Green Job menjadi Jawaban Bangkitnya Ekonomi Pasca Krisis Covid-19
Jakarta, 3 Desember 2020 – Kontraksi ekonomi yang kuat akibat Pandemi Covid-19, membuat banyak negara, termasuk G20, menyalurkan stimulus untuk menyelamatkan perekonomiannya. Meski belum sebesar dukungan terhadap sektor energi fosil, sebanyak 17 negara anggota G20 (selain Meksiko, Rusia, dan Arab Saudi) memberikan beberapa sokongan bagi industri hijau, dengan fokus utama pada peningkatan kapasitas energi terbarukan dan transportasi rendah emisi.
Pemulihan hijau juga menjadi rekomendasi Climate Transparency Report 2020 agar penurunan emisi CO2 dapat berkelanjutan.
Climate Transparency Report (sebelumnya dikenal sebagai “Laporan Brown to Green”) adalah tinjauan tahunan paling komprehensif di dunia atas tindakan iklim negara-negara G20 dan transisinya menuju ekonomi yang netral karbon. Climate Transparency merupakan kemitraan global dari 14 lembaga think tank dan LSM dari sebagian besar negara G20 yang mendapat dukungan dari Kementerian Federal Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keamanan Nuklir, Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia atau BMU Jerman.
“Pemulihan ekonomi pasca Covid-19 merupakan saat yang tepat bagi Indonesia untuk bertransformasi ke ekonomi rendah karbon. Indonesia memiliki kesempatan untuk menyelaraskan respon ekonomi dengan strategi dekarbonisasi jangka panjang, “ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) pada peluncuran Laporan Transparansi Iklim 2020.
Menurut Fabby, daripada mendukung industri bahan bakar fosil, paket stimulus ekonomi jika diarahkan dengan tepat dapat menyediakan dana untuk memulai transisi energi.
“Pemulihan hijau menyediakan peluang yang baik secara global untuk menghasilkan pekerjaan yang sesuai dengan inisiatif hijau misalnya pada tenaga surya dibandingkan dengan energi fosil. Generasi muda harus mulai mempertimbangkan dan mengambil peluang dalam pekerjaan ramah lingkungan (green job),” jelasnya.
Andhyta Firselly Utami, Ekonom Lingkungan dan salah satu pendiri Think Policy Society, dalam kesempatan yang sama, mengatakan bahwa sektor yang dapat menciptakan lebih banyak pekerjaan cenderung berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Andhyta atau yang akrab disapa dengan Afu ini menjelaskan tentang konsep pekerjaan hijau (green job) sesuai definisi ILO.
“Pekerjaan hijau berarti menghasilkan produk yang membantu menurunkan emisi, meningkatkan efisiensi proses secara umum dan rendah emisi serta layak ditinjau dari jam kerja dan kondisi lingkungan kerja,” jelasnya.
Sepakat dengan Afu, Gita Syahrani, Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari, mengatakan bahwa apapun profesinya dapat berkontribusi terhadap pemulihan hijau.
“Sinergikan profesi yang sudah ada untuk terlibat dalam pemenuhan target perubahan iklim. Misalnya sebagai ahli bangunan, bisa membuat bangunan yang efisien secara energi,” jelasnya.
Melihat tren dunia yang mulai membuka kesempatan besar bagi pekerjaan hijau, Gita mengungkapkan tentang perlunya peningkatan kapasitas SDM lokal.
“Tanpa SDM lokal yang berdaya saing, mimpi kita (dalam berpartisipasi terhadap pekerjaan hijau) akan sulit terwujud. Kita membutuhkan riset dan pengembangan yang cukup kuat untuk mengelola sumber daya alam,” terangnya.
Gita mencontohkan, upaya masyarakat kabupaten untuk menjaga kawasan bakau agar tidak terbakar dengan menanam nanas harus pula dilengkapi dengan kemampuan untuk mengelola nanasnya.
“Misalnya, hasil pengolahan nanas berupa masker akan jauh lebih mahal harganya,” jelasnya.
Dari segi penciptaan lapangan kerja hijau, menurut Sean Nino L, pendiri & CEO Eco-Mantra, Indonesia mempunyai potensi yang besar.
“Indonesia mempunyai banyak pulau dengan sinar matahari untuk menghasilkan listrik melalui tenaga surya,” tukasnya.
Ia pun berbagi tentang pengalamannya mengembangkan PLTS di hotel di Bali. Ia berhasil mengefisiensikan energi hingga separuhnya sehingga menghemat biaya operasional.
Menurutnya, tantangan terbesar dalam pengembangan pekerjaan hijau ialah kebijakan sering berubah.
“Di tahun 2016 saja, peraturan tentang tenaga surya bisa berubah hingga 4 kali,” ceritanya.
Hubungan pusat dan daerah dalam hal pembagian kewenangan menjadi tantangan lain yang disoroti oleh Gita.
“Sulit bila tidak ada payung dari nasional meskipun di daerah sudah semangat. Sebaiknya menggunakan pendekatan yuridis sehingga kebijakan nasional bisa diterjemahkan secara lebih spesifik di daerah dan lebih kontekstual,” jelasnya.
Lebih jauh, menurut Gita, pemerintah seringkali menyusun rencana pembangunan dan tata ruang, namun abai dalam menyusun rencana penanaman modal. Padahal hal ini penting untuk sinkronkan dengan visi pembangunan rendah karbon.
Direktur Ketenagakerjaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Mahatmi Parwitasari Saronto menuturkan tantangan lain dalam mewujudkan pemulihan hijau adalah penyiapan SDM untuk implementasi pekerjaan hijau.
“Tren saat ini green job menjadi potensi besar. Kita tidak bisa menafikan, karena negara lain sudah lari di green job. Kita sudah ketinggalan,”ungkap Mahatmi yang akrab disapa Ami ini.
Persoalannya, saat ini pihaknya belum memiliki kerangka kerja pekerjaan hijau, seperti berapa banyak permintaan untuk mendorong ekonomi hijau di Indonesia.
Ami mengusulkan strategi untuk mempercepat pemulihan hijau seperti meningkatkan kesadaraan masyarakat tentang pekerjaan hijau, mendorong stimulus untuk pengembangan ekonomi hijau, menyiapkan regulasi yang sesuai, mendorong lembaga vokasi untuk mengadopsi prinsip keberlanjutan, dan mendorong perusahaan untuk turut serta dalam penciptaan lapangan kerja di pekerjaan hijau.
“Bappenas siap dan berpedoman pada kebijakan pembangunan rendah karbon yang diadopsi pemerintah. Saat ini ekonomi hijau masuk ke dalam strategi kebijakan vokasi pemerintah yang sedang kami susun,”tutupnya. (US/Gb/LW).