Siaran Pers : Tanggungjawab Sosial Perusahaan (CSR) di ASEAN Harus Menekankan Dimensi “Tanggungjawab”, Seru Masyarakat Sipil dan Para Ahli di ASEAN

2 May, 2011: Ribuan komunitas di penjuru ASEAN hidup dalam ancaman yang serius karena perilaku perusahaan yang tidak bertanggungjawab terus berlanjut. Negara turut terlibat baik dalam keikutsertaannya dalam proyek-proyek yang merusak maupun karena sikapnya yang apatis terhadap ancaman ini.

Masyarakat dari komunitas yang terkena dampak di Burma, Cambodia, Indonesia, Malaysia and Thailand membagi pengalaman mereka dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia yang serius seperti pembunuhan, kerja paksa dan penggusuran yang terjadi karena berbagai proyek yang dijalankan oleh perusahaan dalam dan luar negeri. Pengalaman ini diceritakan pada acara Kesaksian Publik tentang Tanggungjawab Sosial Perusahaan dan ASEAN di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta pada hari ini.

Acara ini diselenggarakan oleh masyarakat sipil dari kawasan Asia Tengggara dalam rangka ASEAN Summit minggu depan. Tanggungjawab Sosial Perusahaan (CSR) adalah salah salah satu studi tematik yang akan dilakukan oleh Komisi Ham ASEAN (The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights/ AICHR).

Lebih dari 130 orang anggota gerakan masyarakat sipil dari berbagai negara ASEAN terkejut ketika mempelajari berbagai kondisi kesehatan yang serius dan hilangnya sumber kehidipan yang dialami oleh banyak keluarga akibat proyek-proyek yang dilakukan oleh perusahaan dari dalam dan luar wilayah ASEAN. Para peserta pertemuan ini terkesima ketika melihat pengalaman komunitas yang terkena dampak dalam mencari keadilan dan perlindungan melalui pengadilan dan cara lainnya diabaikan.

Saksi yang hadir berasal dari berbagai komunitas terkena dampak dari Xayaburi Dam di Sungai Mekong, Proyek Shwe Gas di Burma, Perkebunan Gula Koh Kong di Cambodia, Proyek Rare Earth di Kuantan dan Pabrik Asahi Kosei di Kuala Lumpur – Malaysia. Saksi dari Indonesia juga menghadirkan seorang remaja yang menceritakan tragedy proyek Lapindo dan kelompok petani yang terkena dampak proyek pertambangan di Maluku dan Sulawesi.

Seorang anggota parlemen Malaysia, Fuziah Salleh berbicara tentang Kuantan Rare Earth Refinary Plan Project (LAMP), menunjukkan bahwa berbagai proyek yang merusak tidak dapat dibenarkan secara ekonomi. Beliau menjelaskan bahwa Proyek Rare Earth yang telah menyebabkan dampak kesehatan dalam jangka panjang, dan juga dampak kerusakan lingkungan, ternyata hanya menciptakan 350 lapangan pekerjaan sementara meningkatkan pendapatan perusahaan hingga berjuta-juta dollar yang juga menikmati “keringanan pajak” selama 12 tahun.

Panel para ahli yang mendengarkan kesaksian ini menekankan bahwa ASEAN memiliki tanggungjawab untuk menghidupkan komitmen yang telah dibuat ASEAN dalam Piagam ASEAN dan perjanjian HAM lainnya untuk melindungi Hak Asasi Manusia dan menjamin pembangunan berkelanjutan.

Para ahli mendesak ASEAN dan Komisi HAM ASEAN (AICHR) untuk secara cepat menyikapi persoalan yang diangkat oleh warga mereka akibat dari ketidakbertanggungjawaban perusaaan, dan menjamin bahwa Asas Hukum ditegakkan dan diutamakan ketika menghadapi kasus-kasus ini. Anggota panel yang hadir adalah Nurkholis (Wakil Ketua Komnasham), Rinno Arna (Pengacara dari Indonesia yang ahli di bidang keadilan sosial dan hak anak), Pengacara Joselito Calivoso (ahli hukum tentang CSR dan masyarakat pedesaan), serta Jerald Joseph (Direktur Eksekutif Dignity Internation).

Acara ini diselenggarakan oleh:

SAPA Task Force on ASEAN and Burma, SAPA Task Force on ASEAN and Human Rights, SAPA Task Force on ASEAN Migrant Worker, SAPA Task Force on Extractive Industry, SAPA Task Force on Freedom of Information, SAPA Working Group on ASEAN, SAPA Working Group on Environment, Altsean-Burma, Asia Indigenous People Pact, Burma Partnership, Focus on the Global South, FORUM-ASIA, IESR, JATAM, KontraS, Migrant Forum in Asia, SEACA, TERRA, Thai-ASEAN Watch, WALHI dan YLBHI.

Kontak lebih lanjut:

Fabby Tumiwa, IESR, +628 1194 9759 (Bahasa & English)
Atnike Sigiro, Forum-Asia, 6281 29 401 766 (Bahasa & English)
Debbie Stothard, Altsean-Burma, +66816861652 and +6285 888610 436 (English)

Siaran Pers : Peluncuran Kampanye Menuju Masyarakat Rendah Karbon : Pengurangan Emisi Karbon Secara Pribadi Membantu Mencegah Memburuknya Perubahan Iklim

Jakarta, 27 Februari 2011-(IESR) Sebagai upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia, dalam rangka mencegah meningkatnya pemanasan global yang mengakibatkan memburuknya perubahan iklim, Institute for Essential Services Reform (IESR) pada hari ini memperkenalkan secara perdana Kampanye Menuju Masyarakat Rendah Karbon.

Kampanye ini menitikberatkan kepada penurunan emisi gas rumah kaca dari berbagai aktivitas individu sehari-hari. Gas rumah kaca adalah salah satu emisi Gas Rumah Kaca yang menjadi penyebab meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim.

Untuk membantu setiap individu mengukur emisi gas rumah kaca IESR mengembangkan suatu perangkat bernama Kalkulator Jejak Karbon (KJK), yang telah dikembangkan hingga versi kedua, yang juga diluncurkan pada hari ini.[1]

Dari survey yang dilakukan IESR selama periode April-Desember 2010, berdasarkan data para pengguna Kalkulator Jejak Karbon versi 1 (KJK 1), kelompok mahasiswa dan pekerja domestik merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar pertama dan kedua, dibandingkan dengan kelompok pelajar, pegawai, dan ibu/bapak rumah tangga. Adapun penduduk yang berdomisili di propinsi Jawa Barat rata-rata menghasilkan emisi sebesar 12,97 kg CO2ek/orang/hari atau kira-kira 4,57 tonCO2ek/orang/tahun. Hasil ini lebih tinggi dari data yang didapatkan dari pengguna KJK 1 dari Jakarta, Banten, Jawa Barat, Tengah dan Timur.[2]

“Dari hasil survei ini, kami dari IESR berpendapat bahwa emisi gas rumah kaca dari aktivitas individu dapat diturunkan dengan melakukan sejumlah upaya diet karbon yang sederhana, misalnya menggunakan listrik seperlunya, menggunakan sebanyak mungkin kendaraan umum dan kendaraan non-motor, mengurangi konsumsi air minum dalam kemasan, dan lain sebagainya. Masyarakat Indonesia dapat membantu pencapaian masyarakat rendah karbon,” demikian kata Siti Badriyah, Pemangku Program Keadilan Iklim IESR.

Kampanye Masyarakat Rendah Karbon pada dasarnya mengajak para individu untuk melakukan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca dari aktivitas sehari-hari. Dengan mengetahui jumlah emisi yang gas rumah kaca yang dihasilkan sehari-hari, diharapkan setiap individu kemudian mau berkomitmen secara sukarela untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya.

“Melalui aktivitas ini, kami ingin menunjukkan kepada negara-negara maju, bahwa masyarakat Indonesia juga peduli dan merasa bertanggung jawab untuk memerangi perubahan iklim. Apabila masyarakat Indonesia bersedia melakukan penurunan emisi secara sukarela, maka sudah seharusnya masayarakat di negara-negara maju, yang menjadi penyebab perubahan iklim, melaksanakan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca yang lebih besar,” demikian kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Pada akhir 2009, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmennya kepada dunia bahwa Indonesiaakan melakukan pengurangan emisi sebesar 26% dengan upaya sendiri, dan 41% iika ada bantuan pendanaan internasional, pada tahun 2020. Sebagaimana analisa yang dibuat oleh Bappenas (2010), salah satu sektor yang dapat berkontribusi terhadap penurunan tersebut adalah sektor energi.

Sejumlah provinsi, seperti DKI Jakarta juga mencanangkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK)-nya sebesar 30%.

“Upaya-upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, seperti penggunaan energi secara efisien, mengurangi konsumsi barang secara berlebihan secara positif dapat berkontribusi terhadap target penurunan emisi yang dicanangkan pemerintah baik pusat, maupun Pemda DKI Jakarta, ” tambah Siti Badriyah.

Berbagai komitmen individu yang dibuat dengan bantuan KJK 2 sepanjang Februari hingga November 2011 akan direkam dan dikumpulkan oleh IESR, dan hasilnya akan disampaikan pada saat COP Kerangka Kerja PBB Perubahan Iklim ke-17 di Durban, Afrika Selatan pada Desember 2011.

Jakarta, 28 February 2011

Catatan untuk Editor:

  • Emisi Karbon adalah pengeluaran gas karbon dioksida (CO2) yang menyebabkan efek rumah kaca yang memanaskan bumi karena sifat gas ini yang mengikat panas. Semakin banyak konsentrasinya di atmosfer yang berasal dari aktivitas manusia, maka semahin hangat temperature bumi.
  • Jejak Karbon jumlah gas rumah kaca (CO2) yang dihasilkan individu dari berbagai aktivitas atau kegiatannya. Umumnya dinyatakan dalam satuan ton karbon atau karbon dioksida ekuivalen
  • Kalkulator Jejak Karbon adalah alat bantu bagi seseorang orang untuk mengetahui jumlah jejak karbonnya. Namun, tidak hanya sampai di situ. Setelah mengetahui besaran emisi karbonnya, pengisi juga diminta untuk memberikan komitmen untuk mengurangi besaran emisi yang mereka hasilkan.
  • Kalkulator Jejak Karbon Versi Idiluncurkan pada tahun 2010 yang telah dipakai oleh ribuan orang, dimana dari dari sekitar 1252 pemakainya terekam dan dianalisa oleh IESR.
  • Kalkulator Jejak Karbon Versi II yang diluncurkan pada 2011 menerapkan penghitungan pada aspek aktivitas pengeluaran emisi yang lebih detil dan mengikutsertakan komitmen pengurangan personal bagi pengisi.
  • Kampanye Low Carbon Society/Masyarakat Rendah Karbonadalah kampanye IESR untuk pengurangan emisi gas rumah kaca, khususnya gas rumah kaca(CO2)dari berbagai aktivitas sehari-hari,.

Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

  1. Cut Rindayu, Staf Komunikasi IESR, Email: rinda@iesr-indonesia.org, No. telepon seluler: +62817823778
  2. Siti Badriyah, Staf Program Perubahan Iklim IESR, E-mail: siti@iesr-indonesia.org, No. telepon seluler: +6281584548966

IESR adalah NGO nirlaba yang yang secara aktif ingin menginspirasi, mendorong dan mendukung perubahan-perubahan kebijakan dan peraturan menuju kearah keadilan pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung pembangunan manusia yang berkelanjutan. Untuk mengetahui profil dan aktivitas IESR dapat berkunjung ke situs IESR: www.iesr.or.id


[1] Alamat Situs Website Kalkulator Jejak Karbon IESR: http://karbonkalkulator.iesr-indonesia.org/

[2] Kategori asal pengguna dibagi dalam provinsi: DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur; dan untuk luar Jawa dikelompokkan dalam kawasan: Sumatra, Kalimantan, dan kawasan lain-lain.

Siaran Pers : Harapan Masih Berlanjut di Cancun

Jakarta, Di saat negosiasi Indonesia dicederai pada Pertemuan Para Pihak (COP-15) dalam Kerangka Kerja PBB atas Konvensi mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Copenhagen, ternyata harapan masih berlanjut di COP-16 Cancun, Mexico yang berakhir minggu lalu.

“Setelah Copenhagen, Indonesia masih berdarah pada saat itu karena kegagalan negosiasi. Hilang harapan pada UNFCCC sebagai wadah yang dapat menyelesaikan masalah iklim yang sedang terjadi. Namun, Cancun menjadi titik penting apakah Indonesia akan terus melanjutkan perundingan atau tidak. Ternyata harapan itu masih ada,” ujar Agus Purnomo, Kepala Sekertariat Dewan Nasional Perubahan Iklim, pada Sarasehan Iklim yang diadakan Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) (16/12).

“Bila dibandingkan dengan Copenhagen, COP-16 di Cancun lebih baik. Tentu saja karena mereka menggunakan building blocks dan Bali Road Map yang merupakan langkah-langkah esensial sebagai jalan untuk menghasilkan keputusan yang adil, ambisius, dan mengikat,” ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Selain membahas mengenai posisi Indonesia, pada kegiatan ini juga membicarakan poin-poin penting yang dihasilkan di Durban. Masih menurut Agus Purnomo, Cancun menghasilkan keputusan penting. Salah satunya adalah mengenai MRV (Monitoring, Reporting, and Verification) penurunan emisi yang dibedakan dari negara maju dan negara berkembang yang melakukannya secara sukarela.

Keputusan penting yang diambil oleh seluruh pihak pada COP-16 di Cancun adalah mekanisme REDD+ diterima oleh seluruh negara. Sebetulnya Bolivia merupakan satu-satunya negara yang menolak skema REDD+. Namun, melalui permufakatan disepakati bahwa penolakan tersebut dianggap menjadi catatan kaki (footnote) bagi COP-17 yang akan berlangsung di Durban pada tahun 2011.

Pada kegiatan ini, Adianto P. Simamora dari The Jakarta Post juga memberi masukan untuk akses informasi bagi pers yang meliput pertemuan iklim UNFCC, terutama yang baru saja berlangsung di Cancun. Menurutnya, ada perbedaan kemudahan akses informasi dengan COP-15 yang berlangsung tahun lalu di Copenhagen. Di Cancun, mendapatkan informasi dari Delegasi RI cukup sulit. Belum lagi, ada kebijakan satu pintu bagi para delegasi yang akan membuat pernyataan, sehingga cukup sulit bagi wartawan untuk mengetahui siapa saja dari delegasi yang dapat dimintai informasi mengenai isu khusus.

Proses negosiasi yang berlangsung di Cancun, masyarakat juga perlu mengetahui mengenai komitmen pemerintah Indonesia dan kesiapannya dalam merespon perubahan iklim. Terutama di sektor mitigasi dan adaptasi.

Seperti paparan dari Departemen Kelautan dan Perikanan yang menyatakan bahwa sampai pada tahun 2020, terumbu karang di kepulauan Indonesia rentan terhadap pemutihan akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, diperlukan adaptasi di sektor kelautan dan perikanan karena merupakan sektor yang rentan.

Perubahan iklim juga dimasukan ke dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir dan wilayah laut. Departemen Kelautan dan Perikanan membuat skema Climate Resilient Village (CRV) yang merupakan skema penempatan tempat tinggal warga pesisir yang dapat dengan mudah dipindahkan mengikuti kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim.

Siaran Pers : COP 16 Cancun Harus Menjadi Pijakan untuk Kesepakatan Perubahan Iklim yang Ambisius, Adil, dan Mengikat

Sepertinya tidak realistis untuk berharap COP 16 Cancun menghasilkan kesepakatan kunci untuk mencegah kenaikan suhu permukaan bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius, tetapi cukup realistis untuk berharap agar COP 16 Cancun menjadi momentum untuk membangun kepercayaan negara maju dan berkembang dalam perundingan multilateral perubahan iklim dibawah UNFCCC, serta menjadi pijakan untuk tercapainya kesepakatan yang ambisius, adil dan mengikat pada COP 17 di Afrika Selatan, dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan iklim.

Berbagai kajian ilmiah menunjukkan bahwa kenaikan suhu permukaan bumi sebesar 2 derajat Celcius akan memiliki konsekuensi besar terhadap keseimbangan ekosistem, dan keberlanjutan umat manusia. Selama dua abad lebih, rata-rata permukaan suhu bumi telah naik hingga 1 derajat Celcius, dan apabila tidak ada tindakan drastis dilakukan maka sebelum pertengahan abad ini, kenaikan sebesar 2 derajat Celcius akan tercapai.

Fabby Tumiwa dari IESR menyampaikan, dari hasil analisis atas janji (pledge) penurunan emisi GRK yang disampaikan oleh berbagai negara yang mendukung Copenhagen Accord memberikan indikasi kegagalan untuk mencegah kenaikan suhu permukaan dibawah 2 derajat Celcius.

Sebaliknya diperkirakan kenaikan temperatur sebesar 3,5 derajat Celcius pada akhir abad ini. Adapun negara-negara maju gagal menunjukkan kepemimpinan dan tanggung jawab penurunan emisi. Hanya 2 dari 10 submisi target penurunan negara maju yang dianggap cukup untuk menghindari kenaikan temperatur dibawah 2 derajat Celcius.

Setelah kegagalan COP 15 dalam menghasilkan kesepakatan yang mengikat untuk target penurunan emisi paska Protokol Kyoto, putaran perundingan perubahan iklim dimulai dengan ekspektasi yang relatif rendah. Sebelum COP 16 di Cancun, yang akan berlangsung 29 November – 10 Desember 2010, telah dilakukan sejumlah putaran perundingan persiapan di Bonn (Bonn Climate Conference 1, 2 dan 3), dan Tianjin Climate Talks di China pada bulan Oktober 2010. Hasil Tianjin Climate Talks justru memberikan indikasi bahwa harapan untuk mencapai sebuah kesepakatan yang ambisius, adil, dan mengikat di COP 16 Cancun semakin pudar.

Menurut Fabby Tumiwa, salah satu faktor yang menyebabkan sukarnya perundingan perubahan iklim global memberikan hasil yang diharapkan dan berpihak pada kepentingan negara berkembang adalah posisi Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara maju sekutunya yang mengabaikan nilai-nilai dasar dari UNFCCC, tentang Common but differentiated responsibility (CBDR) dan memaksakan operasionalisasi Copenhagen Accord yang kontroversial.

Pendekatan AS dan sekutunya ini mengabaikan nilai keadilan iklim, karena negara-negara berkembang juga berkewajiban menurunkan emisi nasional mereka, walaupun rata-rata emisi per-kapitanya lebih rendah daripada emisi per kapita di negara-negara maju.

Selain itu, diferensiasi negara maju dan berkembang dalam tanggung jawab penurunan emisi GRK menjadi tidak jelas karena dalam prinsip Copenhagen Accord seluruh negara maju dan berkembang melakukan penurunan emisi secara bersama, padahal dalam konteks UNFCCC, negara maju sebagai penyebab krisis iklim bertanggung jawab melakukan penurunan emisi lebih dulu. Hal ini nantinya akan diikuti oleh negara berkembang setelah mendapatkan bantuan teknologi dan pendanaan.

Menurut IESR, walaupun peluang untuk mencapai kesepakatan yang substansial dalam hal penurunan emisi di COP 16 Cancun, tetapi hasil Cancun tetap penting sebagai dasar untuk membangun kepercayaan antara negara maju dan berkembang untuk mencapai adanya kesepakatan yang ambisius, adil dan mengikat di COP 17 Afrika Selatan tahun 2011.

Salah satu elemen yang penting adalah COP 16 Cancun perlu menyepakati bahwa target 2 derajat Celcius terlalu beresiko untuk keberlanjutan ekosistem, sehingga perlu mengkaji target penurunan emisi global untuk mencapai kenaikan temperatur dibawah 1,5 derajat Celcius. Selain daripada itu, Cancun kiranya dapat menyetujui mandat untuk menyepakati pendekatan pembagian penurunan emisi yang adil antara negara maju dan berkembang, berdasarkan prinsip CBDR, tanggung jawab historis negara maju, dan hak negara berkembang atas pembangunan berkelanjutan.

Dalam konteks posisi Indonesia, IESR mendesak agar posisi Indonesia merefleksikan keadilan iklim, yaitu mendesak negara maju untuk menurunkan emisi GRK sebesar 40% dari tingkat emisi tahun 1990, sebelum 2020; mendesak negara maju agar mewujudkan segera komitmen pendanaan, alih teknologi dan pengembangan kapasitas untuk aksi mitigasi dan adaptasi negara-negara berkembang dalam jangka pendek (fast-track financing, 2012) dan jangka panjang sesuai dengan kewajiban negara maju dalam UNFCCC.

Sebaliknya, Indonesia juga memberikan contoh bagi negara berkembang lainnya untuk menginisiasi terselenggaranya rencana aksi pembangunan rendah emisi (low carbon development action plan), sesuai dengan target penurunan emisi GRK 26% dari business as usual scenario pada tahun 2020, sebagaimana yang telah dicanangkan oleh Presiden SBY, yang dapat diukur, terlaporkan, dan diverifikasi oleh masyarakat sipil dan komunitas internasional.

Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi

  1. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, E-mail: fabby@iesr-indonesia.org, HP: +62811949759
  2. Siti Badriyah, Staf Program Perubahan Iklim IESR, E-mail: siti@iesr-indonesia.org, HP: +6281584548966
  3. Cut Rindayu, Staf Komunikasi, Email: rinda@iesr-indonesia.org, HP: +62817823778

Press Release – Pemerintah dan Perusahaan EI Indonesia diserukan untuk Serius Terapkan EITI

Jakarta, 6 Mei 2010. Pemerintah Indonesia dan Perusahaan EI (Ekstraktif Industri) diserukan untuk serius menerapkan EITI (Extractive Industri Transperency International), menyusul telah ditandatanganinya Peraturan Presiden (PerPres) No 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Daerah dari Industri Ekstraktif.

Hal ini ditandaskan oleh IESR (Institute for Essential Services Reform) dan PWYP (Publish What You Pay), dalam acara Diskusi Dengan Media: Tantangan PerPres No.26/2010, Kamis, 6 April 2010, di Jakarta, menyusul telah ditandatanganinya PerPres tersebut oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 April 2010. Hadir dalam acara Deputi Menko Perekonomian, Ir Muhammad Husen, Priyo Pribadi Sumarno (IMA/ Indonesia Mining Association).

“Ini langkah awal yang baik untuk mendorong transparasi dan akuntabilitas yang lebih luas dalam menegakkan pemberantasan korupsi serta demokratisasi lewat sektor ini. Meski ada keraguan akan implementasinya tapi upaya ini harus dihargai. Kita harapkan segera dikonkretkan,”jelas Direktur IESR, Fabby Tumiwa. Ditambahkannya, diperlukan konsensus serta pembentukan multipihak dari pemerintah, usaha EI, dan masyarakay sipil untuk memastikan keterbukan pelaporan dan pendapatan usaha EI di Indonesia.

Sebagai informasi EITI adalah Inisiatif global yang menuntut keterbukaan usaha Industri Ekstraktif (mineral, gas, minyak, batu bara, dan sejenisnya) untuk melaporkan secara terbuka pendapatan usaha EI-nya kepada publik, begitu juga pemerintah melaporkan pendapatan dari hasil setoran yang terima dari usaha EI. Inisiatif ini telah dilakukan 30 negara di seluruh dunia, dan 10 negara lainnya kini mulai berkomitment mengikuti EITI.

Di Indonesia ditandatanganinya PerPres ini adalah langkah awal Indonesia menerapkan EITI. Artinya, kini perusahaan minyak dan gas bumi atau apa pun yang dihasilkan perut bumi maka harus melaporkan segala hasil pendapatannya yang disetor ke pemerintah secara terbuka kepada publik. Instansi pemerintah yang telah terima pembayaran itu juga mengisi laporan hasil penerimaan tersebut.

Multipihak yang ditunjuk mengawasi proses pelaporan ini terutama dalam me- cross check -an laporan satu dengan lainnya. Sehingga akan jelas di sana baik pendapatan EI dan yang diperoleh (hasil setoran) pemerintah. Hasil cek silang ini kemudian dipublikasikan juga secara terbuka kepada publik.

Sementara Koordinator nasional PWYP Indonesia, Ridaya Laodengkawe menjelaskan, PerPres itu setidaknya bisa mengurai rejim ketertutupan dalam aliran pendapatan Negara dari sektor migas dan tambang. Apalagi 32-35% total penerimaan Negara dalam beberapa tahun terakhir berasal dari sektor strategis ini. Sektor ini juga selalu menjadi sumber polemik antara pemerintah puat dan pemerintah daerah, terutama tentang besaran dana bagi hasil yang merupakan salah satu elemen kunci dalam desentralisasi.

“Terdapat 7000-an kuasa pertambangan telah dikeluarkan pemerintah daerah selama Sembilan tahun masa desentralisasi, tanpa kejelasan beberapa manfaat yang telah diberikan. Kerusakan ekologis lebih menonjol sebagai akibat dari ribuan KP yang dikeluarkan tanpa kesiapan tata kelola yang baik,” jelasna.

Baik IESR dan PWYP meyakini bahwa pelaksanaan EITI secara konsukuen akan memperbaiki tatakelola aliran pendapatan Negara dari EI tetapi juga akan meningkatkan tata kelola EI secara keseluruhan.

Sedangkan Ketua IMA, Priyo Pribadi Sumarno mengatakan bahwa pihaknya telah mencoba mesosialisasikan keberadaan EITI ke perusahaan-perusahaan tambang, gas dan minyak Indonesia. Pihkanya juga menyambut baik PerPres ini.

“Sebenarnya beberapa perusahaan tambang telah melakukan pelaporan ini tiap tahunnya. Usaha EI yang menyatakan siap menjalankan EITI sementara ini hanya dari Medco dan Rio Tinto. Masyarakat akan diberikan informasi seluasnya, apakah mereka akan mendapatkan hal sepadan atau tidak,” jelasnya.

Sementara Ir Muhammad Husen menjelaskan saat ini pihaknya tengah mendorong agar Per-Pres dikonkretkan dalam implementasi yang jelas.

“Prosesnya masih panjang untuk bisa sampai ke UU. Kita fokuskan saja bagaimana menjalankan ini dengan baik. Terutama menyertakan multipihak baik dari pemerintah, usaha EI dan juga masyarakat sipil yang diwakili LSM. Saya masih bingung LSM mana yang mesti disertakan untuk masuk dalam multipihak seperti yang ditentukan EITI,”jelasnya.

Tidak tegas dan tidak ada sanksi

Sedangkan Ridaya menyayangkan Per-Pres yang ada masih dikemas dalam bahasa hukum yang halus atau tidak tegas.

“Kami sebenarnya menginginkan bahasa hukum yang tegas. Misalnya, memerintahkan kepada Pemerintah dan Perusahaan untuk menyerahkan laporan….” Namun dalam pasal 14 PerPres pemerintah memilih meformulasikan dengan tidak tegas.

Demikian juga tentang keterlibatan para pihak (multistakeholder steering group/MSG). PerPres mengatur MSG dengan sistem dua kamar (pasal 4): Tim Pengarah dan Tim Pelaksana. Konsukunesi dari sistem dua kamar ini adalah rantai koordinasi yang lebih panjang daripada yang dibayangkan oleh EITI (satu kamar).

PerPres juga tidak menyatakan benchmark atau jenis data minimal yang harus dilaporkan secara eksplisit. Di satu sisi ketiadaan benchmark dapat sebagai peluang untuk memperluas lingkup pelaporan, namun di sisi lain dapat juga bearti memainkan kekuasaannya.

Kekhawatiiran ini, meskipun diharapkan tidak terjadi, namun tetap ditemukan komposisi Tim Pelaksana (pasal 10) yang tidak seimbang dan dalam PerPres ini tidak diatur tentang voting block mechanism (pengambilan keputusan berdasarkan perwakilan unsur), sehingga kelak ada keputusan yang adil.

PerPres ini juga disayangkan tidak menegaskan adanya sanksi bagi yang tidak membuat pelaporan tegas kepada publik. Hal ini diakui Husen sebagai kelemahan PerPres.

“Tidak ada hitam di atas putihnya. Jadi memang sanksi moral saja. Tapi kunci dari keberhasilan implementasi EITI lewat PerPres ini adalah komitment semua pihak. Jika salah satunya tidak menjalankan, ini jutsru menurunkan citra kesungguhan kita yang ingin terbuka terhadap pelaporan pendapatan dan penerimaan pendapatan EI yang ada,”tandas Husen.

Nomor Kontak:

Ridaya Laodengkowe (Koordinator Nasional): 0812 803 7964
Email- ridaya.lon@gmail.com
Fabby Tumiwa (Direktur IESR): 0811 949 759
Email: fabby@iesr-indonesia.org

Pengentasan Kemiskinan Energi Membutuhkan Perubahan Cara Pandang dan Reformasi Program di Sektor Energi

IESR, Jakarta- Sungguh suatu keadaan yang memprihatinkan, di abad ke-21 ini masih ada jutaan orang yang hidup tanpa akses listrik atau pun bahan bakar untuk kebutuhan memasak sehari-hari. Menurut Biro Pusat Statistik Indonesia, sekitar 22,19 juta warga di pedesaan—yang merupakan 19% dari total penduduk—hidup di bawah garis kemiskinan.

Dengan menggunakan acuan yang berbeda, data Bank Dunia mengungkapkan sekitar 60 persen penduduk Indonesia memiliki pendapatan dibawah US$ 2 per hari. Pendapatan rendah, membuat masyarakat miskin mendapatkan jasa energi yan aman, layak dan berkelanjutan.

Penghapusan kemiskinan jelas tidak akan dapat terlaksana tanpa meningkatkan akses terhadap jasa energi. Kenyataan ini membuat ketersediaan energi bagi si miskin perlu dicapai jika ingin mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Ketersediaan dan akses energy merupakan pra-kondisi dasar untuk membantu tercapainya delapan Tujuan Pembangunan Milenium.

Di Indonesia, kemiskinan energi dapat dilihat dari tingkat rasio elektrifikasi dan ketersediaan dan akses bahan bakar modern untuk memasak. Pada tahun 2008, tingkat elektrifikasi di Indonesia baru mencapai 64% sementara hanya 60% desa-desa di Indonesia yang dialiri listrik (DESDM, 2008). International Energy Agency (IEA) memperkirakan lebih dari 80,1 juta penduduk Indonesia belum memiliki akses tenaga listrik, dan jutaan orang bergantung pada biomassa tradisional untuk memasak, yang mengakibatkan
resiko kesehatan.

“Kemiskinan energi di Indonesia merupakan realita, tetapi seringkali luput dari perhatian dan diabaikan,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. Kajian IESR yang dilakukan pada tahun 2008 menunjukkan bahwa berbagai kebijakan dan program di bidang energi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah, tidak secara spesifik ditujukan untuk mengatasi kemiskinan energi, bahkan karena miskin persiapan, program ini alih-alih mengorbankan si miskin,” imbuhnya.

Kebutuhan energi dasar bagi masyarakat desa dan perkotaan membutuhkan portfolio energi yang beragam dan mewakili kondisi ekonomi, sosial, dan sumber daya alam dari suatu daerah. Kajian IESR menunjukkan energi terbarukan seperti energi hidro, matahari, panas bumi, angin, dan bio-energi memiliki peranan penting dalam mengatasi kemiskinan energi di tanah air.

Dalam studinya di tahun 2010, IESR telah melakukan studi tentang model terbaik pengembangan energi berbasis energi setempat. Tujuan studi ini adalah untuk melihat bagaimana pengembangan energy terbarukan di tingkat lokal, dan kontribusi akses kepada energi, dapat meningkatkan sosialekonomi masyarakat setempat.

Kondisi ini nantinya diharapkan dapat memacu tercapainya tujuan pengurangan kemiskinan. Dua lokasi yang menjadi obyek kajian adalah Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Cipta Gelar dan Desa Cibuluh, Jawa Barat.

Penelitian di kedua desa ini memperlihatkan bagaimana peran energi dalam peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat. Dari kedua desa, akses terhadap penerangan—terutama pada malam hari—telah memudahkan anak-anak belajar setelah matahari terbenam. Kondisi ini tentu saja selaras dengan meningkatnya mutu pendidikan anak usia sekolah.

Pasokan listrik dari PLTMH juga telah sukses meningkatkan akses masyarakat kedua desa pada informasi. Masyarakat sudah dapat menikmati radio dan tayangan televisi. Bahkan, di Desa Ciptagelar, masyarakat sudah dapat mengakses internet. Sukses lain yang mengikuti adalah peningkatan ekonomi yang didapat dari pembangunan pabrik tahu di Desa Cibuluh.

Kondisi di atas membuktikan peran energi listrik yang dihasilkan PLTMH dapat meningkatkan sosial ekonomi masyarakat. Apabila peran listrik ini ditingkatkan, bukan tidak mungkin bahwa peningkatan akses terhadap energi seperti listrik, dapat membantu masyarakat setempat untuk mengentaskan kemiskinan. Pada akhirnya, peranan energi akan dapat mendukung masyarakat setempat untuk memerangi kemiskinan.

Dari beberapa studi pembangunan pembangkit yang bersumber pada energi terbarukan, IESR menyimpulkan beberapa kunci keberhasilan sebuah kegiatan energi terbarukan skala kecil, antara lain:

  1. Keterlibatan dan rasa kepemilikan masyarakat yang tinggi terhadap pembangkit energi terbarukan.
  2. Lewat peran aktif masyarakat, menjadikan kegiatan energi terbarukan berjalan lebih lama dan berkelanjutan.
  3. Adanya pemberdayaan masyarakat lewat peningkatan kapasitas.
  4. Peran pihak lain dalam membina masyarakat dan sumber pendanaan (LSM lokal, Pemerintah lokal, dan Donor).

Studi di atas memberikan gambaran mengenai bagaimana kegiatan penyediaan energi perdesaan seharusnya dikembangkan.

“Proyek pemerintah seringkali gagal menjamin penyediaan energi lokal secara berkelanjutan karena pengembangan institusi lokal, rasa kepemilikan dan peran serta masyarakat diabaikan. Berbagai faktor ini sangat penting untuk menjamin terwujudnya desa mandiri energi,” kata Imelda Rambitan, koordinator studi ini.

Pengentasan kemiskinan energi membutuhkan sejumlah prasyarat: pengakuan terhadap hak energi masyarakat, keinginan politik yang kuat dari pemerintah, target dan rencana strategi penanggulangan yang rinci dan spesifik, dukungan pendanaan jangka panjang dan keterlibatan komunitas lokal dalam implementasinya.

Fabby menyampaikan bahwa seluruh pendekatan penyediaan energi terbarukan dan listrik perdesaan yang berbasis pada system proyek dan anggaran tahunan saat ini harus berubah, sehingga memberikan hasil yang berkelanjutan dan dampak jangka panjang. Selain itu diperlukan integrasi dengan sector-sektor pembangunan lainnya. “Program energi perdesaan harus dilakuan secara tailor made, sesuai dengan kondisi lokal,” kata Fabby Tumiwa.

IESR berharap agar studi ini dapat berkontribusi bagi program-program pengembangan energi terbarukan di perdesaan dan wilayah terpencil yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan organisasi non-pemerintah.

Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR
Tel: 0811949759 Email: fabby@iesr-indonesia.org
Henrietta Imelda
Tel: 021-7992945 Email: ime@iesr-indonesia.org

Siaran Berita – IESR dan CSF Kampanyekan Seruan Keadilan Iklim Kepada Negara Maju

Jakarta, 26 Juli 2010,

Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim Indonesia mengkhawatirkan bahwa penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) secara global dengan drastis untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata permukaan di atas 2 derajat celcius, dalam negosiasi perubahan iklim di Bonn, pada 2-4 Agustus nanti, tidak dapat tercapai.

Sementara itu guna mempermudah masyarakat Indonesia menyuarakan pesan-pesannya kepada pemimpin dunia agar mereka menegakkan keadilan iklim dan serius dalam menurunkan emisi GRK secara global dan drastis, IESR (Institute for Essential Services Reform) dan Civil Society forum (CSF) meluncurkan kartu: “Dukung Seruan Keadilan Iklim Kepada Pemimpin Dunia,” Kartu ini telah dirancang khusus yang tersedia dalam bentuk cetak dan online (https://iesr.or.id/materi-kampanye/call-fo-climate-justice/). Pesan yang masuk akan dikirimkan kepada para pemimpin negara-negara industri, di antaranya AS, Inggris, Jepang, Australia dan Canada. Kampanye ini akan terus dilakukan hingga menjelang COP-16 di Cancun Mexico, 28 November-11 Desember 2010 mendatang.

Kartu Seruan Keadilan Iklim ini juga bisa diisi secara online melalui: https://iesr.or.id/materi-kampanye/call-fo-climate-justice/

“Kampanye ini memiliki ruang lingkup nasional dan internasional, dimana CSF dan IESR, bersama dengan relawan-relawan mengajak seluruh masyarakat yang peduli untuk menyerukan keadilan iklim dan menuntut negara-negara maju bertanggung jawab menurunkan emisi GRK secara drastis, “ jelas Giorgio Budi Indrarto, dalam press release yang dikeluarkan bersama IESR, dan Walhi.

Sementara itu terkait dengan persiapan negosiasi perubahan iklim 2-4 Agustus, di Bonn, Jerman Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, yang juga akan hadir dalam kegiatan tersebut sebagai negosiator keadilan iklim untuk Indonesia ini mengatakan, setelah COP-15 Copenhagen berakhir dengan segala kegagalan untuk mendapatkan komitmen negara-negara industri menurunkan emisi GRK paska berakhirnya Protokol Kyoto pada tahun 2012, bahkan dengan dua putaran negosiasi UNFCCC pada bulan April dan Juni lalu pun, masih belum menunjukan bahwa negara-negara maju akan memberikan komitmen mereka untuk melakukan penurunan emisi GRK sebagaimana yang disarankan oleh IPCC, yaitu 25-40% tingkat emisi 1990 pada 2020 dan lebih dari 80% pada tahun 2050.

Copenhagen Accord (CA) telah menyatakan adanya target global untuk membatasi kenaikan temperatur di bawah 2 derajat celcius, sayangnya hal ini tidak dinyatakan dalam bentuk komitmen penurunan emisi yang nyata di tingkat negara. Alih-alih membatasi kenaikan temperatur di bawah 2 celcius, komitmen penurunan emisi yang dibuat paska CA justru mengarah pada kenaikan di atas 3 celcius. Komitmen penurunan emisi dari negara-negara industri pengemisi besar seperti US, Jepang, Canada, Australia, justru sangat rendah, dibandingkan dengan penurunan yang seharusnya mereka lakukan.

“Negara maju ini yang jumlahnya hanya 20% dari penduduk dunia telah mengeluarkan gas rumah kaca lebih dari 70% untuk kegiatan industri dan pembangunan negaranya. Sudah sepantasnya negara-negara maju bertanggung jawab dan harus bersedia menurunkan emisi gas rumah kaca mereka untuk memberikan ruang yang cukup bagi negara-negara berkembang untuk memanfaatkan sisa ruang atmosfir (atmospheric space) yang tersedia, yang makin tergerus akibat peningkatan laju emisi negara-negara maju dan sedikit negara berkembang yang lebih maju (advance developing country). Negara-negara industri harus menurunkan emisi mereka secara drastis dari sekarang hingga tahun 2050 mendatang, sehingga memungkinkan negara-negara berkembang untuk tumbuh dengan mengkonsumsi ruang atmosfer yang masih tersisa,” jelas Fabby.

Antusiasme orang-orang yang ikut mendukung Seruan Keadilan Iklim kepada Negara Maju

Sementera itu Koordinator CSF (Civil Society Forum), Giorgio Budi Indrarto menyatakan bahwa keselamatan ekologi dan rakyat tarancam, tidak hanya Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Masyarakat sipil Indonesia juga dihimbaunya untuk tidak tinggal diam dan berpangku tangan menanti kesepakatan negosiasi Internasional yang akan mengancam kehidupan kita saat ini dan generasi yang akan datang.

“Untuk mendorong adanya kesepakatan internasional yang menghasilkan penurunan emisi GRK secara drastis dari negara-negara maju, memastikan agar isu keadilan iklim menjadi basis dalam negosiasi serta memastikan keselamatan manusia dan ekologis, CSF dan IESR meluncurkan kampanye “Dukung Seruan Keadilan Iklim Kepada Pemimpin Dunia, dalam bentuk kartu yang telah saya sebutkan sebelumnya,” tambah Giorgio

Giorgio menambahkan, tuntutan yang diajukan adalah Negara maju sebagai emiter di dunia mengurangi emisi gas rumah kaca dinegerinya masing-masing secara drastis. Termasuk menyediakan dana dan teknologi yang cukup bagi Negara berkembang yang memampukan mereka untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim secara efektif dan melakukan pembangunan rendah emisi serta mengentaskan kemiskinan.

Sebagai catatan emisi yang dikeluarkan oleh negara industri atau Annex1 sejak revolusi industri tahun 1750 telah melemahkan kemampuan bumi untuk menyerap gas-gas tersebut dan menyebabkan krisis iklim global. Hal ini bisa dibandingkan setimpal dengan rata-rata jejak ekologi tertinggi perkapitas penduduk Amerika Serikat (9,5 gha/global hektare), Inggris (5,45 gh). Dan itu artinya dalam kemampuan bumi, maka Amerika membutuhkan 9,5 planet yang setara dengan bumi, dan Inggris, lima planet bumi.

Jika diakumulasi sejak 1750 (revolusi industri) hingga 2006 saja maka tercatat bahwa Amerika ada di peringkat pertama dengan kontribusi karbon 337, 747.80 Cmt (carbon metric ton) CO2e atau 29% dari total emisi dunia. Disusul Jerman 80,377.00 cmt CO2e (6,99%), Inggris 68,235.00 Cmt CO2e, Jepang 44,535,20 Cmt CO2 (3,87%), dan Perancis 32,278.60 (2,81%) – sumber dari Climate Analyse Indicators Tool (CAIT) version 7,0, Washington DC, 2010).

Salah satu aspek yang sangat penting dalam tuntutan masyarakat sipil Indonesia adalah rencana bantuan pendanaan dan teknologi bagi negara-negara miskin dalam upaya mengatasi masalah pemanasan global, sebagaimana yang menjadi kewajiban negara industri sesuai konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC).

Hingga saat ini, komitmen dan realisasi pendanaan dari negara industri untuk adapatasi negara berkembang dalam mengahadapi perubahan iklim sangat rendah. Hasil CA menyebutkan negara-negara maju akan menyediakan bantuan pendanaan 30 miliyar dollar untuk jangka waktu tiga tahun ke depan (2010-20120 untuk membiayai program-program penanggulangan pemanasan global. Bantuan akan ditingkatkan sebesar 100 juta dollar per tahun sampai tahun 2020.

“Dana sebesar itu tidak cukup untuk penanggulangan masalah dampak pemanasan global, khususnya program adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang, dan tidak bisa mereka membebankan biaya adapatasi perubahan iklim kepada negara berkembang, karena bukan kita yang menyebabkan perubahan iklim,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur IESR.

Aspek yang juga menjadi sorotoan CSF dan WALHI adalah cara penurunan emisi GRK dilakukan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) secara tegas menolak cara-cara yang dilakukan negara emiter industri dengan mengalihkan dua isu tersebut dengan skema perdagangan karbon dan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. “Kami tetap akan menolak ini di Bonn, karena skema ini telah menjauhkan tanggung jawab Negara Annex 1 untuk mengurangi emisi karbon mereka secara signifikan,” jelas Teguh Surya, Kepala Departemen Kampanye Walhi.

Ditambahkannya, kendati skema yang mengaturnya belum diputuskan, namum sejumlah proyek percobaan (pilot project) sudah dijalankan di Indonesia dengan dikeluarkannya Permenhut No. 68 tahun 2008 tentang penyelenggaraan demonstration activity pengurangan emisi karbon dan dari deforestasi dan degradasi hutan. Saat ini direncanakan terdapat 26,6 juta hektar lahan di Indonesia yang diperdagangkan dalam mekanisme perdagangan karbon. Dengan nilai uang yang beredar sekitar 6,3 milyar US$ (sekitar Rp 63 triliun). Skema ini menjual murah 26,6 juta hektar hutan alam Indonesia mulai dari tegakan pohon, hewan, tumbuhan, tanah, sumber mata air, dan ruang interaksi sosial, dan entitas masyarakat hukum adat di wilayah tersebut, hanya seharga Rp. 12,- per meter perseginya.

Walaupun demikian, dengan tantangan dan ancaman perubahan iklim yang semakin nyata, pembangunan negara berkembang tidak mencontek model pembangunan yang dilakukan negara-negara maju selama 2,5 abad lalu. Negara-negara berkembang seperti Indonesia harus masuk dalam model jalur pembangunan rendah emisi (low carbon emission pathway) yang ditandai dengan salah satunya membatasi konsumsi tetapi meningkatkan intensitas dari sumber daya energi yang tidak terbarukan, serta secara bertahap meningkatkan pemanfaatan sumber energi yang terbarukan.

Di sisi lain, dalam tingkat masyarakat, ketidakadilan iklim juga terjadi dalam lingkup masyarakat Fabby juga mengingatkan bahwa ketidakadilan iklim juga ditimbulkan oleh emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh kelompok masyarakat berpendapatan menengah keatas, yang tinggal di kawasan perkotaan dan semi-perkotaan.

Survei sederhana yang dilakukan oleh IESR melalui perangkat Carbon Footprint Calculator yang dilakukan pada April – Juni 2010, mengindikasikan bahwa pola dan gaya hidup dari kelompok masyarakat berpendapatan menengah di perkotaan menghasilkan emisi GRK rata-rata 4-6 kali dibandingkan dengan rata-rata emisi GRK per-kapita nasional. Artinya, masyarakat perkotaan, kelas menengah (middle class) sesungguhnya merampas ruang atmosfir masyarakat miskin yang pola dan gaya hidupnya hanya menghasilkan emisi yang relatif rendah. “Jadi kami juga menyerukan sikap berkeadilan iklim di kalangan masyarakat kita sendiri melalui kampanye Ayo Kita Diet Karbon,” tandas Fabby.

No. Kontak:

Giorgio Budi Indrarto: 0813 85770196
Teguh Surya: 0811 8204 362
Fabby Tumiwa: 0811949759

Climate Watch Up date Vol. 1 (Juni 2010) : Perkembangan Negosiasi Internasional

Oleh: Siti Badriyah

Pesimisme akan Perundingan di Cancun

Negara-negara di dunia saat ini sedang pesimis dengan tercapainya keputusan yang kuat pada perundingan perubahan iklim antar bangsa-bangsa di Mexico Desember nanti. Dalam pertemuan tingkat tinggi perubahan iklim yang diadakan di China bulan Mei dihadiri 20 menteri lingkungan hidup seluruh dunia dan 600 utusan dari berbagai negara menyerukan dengan mendesak kepada Negara-negara maju untuk melanjutkan pelaksanaan Protokol Kyoto setelah 2012 dan bertanggung jawab secara terikat untuk pengurangan emisi. Pertemuan ini diadakan sebelum pertemuan pertengahan tahun perubahan iklim di Bonn[1].

Meskipun sudah ada perkembangan dalam negosiasi perubahan iklim dunia dengan akord baru untuk mengatasi perubahan iklim, tapi masih butuh langkah panjang sebelum tercapainya kesepakatan yang mengikat. Pelajaran penting harus diambil dari perundingan Kopenhagen tahun lalu adalah untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan meletakkan semua hal perundingan secara bersamaan dan mengharapkan sebuah paket hasil negosiasi yang lengkap dan komprehensif. Yang sesungguhnya hal yang dapat dicapai dalam proses negosiasi adalah peningkatan perkembangan dari negosiasi itu sendiri[2].

Pesimistis terhadap konferensi Cancun karena kegagalan pada Pertemuan Para Pihak ke-15 Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (COP-15 UNFCC) Desember lalu. Namun menurut, Luis Alfonso de Alba, pejabat khusus perubahan iklim Meksiko, di sela-sela pertemuan khusus perubahan iklim PBB di Bonn, Jerman, mengatakan pertemuan Cancun akan menghasilkan keputusan yang lebih jauh serta perjanjian yang mengikat[3].

Oslo Meeting; Konferensi Perubahan Iklim dan Hutan.

Setelah adanya pertemuan tingkat tinggi di Beijing, China, pada bulan Mei juga diselenggarakan Konferensi Perubahan Iklim dan Hutan di Oslo, Norwegia. Dalam konferensi ini Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Norwegia menandatangani letter of intent (LoI) atau kesepakatan untuk melakukan sesuatu terkait pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestrasi dan degradasi hutan senilai 1 miliar dollar Amerika serikat pada tanggal 26 Mei 2010. LoI ini akan dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, implementasi dan penilaian atas pengurangan emisi yang dilakukan. Menurut Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, LoI ini akan dilaksanakan berdasarkan sistem monitoring, reporting dan clarification (MRC).

Pembayaran atas kerjasama ini akan dilakukan setelah pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sudah dilakukan secara terukur. Dengan penggunaan sistem MRC, pemerintah yakin REDD+ akan berjalan dengan baik[4]. Kerjasama ini akan berlangsung hingga tahun 2016[5]. Berkat kerjasama dalam REDD dengan Norwegia, Indonesia merupakan role model dalam kerjasama program pemulihan hutan dan perubahan iklim antara negara maju dan negara berkembang[6].

Tindak Lanjut Kerjasama Norwegia. Sebagai salah tindak lanjut kerjasama dari pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melakukan moratorium atau penghentian sementara penerbitan izin pengusahaan hutan. Rencana moratorium izin pengusahaan hutan mendapat tanggapan yang beragam dari kalangan dunia usaha. Dari sektor perdagangan dan industri, moratorium izin hutan ini dinilai akan menghambat tujuan pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen pada 2014.

Moratorium juga akan membuat investor tidak tertarik menanmkan modalnya di Indonesia. Namun ada beberapa kalangan juga setuju dengan moratorium ini namun memberikan beberapa catatan[7]. Menurut pemerintah moratorium ini tidak akan menghambat dunia usaha perkebunan karena masih dapat menggarap lahan selain gambut dan hutan alami. Di luar Jawa terdapat lahan seluas 17 juta hektar yang dapat dimanfaatkan untuk usaha agro industri, kehuatnan, kertas, percetakan, penerbitan[8].

Tanggapan dari masyarakat sipil mengenai moratorium ijin pengusahaan hutan, berbagai LSM menyambut baik dan menyatakan dukungannya. Seperti koalisi LSM yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), HuMa, Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Konsorsium Pengelola Hutan Kemasyarakatan, Bank Information Center, dan Dewan Kehutanan Nasional (Kamar Masyarakat). Mereka menyambut baik beberapa beberapa butir kesepakatan penting, antara lain dukungan terhadap partisipasi dari masyarakat adat, dan upaya untuk membangun strategi nasional pengurangan emisi yang mengatasi semua penyebab utama emisi karbon dari hutan dan lahan gambut di Indonesia[9]. Meskipun demikian, mereka menilai moratorium izin pengusahaan hutan selama dua tahun ini dirasa masih kurang untuk mengatasi kerusakan yang parah[10].

Hal yang perlu diwaspadai dari program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) adalah negara maju sebagai penyebab polusi terbesar dunia, bisa lari dari tanggung jawab, dengan alasan telah menyumbang dana melalui REDD untuk pengurangan emisi di negara berkembang. Artinya, melalui REDD terjadi pengesahan atas polusi, dengan justifikasi peningkatan bantuan melalui REDD. Laporan Population 2009, dengan mengutip wartawan lingkungan hidup Fred Pearce, menyebutkan bahwa 500 juta warga terkaya dunia, atau 10 persen dari total penduduk dunia, menyumbang 50 persen terhadap emisi karbon dioksida dunia. Sedangkan sebanyak tiga setengah miliar penduduk dunia, atau sekitar 50 persen total populasi global, pada umumnya tinggal di negara berkembang, hanya menyumbang 7 persen pada emisi global.[11].

Bonn Climate Change Talk

Indonesia kembali menunjukkan perannya dalam diplomasi internasional di bidang perubahan iklim. Hal yang menjadi perhatian berbagai negara terhadap Indonesia adalah keberhasilan Pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia dalam Kerjasama Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari deforestasi dan degradasi hutan. Pada Bonn Climate Change Talks berbagai negara ingin mengetahui lebih lanjut langkah-langkah Indonesia sebagai negara yang telah menggagas Jalan Tengah dalam proses mencapai kesepakatan global perubahan iklim. Pertemuan tersebut dimulai pada tanggal 31 Mei – 11 Juni 2010 dihadiri oleh perwakilan dari 182 negara dan merupakan pertemuan untuk membicarakan berbagai permasalahan yang belum disepakati pada Pertemuan Para Pihak di Kopenhagen (COP 15) serta merintis jalan agar berbagai tindakan untuk mengatasi perubahan iklim dapat dilaksanakan di seluruh dunia[12].

Ketua Delegasi Republik Indonesia pada Bonn Climate Change, Rachmat Witoelar, dalam Sidang Pleno Ad-Hoc Working Group on Kyoto Protocol (AWG-KP) mendesak kepada negara-negara maju anggota Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) untuk membuat komitmen kedua pengurangan emisi gas rumah kaca pasca komitmen pertama dari Protokol Kyoto yang berakhir 2012[13].

DALAM NEGERI

Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim.

Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar ditunjuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi utusan khusus presiden yang menangani perubahan iklim. Dengan status utusan khusus Presiden RI, mantan menteri lingkungan hidup tersebut memiliki posisi lebih kuat untuk melakukan negosiasi perubahan iklim di even internasional[14].

Indonesia Mempromosikan Indonesia Climate Change Trust Fund dalam ASEM.

Pemerintah Indonesia mempromosikan Indonesia Climate Change Trust Fund, yang diperuntukan bagi pengelolaan dana-dana antisipasi perubahan iklim, kepada Uni Eropa dalam acara Asia-Europe Meeting (Asem) Development Conference ke-2 yang digelar di Yogyakarta 26-17 Mei 2010[15].

Pendanaan Iklim di Indonesia

Bank Dunia Memberikan Hutang Senilai 200 Juta Dollar.

Pada tanggal 25 Mei 2010, Bank Dunia memberikan pinjaman senilai 200 Juta Dollar Amerika Serikat[16].

Indonesia dan Jerman sepakat untuk memperkuat kerjasama dalam mengatasi dampak perubahan iklim.

Kesepahaman ditandatangani pada 11 Mei 2010. Beberapa hal penting dari kesepahaman tersebut, antara lain penguatan kerjasama pengalokasian dana kerjasama keuangan sejumlah EUR 54 juta, untuk pengembangan proses produksi ramah lingkungan bagi usaha kecil dan menengah dalam rangka pengurangan emisi, serta untuk mendukung pembangunan infrastruktur perkotaan, khususnya pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. Selain itu juga mendukung usaha pemerintah dalam pengembangan kelistrikan yang memanfaatkan panas bumi (geothermal), serta menyepakati pengalokasian dana hibah bantuan teknik senilai EUR 29,6 juta untuk pengembangan dan dukungan kebijakan perubahan iklim, desentralisasi dan tata kelola, kesehatan, pelatihan kejuruan dan pengembangan sistem jaminan sosial[17].

AS Tawarkan Hibah 100 ribu dolar Antisipasi Perubahan Iklim

Indonesia telah mendapatkan tawaran hibah dari Amerika Serikat senilai 100 ribu dolar AS dalam kaitan program mengatasi perubahan iklim (climate chnage)[18]. Sampai sejauh ini baru Inggris yang telah memberikan komitmennya terhadap Indonesia untuk mengantisiapasi dampak perubahan iklim. Inggris telah menghibahkan sebesar 50 juta poundsterling selama lima tahun. Beberapa negara yang tertarik di antaranya Jepang dan Belanda.

Indonesia Dapat 3 Miliar Dolar untuk Perubahan Iklim

Menurut menteri keuangan dan George Soros, Indonesia dapat memperoleh bantuan dana internasional mencapai tiga miliar dolar AS (sekitar Rp27,6 triliun) untuk menanggulangi perubahan iklim pada 2012 termasuk dana dari Norwegia [19].

George Soros menyetujui pembentukan agen khusus untuk mengelola pendanaan iklim.

Dalam kunjungannya ke Indonesia, penasihat perubahan iklim PBB, George Soros, telah mendukung proposal Indonesia untuk membentuk sebuah agen khusus bertanggung jawab untuk mengelola bantuan internasional dalam rangka mengatasi perubahan iklim[20]. Pendanaan melalui badan khusus ini akan disandingkan dengan pendanaan pemerintah melalui APBN dalam untuk membiayai program penurunan emisi yang difokuskan pada memberantas penebangan pohon ilegal, mengurangi kebakaran hutan, menekan deforestasi, serta pengembangan komunitas sekitar hutan. Dalam pembiayaan melalui badan khusus itu juga akan diterapkan mekanisme pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) untuk memastikan akuntabilitasnya[21].

Kontroversi Dana Hutang atau Hibah Perubahan Iklim

Sekjen Kementerian Kehutanan menyatakan Kemenhut hingga kini tidak menerima dana pinjaman dari manapun untuk pengelolaan hutan. Jika ada dana untuk pengelolaan hutan, terlebih yang terkait dengan perubahan iklim, semuanya adalah dalam skema `grant` atau hibah. Menurut data Kemenhut per 2010, hibah diterima dari Australia dikemas dalam skema “Australia forest carbon partnership” adalah sebesar 70 juta dolar Australia, Jerman dalam pilot project REDD sebanyak 32,4 juta euro, Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) untuk program UN-REDD 5,6 juta dolar AS, dari Jepang (ITTO) sebesar 60,150 dolar AS. Selain itu juga hibah dari Korea (KIPCCF) sebesar 5 juta dolar AS, JICA (Jepang) 720 ribu dolar AS, Bank Dunia sebesar 3,6 juta dolar AS, 1,4 juta dolar AS, dari Australia melalui LSM untuk program ACIAR dan ICRAF adalah 1,123 juta euro. Jika dilihat proporsinya hibah dari negara donor untuk pengelolaan hutan tidak sampai 5% dari total alokasi APBN untuk kehutanan sebesar Rp 3 triliunan. Semua kegiatan kehutanan dibiayai oleh APBN yang sumber pemasukannya dari dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan.

Sebelumnya, kelompok masyarakat sipil menilai isu perubahan iklim digunakan pemerintah sebagai alasan untuk menambah utang baru, meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan hati-hati menerima bantuan dalam pinjaman untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Menurut Koalisi Anti Utang (KAU) pernyataan Presiden bertolak belakang dengan realitas kebijakan pembiayaan iklim pemerintah selama ini. Pada tahun 2008-2009, utang pemerintah terkait perubahan iklim mencapai 1,1 miliar dolar AS. Dana pinjaman yang dimaksudkan untuk mengatasi perubahan iklim tersebut justru digunakan untuk menutup defisit APBN 2009. Jumlah tersebut belum termasuk komitmen “Climate Investment Fund” (CIF) yang dikelola Bank Dunia sebesar 480 juta dolar AS.

Dalam APBN 2010 pemerintah juga mengajukan utang baru yang masih terkait perubahan iklim sebesar 800 juta dolar AS dengan rincian dari Jepang dan Perancis masing-masing 300 juta dolar AS, dan Bank Dunia 200 juta dolar AS. Penetapan regulasi tentang pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) dijadikan sebagai salah satu syarat dalam pengucuran utang luar negeri, selain kompensasi penggunaan energi dan perdagangan karbon. Saat ini persentase hutang dalam rangka perubahan iklim jauh lebih besar dibandingkan hibah yaitu 68% dibandingkan 32%[22]. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pemerintah tidak perlu mengajukan pinjaman untuk perubahan iklim. Seharusnya lebih mengoptimalkan dana dari hibah[23].

Issue Dalam Negeri Lainnya

Kajian Penelitian Sejarah Iklim di Puncak Jaya[24]

Para peneliti iklim dari BMKG bekerjasama dengan peneliti dari Byrd Polar Research Center (BPRC), Columbia University, dan The Ohio State university Columbus akan melakukan kajian gumpalan es abadi di Puncak Jaya untuk memperloleh informasi valiabilitas dan perubahan iklim yang terjadi. Ekspedisi ilmiah puncak jaya ini adalah satu-satunya ekspedisi pengkajian es di wilayah Indonesia. Di daerah tropis terdapat tiga gunung yang dilapisi es, yaitu: Kilimanjaro, Tazania (5895 m dpl); Puncak Jaya, Indonesia (4884 m dpl); dan Andes, Peru (6962 m dpl). BMG 5 Mei 2010.

Pemerintah Tingkatkan Anggaran Hutan Bakau

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan kepada para pemimpin pemerintah daerah di seluruh Indonesia, terutama di Jawa, Sumatera, dan daerah-daerah lain yang punya kawasan hutan bakau, untuk menghutankan kembali atau merehabilitasi hutan bakau secara serius [25].


[1]China Daily: Climate forum paves way to Cancun meet. 07-05-2010. http://www.chinadaily.com.cn.

[2]David Stanway. China Says New Global Climate Deal Still Far Away. 10 Mei 2010. http://www.reuters.com.

[3]Kompas. Meksiko Optimistis pada Hasil Cancun. Kamis, 3 Juni 2010. http://cetak.kompas.com.

[4]Kompas. Pengurangan Emisi, RI-Norwegia Teken LoI. Kamis, 27 Mei 2010. http://nasional.kompas.com.

[5]Antara News. http://www.antaranews.com.

[6]Kontan online. Rabu 26-05-2010. http://www.kontan.co.id.

[7]Antara News. 6 Juni 2010. http://www.antaranews.com.

[8]MORATORIUM IZIN PENGELOLAAN HUTAN. Senin, 07 Juni 2010. http://www.kontan.co.id.

[9]Antara News. http://www.antaranews.com.

[10]Two-Year Moratorium Signed in Oslo Not Enough, Green Groups Complain. Jakarta Globe http://www.thejakartaglobe.com.

[11]Kompas. Selasa, 8 Juni 2010. http://cetak.kompas.com.

[12]Press Release DELRI. Bonn, 1 Juni 2010.

[13]Antara. http://www.antaranews.com.

[14]Kompas. Rachmat Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim. Jumat, 21 Mei 2010. http://sains.kompas.com.

[15]http://www.menlh.go.id.

[16]World Bank. http://web.worldbank.org.

[17]Jawa Pos Nasional. http://www.jpnn.com.

[18]Antara News. http://www.antaranews.com.

[19]Republika. http://www.republika.co.id.

[20]Jakarta Post. http://www.thejakartapost.com.

[21]Kompas. http://cetak.kompas.com.

[22]Antara News. Rabu, 2 Juni 2010. http://www.antaranews.com.

[23] Suara Karya. http://www.suarakarya-online.com.

[24]BMG. http://www.bmg.go.id.

[25]Kompas. http://cetak.kompas.com.