon pada 2053. Turki juga memiliki rencana aksi hijaunya yakni membuat pelabuhannya lebih ramah lingkungan dan memperluas hutan dan kawasan lindung, serta Turki menjadi salah satu negara yang memimpin dalam memerangi penggurunan dan erosi,” tegas Al Kumba. 

Melihat Lebih Dekat Perkembangan Energi Terbarukan di Sektor Industri dan Masyarakat di Jawa Tengah

Jawa Tengah, 11 November 2022 – Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berkomitmen untuk mendukung dan mendorong pengembangan energi terbarukan dari sektor industri hingga ke tingkat komunitas. Hal ini bisa dilihat dari beberapa perusahaan dan desa yang telah menerapkan energi terbarukan dalam lingkungannya.  Energi terbarukan merupakan energi yang bersumber dari proses alam yang berkelanjutan. Misalnya saja energi yang berasal dari tenaga surya, tenaga angin, arus air, proses biologi, dan panas bumi.

Untuk melihat lebih dekat berbagai perkembangan energi terbarukan di sektor industri dan masyarakat di Jawa Tengah, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Jelajah Energi Terbarukan Jawa Tengah dengan tema “Transisi Energi Membangun Industri Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan”  selama dua hari yakni 10-11 November 2022. Pada hari kedua, terdapat dua perusahaan dan desa yang dikunjungi rombongan, yakni PT. Sarihusada Generasi Mahardhika – Prambanan Factory, PT. Tirta Investama-Pabrik Aqua Klaten, dan PLTMH Desa Ngesrep Balong Kendal.

Pemanfaatan Sekam Padi untuk Energi

Sarihusada Generasi Mahardhika – Prambanan Factory telah memiliki boiler biomassa yang telah diresmikan per Juni 2022. Boiler biomassa tersebut menggunakan 10.500 ton sekam padi per tahun dan bisa menghasilkan energi mencapai 6 ton steam per jam. Dengan kemampuannya tersebut, tak heran boiler biomassa industri berbahan bakar sekam padi ini diklaim menjadi pertama di Jawa Tengah. 

Sekam padi yang merupakan limbah pertanian ini didapatkan dari berbagai wilayah di Provinsi Jawa Tengah, termasuk dari lahan pertanian di sekitar fasilitas boiler biomassa, yang merupakan salah satu penyumbang produksi padi terbesar secara nasional. Menurut Joko Yulianto Plant Manager Sarihusada Prambanan Factory, boiler biomassa yang dioperasikan Sarihusada mampu menurunkan emisi karbon sebesar 8.300 ton CO2 atau setara dengan emisi karbon yang diserap melalui penanaman 120.000 pohon, sehingga dapat mengurangi jejak karbon yang dihasilkan dari proses produksi di Pabrik Prambanan hingga 32%.

“Boiler biomassa menjadi alternatif teknologi ramah lingkungan. Energi yang dihasilkan berasal dari sumber alami yang bisa diperbarui. Berupa unsur biologis seperti organisme mati atau tanaman hidup,” terang Joko Yulianto. 

Berdasarkan kajian IESR tahun 2021, potensi biomassa di Indonesia bisa mencapai sekitar 30,73 GW, namun efisiensinya masih di kisaran 20-35 persen. Pemanfaatan biomassa di sektor industri kian populer seiring munculnya target bisnis berkelanjutan, dan karenanya rantai pasok yang andal perlu dipastikan untuk menjamin ketersediaan sumber biomassa. Pasokan biomassa umumnya tidak pasti terutama jika menggunakan limbah tanaman yang musiman, dan dapat diatasi dengan mengidentifikasi limbah hasil perkebunan lainnya seperti kelapa sawit, kelapa dan tebu.

Panel Surya di Pabrik Aqua

Sementara itu, PT. Tirta Investama-Pabrik Aqua, Klaten telah memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap yang diresmikan pada 2020. Terdapat 8.340 unit panel PV terpasang atau sama dengan 16.550 meter persegi, dengan daya per unitnya sekitar 350 watt peak.

PLTS ini dapat menghasilkan listrik sebesar 4 GWh (Gigawatt hour) per tahun yang mampu memasok 15-20% kebutuhan listrik untuk operasional sekaligus mengurangi 3.340 ton emisi karbon per tahun, yang dibangun mulai Agustus 2019 dan membutuhkan 187.200 jam kerja yang dilakukan oleh 130 orang pekerja dengan zero accident,” tegas Plant Director Aqua Klaten, I Ketut Muwaranata.

Berdasarkan laporan terbaru IESR berjudul Indonesia Solar Energy Outlook 2023, sektor industri dan komersial menjadi pendorong terbesar penggunaan PLTS, mencapai hingga 23 MWp pada Oktober 2022.  Selain target bisnis berkelanjutan, khususnya perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam koalisi RE100, pemanfaatan energi terbarukan juga menurunkan biaya produksi. Skema pembiayaan inovatif, seperti zero-capex yang banyak ditawarkan oleh pengembang PLTS menambah daya tarik PLTS atap untuk pelanggan industri.

Dalam 3 tahun terakhir pertumbuhan pengguna PLTS atap di sektor industri semakin naik, dan jika pembatasan 10 sampai 15 persen dari kapasitas yang saat ini diberlakukan PLN tetap berjalan, tren ini akan berubah dan bahkan menurun. Hal ini disayangkan dan justru tidak mendukung berbagai komitmen transisi energi dari pemerintah dan perusahaan; yang sesungguhnya punya peran gotong royong mewujudkan Indonesia net zero emission.

PLTMH terangi Jalan Desa Ngesrepbalong

Berdasarkan kajian IESR tahun 2021, potensi teknik tenaga  mikro-mini  hidro di Indonesia mencapai 28,1 GW di seluruh provinsi Indonesia. Di Jawa Tengah sendiri, potensi teknis PLTMH mencapai 730,3 MW.  Potensi sebesar ini jika dapat dimanfaatkan secara optimal akan mampu  meningkatkan produktivitas masyarakat desa sehingga mendorong terwujudnya akses energi yang berkualitas dan terjangkau serta meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Seperti pada   Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), Desa Ngesrepbalong, Kabupaten Kendal yang dikembangkan oleh pemuda sekitar tahun 2020 silam dan dimanfaatkan untuk aliran listrik di kedai Kopi Pucue Kendal, yang berlokasi di lereng Gunung Ungaran sisi utara. Dalam prosesnya, pemuda desa berhasil menggaet perusahaan BUMN, Indonesia Power untuk melirik dan membantu usaha mereka mewujudkan energi mandiri. 

PLTMH di Desa Ngesrepbalong, Kabupaten Kendal mempunyai kapasitas sekitar 1.000 watt dan bisa menghidupkan puluhan lampu untuk menerangi jalan sepanjang 200 meter menuju kedai kopi serta menyalakan alat memproses kopi di kedai. 

Jelajah Energi Jawa Tengah digelar untuk mengangkat isu transisi energi di Jawa Tengah berbasis industri hijau dan program Kampung Iklim, diseminasi informasi dalam hal urgensi bertransisi energi kepada masyarakat, meningkatkan eksposur industri hijau dan program Kampung Iklim di Jawa Tengah. 

 

Peluncuran ISEO 2023: Indonesia Perlu Target yang Jelas dan Implementasi yang Efektif untuk Kembangkan Energi Surya

Jakarta, 27 Oktober 2022 – Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan Indonesia Solar Energy Outlook 2023. Laporan ini awalnya merupakan bagian dari Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) yang secara rutin diterbitkan setiap tahun sejak 2018. Mulai tahun ini bagian energi surya ini dibuat dalam laporan terpisah untuk memberikan laporan yang lebih mendalam mengenai perkembangan energi surya di Indonesia dan ekosistem pendukung yang dibutuhkan energi surya untuk semakin tumbuh di Indonesia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam sambutannya pada acara Shine Bright: Advancing G20 Solar Leadership yang diselenggarakan oleh IESR dengan dukungan dari Bloomberg Philanthropies, dan berkolaborasi dengan International Solar Alliance, dan Asosiasi Energi Surya Indonesia, menyatakan bahwa harga energi surya tetap kompetitif meskipun terdapat kenaikan harga pada bahan baku pembuatan panel surya. Fabby juga menekankan pentingnya untuk mengembangkan industri surya baik untuk Indonesia maupun  seluruh negara G20 yang menjadi sorotan dalam upaya mengurangi emisi global. 

“Mengembangkan kerjasama di bidang manufaktur surya di antara negara G20 akan mengamankan pasokan produksi modul dan sel surya, menyeimbangkan sistem untuk memenuhi permintaan masa depan, dan mengurangi monopoli produk.”

Pada kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, menekankan perlunya dukungan dari pihak industri dan produsen modul surya lokal untuk memenuhi ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) mengingat Indonesia memiliki bahan-bahan mineral untuk membuat modul surya maupun baterai.

“Kemudahan untuk mengakses pembiayaan, insentif, dan fasilitas pembiayaan lainnya sangat penting untuk menyediakan biaya studi kelayakan dan peningkatan investasi energi terbarukan salah satunya surya,” tutur Arifin.

Ajay Mathur, Direktur Jenderal International Solar Alliance, mengungkapkan bahwa untuk menjadikan energi surya menjadi energi pilihan, terdapat tiga hal yang harus dijadikan langkah strategis. Pertama, menyediakan informasi terkini, analisis, advokasi, serta menjalin relasi dengan berbagai pihak. Kedua, menyediakan sumber daya yang mumpuni supaya investasi energi surya ‘mengalir’, hal ini penting sebab investor akan menilai dan menimbang berbagai situasi yang dapat mempengaruhi pengembalian modal investasi mereka. 

“ISA menyetujui pembuatan fasilitas pembiayaan energi surya yang menyediakan modal jaminan risiko,” jelas Ajay.

Ajay menambahkan, langkah ketiga, penting untuk membangun kapasitas dan kapabilitas dari berbagai pihak yang menangani perkembangan energi surya seperti para pembuat kebijakan, operator, dan regulator.

Daniel Kurniawan, penulis utama laporan Indonesia Solar Energy Outlook 2023 memaparkan sejumlah temuan dari laporan ini. Salah satunya meskipun energi surya semakin mendapat perhatian namun hingga Q3 2022 hanya 0,2 GWp surya yang berhasil di bangun.

“Berdasarkan RUPTL 2021-2030, PLN berencana untuk menambah 3,9 GW energi surya pada 2025, dimana 2,45 GW akan diadakan dengan skema IPP dan 1,45 GW akan dilelang langsung oleh PLN. Namun hingga Q3 2022 hanya delapan proyek IPP dengan kapasitas 585 MWp,” jelas Daniel.

Perpres 112/2022 yang keluar pada bulan September 2022 diharapkan dapat memberikan angin segar bagi transisi energi di Indonesia setidaknya dengan aturan tentang harga energi terbarukan dan instruksi percepatan penghentian PLTU batubara. 

Untuk mendorong percepatan pemanfaatan energi surya, laporan ISEO 2023 merekomendasikan sejumlah langkah, diantaranya agar PLN dapat mengatur jadwal lelang energi terbarukan, utamanya surya untuk tahun 2023. Sebelumnya pemerintah harus membuat target yang ambisius dan mengikat untuk energi terbarukan pada tahun tertentu misal 30% pada tahun 2030, 90% pada 2040, dan 100% pada 2050. Dengan target seperti ini PLN harus memberi ruang bagi energi surya pada jaringan PLN, salah satunya dengan memungkinkan sistem jaringan yang mampu mengakomodasi lebih banyak kapasitas energi surya. ISEO 2023 mencatat, berdasarkan analisis IEA sistem Jawa-Bali dan Sumatera dapat menampung sekitar 10% penetrasi energi surya.

Meskipun secara teknis sistem mampu menangani variabilitas energi surya, tantangan utama dalam merealisasikan penetrasi tenaga surya yang lebih besar adalah ketidakfleksibelan kontraktual (khususnya karena klausul take-or-pay pada perjanjian jual beli listrik PLTU dengan IPP dan juga kontrak pasokan energi primer untuk gas).

Daniel menambahkan, mempertimbangkan kesiapan industri manufaktur surya dalam negeri, besaran persentase TKDN perlu disesuaikan untuk waktu terbatas, misal sampai 2025. Sembari menyiapkan industri manufaktur dalam negeri untuk dekarbonisasi. Terakhir, ISEO 2023 juga merekomendasikan PLN untuk meninjau ulang kebijakan pembatasan pemasangan PLTS atap.

Henriette Faergemann, Environment, Climate Action EU Delegates to Indonesia and Brunei Darussalam, menyatakan penting untuk membuat kebijakan transisi energi yang ambisius dan konsisten untuk memberikan sinyal kuat pada investor dan institusi keuangan supaya mereka tertarik untuk ikut membiayai transisi energi.

“Ada progres baik bagi Indonesia dalam menyusun kebijakannya, namun masih ada berbagai hal yang perlu diperbaiki jika Indonesia ingin ini (transisi energi) terjadi dalam waktu cepat,” Henriette menjelaskan.

Joshua Wyclife, Chief of Operation International Solar Alliance, menyatakan hal senada bahwa perubahan struktural diperlukan dan perubahan ini dimulai dari kebijakan. Joshua juga menyatakan bahwa laporan ISEO ini merupakan salah satu cara meningkatkan kesadaran (awareness) bagi berbagai pihak tentang situasi perkembangan energi surya di Indonesia saat ini. 

“Salah satu cara untuk memaksimalkan potensi surya di Indonesia adalah dengan meningkatkan level dari awareness ke advokasi, oleh berbagai pihak melalui berbagai cara seperti workshop, memfasilitasi program pelatihan dengan sumber daya yang ada,” tutur Joshua.

Sementara itu Rahmat Mardiana, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika Bappenas, menyatakan bahwa laporan ini akan dipelajari lebih lanjut mengingat saat ini pihak Bappenas sedang menyusun dokumen perencanaan pembangunan nasional seperti RPJP dan RPJM dimana salah satunya tentang strategi transisi energi.

“Dengan komitmen kita untuk mencapai target RUEN, Paris Agreement, dan NZE tentu kita harus menyediakan listrik yang handal dengan harga terjangkau, dan lambat laun pembangkit fosil akan digantikan oleh energi terbarukan,” jelas Rahmat.

Dewanto, Vice President Aneka Energi PLN, menyatakan bahwa PLN terus mendukung pengembangan energi terbarukan.

“RUPTL merupakan salah satu wujud nyata dukungan PLN pada energi baru terbarukan. Sesuai RUPTL, hingga awal 2023 PLN akan melelang hampir 1 GW proyek renewable,” kata Dewanto.

Peluncuran ISEO 2023: Memacu Pemanfaatan Energi Surya di Indonesia

Jakarta, 27 Oktober 2022 – Pemanfaatan energi surya di Indonesia perlu didorong secara cepat. Aturan yang jelas, dukungan terhadap industri produksi komponen PLTS, serta peningkatan kapasitas untuk menjawab kebutuhan tenaga kerja di bidang energi surya pun perlu dipersiapkan. 

Menurut data Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2023, secara kapasitas terpasang PLTS terdapat peningkatan dari 43,9 MWp di 2021 menjadi 63,5 MWp di September 2022. Jumlah ini tergolong kecil, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, khususnya Vietnam yang bahkan sudah masuk dalam orde Gigawatt. 

Senda Hurmuzan Kanam, Kepala Balai Besar Survei dan Pengujian Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi memaparkan, kapasitas terpasang PLTS di Indonesia masih dalam tahap awal yakni sekitar 200 MW-400 MW . Ia berpendapat,  Indonesia perlu berkaca dengan Vietnam yang bisa memasang sekitar 10 – 20 GW solar panel per tahunnya. 

“Dibandingkan dengan Vietnam, Indonesia tertinggal jauh. Kita perlu mencari peluang demand untuk energi terbarukan khususnya PLTS. Saat ini, kami memiliki program hibah PLTS atap untuk menarik minat lebih banyak konsumen listrik menggunakan PLTS atap,” jelas Senda dalam acara Advancing G20 Solar Leadership sekaligus peluncuran laporan ISEO 2023 yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dengan dukungan dari Bloomberg Philanthropies, dan berkolaborasi dengan International Solar Alliance, dan Asosiasi Energi Surya Indonesia.  

Senada, Anggota Dewan Energi Nasional, Herman Darnel Ibrahim menyatakan, perkembangan energi surya di Indonesia masih dalam kondisi stagnan, relatif tidak bergerak. Menurutnya, perlu  rencana yang lebih jelas untuk mencapai target  23% bauran energi terbarukan pada 2025 dengan memanfaatkan PLTS.

“Setidaknya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) perlu dengan jelas menunjukkan program energi surya dan semua energi terbarukan dan menyebutkan lokasi potensialnya. Saat ini, RUPTL yang ada hanya membahas seluruh energi terbarukan secara nasional dan tidak menyebutkan lokasi potensialnya secara detail. Padahal, keekonomian baru bisa dihitung setelah adanya lokasi, biaya lokasi dan biaya jaringannya. Jadi sebaiknya membangun resource inventory terlebih dahulu,” jelas Herman. 

Meski terdapat beberapa tantangan untuk percepatan energi surya, Andhika Prastawa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), menuturkan, produksi panel surya akan semakin berkembang dengan syarat tertentu. Misalnya terdapat insentif bagi konsumen yang menggunakan panel surya produksi dalam negeri dibandingkan luar negeri. Selain itu, Andhika menegaskan, terdapat dua ekosistem yang perlu digencarkan untuk percepatan energi surya yakni ekosistem pemanfaatan dan ekosistem industri. 

“Ekosistem pemanfaatan yaitu tenaga surya bisa digunakan di sistem besar maupun isolated. Jadi kita bisa mengakomodasi listrik ke daerah yang belum mendapatkan listrik sama sekali dan tidak memiliki sumber daya lain. Lalu, tumbuhnya ekosistem industri ini berkaitan erat dengan ekosistem pemanfaatannya. Untuk menumbuhkan ekosistem industri diperlukan pasar yang bisa menyerap modul surya,” terang Andhika. 

Sementara itu, Anthony Utomo, Wakil Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menjelaskan, PLTS menjadi sebuah kebutuhan karena adanya gerakan dekarbonisasi dan pendekatan net zero emission (NZE). Namun demikian, terdapat beberapa tantangan untuk menggencarkan PLTS tersebut. 

“Dua tantangan yang dihadapi Indonesia. Pertama, kesiapan user (pelanggan) menggunakan PLTS, sehingga dibutuhkan edukasi yang konsisten dan masif. Saya kira sejalan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017 yang menjadi konsensus bersama, berisi 30% bangunan pemerintah didorong menggunakan PLTS, rumah mewah 25% dan hilirisasi industri. Kedua, skill (keterampilan) tenaga pemasangan PLTS, perlu adanya pembekalan solar preneur atau UMKM hijau sehingga bisa menyambut fenomena penggunaan PLTS atap di seluruh daerah,” tegas Anthony. 

Institute for Essential Services Reform secara konsisten mencatat kemajuan dan tantangan dari pengembangan energi surya dalam kerangka transisi energi pada Indonesia Energy Transition Outlook (IETO). Namun pada 2023, IESR meluncurkan laporan progress energi surya di Indonesia secara terpisah dalam Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2023.