Jakarta, 11 Oktober 2021– Krisis energi di Eropa menjadi pelajaran bagi banyak negara, terutama Indonesia untuk dapat menjaga ketahanan energinya dengan mengurangi ketergantungan pada pasar energi fosil, mempersiapkan secara matang transisi energi, dan melakukan diversifikasi energi, terutama energi terbarukan.
William Derbyshire, Director, Economic Consulting Associates (ECA) UK menjelaskan bahwa ketergantungan Inggris terhadap energi fosil tercermin pada bauran pembangkit listriknya yang menempatkan porsi gas sebanyak 42%, sementara untuk energi terbarukan hanya didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dengan porsi sebesar 16%.
“Jika krisis energi yang terjadi disebabkan oleh karena melonjaknya harga energi fosil, maka solusinya adalah melepas ketergantungan dari energi fosil dan beralih ke energi bersih,”jelas William dalam webinar daring “Energy Crisis in UK and Europe: Lesson learned for Indonesia Energy’s Transition” (11/10/2021) yang diselenggarakan oleh Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE).
Sejauh ini, PLTB menjadi andalan Inggris untuk menghasilkan listrik dari pembangkit energi terbarukan. Namun, PLTB ini mempunyai variabilitas yang tinggi meskipun dapat diprediksi dari catatan historis pola dan kecepatan angin di suatu titik tertentu. Namun menurut Gareth Davies, Managing Director, Aquatera, variabilitas ini dapat dikurangi jika dapat mengidentifikasi wilayah baru dengan kecepatan angin tinggi dan membangun pembangkit baru di situ.
“Dengan mendistribusikan produksi (tenaga angin) di wilayah geografis yang luas, akan dapat membantu meningkatkan ketahanan energi dan menyimbangkan pasokan energi Inggris,” jelas Gareth.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menegaskan bahwa volatilitas (perubahan) harga energi primer yakni energi fosil merupakan benang merah dari meluasnya krisis energi fosil.
“Perlu diingat bahwa krisis energi yang terjadi saat ini merupakan krisis energi fosil. Volatilitas harga energi fosil sangat tinggi. Kenaikan harga masing-masing energi fosil saling mempengaruhi,” tegas Fabby.
Di sisi lain, Fabby menjelaskan bahwa krisis energi memberikan pelajaran bagi Indonesia untuk mempercepat transisi energi menuju energi terbarukan. Menurutnya, cadangan energi terbarukan di Indonesia yang melimpah merupakan kekuatan bagi Indonesia untuk berpindah dari energi fosil. Selain itu, untuk mencegah bertumpu pada satu sumber energi saja, menurutnya, Indonesia perlu melakukan diversifikasi pasokan energi dan meningkatkan energi efisiensi.
“Meningkatkan bauran energi terbarukan juga harus memikirkan penyimpanan energi dalam durasi waktu yang lama (long-term energy storage). Interkoneksi antar pulau dibutuhkan untuk mengatasi perbedaan permintaan energi antar pulau. Selanjutnya dalam perencanaan peta jalan transisi energi, perlu pula menyiapkan instrumen safeguard untuk melindungi akses energi bagi keluarga miskin,” tandasnya lagi.
Lebih lanjut, Fabby berpendapat agar setiap pihak dapat mengkomunikasikan dengan benar tentang krisis energi yang terjadi di UK dan Eropa sehingga tidak ada kesalahan informasi yang menimbulkan kepanikan di masyarakat.
“Indonesia sendiri tidak perlu khawatir terhadap krisis energi yang terjadi di Eropa, China, Inggris, India, karena Indonesia mempunyai keunggulan untuk merancang transisi energi menuju dekarbonisasi lebih awal dengan lebih baik,” tutupnya.***
Siaran tunda webinar ini dapat diakses pada YouTube IESR pada tautan berikut: https://youtu.be/YnRd_GIy0eE