Dukung Akselerasi Energi Surya di 2021, Pemerintah Jawa Tengah Gelar Central Java Solar Day

Target 23 % bauran energi terbarukan di tahun 2025 dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), hingga akhir 2020 baru tercapai sekitar 11.5 %. Untuk 5 tahun ke depan, pemerintah masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar untuk merealisasikan target tersebut. Berdasarkan hasil kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), salah satu potensi yang pemerintah bisa optimalkan untuk percepatan energi terbarukan adalah dengan mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) secara masif.

IESR telah melakukan perhitungan potensi teknis energi surya residensial (rumah tangga) di Indonesia. Hasilnya, dengan menggunakan skenario tertinggi, Indonesia memiliki potensi 655 GWp (IESR, 2019), dengan Jawa Tengah menjadi salah satu tiga besar provinsi dengan potensi teknis tertinggi. Kajian potensi pasar yang dilakukan dengan survei di 7 kota di Jawa Tengah untuk 3 sektor berbeda juga menunjukkan potensi early adopters dan early followers yang cukup signifikan: 9,6% untuk kelompok residensial, 9,8% untuk bisnis/komersial, dan 10,8% untuk UMKM. Jawa Tengah juga memiliki potensi PLTS terapung (floating PV) yang cukup besar dari 42 bendungan yang tersebar di seluruh wilayah provinsi.

Dengan adanya potensi energi surya yang signifikan dan komitmen Jawa Tengah untuk mengembangkan energi terbarukan,  Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Dinas ESDM bekerja sama dengan IESR mendeklarasikan inisiatif Central Java Solar Province  pada tahun 2019. Inisiatif yang dilandasi dengan nota kesepahaman antara Gubernur Jawa Tengah dan Direktur Eksekutif IESR ini secara khusus memiliki tujuan mengakselerasi pengembangan energi surya di Jawa Tengah dan menjadikan Jawa Tengah sebagai “provinsi surya” pertama di Indonesia. 

Dalam satu tahun sejak dideklarasikan, menurut catatan yang IESR keluarkan dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, Jawa Tengah meningkatkan kapasitas energi surya menjadi  5,1 MWp dengan total 147 pengguna, dibandingkan dengan hanya 155,2 kWp dan 40 pengguna pada September 2019. Penambahan terbesar datang dari sektor industri, sebanyak 73% (3,7 MWp) dari total penambahan kapasitas terpasang. Kontributor terbesar adalah instalasi surya atap 2,91 MWp Danone-AQUA baru-baru ini di pabrik Klaten. Sisanya tersebar di berbagai sektor, termasuk di gedung Dinas ESDM, proyek APBD provinsi, dan sektor permukiman. 

Salah satu faktor pendukung naiknya kapasitas dan jumlah pengguna PLTS atap baik di sektor swasta dan publik ialah terbitnya Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah untuk menggunakan PLTS atap. Namun untuk mencapai target bauran energi terbarukan dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) sebesar 21,32% di tahun 2025; salah satunya dengan penetrasi energi surya yang lebih agresif, Dinas ESDM Jateng memandang masih banyak tantangan  yang harus dihadapi; misalnya literasi energi terbarukan yang masih belum merata, tingkat kesadaran masyarakat yang rendah, terbatasnya ketersediaan kontraktor/installer surya di wilayah tersebut, dan masa tunggu yang lama untuk penggantian meteran dua arah.

Sebagai upaya mendorong keterbukaan informasi tentang energi surya yang lebih merata dan komprehensif, serta mempertemukan beragam pemangku kepentingan terkait dan mempercepat  langkah Jawa Tengah untuk menjadi “provinsi surya” di Indonesia, Pemerintah Jateng bersama IESR akan menggelar Central Java Solar Day 2021, pada 16 Februari 2021, pukul 08:30 – 12:00 WIB secara online melalui Zoom Conference + livestream Youtube (IESR/ESDM Jateng). Acara ini akan dihadiri oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo,  Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal EBTKE, Feby Joko Priharto,General Manager PLN UID Jateng dan DIY Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR,  dan lainnya. 

INDONESIA-JERMAN USUNG PROGRAM CASE UNTUK DUKUNG TRANSISI ENERGI BERSIH

JAKARTA – Sebagai negara dengan PDB terbesar di Asia Tenggara, Indonesia diprediksi akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2030 berdasarkan perhitungan paritas daya beli (purchasing power parity). Salah satu tantangan upaya peningkatan roda perekonomian sekaligus mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) datang dari sektor ketenagalistrikan yang masih didominasi bahan bakar fosil. Untuk itu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan German Federal

Ministry for the Environment, Nature Conservation, Building, and Nuclear Safety sepakat mendukung upaya transisi menuju energi bersih melalui program Clean, Affordable, Secure Energy for Southeast Asia (CASE SEA).

“Salah satu sektor strategis yang berperan penting dalam mencapai target-target penurunan emisi GRK nasional yaitu sektor energi, di antaranya sektor pembangkitan. Harapannya, pada 2024, sebanyak 20 persen pembangkit listrik di Indonesia berasal dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT),” ujar Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika Kementerian PPN/Bappenas Rachmat Mardiana dalam Kick Off Workshop Program Clean, Affordable, Secure Energy untuk Asia Tenggara yang diselenggarakan secara virtual, Selasa (2/2).

Dilaksanakan hingga Februari 2024, CASE merupakan agenda regional yang dilaksanakan di Filipina, Thailand, Vietnam, dan Indonesia melalui
konsorsium yang terdiri atas Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) di Indonesia, Agora Energiewende, New Climate Institute (NCI), serta Institute for Essential Service (IESR), oganisasi masyarakat sipil di Indonesia. Pelaksanaan CASE di Indonesia bertujuan untuk mengubah narasi arah sektor energi secara substantif, khususnya sektor ketenagalistrikan di Indonesia menuju transisi energi ke arah energi bersih yang berlandaskan pada kebijakan berbasis bukti untuk pemenuhan komitmen Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang menanamkan kerangka global
untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. “Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 dan menargetkan penurunan emisi GRK hingga 29 persen pada 2030. Selain itu, RPJMN 2020-2024 sebagai arah kebijakan pembangunan nasional juga telah menjadikan Pembangunan Rendah Karbon sebagai bagian dari Prioritas Nasional,” ujar Direktur Rachmat.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa memaparkan besarnya potensi Indonesia dalam mengoptimalkan sumber EBT. Perkembangan energi bersih semakin menjanjikan, terutama didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu dengan biaya investasi yang semakin murah. Sebagai implikasinya, pada 2030, membangun pembangkit listrik baru dari EBT akan lebih murah daripada mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas yang sudah ada di seluruh belahan dunia. Pengembangan EBT untuk menggantikan energi fosil juga
bermanfaat untuk mitigasi perubahan iklim akibat meningkatnya emisi GRK dari sektor pembangkitan. Sebagai salah satu negara dengan tingkat emisi tinggi, Indonesia dituntut menurunkan konsumsi energi fosil dengan secepatnya melakukan transisi ke energi bersih, khususnya di sektor ketenagalistrikan.

“Dalam Rencana Umum Energi Nasional, pemerintah mempunyai target 23 persen bauran energi terbarukan di 2025. Menurut analisis IESR, untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus menambahkan kapasitas EBT sekitar dua hingga tiga GW setiap tahun hingga 2025,” ungkap Fabby. Namun, hasil analisis komprehensif IESR menunjukkan, dalam tiga tahun terakhir, rata-rata penambahan kapasitas energi terbarukan hanya sebesar 250-350 MW. Sementara di sepanjang 2021, penambahan diperkirakan hanya mencapai sekitar 400-500 MW. Artinya, sebagai langkah
mengatasi masalah selisih penambahan kapasitas tersebut, Indonesia perlu mempertimbangkan opsi-opsi pengembangan energi terbarukan yang berpotensi besar seperti PLTS, mulai dari skala besar hingga skala kecil (PLTS Atap). Indonesia perlu pendekatan khusus dalam merumuskan kebijakan transisi energi, mengingat profil Indonesia sebagai negara kepulauan dengan kekayaan bahan bakar fosil tersebar di berbagai provinsi menjadi tantangan utama dalam mewujudkan transisi menuju energi bersih.

Dalam upaya mitigasi tantangan dalam mewujudkan transisi energi, implementasi program CASE di Indonesia mengusung prinsip optimal dan inklusif. “Hal ini dilakukan dengan senantiasa melibatkan stakeholders dari berbagai latar belakang sehingga rumusan-rumusan solusi yang lahir dari program ini bersifat komprehensif dan tentu saja berlandaskan pada bukti-bukti dan metodologi ilmiah. Bukti nyata dari pelaksanaan program yang inklusif adalah terlibatnya IESR sebagai salah satu NGO di Indonesia di dalam konsorsium program CASE,” tegas Program Manager CASE Indonesia Lisa Tinschert.

Jakarta, 2 Februari 2021

Transisi Energi Mendesak, Indonesia Harus Segera Akselerasi Pengembangan Energi Terbarukan

Transisi energi telah berlangsung di seluruh dunia dan perkembangan energi bersih di dunia semakin menjanjikan. Kemajuan teknologi dan implementasi skala luas memungkinkan penurunan biaya investasi energi terbarukan, terutama pada PLT Surya (PLTS) dan PLT Bayu (PLTB). Hanya dalam satu dekade (2010-2019), harga panel surya dan turbin angin telah turun masing-masing sebesar 89% dan 59%. 

Selain itu, inovasi teranyar di bidang teknologi penyimpanan baterai memberikan akses biaya yang lebih murah pada harga baterai Li-ion yang juga turun sebesar 89% di periode yang sama. Pada tahun 2030, membangun pembangkit listrik baru dari energi terbarukan akan lebih murah daripada mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas yang sudah ada di seluruh belahan dunia. Bahkan di beberapa negara, kondisi ini sudah terjadi. Perkiraan tersebut mengindikasikan bahwa pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil baru akan semakin tidak menguntungkan dan berisiko.

Pengembangan energi terbarukan dalam skala besar dan cepat merupakan keniscayaan untuk menghindari krisis perubahan iklim akibat pemanasan global sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Indonesia sebagai salah satu negara pengemisi terbesar di dunia dituntut untuk menurunkan konsumsi energi fosil dengan melakukan transisi energi secepatnya, khususnya di sektor kelistrikan.

Tahun 2020-2021 merupakan waktu yang krusial untuk memulai proses transisi energi Indonesia. Pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19 seharusnya dapat diselaraskan dengan pembangunan rendah karbon. Namun, berdasarkan data yang dihimpun oleh IESR dalam IETO 2021, pemerintah Indonesia masih belum beranjak dari pengembangan energi fosil. Hal ini terlihat dari upaya penyelamatan ekonomi Indonesia dari dampak krisis COVID-19. Pemerintah mengalokasikan dana sebesar 6,76 miliar dolar untuk bidang energi, namun hanya 3.5% untuk energi bersih

Pemerintah juga tetap merencanakan untuk melanjutkan pengembangan industri hilir batubara dengan sembilan usulan insentif yang dibahas di tiga kementerian yang berbeda. Padahal inisiatif tersebut berpotensi menjadi beban anggaran pemerintah seiring dengan risiko proyek hilirisasi batubara yang tinggi dan semakin terbatasnya investasi sektor batubara.

Pandemi COVID-19 menyebabkan Indonesia mengalami penurunan permintaan konsumsi listrik yang signifikan dan, juga kelebihan pasokan listrik dalam negeri. Bahkan, diperkirakan pertumbuhan permintaan untuk beberapa tahun ke depan lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan dalam lima tahun terakhir, berkisar antara 4–4,5% per tahun. Strategi untuk mendorong transisi energi perlu mempertimbangkan pertumbuhan permintaan listrik yang lebih rendah tersebut sehingga pembangunan energi terbarukan merupakan prioritas serta mempensiunkan pembangkit listrik tenaga fosil, khususnya batubara, perlu segera dipertimbangkan.

Faktor kuat lainnya untuk melakukan transisi energi berasal dari hasil pemodelan Institute for Essential Services Reform (IESR) terhadap RUPTL 2019-2028 yang menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) PLTU batubara dapat mencapai lebih dari 300 juta ton CO2e sebelum tahun 2028. Bahkan di tahun 2022, Indonesia diproyeksikan akan melampaui jalur emisi GRK 2° C. Padahal sejak 2016, Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Paris, melalui UU No 16/2016 dan pemerintah sudah menyerahkan Nationally Determined Contribution (NDC) ke UNFCCC sebagai tindak lanjut komitmen tersebut. Oleh karena itu, negara terikat secara hukum untuk memenuhi target perubahan iklim global dan harus memprioritaskan upaya untuk mengurangi emisi GRK secara signifikan.

Pemerintah sepatutnya menggunakan momentum ini dengan membuat kebijakan agresif untuk memenuhi komitmen Kesepakatan Paris agar suhu bumi terjaga di bawah 1.5o C. Pada laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, IESR mendesak Presiden Jokowi dan menteri sektoral terkait untuk segera memperkuat komitmen politiknya untuk melakukan transisi energi, dimulai dengan sektor kelistrikan. Komitmen transisi energi ini diwujudkan dengan akselerasi pengembangan energi terbarukan dan peningkatan ambisi dari target penurunan emisi gas rumah kaca dalam NDC Indonesia yang selaras dengan target dan kerangka waktu Kesepakatan Paris menuju net-zero emission pada pertengahan abad ini. 

Komitmen diwujudkan dalam penguatan ekosistem untuk mendukung transisi energi, termasuk diantaranya meningkatkan daya tarik untuk mendorong investasi proyek pembangkit listrik energi terbarukan sebesar $3-5 miliar/tahun sampai dengan 2025, melakukan moratorium pembangunan PLTU batubara, mempercepat penutupan secara berkala PLTU batubara di bawah umur 20 tahun, serta pengembangan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan.

“Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Pemerintah mempunyai target 23 % bauran energi terbarukan di 2025. Menurut analisa IESR, untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus menambahan kapasitas energi terbarukan setiap tahun sekitar 2 hingga 3 GW hingga tahun 2025,” ungkap Fabby Tumiwa, Eksekutif Direktur IESR.

IESR memprediksi penambahan kapasitas baru hanya sekitar 400-500 MW tahun ini, terutama yang berasal dari proyek panas bumi dan pembangkit listrik tenaga air. Pemerintah patut mempertimbangkan pengembangan energi terbarukan yang juga berpotensi besar seperti PLTS baik secara industri maupun rumah tangga.

Hasil asesmen pada Kerangka Kesiapan Transisi (Transition Readiness Framework) yang IESR kembangkan dan perkenalkan dalam IETO 2021 menunjukkan bahwa secara umum Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar untuk mendorong proses transisi energi. Pada kerangka kesiapan transisi tersebut, IESR telah mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam empat dimensi utama, yaitu dimensi politik dan regulasi, investasi dan pendanaan, tekno-ekonomik, dan sosial. Kerangka tersebut akan dapat membantu melacak kemajuan Indonesia dalam mengatasi tantangan transisi energi Indonesia dari tahun ke tahun.

Deon Arinaldo, penulis utama dalam laporan IETO 2021 menjelaskan bahwa kerangka kesiapan transisi IESR dibangun dengan mengadaptasikan beberapa kerangka pengukuran transisi energi global dan juga disesuaikan dengan tantangan transisi energi yang unik ada di Indonesia. Dalam melakukan asesmen kerangka tersebut, IESR melakukan analisis serta wawancara dan survei kepada berbagai pemangku kepentingan di sektor ketenagalistrikan sehingga dapat merefleksikan progres transisi energi Indonesia secara lebih inklusif.

“Pemerintah dapat menggunakan kerangka kesiapan transisi sebagai alat bantu dalam mengidentifikasi isu-isu yang dihadapi selama ini sehingga dapat memfokuskan upaya dalam mengakselerasi proses transisi energi Indonesia,”ujar Deon.

IETO 2021 sendiri merupakan transformasi dari laporan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) yang telah secara rutin IESR hasilkan untuk memantau perkembangan energi bersih.

Rebranding ICEO menjadi IETO dilakukan dalam rangka menegaskan dan merefleksikan misi IESR dalam  mendukung akselerasi pembangunan energi bersih dan mengurangi porsi energi fosil di tanah air dalam kerangka transisi energi,” jelas Fabby Tumiwa.

Laporan IETO 2021 ini tidak hanya fokus menganalisa perkembangan energi bersih, namun juga mulai menyoroti dinamika dan penerapan kebijakan pemerintah di energi fosil dalam memberikan gambaran yang jelas sejauh mana Indonesia berjalan pada jalur transisi energi yang kini semakin progresif tidak hanya di dunia, tetapi juga di Asia Tenggara.

Peluncuran laporan IETO 2021 diadakan pada Selasa, 26 Januari 2021 pukul 09.00-13.00 WIB melalui saluran Zoom maupun kanal YouTube IESR.

Pemerintah Tinjau Ulang RUEN, IESR Ingatkan untuk Tidak Turunkan Target Bauran Energi Terbarukan

Jakarta, 21 Januari 2021 – Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang keputusan pemerintah untuk mengevaluasi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) merupakan langkah yang tepat dengan catatan bahwa evaluasi tersebut jangan sampai menurunkan target bauran
energi terbarukan yakni sebesar 23% pada 2025.

IESR menilai evaluasi RUEN diperlukan karena berbagai asumsi dasar yang digunakan untukmemproyeksikan permintaan dan pasokan energi lima tahun lalu tidak relevan dengan situasi sebenarnya, antara lain asumsi pertumbuhan ekonomi, populasi, tingkat energi per kapita, demikian juga keekonomian dan biaya investasi pembangkit energi terbarukan. Dalam RUEN 2017, kebutuhan kapasitas pembangkit di 2025 mencapai 135 GW yang terdiri dari 90 GW pembangkit fossil dan 45 GW pembangkit energi terbarukan.

Evaluasi ini bisa memberikan informasi profil permintaan dan pasokan energi yang terkini dan riil, dan semakin meningkatkan akurasi dalam membuat proyeksi kebutuhan pasokan energi jangka panjang, serta kebutuhan investasi dan dukungan kebijakan antar sektor yang lebih realistis,
terarah dan terukur. Meskipun demikian, IESR mengingatkan agar dalam evaluasi RUEN, target bauran energi terbarukan tidak diperkecil, malah perlu diperbesar, serta menurunkan penggunaan batubara untuk pembangkitan listrik.

“Pemerintah Indonesia harus memanfaatkan dampak pandemi dan evaluasi RUEN untuk menetapkan target bauran energi terbarukan yang lebih tinggi dalam rangka dekarbonisasi sektor energi. Sesuai dengan PP No. 79/2014 maka bauran energi terbarukan ditargetkan paling sedikit 23 persen di 2025. Jadi sebenarnya energi terbarukan dapat dinaikan lebih tinggi daripada target saat ini, apalagi keekonomiannya semakin baik” ujar Fabby Tumiwa, Eksekutif Direktur IESR.

Dalam RUEN 2017, batubara memainkan peranan penting untuk pembangkitan tenaga listrik dan masih cukup dominan hingga 2050. Penggunaan energi fosil, khususnya batubara, dalam jangka panjang perlu dikaji ulang, seiring dengan upaya dekarbonisasi. Merujuk pada analisis World
Energy Outlook 2020 oleh IEA, permintaan batubara global akan sedikit meningkat di 2021 tapi kemudian akan turun secara signifikan. IEA memperkirakan untuk mencegah kenaikan  temperatur global 1,5 ℃ dan mencapai net-zero emission pada 2050 sesuai Paris Agreement maka penggunaan batubara secara global akan turun 66% dari 2019-2030, seiring dengan berkurangnya PLTU subkritikal. Tren ini tentunya juga akan berdampak pada ekspor dan pendapatan dari batubara di masa depan. Sebaliknya, permintaan energi terbarukan terus tumbuh, dengan pertumbuhan 0,9%.

Evaluasi RUEN 2017 perlu mengintegrasikan paradigma dekarbonisasi dan transisi energi. Dalam kajian IESR berjudul National Energy General Plan (RUEN): Existing Plan, Current Policies Implication and Energy Transition Scenario, menemukan bahwa RUEN 2017 belum mengadopsi visi transisi energi dan kurang ambisius dalam mengembangkan energi terbarukan. Sementara, Dewan Energi Nasional (DEN) masih terjebak dengan pandangan bahwa Indonesia masih memiliki sumber daya energi fosil yang besar. Padahal dalam kondisi dunia hari ini, utilisasi
sumberdaya energi fosil harus diturunkan, dan mendorong penggunaan teknologi bersih untuk produksi energi.

Mencermati kondisi menurunnya laju permintaan listrik dan ancaman terjadinya over supply, serta untuk memperbesar porsi energi terbarukan, maka kapasitas energi fosil harus diturunkan. Karena itu, dalam kajian IESR tentang RUEN, IESR merekomendasikan pemerintah untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik PLTU batubara baru mulai tahun 2025, menutup PLTU batubara yang telah berusia lebih dari 30 tahun, dan mengakselerasi pembangunan pembangkit-pembangkit energi terbarukan sebagai penggantinya, salah satunya dengan
mempercepat PLTS dan teknologi penyimpan (storage).

Menteri ESDM, Arifin Tasrif pada Rapat Kerja dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (19/1/2021) menuturkan bahwa pihaknya merencanakan untuk merelokasi eksisting pembangkit yang sudah tua yang berusia di atas 20- 25 tahun, yang kemungkinan bisa direlokasi ke tempat-tempat yang membutuhkan dan memang memiliki potensi industri smelter.

Menanggapi hal tersebut, Agus Praditya Tampubolon peneliti di IESR yang juga menuliskan kajian tentang RUEN, menyatakan bahwa relokasi pembangkit tua menjadi tidak efektif. “Umur optimal pembangkit fosil antara 20-30 tahun. Jadi akan sangat tidak efektif melakukan upaya relokasi pembangkit tersebut, karena dalam waktu singkat setelah relokasi, pembangkit tersebut harus segera ditutup sebab sudah melampaui umur ekonomisnya. Selanjutnya, bila ingin mendorong transisi energi, maka seharusnya pemerintah mengganti pembangkit-pembangkit fosil dengan pembangkit energi terbarukan, apalagi bila pembangkit fosil tersebut sudah berusia di atas 20 tahun,” tutupnya.

Kota Tua Jadi Area Uji Coba Kebijakan Kawasan Rendah Emisi, IESR Apresiasi Pemda DKI Jakarta dan dorong masyarakat mulai berpindah ke kendaraan listrik 

 

 

Jakarta, 23 Desember 2020 – Pada tanggal 18 – 23 Desember 2020, Pemda DKI Jakarta menerapkan uji coba kebijakan Kawasan Rendah Emisi / Low Emission Zone (LEZ) di kawasan Kota Tua. Kebijakan ini mengatur akses kendaraan, baik pribadi maupun barang, yang menuju kawasan Kota Tua. 

Menanggapi hal ini, Lisa Wijayani Program Manajer Ekonomi IESR berharap pemberlakuan low emission zone di wilayah Kota Tua dapat dijadikan contoh untuk kota-kota lain di Indonesia dalam menciptakan lingkungan yang rendah emisi. 

“Kebijakan ini menunjukkan keselarasan yang erat dalam mendukung kebijakan pemerintah pusat terutama Kementerian ESDM yang baru saja melakukan Public Launching Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Dengan adanya kebijakan yang saling mendukung antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diharapkan transisi menuju ke arah penggunaan kendaraan listrik yang nir emisi dapat segera terwujud.” terang Lisa  

Pada saat uji coba kebijakan ini, hanya kendaraan yang telah lulus uji emisi saja yang boleh memasuki kawasan Kota Tua. Kendaraan yang telah lulus uji emisi ini kemudian ditandai dengan stiker oranye yang boleh melalui ruas jalan LEZ khusus pukul 06.00 – 08.00 dan 16.00 – 18.00, dan stiker Biru yakni kendaraan diperbolehkan melalui ruas jalan LEZ tanpa batasan waktu. Sementara untuk kegiatan bongkar muat barang dipusatkan di Jl. Kalibesar Timur sisi selatan tanpa batasan waktu.

Pada tahap awal area Kawasan Rendah Emisi ini meliputi  Jl. Pintu Besar Utara – Jl. Kalibesar Barat sisi Selatan – Jl. Kunir sisi Selatan – Jl. Kemukus – Jl. Ketumbar – Jalan Lada. 

Pemilihan Kota Tua sebagai kawasan rendah emisi karena karena kawasan ini adalah objek revitalisasi sekaligus objek pariwisata yang mengundang banyak pengunjung. Tingginya aktivitas di kawasan Kota Tua membuat mandat untuk menyediakan kualitas udara yang baik perlu untuk dilaksanakan dengan serius. Kualitas udara yang baik juga ikut melindungi kondisi bangunan cagar budaya yang banyak terdapat di kawasan Kota Tua. 

Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Syafrin Liputo, mengatakan bahwa bagi karyawan yang berkantor di kawasan Kota Tua ataupun masyarakat yang akan mengunjungi Kota Tua dapat menggunakan layanan angkutan umum. Bagi pengguna kendaraan pribadi tersedia lahan parkir terbatas.

Sejumlah studi merekomendasikan penerapan Kawasan Rendah Emisi dan memberikan pengecualian pada kendaraan listrik sebagai salah satu insentif non finansial untuk mendorong penetrasi kendaraan listrik. Meskipun belum ada studi yang mengukur dampaknya secara kuantitatif.

Beberapa strategi untuk mendorong penetrasi kendaraan listrik misalnya dengan program demonstrasi atau uji coba kendaraan listrik seperti yang dilakukan di kota-kota besar di Cina termasuk Shanghai untuk mempromosikan kendaraan listrik, terutama motor listrik di tahap awal. 

Menurut analisis IESR, untuk mendorong masyarakat mulai berpindah ke kendaraan listrik, insentif finansial masih dibutuhkan untuk memangkas harga kendaraan listrik hingga setidaknya 10-15% lebih tinggi dibandingkan kendaraan konvensional, serta pembangunan SPKLU dan SPBKLU sesuai dengan rasio <16:1 antara kendaraan listrik dan pengisi daya (charger) di tahap awal pengembangan. 

Penerapan kebijakan Low Emission Zone yang sudah banyak diterapkan terutama di berbagai kota di negara-negara di Eropa, terbukti efektif dalam mengurangi polusi udara bila didesain dengan baik. European Federation for Transport and Environment menguraikan bahwa ada beberapa faktor perlu diperhatikan dalam mendesain kebijakan tersebut, yaitu: 

Cakupan wilayah yang tepat: untuk memastikan jumlah kendaraan yang terdampak, Keketatan peraturan: untuk memberikan dampak penurunan polusi yang maksimal, Implementasi penalti yang ketat: untuk menekan jumlah pelanggaran peraturan, Kejelasan komunikasi kebijakan: untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengubah perilaku dan/atau berpindah ke moda kendaraan yang rendah emisi, Batasan yang jelas dalam pengecualian kendaraan: untuk menghindari loopholes tentang kendaraan-kendaraan yang dapat mengakses LEZ.

Program Kendaraan Listrik Berhasil Akselerasi, IESR Dorong Pemberian Insentif oleh Pemerintah

 

Jakarta, 21 Desember – IESR. Institute for Essential Services Reform (IESR) beranggapan program kendaraan listrik dapat membantu Indonesia melakukan dekarbonisasi dan meningkatkan ketahanan energi Indonesia melalui penurunan laju permintaan bahan bakar minyak.  Penggunaan kendaraan listrik jika dikombinasikan dengan peningkatan bauran energi terbarukan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca. Pemerintah perlu mempercepat adopsi kendaraan listrik di Indonesia dalam lima tahun mendatang dengan membangun ekosistem pendukung kendaraan listrik dan menstimulasi pasar dengan insentif finansial dan fiskal. 

Di tahun 2019, sektor transportasi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia terbesar kedua (157 juta ton CO2 atau 27 %) setelah sektor industri (215 juta ton CO2 atau 37%). Pemodelan IESR menunjukkan bahwa penetrasi kendaraan listrik pada pasar mobil penumpang dan sepeda motor memiliki potensi menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi sebesar dalam skenario ambisius, dengan penerapan instrumen insentif yang agresif pada sisi permintaan, dapat menekan emisi sebesar 8,4 juta ton CO2 pada 2030 dan 49,5 juta ton CO2 pada 2050. Pemerintah menetapkan target 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta kendaraan listrik roda-2 pada 2030. 

“Target ini cukup ambisius tapi dengan perencanaan yang terintegrasi, insentif untuk mendorong pasar, dan pengembangan ekosistem pendukung, target tersebut dapat dicapai,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.   

“Kuncinya adalah akselerasi adopsi kendaraan listrik dalam 5 tahun mendatang. Untuk itu peluang terbaik ada pada segmen kendaraan listrik roda 2 yang lebih terjangkau bagi sebagian besar pengguna kendaraan bermotor di Indonesia. Jika ada insentif tambahan dalam bentuk kredit yang lebih mudah dan suku bunga rendah, serta stasiun penukaran battery (battery swapping) yang lebih banyak, ditambah dengan peningkatan kesadaran konsumen, maka dalam periode 5 tahun mendatang, motor listrik dapat mencapai 20% dari total penjualan kendaraan bermotor roda-2. Setelah 2025, kendaraan penumpang roda-4, bisa mencapai penetrasi 5-10% sampai 2030, seiring dengan peningkatan model dan harga mobil yang lebih terjangkau,” imbuh Fabby.   

IESR menilai salah satu faktor utama dari adopsi kendaraan listrik jenis mobil penumpang  adalah ketersediaan stasiun pengisian daya umum dan pengisian daya di rumah pengguna kendaraan listrik. Ketersediaan infrastruktur pengisian daya yang tersebar merata dapat menghilangkan “range anxiety” atau kecemasan jarak tempuh yang dimiliki oleh pengguna kendaraan pada umumnya. Untuk itu IESR merekomendasikan agar di tahap awal, rasio kendaraan listrik dan infrastruktur pengisian daya yang disarankan adalah 16:1. 

Selain pemerintah perlu mendorong pihak produsen kendaraan listrik untuk menyediakan kendaraan listrik yang terjangkau, dan mendorong PLN dan pelaku swasta untuk membangun infrastruktur pengisian yang lebih banyak, selain pemasangan home charging oleh pemilik kendaraan listrik. 

“Kebutuhan investasi untuk penyediaan infrastruktur pengisian daya ini sangat besar, berkisar 345 juta USD hingga tahun 2030 dan diperkirakan akan mencapai lebih dari 1 miliar USD hingga tahun 2050 dalam skenario penetrasi yang ambisius. Meski demikian, kebutuhan nvestasi untuk infrastruktur ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan besaran subsidi BBM yang diberikan pemerintah setiap tahun. Sebagai contoh, pada tahun 2020 saja, jumlah subsidi mencapai $1,2 miliar. Investasi ini perlu melibatkan partisipasi swasta sehingga dibutuhkan regulasi dan model bisnis yang dapat menarik minat mereka,” ungkap Julius Christian, peneliti bahan bakar bersih di IESR.  

Menurut Idoan Marciano, peneliti IESR yang juga penulis kajian tentang kendaraan listrik, menyatakan saat ini sudah semakin banyak pihak swasta yang berinisiatif mengadopsi kendaraan listrik dan membangun infrastrukturnya, seperti perusahaan taksi, produsen motor listrik, perusahaan ride hailing, dan pengembang Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU). Kolaborasi pemerintah dengan pihak swasta untuk mengadakan program demonstrasi dan pilot akan meningkatkan kesadaran publik bahwa tren mobil listrik sedang berjalan.

Pemerintah sudah membuat skema kerjasama untuk pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan SPBKLU dengan swasta. Namun untuk semakin menarik minat pengembang swasta, pemerintah perlu memberikan insentif untuk pembangunan infrastruktur tersebut seperti yang dilakukan beberapa negara yang progresif dalam mengadopsi kendaraan listrik. 

“Selain harga, ketersediaan stasiun pengisian daya juga sangat menentukan keputusan untuk membeli kendaraan listrik,” kata Idoan.  

Untuk membuat harga kendaraan listrik terjangkau, pemerintah perlu memberikan Insentif dalam bentuk pembebasan pajak dan bea impor untuk mobil listrik, serta pembebasan pajak tahunan selama beberapa tahun pertama. Insentif ini dapat membuat Total Ownership Cost (TOC) kendaraan listrik lebih baik daripada kendaraan mesin bakar.

Inisiatif pemerintah dengan membentuk konsorsium beberapa BUMN dan investor swasta untuk memproduksi baterai dengan mengandalkan potensi nikel yang cukup besar sebagai bahan baku baterai patut diapresasi.

IESR merekomendasikan untuk mempercepat pengembangan industri baterai dengan dukungan R&D dan menciptakan pasar domestik. Di tahap awal produksi battery difokuskan untuk mendukung produksi kendaraan listrik roda dua lokal. Selain itu pemerintah harus memastikan bahwa aktivitas tambang untuk produksi baterai mengikuti kaidah penambangan yang berkelanjutan, menghindari konflik sosial dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Produksi baterai juga menggunakan energi yang besar sehingga upaya efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan merupakan keharusan untuk meminimalisir emisi GRK. 

Komitmen pemerintah untuk menggunakan energi terbarukan untuk pengembangan KBLBB melalui pernyataan menteri ESDM Arifin Tasrif juga merupakan hal yang tepat. Analisis IESR menemukan bahwa bila pengisian daya mobil listrik dilakukan menggunakan faktor emisi jaringan yang ada sekarang, maka akan meningkatkan emisi GRK dibandingkan dengan mobil konvensional bila memperhitungkan juga emisi dari produksi mobil dan baterainya. Untuk mendapatkan manfaat penurunan gas rumah kaca, maka penetrasi energi terbarukan harus ditingkatkan diatas 23% sehingga dapat menurunkan faktor emisi jaringan (grid emission factor) dibawah 600 grCO2/kWh. 

Penetrasi kendaraan listrik dapat meningkatkan permintaan listrik sebesar 15 TWh pada 2030 dan 68 TWh pada 2050. Sebagai pembanding, konsumsi listrik total pada tahun 2018 adalah sebesar 232 TWh. Untuk menghindari beban listrik yang memuncak perlu kebijakan yang tepat pula. IESR merekomendasikan penerapan tarif listrik Time Of-Use (pembedaan tarif pada beban puncak dan luar beban puncak) sehingga waktu pengisian baterai kendaraan listrik akan teralihkan. Penerapan kebijakan tarif listrik Time-of-Use dapat membantu merekayasa perilaku konsumen dalam mengisi daya baterai kendaraan listrik dan menghindari peningkatan beban puncak akibat pertumbuhan kendaraan listrik.

Gambar 1. memperlihatkan pengaruh dari insentif pajak dan ketersediaan infrastruktur pengisian daya umum terhadap penetrasi motor listrik. Dari simulasi tersebut, terlihat bahwa penyediaan infrastruktur mampu mempercepat penetrasi motor listrik pada tahun-tahun awal hingga 2030. Di sisi lain, kebijakan insentif pembebasan pajak juga berpengaruh signifikan dan membuat penetrasi motor listrik meningkat lebih tajam hingga tahun 2050. Bila dikombinasikan, kedua instrumen tersebut mampu memberikan laju penetrasi motor listrik yang menyerupai skenario ambisius.

SolarHub membantu masyarakat mendapatkan informasi serta membantu membuat keputusan menggunakan PLTS Atap

Jakarta, 15 Desember 2020 – Dalam tiga tahun terakhir, pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap meningkat, dari 268 pada tahun 2017 menjadi lebih dari 2.500 pelanggan hingga Oktober 2020. Kenaikan ini dipicu oleh berbagai faktor, adanya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah (Permen ESDM No. 49/2018 yang direvisi dengan Permen ESDM No. 13/2019 dan Permen ESDM No. 16/2019), semakin banyaknya perusahaan penyedia layanan pemasangan PLTS atap, dan juga meningkatnya ketertarikan masyarakat untuk menggunakan PLTS atap sebagai bagian dari gaya hidup. 

Meski demikian, kenaikan ini masih belum cukup untuk mengejar target energi surya sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (6,5 GW pada 2025), dan juga mencapai  target Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap yaitu 1 GW kumulatif PLTS atap pada 2020. Di luar mandatory penggunaan PLTS atap pada bangunan pemerintah, keterlibatan sektor residensial, bisnis/komersial, industri, dan UMKM memegang peran penting dan dominan untuk mempercepat laju pemanfaatan PLTS atap di Indonesia.

“Persepsi kelompok masyarakat serta pelaku usaha di sektor bisnis dan UMKM terhadap PLTS atap sebenarnya sangat positif, mereka juga tertarik untuk menggunakannya. Survei pasar kami di Jabodetabek menunjukkan 7 dari 10 orang pemilik rumah tertarik dengan PLTS atap, namun hanya 8% yang merasa ini relevan karena masih belum paham dengan teknologi, harganya yang masih dianggap mahal, dan masih memiliki banyak pertanyaan terkait produk dan manfaat penghematan listrik yang didapat.  Di Jawa Tengah juga sama, kelompok residensial masih memiliki keraguan terhadap kualitas produk, termasuk harganya,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan.

Menurutnya, kebimbangan para pelanggan untuk memasang PLTS atap ini dilatari oleh minimnya informasi yang terpercaya dan rendahnya sosialisasi aturan mengenai penggunaan PLTS atap. Selain itu, informasi mengenai prosedur pemasangan PLTS atap tersambung jaringan (on-grid), manfaat yang bisa dirasakan pengguna, hingga di mana mereka bisa membeli produknya pun masih terbatas dan masih terkonsentrasi di kota-kota besar di Pulau Jawa. 

Dari 2.566 pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap, lebih dari 2.300 berada di Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Umumnya mereka telah terpapar informasi kebijakan PLTS atap dari berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah pusat, melihat iklan di media massa dan media sosial, dan terhubung dengan penyedia jasa pemasangan PLTS atap yang jumlahnya cukup banyak di Jabodetabek.

Menurut Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Berkelanjutan IESR, ketimpangan lokasi ini berpengaruh pada tingkat adopsi PLTS atap. “Mereka yang tinggal di kota besar cenderung lebih diuntungkan karena ketertarikan mereka pada PLTS atap langsung terjawab dengan ketersediaan informasi yang cukup lengkap, mereka juga terbantu dengan kantor regional PLN yang lebih paham 

dan cepat tanggap pada pengajuan pemasangan PLTS atap tersambung jaringan. Banyak perusahaan penyedia jasa pemasangan PLTS atap berlokasi di Jakarta atau Tangerang, yang juga mempermudah calon pengguna untuk mencari informasi yang lebih rinci terkait desain, manfaat penghematan, hingga layanan purna jual.”

Untuk menjawab tantangan kesenjangan akses informasi inilah, IESR membangun sebuah portal daring (online) SolarHub Indonesia (solarhub.id) yang bertujuan untuk memberikan informasi seputar energi surya bagi calon pengguna PLTS atap dan menghubungkan mereka dengan perusahaan penyedia produk dan pemasangan PLTS atap. 

“Saat ini banyak pelanggan yang sudah memasang, tapi kurang bernarasi. Jadi dengan adanya SolarHub Indonesia ini, kita bisa menyediakan informasi yang benar kepada masyarakat luas,” ujar Chairiman, ATW Solar. 

Penghematan biaya listrik merupakan salah satu faktor dominan yang disebutkan responden survei pasar IESR di Jabodetabek, Surabaya, 7 kota di Jawa Tengah, dan 3 kota di Bali. Tidak hanya dari kelompok residensial, pelaku usaha komersial dan UMKM juga melihat penggunaan PLTS atap dari sisi efisiensi kegiatan operasional mereka. Banyak dari mereka yang belum paham tentang rincian kebutuhan PLTS atap untuk bangunan mereka dan persentase penghematan yang bisa mereka dapatkan. Dengan berselancar di SolarHub Indonesia, calon pelanggan dapat menghitung rincian kebutuhan PLTS atap untuk bangunan mereka dan persentase penghematan listrik yang bisa mereka dapatkan. Tidak hanya itu, calon pelanggan juga dapat mengakumulasi besar anggaran yang mereka investasikan dari pemasangan PLTS atap di rumah mereka dengan aplikasi kalkulator canggih di platform SolarHub Indonesia.

Hasil survei IESR di Jawa Tengah menunjukkan potensi pasar hingga 9,6% untuk kelompok residensial, 9,8% untuk bisnis/komersial, dan 10,8% untuk UMKM. Potensi pasar ini adalah mereka yang disebut sebagai early adopters dan early followers, kelompok yang sudah memiliki ketertarikan untuk menggunakan PLTS atap dan tidak terlalu sensitif pada harga sistem. Yang mereka perlukan adalah informasi yang jelas dan lugas tentang regulasi, prosedur, manfaat yang bisa dirasakan, dan product knowledge yang lengkap – termasuk skema pembelian dan layanan purna jual. Untuk kelompok residensial saja, potensi pasar ini setara dengan 533.000 rumah tangga. Bila masing-masing memasang minimal 2 kWp, akan tercapai kapasitas kumulatif terpasang hingga 1,06 GW – hanya untuk kelompok residensial saja. 

Bambang Sumaryo, Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap, merasakan selama enam tahun ini memasang PLTS atap, juga terdapat tantangan dalam pemasangan PLTS atap.

“Tantangan selanjutnya, masih kurang pengetahuan  karena bersifat teknikal. Masih adanya keraguan dari pengelola jaringan untuk memasang. Hal ini berkaitan dengan sulitnya ketersediaan KWH exim, terutama di daerah. Ini akan membuat  pengguna PLTS ke jaringan on grid sehingga lebih hemat. Selain itu peraturan tentang net metering 6,5 cukup menghambat seharusnya 1:1 saja. Sebaiknya rekening pembayaran minimum untuk pelanggan PLTS atap juga dihapuskan,” jabarnya.

Namun ia mengakui pula bahwa telah terjadi perubahan signifikan terkait kesadaran masyarakat dalam memasang PLTS atap. 

“Saat ini pasar PLTS atap semakin terbuka lebar karena sudah tersedia secara online dan juga terjadi penurunan harga,” tandasnya lagi.

Potensi ini juga menunjukkan bahwa target energi surya di Indonesia dapat dicapai dengan mudah melalui pemanfaatan PLTS atap saja, tentunya dengan adanya kombinasi kebijakan dan regulasi yang mendukung, serta tersedianya informasi yang lengkap dan merata tentang PLTS atap, prosedur pemasangan, penyedia produk dan layanan pemasangan, hingga pilihan skema pembiayaan. Survei pasar IESR juga menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menginginkan periode balik modal kurang dari 5 tahun, yang sulit dicapai bila tarif net-metering yang dipakai masih 1:0,65 seperti aturan Permen ESDM No. 49/2018. Selain itu, kejelasan prosedur pemasangan di wilayah yang berbeda juga perlu diseragamkan sehingga pengguna PLTS atap tidak perlu menunggu hingga berbulan-bulan untuk mendapatkan kWh exim (export-import). Pemerintah perlu memperhatikan aspirasi masyarakat seperti ini sehingga ketertarikan mereka dapat didorong menjadi adopsi dan praktik. 


Narahubung Media:

Marlistya Citraningrum
Manajer Program Akses Berkelanjutan, citra@iesr.or.id, 081945526737 

Gandabhaskara Saputra
Outreach and Engagement Adviser – Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia IESR, m. 081235563224, e. ganda@iesr.or.id 

Program Pemerintah Daerah Jadi Kunci Keberhasilan Transisi Energi Terbarukan

Jakarta, 8 Desember 2020 – Tiap daerah di Indonesia menyimpan banyak potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, kepemimpinan pemerintah daerah dengan program percepatan energi terbarukan menjadi kunci transisi energi terbarukan.

Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan NTT memiliki potensi energi terbarukan dari sinar matahari sebanyak 60.000 MW. Namun, hanya 100 MW yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat.

“Dalam transisi ini kami menemukan tantangan dari teman-teman pemerintah daerah, ini bertabrakan dengan zona nyaman menggunakan bahan bakar fosil, tapi kita tidak ada pilihan selain transisi energi sebab minat dunia sekarang mengarah ke sana,” kata Vik     tor, Selasa (8/12/2020) dalam diskusi panel Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) bertajuk High Level Roundtable Dialogue: Local Governments Lead the Way in Energy Transition

Viktor mengatakan perusahaan tujuan ekspor rumput laut NTT mulai menolak produk yang tidak diproduksi menggunakan energi terbarukan. Berdasar fenomena itu, menurut Viktor, transisi energi terbarukan merupakan hal yang tak terhindarkan. Oleh karena itu, saat ini pemerintah daerah masih berupaya menambah serapan energi terbarukan dari tenaga sinar matahari di Pulau Sumba.

Akan tetapi, menurut Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, pemerintah daerah juga harus memberdayakan masyarakat untuk memanfaatkan potensi energi terbarukan. “Kalau hanya menghitung serapan energi terbarukan dari pembangkit listrik yang berhasil dibangun pemerintah, target serapan tidak akan pernah tercapai,” kata Sujarwanto.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengembangkan program Desa Mandiri Energi di mana masyarakat di dalamnya menggunakan tenaga matahari, tenaga air, tenaga angin, dan biogas dari limbah ternak sebagai pembangkit listrik. Saat ini hampir 80 Desa Mandiri Energi yang dibentuk oleh pemerintah daerah.

Komitmen antara pemerintah daerah dan masyarakat telah diterapkan di Provinsi Chungnam, Korea Selatan. Gubernur Chungnam, Yang Seung Joo melakukan komitmen dengan 300 organisasi masyarakat untuk mengeliminasi emisi karbon sebesar 90 juta ton karbon dioksida sejak masa kampanyenya pada 2018. “Komitmen dari semua stakeholder bisa mempercepat transisi energi. Kuncinya adalah bagaimana pemimpin daerah dapat memimpin energi transisi,” kata Yang Seung Joo dalam sambutannya di awal diskusi hari kedua IETD 2020 ini.

Program Pemerintah Daerah Jadi Kunci Keberhasilan Transisi Energi Terbarukan

Jakarta, 8 Desember 2020 – Tiap daerah di Indonesia menyimpan banyak potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, kepemimpinan pemerintah daerah dengan program percepatan energi terbarukan menjadi kunci transisi energi terbarukan.

Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan NTT memiliki potensi energi terbarukan dari sinar matahari sebanyak 60.000 MW. Namun, hanya 100 MW yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat.

“Dalam transisi ini kami menemukan tantangan dari teman-teman pemerintah daerah, ini bertabrakan dengan zona nyaman menggunakan bahan bakar fosil, tapi kita tidak ada pilihan selain transisi energi sebab minat dunia sekarang mengarah ke sana,” kata Viktor, Selasa (8/12/2020) dalam diskusi panel Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) bertajuk High Level Roundtable Dialogue: Local Governments Lead the Way in Energy Transition

Viktor mengatakan perusahaan tujuan ekspor rumput laut NTT mulai menolak produk yang tidak diproduksi menggunakan energi terbarukan. Berdasar fenomena itu, menurut Viktor, transisi energi terbarukan merupakan hal yang tak terhindarkan. Oleh karena itu, saat ini pemerintah daerah masih berupaya menambah serapan energi terbarukan dari tenaga sinar matahari di Pulau Sumba.

Akan tetapi, menurut Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, pemerintah daerah juga harus memberdayakan masyarakat untuk memanfaatkan potensi energi terbarukan. “Kalau hanya menghitung serapan energi terbarukan dari pembangkit listrik yang berhasil dibangun pemerintah, target serapan tidak akan pernah tercapai,” kata Sujarwanto.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengembangkan program Desa Mandiri Energi di mana masyarakat di dalamnya menggunakan tenaga matahari, tenaga air, tenaga angin, dan biogas dari limbah ternak sebagai pembangkit listrik. Saat ini hampir 80 Desa Mandiri Energi yang dibentuk oleh pemerintah daerah.

Komitmen antara pemerintah daerah dan masyarakat telah diterapkan di Provinsi Chungnam, Korea Selatan. Gubernur Chungnam, Yang Seung Joo melakukan komitmen dengan 300 organisasi masyarakat untuk mengeliminasi emisi karbon sebesar 90 juta ton karbon dioksida sejak masa kampanyenya pada 2018. “Komitmen dari semua stakeholder bisa mempercepat transisi energi. Kuncinya adalah bagaimana pemimpin daerah dapat memimpin energi transisi,” kata Yang Seung Joo dalam sambutannya di awal diskusi hari kedua IETD 2020 ini.

###

Tentang ICEF

Indonesia Clean Energy Forum adalah platform dialog konstruktif dan berbasis fakta untuk meningkatkan pemahaman transisi energi dan berbagi praktik terbaik mengenai kebijakan, peraturan, dan kerangka kerja kelembagaan untuk mendukung transisi energi yang adil di sektor energi Indonesia. ICEF secara resmi diluncurkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 15 November 2018. Anggota inti ICEF terdiri dari 25 individu terkemuka dari berbagai latar belakang. Untuk informasi lebih lanjut silahkan kunjungi laman http://iesr.or.id/program/indonesia-clean-energy-forum/.

 

Tentang IESR

Institute for Essential Services Reform adalah institusi riset dan advokasi di bidang energi dan kebijakan lingkungan. Institusi kami mengkombinasikan studi mendalam, menganalisa kebijakan, regulasi, dan aspek tekno-ekonomi pada sektor energi dan lingkungan dengan aktivitas advokasi kepentingan umum yang kuat untuk mempengaruhi perubahan kebijakan pada skala Nasional, sub-bangsa dan dunia. Untuk Informasi lebih lanjut silahkan kunjungi laman www.iesr.or.id atau ikuti  Facebook dan Twitter kami.

 


Nara hubung:

Jannata Giwangkara

Manajer Program Transformasi Energi, IESR

081284873488 | egi@iesr.or.id 

 

Gandabhaskara Saputra

Outreach and Engagement Adviser – Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia
IESR

081235563224 | ganda@iesr.or.id