IETD 2025: Tiga Rekomendasi Utama untuk Mewujudkan Transisi Energi yang Berdampak

Jakarta, 8 Oktober 2025 – Indonesia telah mempunyai peta jalan transisi energi sektor ketenagalistrikan untuk mencapai target net zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat dalam Permen ESDM No.10/2025. Dorongan penyusunan peta jalan transisi energi ini juga telah digaungkan oleh Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024. Melalui pembaruan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dalam PP No.40/2025, pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 19-23 persen pada 2030, dengan peningkatan bertahap hingga 70-72 persen pada 2060. Namun, IESR dan ICEF pada IETD 2025 memandang bahwa target bauran energi terbarukan yang ditetapkan masih tergolong rendah dibandingkan dengan potensi energi terbarukan Indonesia yang mencapai lebih dari 3.600 GW. 

ICEF dan IESR mendorong perencanaan yang matang, terstruktur dan strategi yang tepat dapat mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan bahkan hingga 100 persen pada 2050, lebih tinggi dari target di KEN. Untuk itu, ICEF dan IESR merekomendasikan tiga strategi utama yang mencakup strategi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang pada IETD 2025.  Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025 yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) yang turut didukung oleh British Embassy Jakarta melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI) di  Jakarta, pada hari ketiga (8/10/2025).

Secara jangka pendek, terdapat tiga strategi yang dapat dilakukan dalam satu hingga dua tahun ke depan. Pertama, mengintegrasikan program 100 GW PLTS dan baterai tersebar ke dalam rencana pembangunan ekonomi desa berbasis energi terbarukan. Rencana tersebut perlu dituangkan dalam regulasi yang kuat (Keppres atau Perpres). Kedua, menambah kuota PLTS atap untuk mendorong partisipasi industri, komunitas dan masyarakat dalam transisi energi. Ketiga, menerapkan konsep Penggunaan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) untuk memperluas akses energi terbarukan bagi industri.

Chief Executive Officer (CEO) Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengungkapkan bahwa implementasi PBJT akan menciptakan kondisi yang saling menguntungkan bagi pemerintah, industri, masyarakat, dan PLN. Langkah ini dapat meningkatkan bauran energi terbarukan nasional tanpa membebani APBN, dalam menambah pendapatan dan utilisasi jaringan PLN. Selain itu, penerapan PBJT dapat pula memperbaiki kualitas suplai listrik bagi masyarakat di sekitar energi terbarukan yang dibangun, serta menjaga daya saing industri melalui menurunnya jejak karbon industri manufaktur. Selain itu, implementasi program 100 GW dapat menjadikan Indonesia sebagai model penerapan transisi energi bagi negara berkembang yang menumbuhkan industri rantai pasok energi surya dan baterai.

“Pemerintah perlu menetapkan kerangka institusi yang akan menyusun rencana implementasi detil untuk program 100 GW PLTS tersebar, dengan pembagian peran yang jelas bagi seluruh kementerian/lembaga serta pemangku kepentingan yang terlibat. Rencana implementasi program perlu memastikan terbentuknya peluang untuk menciptakan permintaan energi surya yang mendorong terbentuknya rantai pasok industri dalam negeri. Selain itu perlu ada penyusunan program edukasi dan pelatihan yang menyiapkan tenaga kerja untuk sektor energi surya dan tenaga kerja di sektor yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi desa seperti pertanian, perikanan maupun industri kreatif dan UMKM,” ungkap Fabby.

Secara jangka menengah, dalam jangka tiga hingga empat tahun ke depan,  IETD merekomendasikan enam strategi untuk membangun kondisi yang memungkinkan (enabling condition) percepatan transisi energi agar memberikan dampak maksimal. Pertama, memperkuat edukasi, partisipasi dan kepercayaan publik untuk mendukung program transisi energi, termasuk program 100 GW PLTS, sehingga menciptakan kepercayaan, dukungan, dan partisipasi publik. Kedua, menyiapkan regulasi yang membuat  proyek energi terbarukan layak dan bankable. Desain perizinan dan penyiapan proyek energi terbarukan perlu dirancang agar resiko pengembangan proyek rendah, cost of fund menurun dan meningkatkan bankability. Ketiga, menyelaraskan instrumen keuangan dan pasar karbon agar punya sasaran dan peta jalan yang jelas. Keempat, perbaikan operasi sistem kelistrikan dan peningkatan kapasitas pemangku kepentingan sektor kelistrikan untuk antisipasi kebutuhan integrasi energi terbarukan yang masif. Kelima, mengarusutamakan pengetahuan dan keterampilan terkait pekerjaan hijau pada sistem pendidikan dan pelatihan. 

Sripeni Inten Cahyani, Anggota ICEF, menyebutkan bahwa pentingnya peran kementerian terkait seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi dalam identifikasi kebutuhan kompetisi dan melakukan pengarusutamaan pendidikan dan pelatihan di sektor industri yang akan tumbuh dari proses transisi energi.

Keenam, penciptaan ekosistem hidrogen hijau yang bertumpu pada harga listrik yang murah, penguasaan dan efisiensi teknologi serta pembentukan ekosistem hidrogen hijau secara bertahap. Salah satunya dengan memberikan insentif pada sektor prioritas tersebut untuk menciptakan permintaan hidrogen.

Sementara, secara jangka panjang, IETD 2025 mendorong agar pemerintah memastikan kepemimpinan dalam proses transisi energi dengan menciptakan landasan legal yang kuat sehingga memberikan kepastian dan konsistensi kebijakan transisi energi jangka panjang.

“Transisi energi memerlukan proses transformasi yang panjang dan terarah sehingga memerlukan landasan yang kokoh dan berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam periode pemerintahan Presiden Prabowo, perlu dilakukan penyelarasan kebijakan dan perencanaan energi, pembangunan, dan iklim. Beberapa UU terkait transisi energi seperti UU Energi Baru dan Energi Terbarukan, UU Ketenagalistrikan, butuh diakselerasi agar dapat mendukung quick wins dan enabling condition yang sudah dibangun,” jelas Sripeni Inten.

Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025  merupakan IETD yang kedelapan semenjak pertama kali diadakan pada 2018. IETD 2025 berlangsung pada 6-8 Oktober dengan tema “Delivering Impactful Energy Transition”.

Share on :

Leave a comment