Tahun 2024 hampir berakhir, saatnya kita merenungkan apa yang telah terjadi di Indonesia selama setahun terakhir, khususnya di sektor energi yang berdampak besar bagi kehidupan masyarakatnya. Perkembangan sektor energi Indonesia yang dirangkum dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025 menunjukkan bahwa meskipun telah ada beberapa capaian positif di tahun 2024, masih terdapat kesenjangan antara realisasi dan target yang belum tercapai, baik yang sudah hampir tercapai maupun yang masih jauh dari tercapai. Berikut ini adalah cuplikan singkat dalam IETO 2025. Sektor Energi
Pelantikan presiden baru Indonesia untuk masa jabatan 2024-2029 diharapkan dapat membawa perubahan arah kebijakan, khususnya terkait transisi energi Indonesia. Dalam KTT G20 tahun 2024, Presiden Prabowo menyatakan bahwa Indonesia dapat mencapai 100% energi terbarukan (ET) dalam waktu 10 tahun (Kompas, 2024). Padahal, data tahun 2015-2023 menunjukkan Indonesia belum pernah mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23%. Rencana pemerintah menurunkan target menjadi 17-19% pada tahun 2025 tidak akan menjadi solusi jika akar permasalahan yang menghambat pencapaian target tersebut belum teratasi. Peningkatan target sebesar 1-2% per tahun harus terus ditingkatkan dan digenjot agar impian 100% EBT dalam kurun waktu 10 tahun dapat terwujud.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia yang baru telah menggencarkan program biofuel, khususnya biodiesel, dengan rencana penerapan program pencampuran biodiesel sebesar 40% (BBN 40) pada tahun 2025 dan B50 pada tahun 2026, sejalan dengan tujuan pemerintah untuk mencapai swasembada energi (CNBC, 2024). Pada tahun 2024, Indonesia telah mencapai tingkat BBN B35, yang berkontribusi sekitar 31% terhadap bauran energi terbarukan negara ini, yaitu 13,1% (IETO, 2024). Namun, target peningkatan penggunaan biofuel, jika tidak disertai dengan fokus yang sama pada masalah lingkungan, dapat menimbulkan risiko terkait rantai pasokan minyak sawit, yang secara langsung mempengaruhi industri makanan, serta masyarakat lokal di sekitar lahan yang terdampak. Sekitar 19,4 juta kL biodiesel membutuhkan setidaknya 4,35 juta hektar untuk produksinya (IETO, 2024).
Konflik lahan dengan masyarakat lokal dan kerusakan ekosistem akibat perubahan penggunaan lahan dapat menjadi masalah yang signifikan jika perluasan biodiesel ini tidak direncanakan dengan baik, dari tahap praproduksi hingga pascaproduksi. Ketegangan baru-baru ini dengan masyarakat adat di Papua, yang disebabkan oleh perluasan perkebunan kelapa sawit dan penggundulan hutan, semakin menggambarkan tantangan ini (BBC, 2024).
Transisi dari energi kotor ke energi bersih dan terbarukan idealnya mengarah pada perbaikan dalam aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial. Namun, dalam perjalanannya, masih terdapat dampak buruk yang diakibatkan oleh regulasi dan kebijakan yang masih diselaraskan untuk mendorong perubahan yang lebih baik. Salah satunya adalah subsidi dan anggaran pemerintah. Meskipun terdapat tren positif dalam transisi dari metode memasak yang lebih berpolusi, seperti kayu bakar dan minyak tanah, ke LPG oleh sekitar 90% rumah tangga di Indonesia, keuangan negara terdampak oleh subsidi penggunaan LPG 3 kg yang masih digunakan oleh masyarakat, yang jumlahnya mencapai sekitar Rp83 triliun hingga Q4-2024, dengan impor mencapai 6,95 juta ton pada tahun 2023 (IETO, 2024). Salah alokasi LPG 3 kg yang ditujukan untuk kategori warga negara tertentu, sering dimanfaatkan oleh entitas di luar kategori tersebut, seperti hotel, restoran, dan usaha menengah (RRI, 2024). Selain memperketat subsidi energi, pemerintah melalui RPP KEN 2024 telah memperkenalkan dua strategi utama untuk mencapai zero impor gas pada tahun 2030, yaitu perluasan jaringan pipa gas bumi dan promosi penggunaan teknologi rendah emisi untuk peralatan rumah tangga, seperti kompor induksi untuk keperluan rumah tangga (IETO, 2024).
Kapasitas fiskal juga masih menjadi kendala transisi energi di tingkat daerah maupun subnasional. Sekitar 39% provinsi memiliki kapasitas fiskal yang rendah, yang sering kali menimbulkan konflik antara target bauran energi daerah dengan kemampuan fiskalnya. Lebih lanjut, pada tahun 2023, rata-rata anggaran yang dialokasikan provinsi untuk energi terbarukan sekitar Rp1 miliar (USD 0,063 juta), atau hanya 5% dari total anggaran sektor energi (IETO, 2025). Pemerintah pusat perlu menjembatani kesenjangan antara target bauran energi daerah dengan realisasinya, mengingat terbatasnya kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan anggaran dan kesenjangan tata kelola serta kapasitas sumber daya manusia.
Secara keseluruhan, Indonesia masih perlu menginvestasikan USD 18 miliar per tahun untuk melakukan dekarbonisasi sektor energi dan transportasi pada tahun 2030. Dari jumlah tersebut, USD 118,5 miliar secara khusus dibutuhkan untuk pengembangan energi terbarukan. Namun, alokasi anggaran publik untuk sektor ini melalui RPJMN 2020-2024 hanya mencakup 23% dari kebutuhan tahunan, yang menunjukkan adanya kesenjangan investasi yang signifikan. Untuk menjembatani kesenjangan pembiayaan dan mempercepat transisi energi, sangat penting untuk memperkuat kerangka regulasi, dan mendorong kolaborasi dengan sektor swasta.
Meskipun kenyataan saat ini menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara realisasi dan tujuan, dan arah transisi energi masih belum pasti karena peraturan yang terus berubah dan tumpang tindih, kita sebagai masyarakat Indonesia harus secara aktif terus menjaga transisi energi agar tetap pada jalurnya.
Upaya mewujudkan transisi energi di Indonesia tidak boleh terputus. Baik untuk mengambil jeda sejenak untuk beristirahat sebelum kembali memacu upaya untuk memastikan transisi energi terjadi. Selamat Tahun Baru, semuanya!