Jakarta, 6 Januari 2023 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini sedang melakukan revisi Peraturan Menteri ESDM No. 26/2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum. Perubahan ini dimaksudkan untuk menjawab kendala-kendala pemasangan PLTS atap yang terjadi dalam setahun terakhir sejak peraturan menteri tersebut resmi dikeluarkan.
Dalam public hearing yang dilakukan Jumat, 6 Januari 2023, Kementerian ESDM memaparkan usulan perubahan substansi di antaranya: tidak ada pembatasan kapasitas PLTS atap maksimum 100% daya terpasang melainkan berdasar kuota sistem, ekspor listrik ditiadakan (tidak lagi dihitung sebagai pengurang tagihan), biaya kapasitas untuk pelanggan industri dihapuskan (tidak lagi 5 jam), dan aturan peralihan untuk pelanggan eksisting diberlakukan dalam jangka waktu tertentu.
“Sejak diundangkan pada Agustus 2021 lalu, Permen ESDM No. 26/2021 praktis tidak berjalan karena PLN menolak pelaksanaannya. Akibatnya target pemerintah mencapai 450 MWp tambahan kapasitas PLTS di 2022 tidak tercapai. Revisi ini sepertinya merupakan titik temu kepentingan pemerintah dengan PLN dan sangat mengakomodasi kepentingan PLN untuk menurunkan potensi ekspor listrik dari pengguna PLTS akibat regulasi net-metering karena kondisi overcapacity. Tapi AESI menyayangkan bahwa akomodasi ini justru berpotensi memangkas keekonomian dan minat PLTS Atap golongan residensial, yang berpotensi tumbuh,” kata Fabby Tumiwa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) di Jakarta.
Sejak Januari 2022, pembatasan kapasitas PLTS atap 10-15% terjadi di berbagai wilayah di Indonesia untuk beragam pelanggan, baik residensial dalam skala kilowatt hingga ke pelanggan industri dengan kapasitas dalam skala megawatt. Pembatasan kapasitas ini tidak sesuai dengan ketentuan Permen ESDM No. 26/2021 (maksimum 100% daya listrik terpasang) dan menurunkan minat calon pelanggan untuk menggunakan PLTS atap.
Dalam usulan perubahan substansi Permen tersebut, pembatasan kapasitas hingga 100% tidak akan diberlakukan kembali melainkan didasarkan pada sistem kuota per sistem dan bersifat first come, first serve. Perubahan ini menjawab langsung pembatasan kapasitas yang terjadi di lapangan, namun teknis penentuan kuota sistem perlu diperjelas terutama dalam kaitannya dengan rencana pengembangan energi terbarukan di daerah. Selain itu periode waktu penetapan kuota per 5 tahun yang terlalu lama karena dinamika teknologi penyediaan listrik.
AESI mendukung penetapan kuota dengan mempertimbangkan kehandalan jaringan listrik IUPTLU tapi mengusulkan agar penentuan kuota kapasitas dilakukan setiap 2 tahun, denga peninjauan (review) dilakukan setiap enam bulan.
Peniadaan net-metering dengan penghapusan ekspor listrik ke jaringan PLN yang berlaku untuk semua kategori pelanggan tanpa terkecuali akan berdampak besar pada pasar residensial (rumah tangga). Tingkat keekonomian PLTS atap saat ini masih dipengaruhi oleh net-metering karena profil beban rumah tangga yang kebanyakan di malam hari. Tidak adanya ekspor akan menurunkan pengurangan tagihan listrik rumah tangga dan memperpanjang masa balik modal (payback period) pembelian sistem PLTS atap, membuat PLTS Atap tidak menarik secara ekonomi untuk pelanggan rumah tangga.
“Survei pasar yang dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR) di 7 provinsi di Indonesia pada 2019 – 2021 menunjukkan bahwa keekonomian menjadi salah satu faktor penting dan penentu bagi pelanggan residensial untuk menggunakan PLTS atap. Mayoritas responden juga ingin mendapatkan penghematan minimal 50% dan prosedur pemasangan yang jelas serta cepat,” Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR menambahkan.
Proyek Strategis Nasional (PSN) PLTS atap dengan target 3,6 GW pada tahun 2025 dan pencapaian target energi terbarukan 23% justru mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat. Dengan pangsa pasar 20% saja untuk pelanggan golongan R2 dan R3 (3.500 VA ke atas), terdapat potensi 400.000 rumah tangga di seluruh Indonesia – setara dengan 1,2 GWp PLTS atap jika masing-masing memasang minimal 3 kWp.
Dampak pada PLTS Atap residensial akan menurunkan manfaat penciptaan lapangan kerja hijau yang terjadi oleh pelaku usaha instalasi PLTS skala kecil yang menyasar segmen pasar rumah tangga yang sudah mulai tumbuh sejak 2018 lalu. Dengan potensi penggunaan tersebar di berbagai kota di Indonesia, pasar PLTS atap residensial juga berkontribusi pada terbukanya lapangan kerja hijau, misalnya teknisi dan pemasang, dan tumbuhnya UMKM pemasang PLTS atap. Jika revisi Permen terbaru disahkan dengan klausul usulan saat ini, pertumbuhan dan peluang usaha hijau ini tentunya akan terhambat. AESI dan IESR merekomendasikan net-metering tetap diberlakukan untuk pelanggan residensial dengan perhitungan ekspor-impor yang dapat didiskusikan kemudian.
Dalam public hearing tersebut, terdapat banyak pertanyaan yang disampaikan oleh pengembang energi surya (developer), pemasang (perusahaan EPC), pemerintah daerah, hingga pengguna PLTS atap
AESI menilai alih-alih mendukung transisi energi terbarukan, revisi Permen ini justru akan menghambat penambahan PLTS Atap. Untuk itu AESI mengusulkan agar ketentuan ekspor listrik dari pelanggan residensial tetap diijinkan dengan syarat kapasitas terpasang 100% daya pelanggan. Ketentuan ini ditinjau ulang dalam waktu 5 tahun atau setelah PLTS Atap residential mencapai kumulatif 5% dari total kapasitas terpasang pembangkit di sistem tersebut.
Kementerian ESDM membuka kanal penyampaian masukan untuk proses ini hingga tanggal 13 Januari 2023.
PLTS Atap