Banyak pihak menantikan pidato Presiden Joko Widodo dalam gelaran COP26. Jokowi diharapkan mengumumkan komitmen penurunan emisi dan penanganan perubahan iklim yang lebih ambisius serta menjabarkan langkah konkret menuju net-zero emission. Posisi strategis Indonesia sebagai pemimpin negara G20 pada 2022 seharusnya membuat Indonesia mengambil satu langkah di depan untuk memimpin upaya penurunan emisi bagi negara anggota G20.
Sayangnya, dalam pidatonya di sesi High Level Segment for Heads of State and Government COP26, Presiden Jokowi tidak mengumumkan target ambisi iklim yang lebih tinggi ataupun komitmen konkret dalam mendukung target Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan rata-rata suhu bumi di bawah 1.5 derajat Celcius dan mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini. Laporan IPCC AR6 telah menyatakan dengan gamblang bahwa waktu kita untuk menjaga kenaikan suhu bumi di level 1.5 derajat Celcius hanya tinggal kurang dari satu dekade. Kesempatan untuk menaikkan ambisi iklim Indonesia masih terbuka dan tentu harus diambil Pemerintah dan dimanfaatkan sebaik-baiknya demi menyelamatkan bumi dari kerusakan akibat perubahan iklim.
Upaya penurunan emisi dan penanganan perubahan iklim harus dilihat sebagai tanggung jawab dan kesempatan untuk mentransformasi sistem ekonomi Indonesia dari yang karbon intensif menjadi sistem ekonomi rendah karbon yang lebih berkelanjutan. Menurut kajian Deep Decarbonization IESR, transformasi sistem energi akan menciptakan 3,2 juta lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan. Komitmen yang ambisius dengan menetapkan target penurunan ambisi yang lebih besar dari NDC saat ini serta membangun peta jalan transisi energi yang komprehensif akan mengirimkan sinyal baik bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Hal ini akan mendorong kekuatan ekonomi Indonesia menjadi lebih kompetitif secara global.
Sebelumnya dalam KTT G20 yang berlangsung pada 30-31 Oktober 2021, pemimpin negara G20 sepakat untuk mencapai net-zero emission pada pertengahan abad ini. Namun komitmen ini belum juga disertai dengan target untuk phase-out PLTU batubara. Memegang peran strategis dalam kepemimpinan G20, Jokowi sebenarnya dapat mengambil kesempatan untuk mendorong negara G20 untuk menghentikan operasi PLTU batubara dan beralih ke energi terbarukan. Tentu saja, dalam hal ini, Indonesia perlu pula menerapkan kebijakan meninggalkan batubara sehingga dapat memberikan teladan bagi negara G20 lainnya.
Selain itu, terdapat perbedaan antara aksi dan fakta lapangan dalam pidato Jokowi di COP 26. Ia menyebutkan akan membangun PLTS terbesar di Asia Tenggara dan mendorong pemanfaatan energi terbarukan untuk mengurangi emisi di sektor energi. Namun, hingga COP 26 berlangsung dukungan kebijakan yang suportif untuk ekosistem PLTS seperti Revisi Permen 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) maupun Perpres tentang energi baru terbarukan belum diterbitkan secara resmi. .
Aksi iklim yang lebih ambisius sangat dibutuhkan saat ini karena efek perubahan iklim semakin sering terjadi seperti La Nina yang kembali datang. Laporan Climate Transparency 2021 menyebutkan Perubahan pola La Nina dan El Nino akan berdampak pada permulaan dan durasi musim hujan di Indonesia. Hal ini berpengaruh pada sektor pertanian seperti produksi beras. Analisis risiko global World Bank menempatkan Indonesia pada peringkat dua belas dari 35 negara yang menghadapi risiko kematian relatif tinggi akibat banjir dan panas ekstrem. Menempati peringkat kelima negara dengan jumlah populasi yang tinggal di area yang lebih rendah dari zona pesisir, Indonesia juga rentan terhadap kenaikan muka air laut.
Indonesia mampu berkontribusi signifikan untuk mengatasi perubahan iklim dan mencegah dampak yang lebih buruk akibat krisis iklim. Memanfaatkan luasnya hutan sebagai penyerap karbon, memiliki potensi energi terbarukan yang mencapai 7879,4 GW, dan memainkan peran strategis di G20 Indonesia seharusnya dapat mencapai dan melampaui target NDC mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% jika ada dukungan internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030. Dengan demikian, Indonesia bukan hanya menyelamatkan lingkungan namun juga mentransformasi sistem ekonomi, sekaligus menunjukkan inovasi kepemimpinan pada anggota negara G20.