Bali, August 26, 2024 – Kawasan Asia Tenggara diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-4 di dunia pada tahun 2050, dengan PDB meningkat tiga kali lipat dari 3,1 triliun pada tahun 2021 menjadi 10,5 triliun pada tahun 2050 (ACE, 2022). Dengan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, konsumsi energi di kawasan Asia Tenggara juga diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat dari 473,1 Mtoe pada tahun 2020 menjadi 1.281,7 Mtoe pada tahun 2050 (ASEAN Energy Outlook 7th, 2023). Namun ada tantangan besar bagi pertumbuhan ekonomi ini, salah satunya adalah ketergantungan Asia Tenggara pada bahan bakar fosil, dengan minyak (35%), batu bara (20%), dan gas alam (20%) mendominasi kebutuhan energi kawasan dan tercatat berkontribusi terhadap perubahan iklim dan karbon dioksida senilai 1.991 MtCo2eq pada tahun 2020 (ACE, 2023). Praktik kebijakan energi jangka panjang ini tidak dapat disangkal bertentangan dengan upaya global untuk mengurangi 24-27 GtCo2e pada tahun 2030 dan bertentangan dengan target 1,5 derajat Celcius dari Perjanjian Paris (ASEAN, 2021). Di satu sisi, ada beberapa potensi menjanjikan di kawasan ini, seperti ketersediaan sumber daya energi terbarukan yang melimpah – mencapai 17 TerraWatt (TW) serta kapabilitas kawasan untuk mencapai nol emisi karbon dengan 90%-100% energi terbarukan pada tahun 2050 (IRENA and ACE, 2023). Namun, di sisi lain, kawasan Asia Tenggara masih terlihat enggan untuk menetapkan target energi terbarukan yang ambisius karena kurangnya komitmen politik dan investasi energi terbarukan, yang disebabkan oleh kebijakan domestik yang belum berkembang, ketiadaan undang-undang dan reformasi energi terbarukan, serta kondisi pendukung untuk investasi asing secara umum (Vakulchuk, Overland, and Suryadi, 2022).
Dengan adanya urgensi tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Climate Analytics, dan Stanley Center for Peace and Security menyelenggarakan Dialog Regional: Dekarbonisasi Sektor Ketenagalistrikan di Asia Tenggara di Bali pada tanggal 26-27 Agustus 2024. Dialog Regional ini diselenggarakan dengan tujuan memberikan wadah bagi para pemangku kepentingan tingkat tinggi dan institusi terkait lainnya di kawasan Asia Tenggara untuk mendiskusikan tantangan dan peluang saat ini di kawasan, seperti menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Selain itu, dialog ini diharapkan memberikan ruang untuk bertukar pikiran mengenai kerja sama regional dalam mempercepat transisi energi bersih di kawasan untuk nantinya direalisasikan dalam dokumen perencanaan energi regional dan upaya penanggulangan kemiskinan, perubahan iklim, dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Acara ini dihadiri oleh peserta yang beragam, mulai dari sektor pemerintah, swasta, lembaga riset, dan pemangku kepentingan diplomatik lainnya.
Beberapa poin penting yang turut dipaparkan dalam acara ini adalah bahwa dekarbonisasi sektor energi akan tetap menjadi yang terpenting dalam memerangi perubahan iklim karena sektor ini berkontribusi terhadap 79% emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Oleh karena itu, terdapat urgensi yang sangat besar dalam melakukan dekarbonisasi pada sektor-sektor sarat karbon seperti listrik, transportasi, dan konstruksi. Ambisi ini sejalan dengan mandat COP 29, yang menyoroti perlunya meningkatkan penggunaan energi terbarukan (ET) hingga tiga kali lipat dan menggandakan efisiensi energi hingga 11 TW pada tahun 2030, mempercepat upaya pengurangan energi batu bara dan penggunaan sistem energi bersih tanpa emisi, serta menghapuskan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien dan tidak mengatasi kemiskinan energi atau mendukung transisi yang berkeadilan.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyebutkan bahwa ketahanan energi akan selalu menjadi isu penting bagi Asia Tenggara, dan mengoptimalkan skema ASEAN Power Grid yang sudah ada dapat membantu mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan di kawasan ini. Selain jaringan listrik, ASEAN juga memiliki potensi lain yang belum dimanfaatkan, seperti elektrifikasi sektor transportasi melalui pengembangan ekosistem kendaraan listrik dan hilirisasi produksi mineral (nikel dan timah) untuk membuka potensi investasi panel surya dan manufaktur baterai di kawasan ini.
“ASEAN telah memiliki visi bersama untuk menyukseskan dekarbonisasi kawasan ini. Namun, secara kolektif kami sepakat bahwa dekarbonisasi sektor listrik tidak akan menjadi perjalanan yang mudah. Pertama, masing-masing negara di kawasan ASEAN memiliki cara dekarbonisasi yang berbeda-beda. Kedua, dekarbonisasi sektor tenaga listrik membutuhkan banyak dukungan, seperti kebijakan yang tepat, peraturan, insentif, pembiayaan, teknologi yang memadai, dan komitmen politik yang besar. Terakhir, meninggalkan dan beralih dari bahan bakar fosil secara keseluruhan akan menjadi tantangan besar karena selama puluhan tahun terakhir, batu bara selalu menjadi sumber energi termurah dan perspesi ini telah mengakar dan diterjemahkan ke dalam kebijakan energi ASEAN.”
Dengan adanya tantangan tersebut, Fabby menegaskan bahwa “negara-negara di kawasan Asia Tenggara dapat bekerja sama dan memperkuat ekosistem di kawasan. Beberapa poin penting dan perspektif baru yang diusulkan dalam dialog regional ini harus dikomunikasikan dan diterjemahkan kepada para pembuat kebijakan dan pemimpin politik di kawasan Asia Tenggara”.
“Beberapa langkah-langkah penting lainnya juga penting untuk ditindaklanjuti, seperti keberlanjutan dialog dan pembelajaran dengan mitra regional. Komunikasi dan keterlibatan para pembuat kebijakan dan tokoh-tokoh politik juga sangat penting untuk memastikan komitmen politik dan penyusunan kebijakan yang diperlukan untuk mendukung dekarbonisasi. IESR juga akan secara aktif memantau perkembangan transisi energi di Asia Tenggara melalui Southeast Asia Energy Transition Tracker (https://sea.energytransitions.id/) dengan menambahkan laporan transisi energi dari Singapura, Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Laos. Oleh karena itu, IESR menggalang dukungan dan kolaborasi untuk mengembangkan laman pemantauan ini dengan mengundang para kolaborator untuk memperbaharui halaman website tersebut. Dengan meningkatkan transparansi kemajuan ET di kawasan Asia Tenggara, Southeast Asia Energy Transition Tracker akan menjadi referensi perbandingan yang solid dan alat pembanding yang bermanfaat bagi Pemerintah Indonesia,” kata Fabby.