Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pembentukan Badan Pelaksana EBT yang digagas dalam RUU EBT tidak memecah persoalan lambannya pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
“Jangan malah terjebak logika potong kompas, berharap (pembentukan) satu institusi menyelesaikan masalah tersebut, tapi malah memunculkan masalah baru (kelak),” jelasnya dalam FGD FPKB DPR RI (2/2/2021).
Menurut Fabby, sebaiknya RUU EBT sudah mengidentifikasi hambatan utama untuk mencapai target bauran energi terbarukan seperti dari segi kebijakan, kelembagaan, sosial, teknikal dan infrastruktur sehingga mampu mempercepat perkembangan energi terbarukan.
“Pembentukan badan usaha khusus erat kaitannya dengan target nasional dan institusinya harus beradaptasi dengan lingkungan pendukung. Sedangkan RUU EBT diarahkan untuk membentuk ekosistem pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan serta mengatasi hambatan yang selama ini kita alami,”
Ia menganalisa bahwa selama ini, pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan terkendala karena faktor PLN. Sepanjang persoalan finansial PLN tidak terselesaikan, penetrasi energi terbarukan pada sistem PLN akan terhambat. Ia juga menyinggung soal target bauran energi terbarukan 23 persen di tahun 2025, yang hingga akhir tahun 2020 masih mencapai sekitar 10 persen saja.
“Target 23 persen EBT dalam PP No 70/2014 tidak segera diintegrasikan ke dalam RUPTL 2015 dan program 35 GW. Sementara program 35 GW dengan PLTU batubara berjalan, ternyata kebutuhan listrik tidak sebesar yang diproyeksikan. PLN dalam kondisi susah. Sementara dalam 5 tahun ke depan, PLN harus tambah lebih dari 10 GW untuk mencapai 23 persen padahal mereka punya kemampuan hanya 5 GW misalnya,” urainya.
Fabby mengambil contoh badan usaha yang Pemerintah India bentuk yakni Solar Energy Corporation of India (SECI) pada tahun 2007 untuk memecah persoalan perubahan iklim. Sementara saat itu, lebih dari 70 persen pembangkit listrik di India menggunakan batubara. Sementara, India kaya dengan air, surya dan angin. Akhirnya pemerintah India menargetkan untuk pembangunan PLTS 20 GW pada 2022. Sejak diluncurkannya program tersebut di tahun 2010, di akhir tahun 2020, India berhasil mencapai 100 GW energi terbarukan.
Sukses India ini tidak terlepas dari peran SECI. Agar implementasi PLTS berjalan lancar SECI bertugas dalam pengerjaan berbagai skema PLTS seperti VGF, solar park, grid connected rooftop PV, dan lainnya. SECI juga melakukan koordinasi antara utilitas, perusahaan transmisi, regulator, finansial dan lainnya, sehingga pengembangan proyek energi terbarukan tidak terhambat.