Jakarta, 20 Oktober 2023 – Indonesia sebagai ketua Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) 2023, mencatatkan beberapa pencapaian terkait isu iklim dan transisi energi, di antaranya meluncurkan ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance (ATSF) Versi 2 dan pencanangan Strategi Netralitas Karbon ASEAN. Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi kemajuan tersebut. Namun IESR memandang setelah kepemimpinannya di ASEAN, Indonesia perlu secara konsisten memastikan pelaksanaan gagasan rendah karbon tersebut dengan mengutamakan pengembangan energi terbarukan daripada mengadopsi teknologi yang secara keekonomian dan teknis belum terlalu teruji, seperti teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon (Carbon Capture Storage, CCS), serta mendorong agenda transisi energi menjadi prioritas keketuaan Laos di 2024.
Tidak hanya itu, Indonesia perlu menjadi teladan dengan menunjukkan komitmen dan strategi penurunan emisi yang lebih kuat. Berdasarkan pemeringkatan target Nationally Determined Contribution (NDC) oleh Climate Action Tracker (CAT) pada 2022, Indonesia masih berstatus ‘Sangat Tidak Memadai’. Beberapa penyebab rendahnya peringkat Indonesia tersebut di antaranya ketidakkonsistenan strategi di sektor energi. Mengacu pada RUPTL 2021-2023, persentase bauran batubara justru meningkat dari 62% di tahun 2025 menjadi 64% pada 2030. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga tengah mengembangkan kerangka regulasi terkait teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage CCS/Carbon Capture Utilization Storage CCUS) dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai pusat (hub) CCS di kawasan Asia Tenggara.
Wira Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, menjelaskan banyak isu terkait diplomasi iklim dan energi di ASEAN masih belum menyentuh masyarakat, padahal aksi-aksi iklim berpengaruh secara langsung kepada masyarakat. Dari hasil keketuaan Indonesia di ASEAN 2023, ada beberapa peningkatan ambisi dan implementasi iklim dan energi yang telah dilakukan. Namun demikian, Indonesia masih terlalu fokus terhadap pembangunan infrastruktur yang belum terbukti penggunaanya seperti CCUS, dan mengembangkan ekosistem kendaraan bermotor listrik (Electric Vehicles/EV) tetapi belum fokus pada prinsip-prinsip mobilitas berkelanjutan.
“Seharusnya Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya bisa fokus pada aksi dan kerjasama yang lebih tegas seperti pembangunan ekosistem pengembangan energi terbarukan dan fokus terhadap praktek-praktek penembangan mineral transisi/kritikal yang berkeadilan dan bertanggung jawab,” ujarnya dalam diskusi publik “Refleksi Kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023: Menuju Regional Front-runner dalam Isu Iklim dan Transisi Energi”.
Arief Rosadi, Koordinator Proyek Diplomasi Iklim IESR menuturkan, selain Indonesia, 4 anggota ASEAN Member States (AMS) lainnya seperti Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam juga masuk dalam kategori tidak memadai ambisi iklimnya berdasarkan CAT. Untuk itu, negara ASEAN perlu meningkatkan ambisi iklimnya, salah satunya dengan penurunan emisi yang signifikan di sektor energi dan merefleksikan peningkatan ambisi tersebut pada dokumen perencanaan energi regional terbaru (ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation, APAEC).
“Terdapat empat kesenjangan (gap) yang harus diselesaikan yakni kesenjangan kelembagaan, ambisi, implementasi dan partisipasi. Pertama, kesenjangan kelembagaan ASEAN tercermin pada kelembagaan isu energi dan iklim yang masih terpisah-pisah. Misalnya pengaturan bidang yang tidak dalam kerangka yang sama, misalnya isu energi yang berada di bawah pilar ekonomi ASEAN, sementara isu iklim di bawah pilar sosial budaya ASEAN. Untuk itu, ASEAN memerlukan pemetaan mengenai peran dan tanggung jawab kelembagaan secara komprehensif agar pelaksanaan kebijakan di tingkat nasional dan regional menjadi efektif dan efisien,” papar Arief.
Arief melanjutkan, kesenjangan kedua adalah kesenjangan ambisi iklim yang belum selaras Persetujuan Paris. Ketiga, kesenjangan implementasi transisi energi yang masih terkendala faktor politis dan teknis dengan pemberian ruang bagi teknologi yang belum teruji seperti CCS. Keempat, kesenjangan partisipasi masyarakat sipil yang masih terbatas. Keempat kesenjangan ini, menurutnya, perlu dibenahi secara internal di ASEAN.
“Indonesia mempunyai peran strategis, mengingat profilnya sebagai negara dengan ekonomi terbesar dan memiliki pengaruh politik signifikan di ASEAN. Indonesia dapat menggunakan pengaruhnya dalam mendorong agenda transisi energi terus berlanjut sebagai pembahasan utama dalam keketuaan Laos di ASEAN di 2024,” tandas Arief.
IESR mendorong agar Indonesia memperkuat strategi diplomasi iklimnya dengan melakukan sinkronisasi komprehensif terhadap berbagai forum multilateral sehingga mampu menghasilkan hasil dan kerja sama yang nyata dalam hal teknis, investasi energi bersih, atau mobilisasi pendanaan bagi Indonesia dan ASEAN.
Di sisi lain, Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya perlu mempertimbangkan pengembangan Nilai Ekonomi Karbon (NEK/Carbon Pricing) untuk mendorong pencapaian ambisi dan target iklim. Agar implementasi NEK efektif, Indonesia perlu mengetahui segmentasi NEK yang akan dituju dari berbagai instrumen NEK yang ada, mencari instrumen NEK yang paling rendah biaya, memberlakukan pajak karbon, dan membuat peta jalan Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Zero Emissions (NZE) yang nantinya selaras dengan implementasi NEK.
“Instrumen carbon pricing domestik akan membantu pencapaian target NDC dan NZE, namun sebaiknya dilakukan terhadap aksi mitigasi yang relatif tanpa biaya atau biaya rendah agar tidak terlalu membebani keuangan domestik. Pajak karbon akan membantu penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) namun sulit untuk dilakukan perhitungan reduksi emisi GRK yang terjadi. Untuk itu, pendapatan dari pajak karbon harus dialokasikan untuk aksi mitigasi dan adaptasi iklim sehingga manfaat pajak karbon dapat berdampak langsung terhadap aksi iklim,” ujar Moekti Handajani Soejachmoen, Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization.