IESR : Kebijakan Menteri Rini Dipenuhi Ruang Gelap

inilah-kendala-proyek-listrik-35-ribu-mwInstitute for Essential Services Reform (IESR) mengkritik kinerja Menteri BUMN Rini Soemarno yang tidak transparan dan acapkali melahirkan kegaduhan.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, kebijakan Menteri Rini, selama ini didesain sangat tertutup. Akibatnya, aspirasi stakeholder yang terlibat atas aturan tersebut tidak bisa tertuang.

Dia mencontohkan, rencana pembentukan holding BUMN merupakan salah satu kebijakan yang tidak dikaji secara komprehensif dan belum melibatkan stakeholder. Imbasnya, kebijakan itu menuai pro-kontra di lapangan.

Holdingisasi dinilai bukan menjadi instrumen untuk memperbaiki kinerja perusahaan pelat merah. Yang terjadi justru sebaliknya, induk holding akan terbebani jika perusahaan pelat merah yang masuk sudah bermasalah.”Jangan gabung yang sakit sama yang sehat. Yang sakit tutup, sehat ya poles. Jadi enggak benar itu merger atau holding,” ujar Fabby.

Dengan latar belakang sebagai pebisnis, Rini seharusnya bisa mendorong perusahaan pelat merah melalui sinergi. Di satu sisi, saat menerbitkan kebijakan Rini dinilai wajib mengkaji dan melibatkan stakeholder. “Dia orang bisnis, tapi rencananya banyak yang enggak make sense secara bisnis,” katanya. [ipe]

Sumber: inilah.com.

Jadi Presdir Freeport, Ini Tugas Berat Chappy Hakim

freeport2PT Freeport Indonesia ‎menunjuk Chappy Hakim sebagai Presiden Direktur menggantikan Maroef Sjamsoeddin yang mengundurkan diri pada Januari 2016 lalu. Namun tugas baru Chappy sebagai orang nomor 1 di Freeport dinilai tidak akan mudah.

Pengamat Energi dari Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan,‎ setidaknya Chappy memiliki 4 tugas berat yang harus selesaikanya di perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut. Pertama terkait dengan evaluasi perpanjangan izin ekspor konsentrat Freeport oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Kita tahu Freeport ini sedang mengalami masa suram. Masalah-masalahnya, pertama, ekspor konsentratnya jelas akan dievaluasi lebih ketat setelah Januari nanti. Hal ini mengingat ekspor konsentrat itu ini terkait realisasi pembangunan smelter. Saya sangat surprised jika pemerintah memberikan izin ekspor konsentrat mengingat progres smelternya kita lihat nggak ada realisasinya,” ‎ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Minggu (20/11/2016).

Kemudian kedua, soal divestasi saham Freeport hingga saat ini juga belum mencapai kata sepakat. ‎Freeport diminta untuk melepas sahamnya sebesar 10,64 persen kepada pemerintah, namun belum ada titik temu terkait harga saham tersebut.

“Kedua, urusan divestasi di mana Freeport harus melepaskan sebagian saham. Ini kan belum tuntas prosesnya‎,” kata dia.

Ketiga soal kinerja Freeport yang dinilai menurun. Hal ini diperparah dengan turunnya harga komoditas di pasar global dan lesunya harga saham dari perusahaan induknya, yaitu Freeport-McMoran.

“Ketiga, Freeport sedang turun kinerjanya. Kan harga komoditasnya turun. Kemudian Freeport-McMoran sahamnya juga tidak baik pada saat ini,” kata dia.

Dan keempat, terkait tuntutan masyarakat agar Freeport lebih banyak berkontribusi dalam pembangunan di Papua. Menurut Fabby, hal tersebut sudah menjadi isu lama namun hingga saat ini belum ada realisasi dirasa signifikan oleh masyarakat Papua.

“Ada tekanan Freeport untuk lebih berkontribusi lebih banyak pada pembangunan di Papua sana,” tandas dia.

Sumber: liputan6.com.

Pemerintah Jamin Pasokan Listrik Aman

pemerintah-jamin-pasokan-listrik-amanPemerintah menjamin pasokan listrik tetap aman kendati target rasio elektrifikasi 97,4% dalam program pembangkit listrik 35.000 megawatt meleset dari target.

Tambahan pasokan listrik pada 2019 diperkirakan hanya tercapai 19.700 MW. “Untuk menyelesaikan 35.000 MW memang sulit jika dihitung dari sekarang. Tapi, pemerintah menjamin sampai 2019 tidak ada pemadaman bergilir,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan dalam acara DBS Asian Insights Conference 2016, di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, kemarin.

Menurut dia, tambahan daya listrik sebesar 19.700 MW sudah cukup untuk menjamin keandalan pasokan listrik nasional. Pencapaian angka tersebut dihitung berdasarkan estimasi rata-rata capaian rasio elektrifikasi dalam kurun waktu 25 tahun terakhir. “Estimasi 19.000 MW itu sudah besar sekali. Jika dihitung capaian lima tahun, dalam setahun harus tercapai 4.000 MW lebih besar dari rata-rata capaian 25 tahun sebelumnya,” katanya.

Jonan memastikan, capaian rasio elektrifikasi sebesar 97,4% dalam program pembangunan proyek pembangkit listrik 35.000 MW baru akan selesai 2024. Diharapkan, sisa dari proyek 19.700 MW atau sebesar 6.000 MW tuntas sebelum 2024.

“Harapannya, program 35.000 MW sebelum 2024 sudah selesai,” ujar Jonan. Dia pun menyadari, terdapat sejumlah hambatan yang membuat proyek tersebut berjalan lamban.

Kendala itu di antaranya berlarutnya pembebasan lahan, proses izin, dan penunjukan pengembang listrik swasta. Namun pihaknya menyebut, segala permasalahan tersebut telah dipetakan pemerintah dan berangsur diperbaiki. Dia mencontohkan, terkait perizinan pembangkit, sudah berhasil dipangkas dari 965 hari. Sekarang tinggal 256 hari, dan akan diurai lagi menjadi 180 hari.

“Dulu izin pembangkit sampai 956 hari, lebih lama dari orang pacaran. Sekarang sudah turun jadi 256 hari. Ke depan kita mau coba lagi kurang dari 6 bulan,” ujarnya.

Dengan memangkas izin, Jonan berharap dapat mempercepat program 35.000 MW sehingga mampu meningkatkan rasio elektrifikasi paling sedikit tercapai 95% pada 2019 dari rasio elektrifikasi saat ini sekitar 88%. “Saat ini rasio elektrifikasi kira-kira 88%. Pada 2019 minimal mampu tercapai 95%,” katanya.

Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka mengatakan bahwa total dari target 2019 adalah sebesar 19.763 MW dengan rincian pengembang swasta (independent power producer/IPP) mendapatkan porsi sekitar 11,413 MW dan PLN sekitar 8.350 MW. Adapun, sebagian besar proyek pembangkitnya terpusat di Pulau Jawa. Sementara dihitung berdasarkan rasio elektrifkasinya, pada 2019 hanya tercapai 93% jika capaian proyek pembangkitnya sebesar 19.763 MW.

Sedangkan jika tercapai keseluruhan atau 35.000 MW, maka rasio elektrifikasinya mencapai sekira 98%.“Saat ini yang masih dalam proses pengadaan sekitar 7.000 MW. Apabila tidak ada kendala, sampai akhir tahun ini bisa melakukan PPA. Bisa jadi sampai akhir tahun 2019 tercapai 21.000 MW,” jelasnya. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan, pada dasarnya jika ekonomi tumbuh 4,5% paling tidak diperlukan tambahan pasokan listrik sebesar 4.500 MW setiap tahunnya.

Sementara untuk pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) maupun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang dibangun pada 2016-2017, baru akan selesai dan beroperasi pada 2019-2020. Padahal, terdapat kemungkinan permintaan besar tambahan pasokan listrik akan terjadi di Sumatera dan Kalimantan pada 2018-2019. Sehingga, akan memicu krisis listrik di kawasan tersebut. “Tapi, semoga pada 2017 sampai 2018 dalam keadaan optimal dan tidak ada beban listrik yang melonjak signifikan. Sehingga diharapkan, dapat mencegah krisis listrik di Sumatera atau Kalimantan,” ujarnya.(rai)

Sumber: okezone.com.

Inilah Kendala Proyek Listrik 35 Ribu MW

inilah-kendala-proyek-listrik-35-ribu-mwProgram nasional proyek listrik 35 ribu mega watt (MW) berjalan tidak sesuai harapan. Apa saja kendalanya?

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang, molornya program 35 ribu mega watt (MW) lebih banyak disebabkan oleh manajemen PT PLN (Persero). Pihak manajemen BUMN energi itu membuat bisnis proses menjadi panjang sehingga pengerjaan proyek memakan waktu.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menuturkan, dari proses lelang misalnya, PLN menerapkan kebijakan yang menyulitkan investor melalui berbagai syarat dan ketentuan. Namun saat peserta lelang bisa menyanggupi, PLN juga lambat dalam mengambil keputusan.

“Faktor utamanya ada di kapasitas PLN dalam melakukan pengelolaan lelang, negosiasi PPA dan eksekusi proyek,” kata Fabby di Jakarta, Selasa (15/11/2016).

Faaby juga menyoroti renanca umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang hingg kini terus mengalami perubahan. Akibatnya, arah pembangunan pembangkit listrik masih tak kunjung jelas juntrungannya. “Pemerintah dan PLN inkonsisten soal perencanaan RUPTL,” ujarnya.

Dia memang sudah menduga pembangkit listrik yang sudah commercial on date (COD) hanya sekitar 18-20 ribu MW di tahun 2019. Ini juga dibuktikan dari 11 ribu MW yang sudah dan negosiasi PPA, baru 6.000 MW yang masuk konstruksi.

Fabby juga menyoroti lelang pembangkit listrik berskala besar yang tak kunjung diputuskan, seperti PLTU Jawa 1 dan PLTU Jawa 5.

Ditambah lagi proyek Sumsel 8 yang mengubah spesifikasi dan desain lantaran PLN membatalkan pembangunan interkoneksi Jawa-Sumatra sehingga perlu negosisasi harga. “Sumsel 9 dan 10 kemungkinan batal. Ini semua proyek besar,” tutur dia. [hid]

Sumber: inilah.com.

Target Listrik Disunat, Defisit Listrik Mengancam

Pekerja PT Bukaka Teknik Utama Tbk mempersiapkan pengujian pembebanan tower dan uji tarik material di Cilegon, Banten, Senin (24/10). PT Bukaka Teknik Utama Tbk bersama PT Waskita Karya dan PT PLN mengadakan pengujian pembebanan tower transmisi 500 KV dan uji tarik material yang akan digunakan untuk jaringan transmisi Sumatera timur guna mendukung megaproyek listrik 35.000 MW. KONTAN/Carolus Agus Waluyo
Pekerja PT Bukaka Teknik Utama Tbk mempersiapkan pengujian pembebanan tower dan uji tarik material di Cilegon, Banten, Senin (24/10). PT Bukaka Teknik Utama Tbk bersama PT Waskita Karya dan PT PLN mengadakan pengujian pembebanan tower transmisi 500 KV dan uji tarik material yang akan digunakan untuk jaringan transmisi Sumatera timur guna mendukung megaproyek listrik 35.000 MW. KONTAN/Carolus Agus Waluyo

JAKARTA. Pemangkasan target megaproyek listrik dari 35.000 Megawatt (MW) menjadi 19.763 MW di tahun 2019 masih akan membuat listrik di luar Pulau Jawa mengalami defisit listrik. Pasalnya, rasio elektrifikasi yang ditargetkan mencapai 98% di 2019, hanya tercapai 93%.

Bagaimana tidak, dari angka 19.763 MW itu, pembangunan pembangkit listrik hanya terpusat di Pulau Jawa. Alasannya, Pulau Jawa merupakan pusat beban ketenagalistrikan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai Sumatera, Kalimantan, Sulawesi serta pulau-pulau terpencil lainnya berprotensi krisis listrik dengan pemangkasan target 35.000 MW di 2019. Sebab, dari angka 19.763 MW sebagian besar pembangkitnya terpusat di Pulau Jawa.

“Contohnya Sumatera yang listriknya tumbuh agak cepat. Tapi saat ini saja sudah ada yang defisit. Tahun ini bisa tertolong karena PLTA bisa memasok cukup besar karena ada musim hujan yang panjang,” ungkapnya kepada KONTAN, Selasa (15/11).

Maka dari itu, pemangkasan proyek jadi 19.763 MW itu dinilai jauh dari kebutuhan di tahun 2019. Pasalnya, ada hidden demand yang muncul ketika pasokan ada. “Hal itu yang membuat pasokan cepat terserap. Pemerintah harus antisipasi itu,” tandasnya.

Sementara itu, Kepala Satuan Komunikasi Korporat PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), I Made Suprateka membenarkan bahwa pembangunan pembangkit listrik yang selesai di tahun 2019 sebesar 19.763 MW itu masih berpusat di Pulau Jawa.

Namun sayangnya dia belum bisa memberi detil pembangunan pembangkit yang berpusat di Pulau Jawa itu. Seperti diketahui, dari angka 19.763 MW, IPP mendapatkan porsi yang lebih besar ketimbang PLN. Di antaranya, IPP mendapatkan porsi sekitar 11.413 MW dan PLN 8.350 MW.

“Jadi, apabila target 35.000 MW itu selesai rasio elektrifikasinya bisa mencapai 98%. Kalau dilihat realistisnya yang selesai 19.763 MW rate 93%,” terangnya.

Untuk pembangunan pembangkit di Pulau lain, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi maupun Papua hanya skala kecil dan pembangunan pembangkitnya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

Angka 19.763 MW itu dilihat dari yang sudah melakukan Power Purchasment Agreement (PPA), Konstruksi dan sudah Commercial Operation Date (COD) per 31 Oktober. Di antaranya 9.790 MW yang PPA, 8.541 MW konstruksi dan 407 MW yang sudah COD.

“Kalau ini kemungkinan 19.763 MW ini yang pasti selesai 2019,” ungkpanya. Tapi menurut Made, ada beberapa lagi yang masih dalam proses pengadaan sekitar 7.000 MW. Artinya apabila tidak ada kendala akhir tahun ini bisa melakukan PPA. “Bisa saja bertambah tahun 2019 akhir menjadi 21.000-an MW yang selesai,” tandasnya.

Sumber: kontan.co.id.

Genjot Energi Panas Bumi, Pemerintah Perbaiki Regulasi

genjot-energi-panas-bumi-pemerintah-perbaiki-regulasi
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Lahendong, Sulawesi Utara. PLTPB Lahendong merupakan lapangan panas bumi pertama di kawasan Indonesia Timur yang memproduksi listrik. Dari potensi hampir 30 GW, Indonesia baru memanfaatkan sebesar 5%! Foto : ebtke.esdm.go.id

Potensi panas bumi di Indonesia cukup besar, dari sekitar 30 GigaWatt, baru dimanfaatkan 5%. Selama ini, investasi sektor ini dinilai berisiko tinggi. Guna meningkatkan pemanfaatan energi panas bumi ini, pemerintah sedang merevisi aturan lama dengan membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Panas Bumi yang baru. Kebijakan ini sudah ada di Sekretariat Negara, sedang proses administrasi.

“Kalau lancar akhir tahun selesai,” kata Yunus Saefulhak, Direktur Panas Bumi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada Mongabay melalui telepon, Jumat (11/11/2016).

Aturan ini, katanya, keluar sebagai pengganti PP 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi. Di sini, ada beberapa terobosan untuk memberikan kepastian bagi para investor dan pengembang panas bumi di Indonesia.

Pertama, pemerintah boleh penugasan BUMN tanpa menggunakan lelang. Pelelangan terjadi saat pemiihan wilayah kerja mana yang akan diberikan kepada BUMN disesuaikan kriteria khusus.

Kedua, penugasan survei pendahuluan dan eksplorasi (PSPE). ”Perusahaan memilih lokasi mana yang diinginkan melalui lelang, pemerintah melakukan PSPE di wilayah itu,” kata Yunus. Jadi, investor boleh menggunakan eksplorasi dan pengeboran. Selanjutnya, data diberikan kepada pemerintah dengan waktu tiga tahun.

Nanti, katanya, investor akan mendapatkan lelang terbatas atau penunjukan langsung (direct appointment) dalam eksplorasi. Melalui PSPE ini, pemerintah mampu menjamin investor dalam eksplorasi dan mengetahui potensi yang ada. “Ini salah satu kendala investor selama ini.”

Ketiga, menggunakan fixed price. Sebelumnya, lelang terjadi menggunakan harga terendah yang menjadi pemenang. Hal ini, katanya, tak memberikan kepastian harga, apalagi kapasitas potensi panas bumi di wilayah itu belum terukur jelas.

Setelah pasca eksplorasi dan menginformasikan temuan potensi, fixed price akan ditentukan pada uap panas yang digali.

”Dengan IRR yang menarik dari skala 5 MW sampai 220 MW,” jelasnya. Internal Rate of Return (IRR) adalah indikator tingkat efisiensi dari suatu investasi. Langkah ini menjadi sebuah cara meminimalkan negosiasi.

Tak hanya memperpendek negosiasi, katanya, KESDM juga deregulasi dan debirokrasi perizinan. ”Ada 10 poin, melalui PP ini kalau ada rekomendasi dari kita tidak usah izin yang lain,” katanya seraya mencontohkan, izin kepolisian dan perindustrian.

Dukungan DPR

DPR serius membahas sektor energi bersih, seperti panas bumi. Wakil Ketua DPR-RI Agus Hermanto menilai, dua tahun kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla, banyak persoalan energi terbengkalai. Kebutuhan energi makin meningkat, katanya, tak terimbangi kapasitas energi yang ada. Jadi, rotasi pemadaman masih sering terjadi.

”Sikap pemerintah masih mengandalkan bahan baku fosil, padahal tak terbarukan dan dipastikan akan habis,” katanya saat ditemui usai acara senior officials meeting (SOM) soal potensi, tantangan dan usulan solusi pengembangan panas bumi di Indonesia, di Jakarta, akhir bulan lalu.

Pertemuan itu dihadiri Menteri dan Wakil Menteri ESDM, Ignatius Jonan dan Arcandra Tahar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Menteri Ristek M Nasir dan Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro. Ada juga perwakilan dari Kemenkeu, pimpinan Komisi IV, VI, VII, XI dan pelaku industri terkait.

Dia mengatakan, energi panas bumi mampu sebagai pilihan dalam pengendalian perubahan iklim di Indonesia. Namun, baru 5% diberlakukan, padahal potensi di Indonesia mencapai 30 GW dan tersebar di 330 titik. Energi inipun sudah memiliki landasan hukum, yakni UU Panas Bumi.

Tantangan energi panas bumi

Meski demikian, DPR menyebutkan ada beberapa tantangan utama dalam pengembangan potensi itu. Pertama, risiko pembiayaan dan investasi panas bumi tinggi. Ia erat kaitan dengan tahapan eksplorasi dengan pengeboran sumur.

Kedua, penelitian dan data mengenai sumber daya dan cadangan panas bumi. Nantinya, para pakar diharapkan dapat berkolaboradi dengan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Jadi, ada penelitian terkait acuan dan data bagi para pengembang. Ketiga, koordinasi pemerintah daerah dalam mengatasi isu sosial.

”Perlu peningkatan pemanfaatan melalui sosialisasi secara luas kepada masyarakat di area pengembangan.”

Berbicara soal pengadaan lahan dan lingkungan, kata Hermanto, sebagian besar potensi panas bumi di zona inti.

Berdasarkan aturan panas bumi itu, kegiatan panas bumi di wilayah konsevasi melalui izin pemanfaatan jasa lingkungan dan PP Nomor 108 tahun 2015, izin hanya diberikan untuk selain zona rimba dan inti.

”Maka perlu juga ada standar prosedur untuk usulan perubahan zonasi,” katanya.

Siti Nurbaya mengatakan, mendukung dan menyiapkan regulasi dalam pemanfaatan panas bumi dengan mempertimbangkan prinsip konservasi.

”Bisa melalui pola pinjam pakai kawasan hutan apabila sumber energi berada di hutan lindung. Pola izin pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi bila sumber energi berada di kawasan konservasi,” katanya.

Untuk cagar alam, katanya, KLHK memastikan sumber-sumber keragaman hayati tetap dilindungi. Koordinasi dengan pemerintah daerah, ucap Siti, sangat dibutuhkan terkait fungsi lingkungan di sekitar.

“Perlu ada kajian empirik di lapangan dan memastikan tak terjadi gangguan biodiversitas di kawasan itu.”

Fabby Tumiwa, Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) berharap, RPP ini mampu memberikan kepastian berusaha dan mengurangi risiko pengusahaan panas bumi, terutama terkait eksplorasi. Dengan begitu, bisa meminimalkan pengeluaran (cost).

”Model fixed price (feed in tariffs) diharapkan mampu membantu investor atau pengembang panas bumi dalam gambaran pengembalian investasi,” katanya melalui surat elektronik.

Harapan lain, dengan model fixed price ini, pemerintah mampu menyeimbangkan epentingan pengembang dan PLN.

RPP ini juga diharapkan mampu mengurangi risiko keterlambatan eksekusi proyek karena ada proses negosiasi power purchasing agreement (PPA) yang cukup lama.

Tantangan lain pemerintah, katanya, adalah penghitungan (feed in tariffs/ FiT) harus mampu merefleksikan dinamika investasi ini. Ke depan, FiT mampu stabil dan tak terus menerus direvisi untuk naik.

ebt1-slide04
Sumber: presentasi William Sabandar, mantan Ketua Tim Satgas Percepatan Pengembangan Energi Baru Terbarukan (P2EBT) Kementerian ESDM.

Panas bumi tak pakai lahan luas

Potensi EBT tak digali, khusus panas bumi, meski memiliki potensi besar, menurut Agusdharma, anggota International Geothermal Association, karena ego sektoral di negeri ini sangat tinggi.

Pemerintah, katanya, sampai mesti membentuk Dewan Energi Nasional untuk mengkoordinasikan kementerian dan lembaga. DEN ini dipimpin Jusuf Kalla.

Energi panas bumi, katanya, ramah lingkungan potensi bebas memang di hutan inti. Meski demikian, hal itu bukan sebuah kendala. Pemerintah, perlu membuat aturan tegas dan batas-batas wajar yang harus dilakukan.

”Jangan menjadi eksploitasi hutan itu sendiri.”

Menurut dia, walau ada pemanfaatan panas bumi, wilayah harus tertutup untuk umum agar aman dari pembukaan atau perambahan. “Prinsipnya konsistensi dengan aturan dan tegakkan hukum.”

Kala potensi panas bumi sudah ada di satu kawasan, tidak bisa dipindahkan. “Kesulitan memang cukup tinggi jika harus pengeboran tidak langsung atau berbelok.”

Dia merasa aneh kalau ada pemanfaatan energi panas bumi menggunakan lahan maha luas. Menurut dia, kala itu terjadi, berarti sudah ada ‘kepentingan lain’ ikut dalam usulan panas bumi.

Kalau hanya untuk pemanfaatan panas bumi, katanya, hanya berkisar satu sampai puluhan hektar. “Kalau ada yang mengajukan izin sampai ratusan hektar, itu patut dipertanyakan,” kata pria dari Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia ini.

Dharma mencontohkan, panas bumi di Kamojang, Garut, pembangkit energi panas bumi dengan rambu-rambu, berdaya 240 Mega Watt, hanya pakai 38 hektar lahan.

Idealnya, lokasi panas bumi itu minimal 1,8 hektar sudah bisa menghasilkan listrik.

Daya tarik asing

Abadi Purnomo, dari Asosiasi Panas Bumi mendukung penuh RPP yang sedang disusun pemerintah. ”Panas bumi di Indonesia ini eyecatching, diharapkan RPP ini mampu membuat investor masuk ke Indonesia,” katanya.

Selama ini, regulasi pemerintah terkait panas bumi belum mengakomodir kepentingan investor, tak ada jaminan usaha di Indonesia. Banyak tender dibuka dengan data survei, geologi sebagai pra eksplorasi masih sangat minim.

”Investor menjadi ragu, karena potensi uap panas tak jelas. Jika disebutkan 100 MW, ternyata hanya 20 MW.”

Tahap eksplorasi berjalan, tak lanjut, hingga banyak proyek panas bumi mangrak. Kepastian modal kembali, katanya, sangatlah mimim. Belum lagi, tak ada perbankan yang mau membantu.

”Harapannya fixed priced nanti dilihat dari kapabilitas keuangan, responsibilitas penggunaan teknologi, dan sumber daya manusia.”

Tak hanya itu, RPP ini dimampukan sangat acceptable dan sustainable, pasalnya investor sering dibingungkan oleh penggantian regulasi. ”Kita melihat pemerintah memang serius,” pungkasnya.

Sejak 2014, energi panas bumi menarik untuk investor. Beberapa wilayah selesai lelang, menyusul waktu pengerjaan seperti di Way Ratai, Lampung. ”Antara PT ENEL dari Italia dengan perusahaan dari Indonesia, 90% dipegang Italia,” ucap Yunus.

Kemudian, Bukit Kili di Sumatera Barat, Gunung Lawu di Jawa Tengah, Graho Nyabu di Jambi, Hamiding di Maluku Utara, Galunggung di Jawa Barat, Gunung Ciremai di Kuningan, Gunung Willis di Jawa Timur dan Kepahiang di Bengkulu.

Sejak 2006-September 2016, pemanfaatan panas bumi sebagai pembangkit listrik baru 852 MW. Sedangkan, tahun 2025, energi panas bumi ditargetkan berkontribusi 7% atau 4,8 GigaWatt (GW) setara 23,5 juta ton minyak.

Sumber: mongabay.co.id.

Penguatan Harga CPO dan Batu Bara Hanya Sementara

penguatan-harga-cpo-dan-batu-bara-hanya-sementaraHarga komoditas perdagangan di sektor energi seperti batu bara dan minyak mentah kelapa sawit (CPO/Crude Palm Oil) mengalami kenaikan. Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai penguatan ini bersifat temporer dan sangat bergantung pada ekonomi global.

Ia menggambarkan saat ini permintaan komoditas batu bara Cina melambat. Demikian juga di India. Untuk CPO, kapasitas produksi dalam negeri, kata dia, masih sangat besar. “Jadi kalau permintaan ekspor naik, pengusaha CPO pasti akan memenuhi,” katanya kepada Republika, Senin (14/11).

Ia memprediksi, dalam satu dekade mendatang komoditas sumber daya alam masih mendominasi perdagangan Indonesia. Namun besaran pergerakan harga dari waktu ke waktu sangat tinggi. “Ini yg perlu diwaspadai oleh pemerintah. Di Eropa yg jadi salah satu pasar utama cpo kita, perlindungan lingkungan dan perubahan iklim sangat penting. Ini bisa jadi hambatan ekspor ke depan,” ujarnya.

Untuk Batubara, ia meminta pemerintah mulai membatasi ijin pertambangan. Pemerintah menurutnya, tidak perlu memasang target produksi terlalu tinggi. “Secara bertahap kurangi produksi batu bara, hentikan perpanjangan ijin yg sudah habis,” tuturnya.

Fabby memperkirakan dalam dua dekade mendatang, penggunaan batubara global akan menurun. Sebab dunia tengah berupaya menanggulangi ancaman perubahan iklim. “Pemerintah harus dorong sektor jasa dan manufaktur, hilirisasi minerba utk bisa menggantikan penerimaan dari batubara dan tambang lainnya,” ujar Fabby.

Sumber: republika.co.id.

PLN Harus Fokus Kembangkan Transmisi

pln-harus-kembang-transmisiPT Perusahaan Listrik Negara (Persero) diimbau untuk fokus dalam mengembangkan transmisi dan distribusi sebagai bagian dari penguasaan negara dalam mengamankan energi nasional.

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Suryadarma mengatakan hal tersebut lantaran PLN berencana mengambil alih PT Pertamina Geothermal Energy (PGE).

“PLN sebaiknya fokus saja pada urusan transmisi. Jadi sudah sangat tepat apa yang disampaikan Menteri ESDM Ignasius Jonan bahwa PLN sebaiknya fokus saja pada urusan transmisi,” tutur Surya, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa (8/11/2016).

Menurut Surya, akan lebih efisien bila peran power producer yang saat ini juga diemban PLN, sebaiknya dipisahkan dan dijadikan kelompok unit-unit bisnis tersendiri.

“Misalnya, sebagai anak perusahaan atau bentuk lain sehingga dapat diketahui pembangkit mana yang tidak efisien dan berbiaya tinggi,” papar Surya.

Dia mengingatkan, harusnya pengalaman PLN buruk dalam menggarap panas bumi bisa menjadi pelajaran. Karena terbukti, bahwa selama ini dari berbagai WKP yang diberikan, ternyata tidak bisa digarap PLN secara optimal.

“Sebut saja Tulehu dan Tangkuban Prahu. Semua tidak optimal. Jadi mengapa memaksakan diri masuk ke sektor yang kompetensinya rendah, padahal PLN punya kompetensi di bidang lain?” tambah Surya.

Surya menambahkan, jika fokus PLN terbelah, maka berpotensi mengganggu pembangunan transmisi. Dan akibatnya bisa fatal, karena selama ini yang melakukan pembangunan transmisi hanya PLN.

“Apa jadinya jika pihak yang menjadi tumpuan pembangunan transmisi, fokusnya justru terpecah. Apalagi harus diingat, bahwa transmisi dan pembangkit harus selesai bersamaan. Jangan sampai pembangunan pembangkit sudah jadi namun transmisi belum siap. Jika itu terjadi, maka semua rugi dan masyarakat juga yang akan terkena imbasnya,” kata Surya.

Berdasarkan data Dirjen Ketenagalistrikan ESDM, reealisasi transmisi PLN per Agustus 2016 hanya 2.792 kms atau sebesar tujuh persen. Padahal, berdasarkan RUPTL 2015-2024, seharusnya sudah mencapai 10.602 kms atau sebesar 23 persen per 2016. Dengan capaian tersebut, banyak pihak memprediksi, bahwa PLN hanya mampu merealisasikan sekitar 42 persen (19.000 kms) pada akhir 2019.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Serfvices Reform (IESR) Fabby Tumiwa menambahkan PLN memang fokus saja pada transmisi. Apalagi tingkat kesulitan membangun transmisi sangat besar, termasuk dalam hal pembebasan tanah. Fabby juga tidak menepis bahwa angka tujuh persen dalam kurun waktu dua tahun memang lambat. Hal ini, lanjutnya, bisa merugikan PLN jika pada bersamaan pembangkit sudah terlebih dahulu selesai dan dalam status COD.(AHL)

Sumber: metrotvnews.com.