Siaran Pers: IESR Sesalkan Pemangkasan Bauran Energi Terbarukan dalam Rancangan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2018-2027

Merasionalisasi PLTU batubara dan meningkatkan bauran energi terbarukan justru mengurangi risiko keuangan PLN dalam jangka panjang.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menyesalkan berkurangnya porsi bauran energi terbarukan dari 21 ribu MW menjadi 14 ribu MW dalam Rancangan RUPTL 2018-2027. Menurut IESR, pengurangan bauran energi terbarukan dengan alasan terjadinya penurunan proyeksi permintaan listrik dinilai tidak tepat. Sebaliknya, penurunan permintaan listrik justru harus diantisipasi dengan mengurangi PLTU batubara dan menambah PLT Gas dan Pembangkit energi terbarukan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif menilai dengan memprioritaskan pembangunan PLTU, PLN justru memperbesar eksposure risikonya. Menurutnya, biaya investasi pembangkit terdistribusi seperti sel surya dan batterai penyimpan membuat teknologi ini dapat berpeluang menjadi disruptive technology untuk pembangkit skala besar seperti PLTU.

“Teknologi solar rooftop dan baterai dapat menjadi ancamanan bagi PLN. Aplikasinya di skala rumah tangga dan komersial dengan harga yang kompetitif dalam 5-10 tahun mendatang dapat memangkas kebutuhan dan permintaan listrik pelanggan rumah tangga dan komersial dari PLN. Akibatnya kapasitas PLTU yang terbangun akan idle, “ kata Fabby.

Faktor lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah menurunnya pertumbuhan permintaan listrik sejak 2013 dapat berlanjut di tahun-tahun mendatang. Penurunan pertumbuhan ini terjadi karena terjadi efisiensi pada sisi pelanggan listrik dan berkurangnya penggunaan listrik dari segmen konsumen industri akibat relokasi, efisiensi mesin, dan pengurangan volum produksi.

“Memang tidak mudah memperkirakan beban listrik dalam 5-10 tahun mendatang karena faktor-faktor penentunya sangat dinamis dan sukar ditebak. Profil permintaan listrik saat ini tidak sama dengan 10-15 tahun lalu, saat itu kebutuhan listrik naik pesat diatas laju pertumbuhan ekonomi. Saat ini laju pertumbuhan listrik sudah dibawah laju pertumbuhan ekonomi, dan kemungkinan trend ini akan terus berlanjut. Jika ini terjadi, maka risiko terjadinya over-supply pembangkit cukup tinggi,“ tambah Fabby.

Pasokan yang berlebih (over supply) pembangkit yang dibangun oleh PLN dan swasta (IPP) dapat memicu terjadinya stranded asset (aset mangkrak), karena kapasitas yang sudah dibangun tidak dibeli listriknya oleh pelanggan PLN. Dampaknya adalah beban keuangan yang harus ditanggung oleh PLN dan IPP meningkat, dan dapat memicu kerugian finasial PLN.

Risiko peningkatan biaya pembangkitan listrik akibat kenaikan biaya energi primer, khususnya batubara dan BBM, seperti yang terjadi saat ini pada PLN, sesungguhnya dapat dimitigasi dengan membangun lebih banyak pembangkit energi terbarukan yang biaya listriknya tidak terpengaruh harga bahan bakar. Dengan demikian konsumsi energi primer dapat dikurangi secara perlahan.

Menurut IESR, pembangunan pembangkit energi terbarukan skala besar di sistem Jawa-Bali secara teknis dimungkinkan, asalkan PLN dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) bisa keluar dari dogma perencanaan listrik yang konvensional dengan memberi ruang penetrasi energi terbarukan yang lebih besar. Walaupun biaya teknologi energi terbarukan di dunia turun drastis dalam sepuluh tahun terakhir, biaya investasi energi terbarukan di Indonesia masih relatif tinggi. Hal ini disebabkan karena faktor risiko yang masih dinilai tinggi dan mempengaruhi bankability project, tingginya biaya pengadaan lahan, dan suku bunga domestik.

Dari pengalaman negara lain, biaya investasi akan turun seiring dengan peningkatan kapasitas pembangkit energi terbarukan. Oleh karena itu, pembangunan pembangkit energi terbarukan yang bersifat intermittent seperti surya (PLTS dan rooftop solar) dan bayu perlu ditingkatkan hingga 1000-2000 MW untuk membuat biaya investasi turun.

Menurut kajian dari International Renewable Energy Agency (IRENA), potensi pembangkit energi terbarukan yang dapat dibangun di Indonesia mencapai 7 GW per tahun sampai 2030, 3,1 GW diantaranya adalah teknologi PLTS dan rooftop.

Pendekan dan strategi inilah yang tidak tampak dalam penyusunan RUPTL 2018-2027. Menteri Jonan berkali-kali mendesak harga listrik energi terbarukan turun, bahkan lebih murah daripada harga listrik PLTU tetapi sejauh ini pemerintah tidak memiliki kerangka kebijakan yang komprehensif dan strategi yang terarah dan terukur bagaimana mencapai harga energi terbarukan yang lebih kompetitif. Yang terjadi adalah Menteri ESDM justru membuat aturan yang menghambat investasi energi terbarukan melalui penerbitan Permen ESDM No. 50/2017.

IESR mendesak agar KESDM dan PLN mempertimbangkan ulang upaya mengurangi porsi energi terbarukan dalam RUPTL, selain dapat meningkatkan risiko PLN jangka panjang tapi juga akan semakin memperburuk persepsi risiko dan investasi energi terbarukan di Indonesia.

“Investor akan memandang bahwa pemerintah Indonesia plin-plan, karena tidak konsisten dengan target yang dibuat sendiri, yaitu 23% bauran energi terbarukan pada 2025. Selain itu pemerintah juga bakal dinilai tidak memiliki komitmen untuk berkontribusi pada upaya penurunan emisi gas rumah kaca global, sebagaimana komitmen Presiden Joko Widodo tahun 2015 lalu. Menteri ESDM yang akan mengesahkan RUPTL harus memahami konsekuensi persepsi investor di bidang energi yang semakin negatif,” imbuh Fabby.

Jakarta, 23 Februari 2018

Kontak media:
Yesi Maryam |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477

Siaran Pers: Perlu Revisi Aturan Sektor ESDM untuk Perbaikan Iklim Investasi Energi Terbarukan di Indonesia

Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut positif penataan regulasi di sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pencabutan 32 aturan di sektor ESDM yang disampaikan oleh Menteri ESDM Ignatius Jonan hari ini (5/2) di Jakarta.

 

“Meski demikian, pencabutan 32 aturan ini tidak cukup memadai untuk mendorong investasi karena yang diperlukan justru revisi atau pencabutan peraturan-peraturan yang dihasilkan dalam 1,5 tahun terakhir,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

 

Menurut Menteri ESDM, penataan ini merupakan respon atas arahan Presiden untuk mengurangi perizinan dan mengurangi peraturan, sebuah langkah yang dipandang perlu sebagai upaya untuk mendorong kegiatan usaha dan investasi.

 

Penelusuran yang dilakukan IESR terhadap pencabutan aturan di bidang EBTKE menunjukkan pencabutan berbagai peraturan ini sesungguhnya tidak berkaitan dengan penyederhanakan proses bisnis, memberi kepastian investasi, atau kepastian yang lebih baik bagi pelaku usaha. Pencabutan berbagai peraturan ini pada dasarnya terjadi karena peraturan-peraturan tersebut secara default tidak akan dapat dijalankan karena lahirnya aturan-aturan baru yang disusun oleh Menteri Jonan

 

Misalnya pencabutan Permen ESDM No. 19/2015, Permen ESDM No. 19/2016, Permen ESDM No. 18/2012, dan Permen ESDM No. 21/2016 merupakan konsekwensi logis setelah Menteri ESDM mengeluarkan Permen ESDM No. 12/2017 dan No. 50/2017. Kedua Permen tersebut mencabut insentif feed-in tariff untuk energi terbarukan yang digantikan dengan kebijakan harga energi terbarukan dengan referensi BPP PLN. Peraturan baru ini membatalkan beleid yang ada di peraturan-peraturan sebelumnya.

 

Pencabutan Permen ESDM No. 13/2012 mengenai Penghematan Pemakaian Tenaga Listrik, pada dasarnya dilakukan karena upaya penghematan pemakaian listrik yang dimandatkan dalam peraturan tersebut praktis tidak terjadi selama masa kepemimpinan Menteri Jonan. Di tengah-tengah upaya PLN menaikkan penjualan listrik untuk mengatasi rendahnya pertumbuhan permintaan, pencabutan Permen ini juga dipandang sebagai upaya mendorong konsumsi listrik di gedung pemerintah dan BUMN.

 

IESR menilai pencabutan aturan-aturan di bidang Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) harus dibarengi dengan evaluasi yang terbuka atas berbagai peraturan yg dibuat oleh Menteri ESDM dalam kurun waktu 1,5 tahun terakhir. Menteri ESDM dinilai rajin mengeluarkan peraturan yang tidak didahului dengan kajian legal dan teknis-ekonomis yang memadai.

 

Dalam hal pengembangan energi terbarukan, Permen ESDM No. 50/2017 menjadi penghambat pengembangan pembangkit energi terbarukan dan menyebabkan proyek energi terbarukan tidak bankable karena ketentuan harga beli dengan referensi BPP dan adanya ketentuan BOOT.

 

Demikian juga kehadiran Permen ESDM No. 1/2017 akibat ketidakjelasan dalam klasifikasi jenis pembangkit paralel justru menjadi penghambat pengembangan surya atap/solar rooftop. Padahal menurut IRENA (2017), potensi instalasi teknologi listrik surya mencapai 3,1 GW per tahun, di mana sekitar 1 GW merupakan potensi dari solar rooftop dan 2 GW untuk PLTS (ground mounted solar).

 

“Untuk memenuhi arahan Presiden perihal investasi dan kemudahan usaha untuk menstimulus pengembangan energi terbarukan, Menteri ESDM justru perlu merevisi atau mencabut berbagai aturan yang dibuat selama tahun 2017 alih-alih mengurangi peraturan yang tidak relevan. Berbagai peraturan yang dibuat selama tahun 2017 justru menghambat investasi energi terbarukan,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

 

“Lambatnya realisasi investasi dari 68 kontrak (PPA) pembangkit energi terbarukan yang telah ditandatangani dengan PLN tahun lalu menunjukan bahwa pihak pengembang kesulitan mencapai financial closing dan mendapatkan dukungan pembiayaan dari perbankan,” tambahnya.

 

Dalam hal pengembangan energi terbarukan, pemerintah juga diminta untuk mendukung usulan pembentukan RUU Energi Terbarukan di DPR. RUU ini merupakan salah satu cara untuk memberikan kepastian regulasi bagi pengembangan energi terbarukan dalam jangka panjang, untuk memenuhi target bauran energi terbarukan sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Umum  Energi Nasional (RUEN)

 

Jakarta, 5 Februari  2018

 

Kontak media:
Yesi Maryam |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477

Siaran Pers: IESR Apresiasi Pemerintah Dalam Mencapai Target Rasio Elektrifikasi Sebesar 94,91%, Saatnya Tingkatkan Kualitas Pasokan Listrik

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) melalui Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rabu (10/1) lalu mengumumkan tentang pencapaian rasio elektrifikasi Indonesia sepanjang tahun 2017 sebesar 94,91%. Angka ini melebihi dari dari target yang direncanakan sebesar 92,75%.

“Pencapaian target rasio elektrifikasi tahun 2017 sebesar 94,91% merupakan keberhasilan yang perlu diapresiasi. Namun pemerintah melalui Kementerian ESDM juga perlu menjelaskan bagaimana perhitungan pencapaian angka tersebut. Apakah pencapaian ini juga mengikutsertakan program Listrik Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) atau tidak” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform di Jakarta, Jum’at (12/1).

Menurut Fabby, Kementerian ESDM tidak bisa memasukan program  LTSHE sebagai bagian dari pencapaian target rasio elektrifikasi karena LTSHE adalah program pra elektrifikasi dan bukan untuk pemberian akses listrik.

Sebagai bentuk transparansi dan akurasi informasi, Kementerian ESDM, ujar Fabby, perlu menyampaikan kepada publik mengenai definisi rasio elektrifikasi, tingkat pelayanan atau jam rata-rata listrik menyala, dan sumber data untuk rasio elektrifikasi. Sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang sesungguhnya mengenai kondisi ketenaga listrikan di Indonesia.

Pemerintah juga perlu bekerja lebih keras  untuk mencapai target rasio elektrifikasi sesuai target RPJMN sebesar 97% pada akhir 2019. Mengingat kondisi geografis dan sebaran penduduk yang tidak merata dan lokasi yang terpencil, upaya pelistrikan hendaknya dilakukan melalui pengembangan sumber energi terbarukan setempat yang dikombinasikan dengan mini-grid.

“Metode ini jauh lebih cost-effective ketimbang opsi perluasan jaringan dan penggunaan  Pembangkit Listrik Tenaga Diesel atau Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTD/PLTMG), sehingga dapat mengurangi biaya produksi listrik PT PLN. Pemanfaatan energi terbarukan utk penyediaan akses listrik juga penting dalam kaitannya dengan upaya penurunan emisi GRK dalam pencapaian target Pemerintah dalam NDC. IESR mendukung pemerintah dalam upaya penurunan emisi GRK melalui pengembangan energi terbarukan.” jelas Fabby.

Ketersediaan akses listrik perlu dibarengi dengan perbaikan kualitas layanan listrik untuk memaksimalkan manfaat yang diterima dan dampak yang dihasilkan. Waktu listrik menyala di masyarakat yang baru menerima listrik harus dapat dijamin ketersediaan listrik diatas 12 jam/hari yang harus ditingkatkan menjadi minimal 18 jam/hari, dan kemudian 24 jam/hari.

Pemerintah juga diharapkan untuk meningkatkan koordinasi berbagai proyek elektrifikasi yang dilakukan dengan anggaran PLN, belanja Kementerian dan Lembaga dan dana transfer seperti Dana Alokasi Khusus (DAK). Koordinasi menyangkut aspek perencanaan, pembangunan/konstruksi dan pengelolaan pasca COD untuk memastikan keberlanjutan layanan dan biaya produksi yg efektif dan efisien.

Jakarta, 12  Januari 2018

Kontak media:
Yesi Maryam |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477

Siaran Pers: Pembangunan Energi Bersih Menghadapi Tantangan Internal di 2017 dan Ketidakpastian di 2018

Tahun 2017 merupakan tahun ketidakpastian untuk penyediaan energi terbarukan di Indonesia. Sepanjang tahun 2017 ini pemerintah telah mengeluarkan 14 peraturan/kebijakan yang signifikan terkait listrik dan akses listrik serta energi terbarukan. Ke-14 peraturan/kebijakan tersebut terdiri dari 2 Perpres, 12 Permen ESDM, dan 2 Kepmen ESDM.

“Sepanjang tahun 2017 ini terdapat perubahan kebijakan pemerintah (khususnya ESDM) yang cukup dinamis – rata-rata 5,5 bulan, terkait tarif tenaga listrik, pokok-pokok perjanjian jual beli listrik dan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Perubahan ini tidak selalu berdampak postitif bagi pengembangan energi terbarukan, bahkan cenderung negatif” kata Fabby Tumiwa, selaku Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam paparannya mengenai tinjauan energi bersih 2017 di Indonesia Clean Energy Outlook 2018 & Stakeholders Dialogue.

Kebijakan Feed in Tariff (FiT) yang sebelumnya menjadi insentif untuk mendorong investasi energi terbarukan tergusur dengan kebijakan baru, yang mendorong kompetisi harga energi terbarukan dengan harga energi dari pembangkit fosil yang mengacu pada BPP yang ditetapkan Peraturan Menteri ESDM No. 12/2017 jo No. 43/2017, yang kemudian diganti dengan Peraturan Menteri ESDM No. 50/2017.

Adanya peraturan ini memicu menurunnya kepercayaan dan daya tarik investor terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia. Pada 2017, Indonesia keluar dari 40 negara dengan peringkat indeks daya tarik investasi energi terbarukan atau Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) yang dikeluarkan oleh firma E&Y. Pada daftar peringkat RECAI yang dirilis pada Oktober 2016, Indonesia berada pada peringat 38. Adapun pada RECAI yang dirilis pada Mei 2017 dan Oktober 2017, Indonesia tidak lagi berada dalam peringkat tersebut.

Indeks RECAI memberikan gambaran bahwa kualitas kebijakan, regulasi, dan strategi serta kualitas kontrak untuk pengembangan dan pemafaatan energi.

terbarukan menunjukan trend penurunan. Minimnya minat investasi memberikan konsekuensi serius terhadap upaya-upaya untuk mencapai target energi terbarukan sesuai dengan target RPJMN, KEN/RUEN, dan implikasi terhadap kemampuan Indonesia memenuhi target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang disampaikan dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

Indikasi lain terlihat dari pencapaian energi terbarukan yang baru mencapai 7% dari bauran energi nasional tahun 2017. Laju pertumbuhan energi terbarukan selama 5 tahun terakhir terlihat masih rendah dengan laju 0.4% per tahun.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh IESR dengan asosiasi dan pengembang energi terbarukan, sebagian besar pengembang mengeluhkan hilangnya mekanisme FiT, dan bankability proyek energi terbarukan yang tidak layak. Sejumlah pengembang juga menilai adanya tambahan biaya kapasitas paralel sesuai Permen ESDM No. 1/2017 menjadi hambatan  untuk penggunaan energi terbarukan, misalnya pembangkit listrik surya atap. Para pengembang juga mengeluhkan minimnya transparansi proses perumusan kebijakan dan regulasi di bidang listrik dan energi terbarukan selama 2017, dan minimnya dialog antara pemerintah dan pengembang untuk menyamakan perspektif mengenai jargon listrik murah, yang menjadi alasan Menteri ESDM melakukan berbagai perubahan regulasi,

IESR menilai pada 2017 juga menjadi tahun peningkatan akses listrik dan kehandalan pasokan listrik di Indonesia. Hal ini terlihat dari peningkatan rasio elektrifikasi sampai dengan 93.5% pada November 2017 dan peluncuran program akselerasi unuk melistriki desa melalui  program  Lampu  Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) melalui Perpres No. 47/2017 dan Permen ESDM No. 33/2017. Sehingga dapat dikatakan bahwa target peningkatan akses listrik ini masih on-track (97%) untuk mencapai target RPJMN 2019.

Penyesuaian tarif juga telah dilakukan untuk golongan rumah tangga 900 VA. Golongan ini memiliki segmen pelanggan sebanyak 18,5 juta pelanggan di tahun 2017. Waktu penyambungan listrik pun menunjukkan adanya perbaikan dalam peringkat Ease of Doing Business di tahun 2017 – dari peringkat 61 di 2016 menjadi peringkat 49 di 2017.

Pencapaian di tahun 2017 tersebut perlu tetap dikawal untuk tahun 2018 mendatang. Masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan diantisipasi.

di tahun 2018. Diantaranya adalah potensi penurunan pertumbuhan permintaan listrik yang masih berlanjut, partisipasi pihak swasta (IPP) dalam melistriki program 35 GW yang diperkirakan akan “wait and see” terkait ketidakpastian pelaksanaan kontrak-kontrak PPA dengan PT PLN. Penekanan terhadap biaya produksi listrik PLN dan subsidi juga menjadi perhatian dikarenakan adanya potensi kenaikan pelanggan listrik rumah tangga yang memerlukan subsidi serta kenaikan biaya produksi listrik akibat kenaikan harga energi primer (batubara, gas dan BBM). 

Untuk energi terbarukan, perkembangan pembangunan  energi  terbarukan yang off-track dari target RPJMN 2019 – dari target 16% di 2019 hanya tercapai 6,9% hingga tahun 2016. Pencapaian ini perlu  digenjot  dengan kondisi peraturan/kebijakan serta iklim investasi yang mendukung. Dengan adanya mode “wait and see” yang saat ini dilakukan oleh pengembang dan investor, langkah revisi Permen ESDM No. 50/2017 yang akan dilakukan oleh Kementerian ESDM merupakah langkah strategis dan signifikan. 

Jakarta, 21 Desember 2017

####

Tentang IESR

Institute for Essential Services Reform (IESR) adalah sebuah lembaga non- pemerintah yang bergerak dalam bidang kajian kebijakan dan strategi di sektor energi dan sumber daya alam. IESR mendorong mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi semua.

Kontak media:
Yesi  Maryam
yesi@iesr.or.id
081212470477

Kualitas Listrik Pelanggan Belum Merata, Pemerintah Didorong Perkuat TMP

Penyediaan listrik yang handal dan berkualitas masih menjadi persoalan dalam penyediaan layanan listrik di Indonesia. Hal ini terungkap dari hasil pemantauan kualitas listrik PLN oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui project Electricity Supply Monitoring Initiative (ESMI).

ESMI merupakan sebuah inisiatif pemantauan kualitas listrik pada pelanggan yang awalnya dikembangkan oleh Prayas Energy Group, sebuah NGO di India. ESMI menggunakan alat portable Electricity Supply Monitor (ESM), yang dipasang dan dihubungkan ke saluran listrik di rumah pelanggan. ESM akan merekam tegangan setiap menitnya serta frekuensi dan durasi listrik padam yang terjadi, kemudian mengirimkannya datanya ke sebuah server. Dengan ESM, rekaman tegangan dan gangguan listrik di sisi pelanggan dapat dipantau real time. Data yang direkam oleh ESM tersebut diolah dan ditampilkan di website sehingga dapat dilihat dan dipantau pula oleh publik. Metode crowdsourcing ini dapat menyediakan data kualitas listrik dari berbagai lokasi dalam waktu bersamaan.

Diperkenalkan pada publik pada Maret 2015 di India, ESMI sudah diterapkan di beberapa negara, antara lain Indonesia, Tajikistan, dan Tanzania. Pilot project ESMI di Indonesia yang dimulai pada Agustus 2016 mencakup 28 lokasi di 4 provinsi. Alat ESM merekam kualitas listrik di pemukiman dengan berbagai variasi tipe dan kedekatan dengan kawasan lain seperti perkantoran dan industri, serta kawasan komersial dan pertanian.

Hasil pemantauan ESMI yang dapat dilihat melalui http://pantaulistrikmu.id menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang telah mendapatkan pasokan listrik yang memadai seperti Jakarta tetap menghadapi permasalahan seperti pemadaman listrik dan kualitas tegangan yang beragam.

Menurut Dr. Marlistya Citraningrum dari IESR, analisa data ESMI menunjukkan rata-rata durasi listrik padam di wilayah Jabodetabek mencapai 2 jam 9 menit per bulan. Bila dibandingkan dengan besaran Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) tahun 2017, beberapa lokasi merekam lama gangguan yang lebih kecil dibanding nilai TMP area/rayon terdekat. Misalnya untuk Area Distribusi Jakarta Raya, lama gangguan menurut pantauan ESMI lebih kecil dibanding TMP 2017 (5 jam/bulan). Sementara itu, lokasi pemantauan ESMI di Cibinong memiliki lama gangguan rata-rata 5 jam/bulan, lebih besar dibanding TMP Rayon Cibinong sebesar 2 jam 30 menit.

Lain di Jakarta, lain pula di Kupang. Rata-rata pemadaman listrik di Kupang jauh lebih tinggi dibandingkan area Jabodetabek, mencapai 13 jam 9 menit per bulannya. Angka ini juga lebih besar dibanding TMP Rayon Kupang sebesar 10 jam/bulan.

Tegangan listrik yang masuk kategori rendah (< 210 V) juga direkam di lokasi pemantauan ESMI, terutama di wilayah padat penduduk dan pemukiman yang berdekatan dengan area industri. Tegangan merupakan penanda kualitas listrik yang tak terlihat, dan tegangan rendah yang terekam di beberapa lokasi pemantauan ESMI menunjukkan bahwa kualitas listrik di tingkat pelanggan masih perlu diperbaiki. Sesuai TMP tahun 2017 untuk Area Distribusi Jakarta Raya dan Rayon Kupang, tegangan yang di tingkat pelanggan seharusnya paling rendah 198 V. Meski begitu, beberapa lokasi pemantauan ESMI merekam tegangan di bawah 180 V.

Perbedaan pola konsumsi listrik di Jabodetabek dan Kupang juga terlihat, di mana banyak lokasi di Jabodetabek mengalami MCB trip (sekring “turun”), sementara di Kupang tidak ditemukan kasus ini. Fenomena MCB trip ini dapat disebabkan karena penggunaan alat elektronik yang banyak dalam waktu bersamaan atau ketidakstabilan tegangan.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menjelaskan, ESMI dapat mendorong transparansi informasi pencapaian Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) PT PLN, sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kualitas pasokan listrik. “Pemerintah telah memiliki komitmen untuk untuk melistriki 100% wilayah di Indonesia. Namun komitmen tersebut juga harus diimbangi dengan peningkatan kualitas listrik di daerah-daerah yang berlistrik. Dengan demikian pelanggan tidak dirugikan atas dampak yang terjadi dari kualitas listrik yang buruk,” ujar Fabby.

Fabby juga menambahkan hasil ESMI menunjukkan bahwa kualitas infrastruktur ketenagalistrikan masih harus dibenahi dan diperkuat. Menurutnya, PLN harus memberikan perhatian terhadap kualitas dan kehandalan jaringan distribusi.

Pengumpulan data melalui ESMI ini diharapkan dapat menjadi evidence-based data mengenai kualitas listrik di tingkat pelanggan. Dengan data ini, pengambil kebijakan dapat memetakan area di mana kualitas layanan minimum ketenagalistrikan perlu ditingkatkan. Penyedia layanan ketenagalistrikan seperti PLN juga bisa menggunakan data ini untuk melakukan evaluasi dan pemeriksaan operasional di lapangan untuk memenuhi TMP yang ditetapkan oleh pemerintah.

Jakarta, 25 Juli 2017

Ringkasan ESMI

ESMI merupakan inisiatif untuk memantau kualitas listrik di tingkat pelanggan PLN di tegangan rendah. Dengan menggunakan metode crowdsourcing, ESMI merekam data kualitas listrik secara real time, yang kemudian diolah serta ditampilkan kepada publik secara online.

Sebanyak 28 lokasi di 4 provinsi di Indonesia menjadi wilayah percontohan selama Agustus 2016 – Mei 2017. Sejumlah lokasi di Jakarta terpantau mengalami pemadaman listrik yang cukup sering, lebih dari 5 kali per bulan. Beberapa lokasi juga terekam memiliki tegangan dominan rendah, terutama lokasi yang berada di kawasan padat penduduk dan pemukiman yang berdekatan dengan area industri.

Sementara itu Kupang mengalami pemadaman listrik dengan durasi yang lebih lama dan frekuensi yang lebih tinggi dibanding area Jabodetabek. Hasil pantauan ESMI ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan dan penyedia layanan listrik untuk melakukan evaluasi tingkat mutu pelayanan dan meningkatkan kualitas layanan PLN dan memperkuat kehandalan infrastruktur ketenagalistrikan, untuk mewujudkan akses energi di Indonesia yang berkelanjutan.

Tentang Electricity Supply Monitoring Initiative (ESMI)

ESMI merupakan sebuah inisiatif kolaborasi antara antara World Resource Institute (WRI) dan Prayas (Energy Group). Pilot project ESMI di Indonesia dilakukan oleh IESR, di Tajikistan oleh Consumers Union of Tajikistan, dan oleh Energy Change Lab di Tanzania. ESMI merupakan inisiatif yang dikembangkan dan diterapkan di India oleh Prayas (Energy Group), India. Inisiatif ini diperkenalkan ke publik pada Maret 2015 dan saat ini ESM sudah dipasang di ratusan lokasi di seluruh India. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di www.watchyourpower.org atau www.prayaspune.org/peg.

Press Release: Report Says G20 Begins Transition To Low-Carbon Economy, But Too slow For Paris Agreement Goals

Berlin- 3 July 2017 – G20 countries have stepped up green finance, but their investment in fossil fuels remains so high that the “well below 2 degree” warming limits set in the Paris Agreement will be missed by a wide margin, says this year’s “Brown to Green” Report from Climate Transparency.

The “Brown to Green Report 2017: the G20 transition to a low carbon economy” is the third annual stocktake of the G20’s climate efforts by the Climate Transparency global partnership, released today ahead of this year’s meeting of G20 leaders in Hamburg. It has been developed by a group of experts from the G20 countries Argentina, Brazil, China, France, Germany, India, Indonesia, Mexico, South Africa and the UK.

The report provides the most comprehensive – yet concise – overview on G20 countries’ transition to a low-carbon economy. It rates their performance in emissions reductions, climate policy, finance, and decarbonisation, and provides graphic factsheets on each country.

“The G20 economies are becoming more efficient – they are beginning to decarbonise, but not enough to meet the goals of the Paris Agreement,” said Alvaro Umaña, Co-Chair of Climate Transparency and former environment minister of Costa Rica.

“The G20 countries use energy more efficiently and use cleaner energy sources, but energy consumption and the economies have grown. So the overall growth of greenhouse gas emissions is slowing, but is not yet in decline. Renewables are on the rise, but coal and other fossil fuels still dominate the G20’s energy mix,” said Niklas Höhne of NewClimate Institute.

“After President Trump resigned from the Paris agreement and withdraw important national climate policies like the Clean Power Plan, experts give the US much lower ratings for policy performance. The pro-Paris reactions in a lot of States and cities within the US are not reflected in the ratings,” said Jan Burck from Germanwatch, co-author of the study.

Brown to Green Report: Indonesia Tertinggal

Jakarta, 4 Juli 2017

Indonesia telah berupaya mengurangi laju pengeluaran emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan lahan, dan mengurangi subsidi bahan bakar fossil sejak 2015. Dua hal ini membuat Indonesia berada di jalur transisi menuju ekonomi rendah karbon. Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara G20 dengan porsi energi terbarukan yang cukup tinggi dalam bauran energi primer, tetapi pengembangan energi terbarukan termasuk tertinggal dibandingkan dengan negara G20 lainnya. Daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia juga memburuk, sedangkan kerangka regulasi untuk energi terbarukan berada dibawah sejumlah negara G20. Demikian sejumlah hasil dari Profil Indonesia dalam Brown to Green Report 2017.

“Brown to Green Report 2017: the G20 transition to low carbon economy,” adalah laporan tahunan ke-3 yang mengevaluasi upaya-upaya negara G20 mengatasi perubahan iklim. Laporan ini disusun oleh kemitraaan global Climate Transparency, dan diluncurkan sebelum pertemuan G20 di Hamburg minggu ini. Laporan ini disusun oleh sekelompok ahli dari negara-negara anggota G20, diantaranya Argentina, Brazil, China, Perancis, Indonesia, Afrika Selatan, dan UK.

Laporan ini memuat ulasan yang paling komprehensif tapi ringkas tentang transisi negara G20 menuju ekonomi rendah karbon. Laporan ini menilai kinerja dalam penurunan emisi gas rumah kaca, kebijakan perubahan iklim, pendanaan, dan dekarbonisasi, serta grafis fakta-fakta untuk setiap negara.

“Negara-negara G20 menjadi lebih efisien, mereka mulai melakukan dekarbonisasi tapi tidak cukup untuk memenuhi tujuan Kesepakatan Paris,” kata Alvaro Umana, Co-Chair Climate Transparency dan mantan menteri lingkungan Costa Rica.

Brown to Green Report memberikan suatu perbandingan yang berimbang antar negara yang dapat menunjukkan kepada para pemangku kepentingan dalam aspek apa negara mereka mencapai hasil yang baik, hal-hal apa yang dapat diperbaiki, dan aspek apa yang tertinggal. Laporan ini memberikan informasi kepada para pemangku kepentingan di setiap negara untuk memulai debat yang konstrukti yang diharapkan dapat menghasilkan ambisi yang lebih tinggi dalam mencapai Kesepakatan Paris.

“Bagi Indonesia, laporan ini penting untuk menilai pencapaian kita dibandingkan dengan negara ekonomi berkembang lainnya. Indonesia menggunakan bahan bakar fossil, khususnya minyak dan batubara, dalam jumlah yang cukup besar. Ini cukup mengkuatirkan dalam hal upaya Indonesia memenuhi target Kesepakatan Paris. Walaupun demikian, adanya penurunan subsidi BBM merupakan indikasi bahwa kita sedang berusaha mengatasi persoalan tersebut. Perlu strategi, rencana dan kebijakan yang lebih progresif untuk menuju transisi sistem energi yang rendah karbon,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform.

Laporan ini menunjukkan bahwa emisi GRK dari hutan dan gambut, serta pembangkitan listrik batubara terus meningkat hingga 2030, padahal agar konsisten dengan target Kesepakatan Paris, emisi GRK harus mulai stabil dan kemudian menurun. Target penurunan emisi yang disampaikan Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dinilai kurang ambisius terhadap tingkat yang dapat disebut kontribusi yang fair, dan tidak konsisten dengan target 2°C.

Porsi energi terbarukan dalam bauran energi primer termasuk yang tertinggi diantara negara-negara G20, tetapi pertambahan energi terbarukan merupakan salah satu yang terendah dan porsi batubara cenderung meningkat. Yang perlu menjadi catatan adalah daya tarik investasi energi terbarukan sangat rendah dengan kecenderungan menurun. Hal ini membuat Indonesia semakin sulit bersaing dengan negara-negara lain untuk mendapatkan investasi di bidang energi terbarukan.

Brown to Green Report 2017 secara lengkap, termasuk Profil Indonesia dapat diakses di http://www.climate-transparency.org/g20-climate-performance/g20report2017

Catatan untuk Redaksi

Climate Transparency adalah sebuah kemitraan internasional yang merupakan kumpulan para pakar dan lembaga yang bekerja untuk isu perubahan iklim dari beberapa negara anggota G20, diantaranya: Argentina (Fundación Ambiente y Recursos Naturales), Brasil (CentroClima/COPPE UFRJ), China (Energy Research Institute/ERI), Perancis (The Institute for Sustainable Development and International Relations/ISDIR), Jerman (Germanwatch, HUMBOLDT-VIADRINA Governance Platform, NewClimate Institute), India (The Energy and Resources Institute/TERI), Indonesia (Institute for Essential Service Reform/IESR), Meksiko (Initiativa Climática de México), Afrika Selatan (Energy Research Center/University of Cape Town) dan Inggris (Overseas Development Institute/ODI).

Produksi Brown to Green Report 2017 mendapatkan dukungan dari Mercator Foundation, World Bank dan European Climate Foundation.

Di Indonesia, Brown to Green Report 2017 dapat diakses melalui situs www.iesr.or.id

Kontak Media di Indonesia

Yesi Maryam, Institute for Essential Services Reform
Email: yesi@iesr.or.id
Mobile/WA : 081212470477

 

Presiden Hendaknya Memilih Menteri ESDM Baru yang Profesional dan Teruji Integritasnya

Presiden Joko Widodo diminta untuk mengangkat menteri ESDM yang berlatar profesional, memiliki rekam jejak yang bersih, memiliki kredibilitas yang teruji, dan dapat diterima serta dihargai oleh pelaku di sektor energi.

Direktur IESR, Fabby Tumiwa, menyampaikan untuk menanggapi kabar bahwa Presiden mempertimbangkan untuk mengangkat kembali Archandra Tahar, PhD sebagai menteri ESDM. Terdapat sejumlah nama calon dengan latar belakang profesional yang tengah dipertimbangkan sebagai calon menteri ESDM.

Archandra Tahar yang diberhentikan setelah 20 hari menjabat menteri ESDM dinilai bukanlah sosok yang tepat untuk menjadi Menteri di salah satu Kementerian yang strategis di negeri ini. Pemberian status WNI Archandra yang super cepat juga tidak menghilangkan fakta bahwa yang bersangkutan telah melanggar UU Imigrasi dan UU Kewarganegaraan, walaupun tidak ada proses hukum atas pelanggaran tersebut. Skandal kewarganegaraan yang menimpa Archandra Tahar telah menggerus kepercayaan publik dan para pemangku kepentingan di sektor energi dan pertambangan.

Menurut Fabby, sekalipun pengangkatan menteri adalah hak prerogratif Presiden tetapi penggunaan hak tersebut hendaknya dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, akal sehat dan bertanggung gugat. Fabby menilai, penggantian Sudirman Said dengan Archandra Tahar, yang ternyata melanggar berbagai peraturan perundang-undangan, mengindikaskani kalau Presiden kurang cermat, lalai dan mengabaikan tuntutan reformasi kelembagaan dan peraturan di sektor energi dan pertambangan Indonesia yang mengalami salah kelola.

Fabby Tumiwa menyarankan agar Presiden tidak mengulang kesalahan yang lalu. Untuk itu perlu kiranya Presiden menimbang dan memilih menteri ESDM dari kalangan profesional, menguasai persoalan di sektor energi dan pertambangan, teruji kemampuannya, dan memiliki integritas yang baik. Survei yang dilakukan IESR pada akhir Agustus lalu menghasilkan sejumlah nama calon Menteri ESDM yang dinilai publik dan pelaku memiliki kredibilitas, kompetensi dan integritas yang baik. Selain survei tersebut, terdapat sejumlah sosok lain yang bisa menjadi pilihan Presiden.

Direktur IESR mengkuatirkan, kesalahan mengangkat menteri ESDM akan menjadi batu sandungan bagi Presiden sendiri untuk mentuntaskan janji-janji yang tertuang dalam Nawa Cita di sektor energi dan pertambangan, termasuk dalam hal pemberantasan mafia migas dan tambang, serta membangun kedaulatan energi nasional.

Jakarta, 4 Oktober 2016

———————

Tentang IESR
Institute for Essential Services Reform (IESR) adalah sebuah lembaga pemikir (think tank) independen untuk merumuskan kebijakan publik dalam bidang energi, perubahan iklim dan industri ekstraktif. IESR melakukan analisa kebijakan dan regulasi, dan merumuskan solusi-solusi inovatif. IESR juga memberikan bantuan teknis dan asistensi bagi instansi pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan lembaga-lembaga internasional.
Kontak media:
 Yesi Maryam | 
yesi@iesr.or.id
| 081212470477

Siaran Pers : Hasil Survei Menteri ESDM: Publik Menginginkan Menteri ESDM yang Berintegritas, Bebas Konflik Kepentingan, Kompeten dan Berpengalaman

Survei yang dilakukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) mengenai kriteria dan calon menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) semakin menegaskan keinginan publik akan sosok menteri yang berintegritas dan bebas dari konflik kepentingan di sektor yang dikelola oleh kementerian ini. Survei ini juga menghasilkan sejumlah calon yang dianggap publik pantas dipilih sebagai Menteri ESDM oleh Presiden Jokowi.

Survei yang dilakukan secara terbuka melalui pemilihan dengan aplikasi via internet dilaksanakan pada 22-26 Agustus 2016 dan diikuti oleh 1881 responden dengan rentang usia dan latar belakang yang beragam. Dari seluruh pilihan yang tercatat terdapat 1874 pilihan yang dianggap valid.

Survei ini dimaksudkan untuk menjaring pandangan publik atas kriteria terbaik dan figur calon Menteri ESDM yang memenuhi kriteria tersebut. Survei sekaligus untuk membuka wacana bagi publik melakukan kajian atas rekam jejak dan latar belakang para calon menteri ESDM yang diikutkan pada survei ini.

Dalam survei ini IESR menampilkan 20 nama awal calon menteri yang telah diusulkan oleh publik, pelaku usaha di sektor energi dan pertambangan, dan telah disampaikan melalui media massa atau pernyataan publik lainnya. Selain 20 nama calon tersebut, IESR juga memberikan kesempatan kepada publik untuk mengusulkan figur yang dianggap layak menjadi calon menteri ESDM.

Hasil survei ini menunjukkan sebanyak 1013 responden menginginkan menteri ESDM yang berintegritas, bebas konflik kepentingan dan memiliki kompetensi dan pengalaman.

Integritas merupakan kriteria yang dianggap paling utama dan penting yang dipilih oleh 43% responden, diikuti dengan kriteria kompetensi dan pengalaman sebanyak 30% dan tidak memiliki konflik kepentingan sebesar 23%. Hasil survei menunjukkan publik tidak menjadikan kriteria pendidikan dengan jenjang tinggi sebagai kriteria yang penting, dan hanya dipilih oleh 3% responden.

Publik juga lebih memilih Menteri ESDM dengan latar belakang profesional murni (78%), sementara dengan latar belakang pelaku bisnis energi dipilih sebesar 16%. Adanya keterkaitan dengan partai politik dianggap tidak memenuhi kriteria yang tepat, sehingga profesional yang berafiliasi dengan partai politik hanya dipilih sebesar 6% dan pengurus partai politik hanya 0,5%.

Pilihan ini selaras dengan kriteria tidak mempunyai konflik kepentingan, serta kompeten dan pengalaman. Nama-nama calon yang berasal dari anggota DPR dan partai politik menempati ranking terbawah, dan nama para profesional non-partisan dan pejabat struktural di Kementerian ESDM menempati sepuluh ranking teratas. Yang cukup mengagetkan adalah nama Gubernur DKI Jakarta, Basuk Tjahaja Purnama (Ahok) yang berada di peringkat lima.

Survei ini menghasillkan 10 nama calon dengan perolehan suara tertinggi, yaitu:

  1. Tri Haryo Soesilo, M.Sc 16%
  2. Djoko Siswanto 10%
  3. Hardiv Situmeang 6,5%
  4. Dwi Soetjipto 4,7%
  5. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) 4,6%
  6. Faisal Basri, SE. MA 4,5%
  7. Rovicky Dwi Putrohari M.Sc 4,1%
  8. Dr. IGN Wiratmadja 4,0%
  9. Widhyawan Prawiratmadja 3,5%
  10. Tri Mumpuni Iskandar 3,2%

Fabby Tumiwa, Direktur IESR menyatakan Presiden Jokowi kiranya dapat mempertimbangkan hasil survei ini untuk menentukan Menteri ESDM yang berintegritas, profesional dan mumpuni untuk melanjutkan reformasi di sektor ini untuk membawa Indonesia menjadi makmur dan sejahtera.

Jakarta, 29 Agustus 2016

Daftar perolehan calon nama menteri ESDM menurut survei publik IESR

No Nama Suara
1 Ir. Tri Haryo Soesilo, M.Sc (Project Director KPPPIP 16%
2 Dr. Djoko Siswanto (Direktur Teknik Lingkungan KESDM) 10%
3 Dr. Hadiv Situmeang (Ketua KNI-WEC, Mantan Direktur PLN) 6,5%
4 Dr. Dwi Soetjipto (Direktur Utama PT Pertamina Persero) 4,7%
5 Ir. Basuki Tjahaja Purnama (Gubernur Prov. DKI Jakarta) 4,4%
6 Faisal Basri SE, MA (Pengajar FE UI) 4,4%
7 Ir. Rovicky Dwi Putrohari M.Sc (VP Exploration Saka Energy) 4,1%
8 Prof. Dr. IGN Wiratmadja (Dirjen Migas, Pengajar ITB) 4,0%
9 Dr. Widhyawan Prawiratmadja (Gubernur OPEC) 3,5%
10 Ir. Tri Mumpuni Iskandar (Aktivis Pengembanan PLTMH) 3,3%
11 Dr. Luluk Sumiyarso (Mantan Dirjen EBTKE KESDM) 3,2%
12 Prof. Dr Rinaldy Dalimi (Anggota Dewan Energi Nasional) 3,1%
13 Amien Sunaryadi Ak. MPA (Kepala SKK Migas) 2,6%
14 Ir. Tito Kurniadi MM (Ketua APMI) 2,4%
15 Prof. Ir Dwikorita Karnawati MSc, PhD (Rektor UGM) 1,7%
16 Erry Riyana Hardjapamekas (Mantan Wakil KPK) 1, 7%
17 Dr. Gde Pradnya (Mantan Sekretaris SKK Migas) 1,7%
18 Dr. R. Sukhyar (Mantan Dirjen Minerba KESDM) 1,6%
19 Ir. Nur Pamuji M.Sc (Mantan Direktur Utama PT PLN) 1.5%
20 Dr. Ir. Andang Bachtiar (Anggota Dewan Energi Nasional) 1,3%
21 Dr. Arcandra Tahar (Mantan Menteri ESDM) 1,3%
22 Ir. Satya WIdya Yudha (Anggota Komisi VII DPR RI, Partai Golkar 1,3%
23 Dr. Kurtubi (Anggota Komisi VII DPR RI, Partai Nasdem) 1,1%

Hasil survei lengkap dan analisa dapat dilihat di situs IESR (www.iesr.or.id)

Tentang IESR

Institute for Essential Services Reform (IESR) adalah sebuah lembaga independen, non-pemerintah yang bergerak di bidang Energi dan Perubahan Iklim. Berdiri resmi di tahun 2007, IESR merupakan lembaga pemikir (think tank) untuk kebijakan publik yang mendorong, dan mendukung perubahan-perubahan menuju keadilan pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan manusia Indonesia.

Kontak media:
Yesi Maryam |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477

Unduh Siaran Pers (PDF)